Kamis, 13 Agustus 2009

VIDEO PANTOMIME 1

VIDEO PANTOMIME 2

PENGERTIAN PANTOMIME


Pantomim (Bahasa Latin: pantomimus, meniru segala sesuatu) adalah suatu pertunjukan teater yang menggunakan isyarat, dalam bentuk mimik wajah atau gerak tubuh, sebagai dialog. Jenis pertunjukan ini telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno dan sering digunakan dalam ritus keagamaan dengan cerita umumnya seputar mitologi Yunani. Pantomim kembali populer pada abad ke-16 dengan berkembangnya Commedia dell'arte di Italia yang membawa pantomim pada bentuknya yang sekarang yang mengutamakan pada lakon komedi.

SEJARAH PANTOMIME


Sejarah Singkat Mim di Dunia

Pantomim di dunia sebagaimana ditulis Aristoteles dalam Poetics menyebutkan bahwa seni pantomim sudah berumur tua. Bahkan beberapa pendapat menyatakan pantomim sebelum dikenal di Yunani sudah ada lebih dahulu di Mesir dan India. Pendapat tersebut berdasarkan pada beberapa temuan relief yang ada di dinding piramida dan candi. Relief tersebut menggambarkan seorang laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan gerakan yang diduga bukan tarian. Rumusan yang dikemukakan Ariostoteles memberikan asumsi bahwa pantomim sudah mulai dapat diungkapkan melalui ciri-ciri dasarnya. Yaitu ketika orang mempertahankan seni gerak tiruan (imitation) yang tidak berdasarkan rhtym secara dominan. Seni gerak itu selesai sebagai suatu gerakan isyarat, maka para ahli menyebutnya sebagai pantomim.


AWAL PANTOMIME


seni pantomim awalnya dikenal di wilayah Mesir Kuno dan India, jauh sebelum berkembang pesat dalam sejarah bangsa Romawi Kuno sebagai pementasan seputar mitologi Yunani. Kemudian dikenal menjadi pemetasan bernuansa komedi sejak abad ke-16.

Rabu, 12 Agustus 2009


PENGETAHUAN UMUM

1. Definisi Teater
Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya (Harrymawan, 1993). Namun demikian, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”. Jika digambarkan maka peta kedudukan teater dan drama adalah sebagai berikut.

Gb.1 Peta kedudukan teater dan drama
Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindak- tanduk pemain di atas pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993).

2. Sejarah Singkat Teater
2.1 Teater Barat
2.1.1 Asal Mula Teater
Waktu dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.
• Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.
• Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
• Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dan lain sebagainya).
Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkan bahwa naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban Mesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.

Gb.2 Relief Mesir kuno

I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di kota Abydos, sehingga terkenal sebagai Naskah Abydos yang menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik. Jalan cerita naskah Abydos juga diketemukan tergambar dalam relief kuburan yang lebih tua. Para ahli bisa memperkirakan bahwa jalan cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun 5000 SM. Meskipun baru muncul sebagai naskah tertulis di tahun 2000 SM. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui juga bahwa pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater yang meliputi pemain, jalan cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, selain itu juga properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.

Gb.3 Naskah Mesir kuno

2.1.2 Teater Yunani Klasik
Tempat pertunjukan teater Yunani pertama yang permanen dibangun sekitar 2300 tahun yang lalu. Teater ini dibangun tanpa atap dalam bentuk setengah lingkaran dengan tempat duduk penonton melengkung dan berundak-undak yang disebut amphitheater (Jakob Soemardjo, 1984). Ribuan orang mengunjungi amphitheater untuk menonton teater-teater, dan hadiah diberikan bagi teater terbaik. Naskah lakon teater Yunani merupakan naskah lakon teater pertama yang menciptakan dialog diantara para karakternya. Ciri-ciri khusus pertunjukan teater pada masa Yunani Kuno adalah:
• Pertunjukan dilakukan di amphitheater.
• Sudah menggunakan naskah lakon.
• Seluruh pemainnya pria bahkan peran wanitanya dimainkan pria dan memakai topeng karena setiap pemain memerankan lebih dari satu tokoh.
• Cerita yang dimainkan adalah tragedi yang membuat penonton tegang, takut, dan kasihan serta cerita komedi yang lucu, kasar dan sering mengeritik tokoh terkenal pada waktu itu.
• Selain pemeran utama juga ada pemain khusus untuk kelompok koor (penyanyi), penari, dan narator (pemain yang menceritakan jalannya pertunjukan).

Gb.4 Amphitheater

Pengarang teater Yunani Klasik, yaitu
• Aeschylus (525-SM). Dialah yang pertama kali mengenalkan tokoh prontagonis dan antagonis sehingga mampu menghidupkan peran. Karyanya yang terkenal adalah Trilogi Oresteia yang terdiri dari Agamennon , The Libatian Beavers, dan The Furies.
• Shopocles (496-406 SM) dengan karya yang terkenal adalah Oedipus The King, Oedipus at Colonus, Antigone.
• Euripides (484-406 SM) dengan karya-karyanya antara lain Medea, Hyppolitus, The Troyan Woman, Cyclops.
• Aristophanes (448-380 SM) penulis naskah drama komedi. Dengan karyanya yang terkenal adalah Lysistrata, The Wasps, The Clouds, The Frogs, The Birds.
• Manander (349-291 SM.). Manander menghilangkan koor dan menggantinya dengan berbagai watak. Misalnya watak orang tua yang baik, budak yang licik, anak yang jujur, pelacur yang kurang ajar, tentara yang sombong dan sebagainya. Karya Manander juga berpengaruh kuat pada Zaman Romawi Klasik dan drama komedi Zaman Renaissance dan Elisabethan.

Gb.5 Pertunjukan teater Yunani Kuno

Kebanyakan drama tragedi Yunani dibuat berdasarkan legenda. Drama-drama ini sering membuat penonton merasa tegang, takut, dan kasihan. Drama komedi bersifat lucu dan kasar serta sering mengolok-olok tokoh-tokoh terkenal.

2.1.3 Teater Romawi Klasik
Setelah tahun 200 Sebelum Masehi kegiatan kesenian beralih dari Yunani ke Roma, begitu juga Teater. Namun mutu teater Romawi tak lebih baik daripada teater Yunani. Teater Romawi menjadi penting karena pengaruhnya kelak pada Zaman Renaissance. Teater pertama kali dipertunjukkan di kota Roma pada tahun 240 SM (Brockett, 1964). Pertunjukan ini dikenalkan oleh Livius Andronicus, seniman Yunani. Teater Romawi merupakan hasil adaptasi bentuk teater Yunani. Hampir di setiap unsur panggungnya terdapat unsur pemanggungan teater Yunani. Namun demikian teater Romawi pun memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli dimiliki oleh masyarakat Romawi dengan ciri-ciri sebagi berikut.
• Koor tidak lagi berfungsi mengisi setiap adegan.
• Musik menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita tetapi juga menjadi ilustrasi cerita.
• Tema berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.
• Karakteristik tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan anak-anaknya atau kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua dan lain sebagainya.
• Seluruh adegan terjadi di rumah, di jalan, dan di halaman.

Gb.6 Panggung teater Romawi Kuno

Bentuk-bentuk pertunjukan yang terkenal di Zaman Romawi klasik adalah:
Tragedi. Satu-satunya bentuk tragedi yang terkenal dan berhasil diselamatkan adalah karya Lucius Anneus Seneca (4 SM - 65 M) dengan ciri-ciri sebagai berikut.
• Plot cerita terdiri dari 5 babak dengan struktur cerita yang terperinci jelas.
• Adegan berlangsung dalam ketegangan tinggi.
• Dialog ditulis dalam bentuk sajak.
• Tema cerita seputar hubungan antara alam kemanusiaan dan alam gaib.
• Menggunakan teknik monolog, bisikan-bisikan pada beberapa tokoh penting yang mengungkapkan isi hati.
Farce Pendek. Farce (pertunjukan jenaka) sejak abad 1 SM menjadi bagian sastra dan menjadi bentuk drama yang terkenal. Bentuk pertunjukan teater tertua pada Zaman Romawi Klasik ini ciri-cirinya adalah sebagai berikut.
• Selalu menggunakan tokoh yang sama dan sangat tipikal, misalnya tokoh badut tolol yang bernama Maccus. Tokoh yang serakah dan rakus bernama Bucco. Sedangkan Pappus adalah tokoh yang tua dan mudah ditipu.
• Plot cerita berupa tipuan-tipuan dan hasutan-hasutan yang dilakukan para badut dimana musik dan tari menjadi unsur penting dalam menjaga jalannya cerita.
• Menggunakan latar suasana alam pedesaan.
Mime. Mime muncul di Zaman Yunani sekitar abad 5 SM dan kemudian masuk Romawi sekitar tahun 212 SM dengan ciri-cirinya adalah:
• Banyak terdapat adegan-adegan lucu, singkat, dan improvisasi.
• Tokoh wanita dimainkan oleh pemain wanita.
• Para pemainnya tidak mengenakan topeng.
• Cerita yang dibawakan bertema perzinahan, menentang sakramen, dan upacara gereja.
Teater Romawi merosot setelah bentuk Republik diganti dengan kekaisaran tahun 27 Sebelum Masehi dan lenyap setelah terjadi penyerangan bangsa-bangsa Barbar serta munculnya kekuasaan gereja. Pertunjukan teater terakhir di Roma terjadi tahun 533.

2.1.4 Teater Abad Pertengahan
Dalam tahun 1400-an dan 1500-an, banyak kota di Eropa mementaskan drama untuk merayakan hari-hari besar umat Kristen. Drama-drama dibuat berdasarkan cerita-cerita Alkitab dan dipertunjukkan di atas kereta, yang disebut pageant, dan ditarik keliling kota. Bahkan kini pertunjukan jalan dan prosesi penuh warna diselenggarakan di seluruh dunia untuk merayakan berbagai hari besar keagamaan. Para pemain drama pageant menggunakan tempat di bawah kereta untuk menyembunyikan peralatan. Peralatan ini digunakan untuk efek tipuan, seperti menurunkan seorang aktor dari atas ke panggung. Para pemain pegeant memainkan satu adegan dari kisah dalam Alkitab, lalu berjalan lagi. Pageant lain dari aktor-aktor lain untuk adegan berikutnya, menggantikannya. Aktor-aktor pageant seringkali adalah para perajin setempat yang memainkan adegan yag menunjukan keahlian mereka. Orang berkerumun untuk menyaksikan drama pageant religius di Eropa. drama ini populer karena pemainnya berbicara dalam bahasa sehari-hari, bukan bahasa Latin yang merupakan bahasa resmi gereja-gereja Kristen (Wisnuwardhono, 2002).

Gb.7 Teater abad Pertengahan

Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
• Drama dimainkan oleh aktor-aktor yang belajar di universitas sehingga dikaitkan dengan masalah filsafat dan agama.
• Aktor bermain di panggung di atas kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri jalanan.
• Drama banyak disisipi cerita kepahlawanan yang dibumbui cerita percintaan.
• Drama dimainkan di tempat umum dengan memungut bayaran.
• Drama tidak memiliki nama pengarang.


2.1.5 Renaissance
Abad 17 memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kebudayaan Barat. Sejarah abad 15 dan 16 ditentukan oleh penemuan-penemuan penting yaitu mesin, kompas, dan mesin cetak. Semangat baru muncul untuk menyelidiki kebudayaan Yunani dan Romawi klasik. Semangat ini disebut semangat Renaissance yang berasal dari kata “renaitre” yang berarti kelahiran kembali manusia untuk mendapatkan semangat hidup baru. Gerakan yang menyelidiki semangat ini disebut gerakan humanisme.
Pusat-pusat aktivitas teater di Italia adalah istana-istana dan akademi. Di gedung-gedung teater milik para bangsawan inilah dipentaskan naskah-naskah yang meniru drama-drama klasik. Para aktor kebanyakan pegawai-pegawai istana dan pertunjukan diselenggarakan dalam pesta-pesta istana.
Ada tiga jenis drama yang dikembangkan, yaitu tragedi, komedi, dan pastoral atau drama yang membawakan kisah-kisah percintaan antara dewa-dewa dengan para gembala di daerah pedesaan. Namun nilai seni ketiganya masih rendah. Drama dilangsungkan dengan mengikuti struktur yang ada. Meskipun demikian gerakan mereka memiliki arti penting karena Eropa menjadi mengenal drama yang jelas struktur dan bentuknya.
Ciri-ciri teater Zaman Renaissance yakni sebagai berikut.
• Naskah lakon yang dipertunjukkan meniru teater Zaman Yunani klasik.
• Cerita bertema mitologi atau kehidupan sehari-hari.
• Tata busana dan seting yang dipergunakan sangat inovatif.
• Pelaksanaan bentuk teater diatur oleh kerajaan maupun universitas.
• Menggunakan panggung proscenium yaitu bentuk panggung yang memisahkan area panggung dengan penonton.

Gb.8 Panggung teater Renaissance
Pada zaman ini juga melahirkan satu bentuk teater yang disebut commedia dell’arte. Merupakan bentuk teater rakyat Italia yang berkembang di luar lingkungan istana dan akademisi. Pada tahun 1575 bentuk ini sudah populer di Italia. Kemudian menyebar luas di Eropa dan mempengaruhi semua bentuk komedi yang diciptakan pada tahun 1600. Ciri khas commedia dell'arte adalah:
• Para pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita dan dituntut memiliki pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.
• Menggunakan naskah lakon yang berisi garis besar cerita.
• Cerita yang dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun menurun.
• Cerita terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang. Plot cerita berlangsung dalam suasana adegan lucu.
• Peristiwa cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .
• Terdapat tiga tokoh yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda, dan tokoh pembantu.
• Tempat pertunjukannya di lapangan kota dan panggung-panggung sederhana.
• Setting panggung sederhana, yaitu rumah, jalan, dan lapangan.

2.1.6 Teater Zaman Elizabeth
Pada tahun 1576, selama pemerintahan Ratu Elizabeth I, gedung teater besar dari kayu dibangun di London Inggris. Gedung ini dibangun seperti lingkaran sehingga penonton bisa duduk dihampir seluruh sisi panggung. Gedung teater ini sangat sukses sehingga banyak gedung sejenis dibangun di sekitarnya. Salah satunya yang disebut Globe, gedung teater ini bisa menampung 3.000 penonton. Penonton yang mampu membeli tiket duduk di sisi-sisi panggung. Mereka yang tidak mampu membeli tiket berdiri di sekitar panggung.

Gb.9 Bentuk panggung teater Elizabethan
Globe mementaskan drama-drama karya William Shakespeare, penulis drama terkenal dari Inggris yang hidup dari tahun 1564 sampai tahun 1616. Ia adalah seorang aktor dan penyair, selain penulis drama. Ia biasanya menulis dalam bentuk puisi atau sajak. Beberapa ceritanya berisi monolog panjang, yang disebut solilokui, dan menceritakan gagasan-gagasan mereka kepada penonton. Ia menulis 37 (tiga puluh tujuh) drama dengan berbagai tema, mulai dari pembunuhan dan perang sampai cinta dan kecemburuan. Ciri-ciri teater Zaman Elizabeth adalah:
• Pertunjukan dilaksanakan siang hari dan tidak mengenal waktu istirahat.
• Tempat adegan ditandai dengan ucapan dengan disampaikan dalam dialog para tokoh.
• Tokoh wanita dimainkan oleh pemain anak-anak laki-laki. Tidak pemain wanita.
• Penontonnya berbagai lapisan masyarakat dan diramaikan oleh penjual makanan dan minuman.
• Menggunakan naskah lakon.
• Corak pertunjukannya merupakan perpaduan antara teater keliling dengan teater sekolah dan akademi yang keklasik-klasikan.

Gb.10 Pementasan teater Elizabethan
2.1.7 Teater abad 17 di Spanyol dan Perancis
Drama-drama agama hanya berkembang di Spanyol Utara dan Barat karena sebagian besar Spanyol dikuasai Islam. Ketika kekuasaan Arab dapat diusir dari Spanyol kira-kira tahun 1400, maka drama dijadikan salah satu media untuk “menghistorikan” kembali bekas jajahan Arab. Teater berkembang sebagai media dakwah agama. Inilah sebabnya drama agama berkembang di Spanyol. Gereja sangat berperan dalam pengembangan drama. Pertunjukan yang berkembang adalah Autos Sacramentales dengan ciri-ciri antara lain:
• Tokoh-tokoh dalam cerita adalah tokoh simbolik, misalnya si Dosa, Si Bijaksana dipertemukan dengan tokoh supranatural dan manusia biasa dengan cerita berdasarkan kehidupan sekuler maupun ajaran-ajaran gereja.
• Dipertunjukkan di atas kereta kuda (dua tingkat) yang dinamai carros. Kereta-kereta kuda tadi juga membawa setting.
• Pertunjukan dilakukan oleh rombongan profesional yang selalu berhubungan dengan gereja
• Pertunjukannya selalu diselingi tarian dan pada saat istirahat diisi dengan Farce pendek.
Unsur Farce berdampak masuknya sekularisme dalam drama Autos dan berakibat gereja melarang Autos pada tahun 1765 karena merajalelanya semangat Farce dan menyimpang dari ajaran-ajaran agama.

Gb.11 Teater Zaman Emas Spanyol
Drama di luar gereja yaitu drama sekuler juga berkembang pesat. Pada tahun 1579 telah berdiri gedung permanen di Madrid. Bentuk gedung teater ini mirip dengan Elizabethan di Inggris. Pelopor drama sekuler di Spanyol ialah Lope de Rueda (1510-1565). Ia dramawan, aktor dan produsen yang mendirikan gedung teater permanen di Spanyol. Tetapi profesionalisme dalam teater baru berkembang setelah kematiannya tahun 1580-an.
Pada abad 17, teater di Perancis menjadi penerus teater abad pertengahan, yaitu teater yang mementingkan pertunjukan dramatik, bersifat seremonial dan ritual kemasyarakatan. Terdapat kecenderungan menulis naskah yang menggabungkan drama-drama klasik dengan tema-tema sosial yang dikaitkan dengan budaya pikir kaum terpelajar. Dramawan Perancis bergerak lebih ekstrim dalam mengembangkan bentuk baru tragedi klasik yang melampaui tragedi Yunani yang padat, cermat, dan santun. Lahirlah Klasisme baru atau neo klasik yang memiliki konvensi sebagai berikut.
• Mengikuti dan memahami konsep pembuatan naskah klasik.
• Menjaga kemurnian tipe drama.
• Setia kepada kaidah klasik.
• Berorientasi pada fungsi drama.
• Menitikberatkan pada konsep tentang kebenaran dan moral kebaikan.
• Setia kepada keutuhan waktu, tempat, dan peristiwa.
• Hanya mengakui dua bentuk drama yaitu tragedi dan komedi.
• Konsep Neoklasik mengajarkan tentang kebenaran.

2.1.8 Teater Restorasi di Inggris
Zaman Restorasi adalah zaman kebangkitan kembali kegiatan teater di Inggris setelah kaum Puritan yang berkuasa menutup kegiatan teater. Segala bentuk teater dilarang. Namun setelah Charles II berkuasa kembali, ia menghidupkan kembali teater. Adapun ciri-ciri teater pada Zaman Restorasi adalah sebagai berikut.
• Tema cerita bersifat umum dan penonton sudah mengenalnya.
• Tokoh wanita diperankan oleh pemain wanita.
• Penonton tidak lagi semua lapisan masyarakat, tetapi hanya kaum menengah dan kaum atasan.
• Gedung teater mencontoh gaya Italia.
• Pertunjukan diselenggarakan di gedung proscenium yang diperluas dengan menambah area yang disebut apron, sehingga terjadi komunikasi yang intim antara pemain dan penonton.
• Setting panggung bergambar perspektif dan lebih bercorak umum, misalnya taman atau istana.

Gb.12 Pertunjukan teater Zaman Restorasi

2.1.9 Teater Abad 18
Pada abad ke 17, teater Italia memiliki struktur-struktur bangunan dan panggung-panggung arsitektural. Panggung-panggung itu dihiasi setting-setting perspektif yang dilukis. Letak panggung dipisahkan dengan auditorium oleh lengkung prosenium. Di Inggris dan Spanyol, tidak terdapat pemain wanita dalam pementasan teater mereka. Tradisi tersebut berlangsung sampai kira-kira 1587. Di abad ke 17, perusahaan-perusahaan seni peran Perancis dan Inggris mulai menambahkan wanita ke dalam rombongan-rombongan pertunjukan mereka. Di Amerika, teater kolonial baru mulai muncul. Mereka menggunakan sandiwara-sandiwara dan aktor-aktor Inggris. Abad ke 18 adalah masa agung pertama teater untuk kaum bangsawan.
Pada abad 18, teater di Perancis dimonopoli oleh pemerintah dengan comedie francaise-nya. Secara tetap mereka mementaskan komedi dan tragedi, sedangkan bentuk opera, drama pendek dan burlesque dipentaskan oleh rombongan teater Italia Comedie Italienne yang biasanya pentas di pasar-pasar malam. Sampai akhir abad 17 Perancis menjadi pusat kebudayaan Eropa. Drama Perancis yang neoklasik menjadi model di seluruh Eropa. Kecenderungan neoklasik menjalar ke seluruh Eropa.

Gb.13 Panggung teater abad 18

Selama abad 18 Italia berusaha mempertahankan bentuk commedia dell’arte. Penulis besarnya ialah Carlo Goldoni. Karya-karyanya berupa komedi yang kebanyakan agak sentimental tetapi tergolong bermutu. Penulis naskah yang lain adalah Carlo Gozzi. Ia tidak meneruskan tradisi commedia dell’arte tetapi menciptakan sendiri komedi-komedi fantasi dengan adegan-adegan penuh improvisasi. Commedia dell’arte sendiri mulai merosot dan tidak populer di Italia pada akhir abad 18. Sedang dalam tragedi, penulis Italia abad itu yang menonjol hanya Vittorio Alfieri.
Teater di Jerman sudah berkembang pada Zaman Renaissance (1500-1600) meskipun dalam bentuk yang belum sempurna. Inilah sebabnya teater Jerman tak berbicara banyak di Eropa sampai tahun 1725. Teater Jerman dengan model comedie francaise, menciptakan suatu organisasi teater paling baik di Eropa pada akhir abad 18. Sejak itu gerakan teater Jerman berpaling dari ide neoklasik kepada aliran romantik.

2.1.10 Teater Awal Abad ke 19
Drama Romantik berkembang antara tahun 1800-1850 karena memudarnya gagasan neoklasik dan terjadinya peristiwa revolusi Perancis. Revolusi Perancis - yang berhasil mengubah struktur dan pola kehidupan rakyat Perancis - menghadirkan gerakan baru di dunia teater yang mendorong terciptanya formula penulisan tema dan penokohan dalam naskah lakon.

14. Pementasan teater abad 19

Ciri-ciri pertunjukan teater Romantik adalah:
• Menggunakan naskah dengan struktur yang bersifat longgar dengan karakter tokoh yang berubah-ubah di setiap episode.
• Setiap bagian plot cerita memiliki episodenya sendiri (plot episodik).
• Inti cerita adalah masalah kebebasan memberontak pada fakta dan aturan yang bersifat klasik.
• Membawakan cerita kesejarahan yang memuat adegan perang, pemberontakan, pembakaran istana, perang tanding dan sebagainya.
• Panggung dihiasi dengan gambar-gambar yang sangat indah.
• Setting perspektif diganti dengan lukisan untuk layar sayap panggung dan sayap belakang dan bentuk skeneri ditampilkan bergantian.
Pada awal abad ke 19, sebuah pergerakan teater besar yang dikenal dengan Romantik mulai berlangsung di Jerman. August Wilhelm Schlegel adalah seorang penulis Roman Jerman yang menganggap Shakespeare adalah salah satu dari pengarang naskah lakon terbesar dan menerjemahkan 17 dari naskah lakonnya. Penggemar besar Shakespeare lain adalah Ludwig Tiecky yang sangat berperan dalam memperkenalkan karya-karya Shakespeare kepada orang-orang Jerman. Salah satu lakon tragedinya adalah Kaiser Octaveous. Pengarang Jerman lainnya di awal abad ke 19 antara lain, Henrich von Kleist yang dikenal sebagai penulis lakon terbaik zaman itu, Christian Grabbe yang menulis Don Juan dan Faust, Franz Grillparzer yang dipandang sebagai penulis lakon serius pertama Austria, dan George Buchner yang menulis Danton’s Death dan Leoce & Lena.
Di Inggris, pergerakan Romantik dipicu oleh naskah lakon karya Samuel Taylor Coleridge, Henry James Byron, Percy Bysshe Shelley, dan John Keats. Dengan naskah lakon seperti, Remorse karya Coleridge, Marino Fanceiro karya Byron, dan The Cinci karya Shelley. Inggris menjadi berpengaruh kuat dalam mempopulerkan aliran Romantik. Di Perancis, Victor Hugo menulis Hernani (tahun 1830). The Moor of Venice adalah naskah lakon yang ditulis oleh Alfred de Vigny yang merupakan adaptasi Othello. Alexandre Dumas menulis lakon Henri III and His Court dan Christine . Alfred de Musset menulis lakon A Venician Night dan No Trifling With Love.


2.1.11 Teater Abad 19 dan Realisme
Banyak perubahan terjadi di Eropa pada abad ke 19 karena Revolusi Industri. Orang-orang berkelas pindah ke kota dan teater pun mulai berubah. Bentuk-bentuk baru teater diciptakan untuk pekerja industri seperti Vaudeville (aksi-aksi seperti rutinitas lagu dan tari), Berlesque (karya-karya drama yang membuat subyek nampak menggelikan), dan melodrama (melebih-lebihkan karakter dalam konflik – pahlawan versus penjahat). Sandiwara-sandiwara romantis dan kebangkitan klasik dimainkan di gedung teater yang megah pada masa itu. Amerika Serikat masih mengandalkan gaya teater dan lakon Eropa. Pada tahun 1820, lilin-lilin dan lampu-lampu minyak digantikan oleh lampu-lampu gas di gedung- gedung teater abad 19. Gedung Teater Savoy di London (1881) yang mementaskan drama- drama Shakespeare adalah gedung teater pertama yang panggungnya diterangi lampu listrik.
Pada abad 19 di Inggris sebuah drama kloset atau naskah lakon yang sepenuhnya tidak dapat dipentaskan bermunculan. Tercatat nama-nama penulis drama kloset seperti Wordswoth, Coleridge, Byron, Shelley, Swinburne, Browning, dan Tennyson. Baru pada akhir abad 19 teater di Inggris juga menunjukkan tanda-tanda kehidupan dengan munculnya Henry Arthur Jones, Sir Arthur Wing Pinero, dan Oscar Wilde. Juga terlihat kebangkitan pergerakan teater independen yang menjadi perintis pergerakan Teater Kecil yang nanti di abad ke 20 tersebar luas. Misalnya Theatre Libre Paris, Die Freie Buhne Berlin, independent Theater London dan Miss Horniman’s Theater Manchester di mana Ibsen, Strindberg, Bjornson, Yeats, Shaw, Hauptmann dan Synge mulai dikenal masyarakat.


Gb.15 Pementasan teater realisme

Selama akhir abad 19 di Jerman muncul dua penulis lakon kaliber internasional yaitu Hauptmann dan Sudermann. Seorang doktor Viennese, Arthur Schnitzler, menjadi dikenal luas di luar tempat asalnya Austria dengan naskah lakon yang ringan dan menyenangkan berjudul Anatol. Di Perancis, Brieux menjadi perintis teater realistis dan klinis. Belgia menghasilkan Maeterlinck. Di Paris, muncul lakon Cyrano de Bergerac, karya Edmond Rostand. Sementara itu di Italia Giacosa menulis lakon terbaiknya yang banyak dikenal, As the Leaves, dan mengarang syair-syair untuk opera, La Boheme, Tosca, dan Madame Butterfly. Verga menulis In the Porter’s Lodge, The Fox Hunt, dan Cavalleria Rusticana, yang juga lebih dikenal melalui opera Muscagni. Penulis lakon Italia abad 19 yang paling terkenal adalah Gabriel d’Annunzio, Luigi Pirandello, dan Sem Benelli dengan lakon berjudul Supper of Jokes yang dikenal di Inggris dan Amerika sebagai The Jest. Bennelli dengan lakon Love of the Three Kings-nya dikenal di luar Italia dalam bentuk opera. Di Spanyol Jose Echegaray menulis The World and His Wife, Jose Benavente dengan karyanya Passion Flower dan Bonds of Interest dipentaskan di Amerika, dan Sierra bersaudara dengan naskah lakon Cradle Song menjadi penghubung abad ke 19 dan 20, seperti halnya Shaw, Glasworthy, dan Barrie di Inggris, serta Lady Augusta Gregory dan W.B. Yeats di Irlandia.
Sampai abad 19 teater di Amerika dikuasai oleh Stock Company dengan sistem bintang. Sebuah rombongan drama lengkap dengan peralatannya serta bintang-bintangnya mengadakan perjalanan keliling. Dengan dibangunnya jaringan kereta api, Stock Company makin berkembang (1870). Akibatnya seni teater tersebar luas di seluruh Amerika. Maka muncullah teater-teater lokal. Stock company lenyap sekitar tahun 1900. Sindikat teater berkuasa di Amerika dari tahun 1896-1915. Realisme menguasai panggung-panggung teater Amerika pada Abad 19. Usaha melukiskan kehidupan nyata secara teliti dan detail ini dimulai dengan pementasan-pementasan naskah-naskah sejarah. Setting dan kostum diusahakan sepersis mungkin dengan zaman cerita. Charles Kenble dalam memproduksi King John tahun 1823 (naskah Shakespeare) mengusahakan ketepatan sampai hal-hal yang detail.
Zaman Realisme yang lahir pada penghujung abad 19 dapat dijadikan landas pacu lahirnya seni teater modern di Barat. Penanda yang kuat adalah timbulnya gagasan untuk mementaskan lakon kehidupan di atas pentas dan menyajikannya seolah peristiwa itu terjadi secara nyata. Gagasan ini melahirkan konvensi baru dan mengubah konvensi lama yang lebih menampilkan seni teater sebagai sebuah pertunjukan yang memang dikhususkan untuk penonton. Tidak ada lagi pamer keindahan bentuk akting dan puitika kata-kata dalam Realisme. Semua ditampilkan apa adanya seperti sebuah kenyataan kehidupan.
Diiringi dengan perkembangan teknologi yang dapat digunakan untuk mendukung artistik pentas, Realisme menjadi primadona di dunia barat. Seni teater yang menghadirkan penggal kenyataan hidup di atas pentas ini begitu membius penggemarnya. Para penonton dibuat terhanyut dan larut dalam cerita-cerita yang dimainkan. Pesona semacam ini membuat Realisme begitu berpengaruh dalam waktu yang cukup lama.

2.1.12 Teater Abad 20
Teater telah berubah selama berabad-abad. Gedung-gedung pertunjukan modern memiliki efek-efek khusus dan teknologi baru. Orang datang ke gedung pertunjukan tidak hanya untuk menyaksikan teater melainkan juga untuk menikmati musik, hiburan, pendidikan, dan mempelajari hal-hal baru. Rancangan-rancangan panggung termasuk pengaturan panggung arena, atau yang disebut saat ini, Teater di Tengah-Tengah Gedung. Dewasa ini, beberapa cara untuk mengekspresikan karakter-karakter berbeda dalam pertunjukan-pertunjukan (di samping nada suara) dapat melalui musik, dekorasi, tata cahaya, dan efek elektronik. Gaya-gaya pertunjukan realistis dan eksperimental ditemukan dalam teater Amerika saat ini.


Gb.16 Pementasan teater abad 20

Seiring dengan perkembangan waktu, kualitas pertunjukan realis oleh beberapa seniman dianggap semakin menurun dan membosankan. Hal ini mendorong para pemikir teater untuk menemukan satu bentuk ekspresi baru yang lepas dari konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artistik dibuka selebar-lebarnya untuk kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater. Dengan semangat melawan pesona realisme, para seniman mencari bentuk pertunjukannya sendiri. Pada awal abad 20 inilah istilah teater eksperimental berkembang. Banyak gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang pengarang, sutradara, aktor ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil dan mampu memberikan pengaruh seperti gaya simbolisme, surealisme, epik, dan absurd. Tetapi tidak jarang pula usaha mereka berhenti pada produksi pertama. Lepas dari hal itu, usaha pencarian kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman teater modern patut diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut mengantarkan pada keberagaman bentuk ekspresi dan makna keindahan.

2.2 Teater Indonesia
2.2.1 Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.

2.2.1.1 Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.


Gb.17 Pementasan wayang kulit

Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.


2.2.1.2 Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri. Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.


Gb.18 Pementasan wayang wong gaya Yogyakarta


2.2.1.3 Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.


Gb.19 Penari dalam pertunjukan makyong

2.2.1.4 Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
• Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
• Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.


Gb.20 Pementasan randai dari Sumatera Barat


2.2.1.5 Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.


2.2.1.6 Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa lampau. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang disebut topeng Betawi, lenong, topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.


Gb.21 Pementasan lenong Betawi

2.2.1.7 Longser
Longser merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.


Gb.22 Pementasan longser
Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah). Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan Longser, yaitu lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau doger.


2.2.1.8 Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di mana saja, seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.

2.2.1.9 Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggah-ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
• Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
• Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
• Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.


Gb.23 Pementasan ketoprak bergaya komedi


2.2.1.10 Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang di¬gunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.

Gb.24 Pentas ludruk dari Jawa Timur

2.2.1.11 Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.


Gb.25 Pemain gambuh sedang beraksi
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.

2.2.1.12 Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.


Gb.26 Para pemain arja

2.2.2 Teater Modern
2.2.2.1 Teater Transisi
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.
Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.

2.2.2.2 Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.

2.2.2.3 Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.
Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. cerita-cerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.

2.2.2.4 Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-karya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

2.2.2.5 Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.

Gb.27 Salah satu pementasan Studiklub Teater Bandung
Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).

Gb.28 Proses latihan Bengkel Teater Rendra

Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.

Gb.29 Pementasan Teater Koma pimpinan N. Riantiarno
2.2.2.6 Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.

Gb.30 Pementasan teater Gandrik

Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Re-publik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.

2.2.2.7 Teater Kontemporer Indonesia

Gb.31 Salah satu pementasan teater kontemporer
Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.

3. Unsur Pembentuk Teater
Dalam khasanah teater dewasa ini dapat disimpulkan unsur utama teater adalah naskah lakon, sutradara, pemain, dan penonton. Tanpa keempat unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa diwujudkan. Untuk mendukung unsur pokok tersebut diperlukan unsur tata artistik yang memberikan keindahan dan mempertegas makna lakon yang dipentaskan

3.1 Naskah Lakon
Salah satu ciri teater modern adalah digunakannya naskah lakon yang merupakan bentuk tertulis dari cerita drama yang baru akan menjadi karya teater setelah divisualisasikan kedalam pementasan. Naskah Lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa pentas. Dalam visualisasi tersebut karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu sutradara, pemain, dan tata artistik.
Naskah lakon sebagaimana karya sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu tema, plot, setting, dan tokoh. Akan tetapi, naskah lakon yang khusus dipersiapkan untuk dipentaskan mempunyai struktur lain yang spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh Aristoteles yang membagi menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks atau resolusi, dan konklusi (catastrope). Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik.

3.2 Sutradara
Di Indonesia penanggung jawab proses transformasi naskah lakon ke bentuk pemanggungan adalah sutradara yang merupakan pimpinan utama kerja kolektif sebuah teater. Baik buruknya pementasan teater sangat ditentukan oleh kerja sutradara, meskipun unsur–unsur lainnya juga berperan tetapi masih berada di bawah kewenangan sutradara.
Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung jawab terhadap kelangsungan proses terciptanya pementasan juga harus bertanggung jawab terhadap masyarakat atau penonton. Meskipun dalam tugasnya seorang sutradara dibantu oleh stafnya dalam menyelesaikan tugas–tugasnya tetapi sutradara tetap merupakan penanggung jawab utama. Untuk itu sutradara dituntut mempunyai pengetahuan yang luas agar mampu mengarahkan pemain untuk mencapai kreativitas maksimal dan dapat mengatasi kendala teknis yang timbul dalam proses penciptaan.
Sebagai seorang pemimpin, sutradara harus mempunyai pedoman yang pasti sehingga bisa mengatasi kesulitan yang timbul. Menurut Harymawan (1993) Ada beberapa tipe sutradara dalam menjalankan penyutradaraanya, yaitu:
• Sutradara konseptor. Ia menentukan pokok penafsiran dan menyarankan konsep penafsiranya kepada pemain. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi juga terikat kepada pokok penafsiran tsb.
• Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak seperti dirinya sendiri, tidak ada konsep penafsiran dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya, sementara pemain dibentuk menjadi robot – robot yang tetap buta tuli.
• Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri sebagai pengarah atau polisi lalulintas yang mengkoordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsirannya.
• Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai guru atau suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan dengan mengasuh batin para anggotanya.Teater disamakan dengan padepokan, sehingga pemain adalah cantrik yang harus setia kepada sutradara.

3.3 Pemain
Untuk mentransformasikan naskah di atas panggung dibutuhkan pemain yang mampu menghidupkan tokoh dalam naskah lakon menjadi sosok yang nyata. Pemain adalah alat untuk memeragakan tokoh. tetapi bukan sekedar alat yang harus tunduk kepada naskah. Pemain mempunyai wewenang membuat refleksi dari naskah melalui dirinya. Agar bisa merefleksikan tokoh menjadi sesuatu yang hidup, pemain dituntut menguasai aspek-aspek pemeranan yang dilatihkan secara khusus, yaitu jasmani (tubuh/fisik), rohani (jiwa/emosi), dan intelektual. Memindahkan naskah lakon ke dalam panggung melalui media pemain tidak sesederhana mengucapkan kata - kata yang ada dalam naskah lakon atau sekedar memperagakan keinginan penulis melainkan proses pemindahan mempunyai karekterisasi tersendiri, yaitu harus menghidupkan bahasa kata (tulis) menjadi bahasa pentas (lisan).

3.4 Penonton
Tujuan terakhir suatu pementasan lakon adalah penonton. Respon penonton atas lakon akan menjadi suatu respons melingkar, antara penonton dengan pementasan. Banyak sutradara yang kurang memperhatikan penonton dan menganggapnya sebagai kelompok konsumsi yang bisa menerima begitu saja apa yang disuguhkan sehingga jika terjadi suatu kegagalan dalam pementasan penonton dianggap sebagai penyebabnya karena mereka tidak mengerti atau kurang terdidik untuk memahami sebuah pementasan.
Kelompok penonton pada sebuah pementasan adalah suatu komposisi organisme kemanusiaan yang peka. Mereka pergi menonton karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan cita-cita. Alasan lainnya untuk tertawa, untuk menangis, dan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat ingin menonton. Penonton meninggalkan rumah, antri karcis dan membayar biaya masuk dan lain-lain karena teater adalah dunia ilusi dan imajinasi. Membebaskan pola rutin kehidupan selama waktu dibuka hingga ditutupnya tirai untuk memuaskan hasrat jiwa khayalannya.
Eksistensi teater tidak mengenal batas kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan menguasai sikap dan tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan dan kebutuhan berhubungan dengan sesama. Sehingga menempuh jalan sebagai berikut :
• Bertemu dengan orang lain yang menonton teater. Teater merupakan suatu lembaga sosial.
• Memproyeksikan diri dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas pentas secara khayali. Teater adalah salah satu cara proses interaksi sosial
Dalam memandang suatu karya seni penonton hendaklah mampu memelihara adanya suatu objektivitas artistik. Ini bisa tercapai dengan menentukan jarak estetik (aestetic distance) sehubungan dengan karya seni yang dihayatinya. Pemisahan yang dimaksud, antara penonton dan yang ditonton, pada seni teater diusahakan dengan jalan:
• Menciptakan penataan yang tepat atas auditorium dan pentas.
• Adanya batas artistik proscenium sebagai bingkai gambar.
• Pentas yang terang dan auditorium yang gelap.
Semua itu akan membantu kedudukan penonton sehingga memungkinkan untuk melakukan perenungan.


3.5 Tata Artistik
Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi tidak utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.
Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan pemeranan dan suasana panggung.
Tata cahaya atau lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.
Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan.
Tata suara adalah pengaturan keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni.
Tata rias dan tata busana adalah pengaturan rias dan busana yang dikenakan pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain bisa terlihat jelas penonton.

4 Jenis Teater
4.1 Teater Boneka
Pertunjukan boneka telah dilakukan sejak Zaman Kuno. Sisa peninggalannya ditemukan di makam-makam India Kuno, Mesir, dan Yunani. Boneka sering dipakai untuk menceritakan legenda atau kisah-kisah religius. Berbagai jenis boneka dimainkan dengan cara yang berbeda. Boneka tangan dipakai di tangan sementara boneka tongkat digerakkan dengan tongkat yang dipegang dari bawah. Marionette, atau boneka tali, digerakkan dengan cara menggerakkan kayu silang tempat tali boneka diikatkan.

Dalam pertunjukan wayang kulit, wayang dimainkan di belakang layar tipis dan sinar lampu menciptakan bayangan wayang di layar. Penonton wanita duduk di depan layar, menonton bayangan tersebut. Penonton pria duduk di belakang layar dan menonton wayang secara langsung.


Gb.32 Pementasan teater boneka di Jepang
Boneka Bunraku dari Jepang mampu melakukan banyak sekali gerakan sehingga diperlukan tiga dalang untuk menggerakkannya. Dalang berpakaian hitam dan duduk persis di depan penonton. Dalang utama mengendalikan kepala dan lengan kanan. Para pencerita bernyanyi dan melantunkan kisahnya.

4.2 Drama Musikal
Merupakan pertunjukan teater yang menggabungkan seni menyanyi, menari, dan akting. Drama musikal mengedepankan unsur musik, nyanyi, dan gerak daripada dialog para pemainnya. Di panggung Broadway jenis pertunjukan ini sangat terkenal dan biasa disebut dengan pertunjukan kabaret. Kemampuan aktor tidak hanya pada penghayatan karakter melalui baris kalimat yang diucapkan tetapi juga melalui lagu dan gerak tari. Disebut drama musikal karena memang latar belakangnya adalah karya musik yang bercerita seperti The Cats karya Andrew Lloyd Webber yang fenomenal. Dari karya musik bercerita tersebut kemudian dikombinasi dengan gerak tari, alunan lagu, dan tata pentas.

Gb.33 Pementasan drama musikal

Selain kabaret, opera dapat digolongkan dalam drama musikal. Dalam opera dialog para tokoh dinyanyikan dengan iringan musik orkestra dan lagu yang dinyanyikan disebut seriosa. Di sinilah letak perbedaan dasar antara Kabaret dan opera. Dalam drama musikal kabaret, jenis musik dan lagu bisa saja bebas tetapi dalam opera biasanya adalah musik simponi (orkestra) dan seriosa. Tokoh-tokoh utama opera menyanyi untuk menceritakan kisah dan perasaan mereka kepada penonton. Biasanya juga berupa paduan suara. Opera bermula di Italia pada awal tahun 1600-an. Opera dipentaskan di gedung opera. Di dalam gedung opera, para musisi duduk di area yang disebut orchestra pit di bawah dan di depan panggung.

4.3 Teater Gerak
Teater gerak merupakan pertunjukan teater yang unsur utamanya adalah gerak dan ekspresi wajah serta tubuh pemainnya. Penggunaan dialog sangat dibatasi atau bahkan dihilangkan seperti dalam pertunjukan pantomim klasik. Teater gerak, tidak dapat diketahui dengan pasti kelahirannya tetapi ekspresi bebas seniman teater terutama dalam hal gerak menemui puncaknya dalam masa commedia del’Arte di Italia. Dalam masa ini pemain teater dapat bebas bergerak sesuka hati (untuk karakter tertentu) bahkan lepas dari karakter tokoh dasarnya untuk memancing perhatian penonton. Dari kebebasan ekspresi gerak inilah gagasan mementaskan pertunjukan dengan berbasis gerak secara mandiri muncul.

Gb.34 Pertunjukan teater gerak

Teater gerak yang paling populer dan bertahan sampai saat ini adalah pantomim. Sebagai pertunjukan yang sunyi (karena tidak menggunakan suara), pantomim mencoba mengungkapkan ekspresinya melalui tingkah polah gerak dan mimik para pemainnya. Makna pesan sebuah lakon yang hendak disampaikan semua ditampilkan dalam bentuk gerak. Tokoh pantomim yang terkenal adalah Etienne Decroux dan Marcel Marceau, keduanya dari Perancis.

4.4 Teater Dramatik
Istilah dramatik digunakan untuk menyebut pertunjukan teater yang berdasar pada dramatika lakon yang dipentaskan. Dalam teater dramatik, perubahan karakter secara psikologis sangat diperhatikan dan situasi cerita serta latar belakang kejadian dibuat sedetil mungkin. Rangkaian cerita dalam teater dramatik mengikuti alur plot dengan ketat. Mencoba menarik minat dan rasa penonton terhadap situasi cerita yang disajikan. Menonjolkan laku aksi pemain dan melengkapinya dengan sensasi sehingga penonton tergugah. Satu peristiwa berkaitan dengan peristiwa lain hingga membentuk keseluruhan lakon. Karakter yang disajikan di atas pentas adalah karakter manusia yang sudah jadi, dalam artian tidak ada lagi proses perkembangan karakter tokoh secara improvisatoris (Richard Fredman, Ian Reade: 1996). Dengan segala konvensi yang ada di dalamnya, teater dramatik mencoba menyajikan cerita seperti halnya kejadian nyata.

Gb.35 Gaya pementasan teater dramatik

4.5 Teatrikalisasi Puisi
Pertunjukan teater yang dibuat berdasarkan karya sastra puisi. Karya puisi yang biasanya hanya dibacakan dicoba untuk diperankan di atas pentas. Karena bahan dasarnya adalah puisi maka teatrikalisasi puisi lebih mengedepankan estetika puitik di atas pentas. Gaya akting para pemain biasanya teatrikal. Tata panggung dan blocking dirancang sedemikian rupa untuk menegaskan makna puisi yang dimaksud. Teatrikalisasi puisi memberikan wilayah kreatif bagi sang seniman karena mencoba menerjemahkan makna puisi ke dalam tampilan laku aksi dan tata artistik di atas pentas.

5 Gaya Pementasan
Gaya dapat didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan yang merupakan wujud ekspresi dari:
• Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas
• Konvensi atau aturan-aturan pementasan yang berlaku pada masa lakon ditulis.
• Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang dipilih untuk menegaskan makna tertentu.
Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar dibagi ke dalam tiga gaya besar, yaitu presentasional, representasional (realisme), dan post-realistic (Mar Mc Tigue, 1992).

5.1 Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah.
• Teater Klasik Yunani dan Romawi
• Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
• Teater abad pertengahan
• Commedia dell’arte, teater abad 18


Gb. 36 Gaya pementasan teater presentasional

Unsur-unsur gaya presentasional adalah sebagai berikut.
• Para pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yang ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
• Gerak para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside), dan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
• Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara.
Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya presentasional, di antaranya adalah.
• Romeo and Juliet, Piramus dan Thisbi, Raja Lear, Machbeth (William Shakespeare)
• Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan (Moliere)
• Oidipus (Sopokles)
• Epos dan Roman Sejarah yang biasa dipentaskan dalam teater tradisonal Indonesia

5.2 Representasional (realisme)
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dan tata panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang disebut representasional atau biasa disebut realisme. Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.
Gaya realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya. Unsur-unsur gaya representasional adalah sebagai berikut.
• Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan.
• Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain.
• Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi.
• Menggunakan bahasa sehari-hari.


Gb.37 Gaya pementasan teater representasional

Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya representasional, di antaranya adalah:
• Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang, Pinangan (Anton Chekov)
• Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat (Henrik Ibsen)
• Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, Penggali Kapur (Kirdjomuljo)
• Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
• Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje)
Dalam perkembangannya gaya representasional atau realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yang masih berada dalam ruang lingkupnya yaitu; naturalisme, realisme selektif, dan realisme sugestif (Mary McTigue, 1992).
Naturalisme merupakan sub gaya realisme yang paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yang benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap detil dan struktur tata panggung harus benar-benar mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret kehidupan sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga percaya bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dan keturunan. Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan. Panggung harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yang mereka ambil dari kehidupan nyata.
Tokoh naturalisme yang sangat penting ialah Emile Zola. Ia berkata bahwa “Bukan drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”. Sebagai gerakan teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya realisme yang semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi terutama kelistrikan yang dapat digunakan untuk menunjang teknik pemanggungan.
Realisme selektif, merupakan cabang gaya realisme yang memilih atau menyeleksi detil tertentu dan digabungkan dengan unsur-unsur simbolik dalam menyajikan keseluruhan tata ruang yang ada di atas pentas. Misalnya, dinding, pintu, dan jendela dibuat seperti aslinya, tetapi atap rumah hanya dtampilkan dalam bentuk kerangka. Sedangkan dalam realisme sugestif menggunakan bagian-bagian dari bangunan atau ruang yang dipilih dan ditampilkan secara mendetil untuk memberikan gambaran sugestif bentuk keseluruhannya. Misalnya, satu tiang ditampilkan untuk memberikan gambaran ruang istana dengan bantuan tata lampu yang mendukung, selebihnya adalah imajinasi.

5.3 Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (presentasional dan representasional) dan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya realisme yang telah menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga pada masa tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya teater eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater yang hadir dengan gaya realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja lahir dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yang dapat digolongkan dalam post-realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama. Unsur-unsur gaya post-realistic di antaranya, adalah.
• Mengkombinasikan antara unsur presentasional dan repre-sentasional.
• Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton.
• Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberapa idiom baru atau dengan bahasa slank.





Beberapa gaya post-realistic yang berpengaruh adalah:
• Simbolisme, sebuah gaya yang menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon atau ekspresi dan emosi tertentu. Meskipun pada awalnya gaya ini muncul tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan berarti pada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai teater multi media.

Gb.38 Simbolisme

• Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dan menyadarkan mereka bahwa yang mereka tonton adalah pertunjukan teater dan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi yang berganti-ganti di hadapan penonton.

• Surealisme, sebuah gaya yang mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain atau dunia mimpi yang terkadang muskil, tetapi hampir bisa dirasakan dan pernah dialami oleh semua orang.


Gb.39 Pentas teater surealis

• Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis Van Gogh dan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk teater. Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru muncul tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914 dengan dramanya “Sang Anak”. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dan dalam masa yang lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika yang terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme adalah Elmer Rice, Eugene O’neill, Marc Connelly, dan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata panggung dan elemen visual yang lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik dramatik dan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar ekspresionisme dalam teater abad 20.


Gb.40 Gaya pementasan teater epik

• Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya realisme, empati, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernyataan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan terkadang melalui kontak langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “teater observasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.

• Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon yang seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yang lain, antara percakapan satu dengan yang lain. Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama. Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “eksistensi” atau “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari? Pencarian makna “ada” ini berpusat pada diri pribadi sang manusia dan keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yang terkemuka adalah Jean Paul Sartre (1905) dan Albert Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan Camus lebih banyak menekankan bentuk absurditas dunia itu sendiri. Objek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah Samuel Beckett, Jean Genet, Harold Pinter, Edward Albee, dan Eugene Ionesco.


Gb.41 Pementasan teateBAB II
LAKON

Teater memiliki sekurang-kurangnya empat unsur penting dalam setiap pementasan, yaitu pertama, lakon atau cerita yang ditampilkan, bisa berwujud sebuah naskah atau skenario tertulis, skenario tak tertulis (dalam teater kerakyatan). Kedua, pemain adalah orang yang membawakan lakon tersebut. Ketiga, sutradara sebagai penata pertunjukan di panggung. Keempat, penonton adalah sekelompok orang yang menyerahkan sebagian dari kemerdekaannya untuk menjadi bagian dari tokoh yang tampil dalam suatu lakon dan menikmatinya.
Lakon ditulis oleh seorang penulis naskah lakon berdasarkan apa yang dilihat, apa yang dialami, dan apa yang dibaca atau diceritakan kepadanya oleh orang lain. Penulis kemudian menyusun rangkaian kejadian, semakin lama semakin rumit, sehingga pada puncaknya masuk ke dalam penyelesaian cerita. Penting sekali bahwa dalam menyusun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa seorang penulis haruslah bersabar untuk melangkah dari satu kejadian ke kejadian lain dalam suatu perkembangan yang logis, tetapi semakin lama semakin gawat sehingga akhirnya ia sampai ke puncak yang disebut klimaks.
Dalam lakon akan dijumpai dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kejadian atau peristiwa yang saling mengkait. Kedua, tokoh atau peran yang terlibat dalam kejadian-kejadian dalam lakon. Peristiwa atau kejadian dibuat oleh penulis naskah sebagai kerangka besar yang mendasari terjadinya suatu lakon. Peristiwa dalam lakon bisa rumit bisa juga sederhana. Tidak ada acuan yang pasti terhadap peristiwa atau kejadian dalam lakon yang bisa dianggap menarik. Jadi, kalau ada anggapan bahwa semakin rumit peristiwa atau kejadian dalam lakon semakin menarik adalah anggapan yang salah, karena peristiwa membutuhkan tokoh sebagai pelaku. Tokoh adalah orang yang menghidupkan kejadian atau peristiwa yang dibuat oleh penulis naskah. Jadi dalam lakon ada dua hal penting yang diciptakan oleh seorang penulis lakon, yaitu kejadian dan tokoh yang terlibat dalam kejadian.
Penulis lakon dalam menciptakan kejadian yang bertolak dari suatu cerita mungkin tidak akan mengalami kesulitan. Akan tetapi, mencipta seorang tokoh yang logis dengan latar belakang masa lampau, hari ini, cita-cita, dan pandangannya bukan suatu hal yang gampang. Seorang tokoh yang tidak masuk akal biasanya tidak akan dimengerti atau dirasakan oleh penonton karena tokoh itu terlalu jauh dari realitas kehidupan. Seorang penulis dapat menciptakan tokoh dengan menggunakan kaidah Aristoteles, bahwa realitas adalah prinsip kreatif. Maka menciptakan kembali prinsip kreatif yang lebih sempurna dari yang ada atau dengan kata lain menciptakan manusia sebagaimana seharusnya bukan sebagaimana adanya adalah suatu kreativitas yang tidak menyimpang dari realitas itu sendiri. Hal ini biasanya digunakan oleh penulis lakon dalam mencipta tokoh-tokoh yang karikatural, yang aneh tetapi masuk akal.
Naskah lakon atau biasa disebut skenario adalah hal pertama yang berperan sebelum sampai ke tangan sutradara dan para pemeran. Naskah lakon merupakan penuangan ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan lakon. Seorang penulis lakon dalam proses berkarya biasanya bertolak dari sebuah tema. Tema itu kemudian disusun dan dikembangkan menjadi sebuah cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa yang memiliki alur yang jelas dan tokoh-tokoh yang berkarakter. Meskipun sebuah naskah lakon bisa ditulis sekehendak penulis, tetapi harus memperhitungkan atau berpegang pada asas kesatuan (unity).
Aristoteles (384-322 SM) menggariskan tiga asas kesatuan dalam teater, yaitu asas kesatuan waktu, tempat, dan lakon. Seni teater adalah seni ephemeral artinya pertunjukan bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Karena peristiwa-peristiwa yang ditampilkan di atas pentas menggambarkan kejadian-kejadian yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan selesai dalam waktu yang singkat maka harus jelas karakteristiknya, bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.


1. Tema
Tema ada yang menyebutnya sebagai premis, root idea, thought, aim, central idea, goal, driving force dan sebagainya. Seorang penulis terkadang mengemukakan tema dengan jelas tetapi ada juga yang secara tersirat. Akan tetapi, tema harus dirumuskan dengan jelas, karena tema merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh seorang penulis lakon. Ketika tema tidak terumuskan dengan jelas maka lakon tersebut akan kabur dan tidak jelas apa yang hendak disampaikan.
Pengarang atau penulis lakon menciptakan sebuah lakon bukan hanya sekedar mencipta, tetapi juga menyampaikan suatu pesan tentang persoalan kehidupan manusia. Pesan itu bisa mengenai kehidupan lahiriah maupun batiniah. Keunggulan dari seorang pengarang ialah, dia mempunyai kepekaan terhadap lingkungan sekelilingnya, dan dari lingkungan tersebut dia menyerap segala persoalan yang menjadi ide-ide dalam penulisan lakonnya. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting serta mengikuti isu-isu zamannya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989). Ide-ide, pesan atau pandangan terhadap persoalan yang ada dijadikan ide sentral atau tema dalam menulis naskah lakonnya.
Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh pengarang atau penulis melalui karangannya (Gorys Keraf, 1994). Tema bisa juga disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan, ini mungkin bisa diuraikan sebagai keseluruhan pernyataan dalam sebuah permainan: topik, ide utama atau pesan, mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983). Adhy Asmara (1983) menyebut tema sebagai premis yaitu rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam menentukan arah tujuan cerita. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa tema adalah ide dasar, gagasan atau pesan yang ada dalam naskah lakon dan ini menentukan arah jalannya cerita.
Tema dalam naskah lakon ada yang secara jelas dikemukakan dan ada yang samar-samar atau tersirat. Tema sebuah lakon bisa tunggal dan bisa juga lebih dari satu. Tema dapat diketahui dengan dua cara :
• Apa yang diucapkan tokoh-tokohnya melalui dialog-dialog yang disampaikan.
• Apa yang dilakukan tokoh-tokohnya.
Dengan berpedoman dua hal tersebut analisis tema lakon dapat dikerjakan. Misalnya, lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo.
Dialog yang disampaikan tokoh dapat dijadikan acuan untuk menganalisis tema lakon. Masing-masing tokoh mengucapkan kalimat dialognya. Dari dialog tersebut dapat diketahui perihal atau soalan yang dibahas. Dengan merangkai setiap persoalan melalui dialog para tokohnya maka gambaran tema akan didapatkan. Detil tema selalu dapat ditemukan dari baris-baris kalimat dialog tokoh cerita. Semua analisis lakon dikerjakan dengan mencermati kalimat dialog tersebut serta hubungan antara kalimat satu dengan yang lain. Jika hanya membaca cerita secara keseluruhan tanpa meninjau kalimat dialog dengan teliti maka hasil akhir dari analisis yang dilakukan belum tentu benar. Kadang-kadang, dialog kecil memiliki arti yang luas dan sanggup mempengaruhi tema cerita. Misalnya, dalam kalimat dialog Raja Lear dapat ditarik satu simpulan bahwa meskipun sebagai raja ia disegani oleh anak-anaknya, tetapi karena sikapnya yang keras maka ia juga dibenci. Perhatikan kutipan dialog di bawah ini.

LEAR : ………….. kendalikan lidahmu sedikit; nanti kuhambat untungmu….

LEAR : ………………. Sekarang kulempar tiap kewajiban orang tua, tiap pertalian keluarga dan darah; mulai kini sampai selamanya kaulah asing bagiku dan bagi hatiku………………….

KENT : Silakan. Bunuhlah tabib tuan, supaya hama jahat berupah. Batalkan anugerah tuan; kalau tidak, rangkung saya berteriak meyerukan tuanlah lalim………

RAJA PERANCIS : Cordelia jelita, ternyata paling kaya meski miskin; terpillih meski, meski dibuang; tercinta meski dihina................

CORDELIA : Andaikan bukan seorang ayah, namun uban ini sudah menuntut belas-kasih. Ah wajah benginikah dipaksa menempuh pergolakan badai? Dan melawan guntur bercakra garang, petir dahsyat yang pesat,, cepat menyambar-nyabar? Bagai prajurit yang terbuang, berjaga dengan topi tipis ini? Anjing musuhku pun, walau menggigit aku, di malam begitu takkan kuusir untuk dari tempat berdiang……………….

Melalui laku atau aksi tokoh dalam lakon yang biasanya diterangkan (dituliskan) dalam arahan lakon gambaran tema semakin jelas. Laku aksi memberikan penegasan kalimat dialog. Dalam lakon Raja Lear, laku tokoh dapat memberikan penjelasan sebagai berikut.
• Raja Lear membagi kerajaan pada ketiga anaknya sesuai dengan pujian yang disampaikan anaknya.
• Raja Lear murka pada Cordelia karena tidak memujinya.
• Raja Lear marah-marah ketika tidak dilayani hidupnya pada anak yang semula disayangi.
• Raja Lear marah-marah dan mengusir bawahannya ketika ada yang menentang.
• Anak-anak Raja Lear yang disayangi berubah memusuhi orang tuanya sehingga Raja Lear sakit.
Dari kutipan dialog dan laku serta perbuatan tokoh dalam lakon Raja Lear di atas bisa ditarik sebuah kejelasan bahwa Raja Lear adalah orang yang gila hormat, tidak bijaksana, lalim, dan harus dipuji. Atas sikapnya itu Raja Lear menuai hasil, yaitu kehancuran diri dan keluarganya.

2. Plot
Plot (ada yang menyebutnya sebagai alur) dalam pertunjukan teater mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini berhubungan dengan pola pengadeganan dalam permainan teater, dan merupakan dasar struktur irama keseluruhan permainan. Plot dapat dibagi berdasarkan babak dan adegan atau berlangsung terus tanpa pembagian. Plot merupakan jalannya peristiwa dalam lakon yang terus bergulir hinga lakon tersebut selesai. Jadi plot merupakan susunan peristiwa lakon yang terjadi di atas panggung.
Plot menurut Panuti Sudjiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra (1984) memberi batasan adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk naskah drama atau lakon) untuk mencapai efek-efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui perumitan (penggawatan atau komplikasi) ke arah klimaks penyelesaian. Menurut J.A. Cuddon dalam Dictionary of Literaray Terms (1977), plot atau alur adalah kontruksi atau bagan atau skema atau pola dari peristiwa-peristiwa dalam lakon, puisi atau prosa dan selanjutnya bentuk peristiwa dan perwatakan itu menyebabkan pembaca atau penonton tegang dan ingin tahu. Plot atau alur menurut Hubert C. Heffner, Samuel Selden dan Hunton D. Sellman dalam Modern Theatre Practice (1963), ialah seluruh persiapan dalam permainan. Jadi plot berfungsi sebagi pengatur seluruh bagian permainan, pengawas utama dimana seorang penulis naskah dapat menentukan bagaimana cara mengatur lima bagian yang lain, yaitu karakter, tema, diksi, musik, dan spektakel. Plot juga berfungsi sebagai bagian dasar yang membangun dalam sebuah teater dan keseluruhan perintah dari seluruh laku maupun semua bagian dari kenyataan teater serta bagian paling penting dan bagian yang utama dalam drama atau teater.
Pembagian plot dalam lakon klasik atau konvensional biasanya sudah jelas yaitu, bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Seorang penulis seringkali meletakkan berbagai informasi penting pada bagian awal lakon, misalnya tempat lakon tersebut terjadi, waktu kejadiannya, pelaku-pelakunya, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Pada bagian tengah biasanya berisi tentang kejadian-kejadian yang bersangkut paut dengan masalah pokok yang telah disodorkan kepada penonton dan membutuhkan jawaban. Bagian akhir berisi tentang satu persatu pertanyaan penonton terjawab atau sebuah lakon telah mencapai klimaks besar.
Pembagian plot terkadang menggunakan tipe sebab akibat yang dibagi dalam lima pembagian. Bagian-bagian itu antara lain.
• Eksposisi adalah saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan atau memberi informasi pada penonton tentang masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam diri karakter-karakter yang ada di lakon.
• Aksi Pendorong adalah saat memperkenalkan sumber konflik di antara karakter-karakter atau di dalam diri seorang karakter.
• Krisis adalah penjelasan yang terperinci dari perjuangan karakter-karakter atau satu karakter untuk mengatasi konflik.
• Klimaks adalah proses identifikasi atau proses pengusiran dari rasa tertekan melalui perbuatan yang mungkin saja sifatnya jahat, atau argumentative atau kejenakaan atau melalui cara-cara lain.
• Resolusi adalah proses penempatan kembali kepada suasana baru. Bagian ini merupakan kejadian akhir dari lakon dan terkadang memberikan jawaban atas segala persoalan dan konflik-konflik yang terjadi.

Contoh : Plot dari lakon Raja Lear karangan William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah sebagai berikut.

• Raja Lear hendak membagi kerajaan menjadi tiga bagian dengan syarat anak-anaknya harus mengungkapkan rasa cintanya. Anaknya yang ketiga yaitu Cordelia tidak mengungkapkan rasa cintanya tetapi jujur akhirnya tidak mendapatkan bagian dan dipersunting oleh raja Perancis.
• Raja Lear tidak diterima oleh anak-anaknya dan murka serta pergi ke luar kerajaan mengembara ditemani oleh badut. Sementara dalam kerajaan mulai ada intrik antara adipati-adipati dan kemungkinan terjadi perang.
• Raja Lear yang terusir dari kerajaan sampai di padang tandus dan murka mengutuk anak-anaknya yang semula sangat disayangi dan mendapat bagian kerajaan. Raja Lear sangat terguncang batinnya dan mulai gila.
• Raja Lear semakin gila dan nasibnya sangat menyedihkan. Sementara adipati-adipati sudah mulai peperangan. Anak-anaknya sudah saling membunuh dan Raja Lear menjadi tawanan menantunya sendiri.
• Raja Lear sudah tidak bisa menahan kesedihannya karena melihat ketiga anaknya mati, dan akhirnya ikut meninggal juga. Semua intrik mulai terbongkar dan selesai

Plot dari lakon Hamlet karya William Shakespeare adalah sebagai berikut.

• Hamlet menuruti semua perintah Jisim dan bersumpah akan menuruti kehendak Jisim yang merupakan banyangan roh bapaknya.
• Kemudian Hamlet berhasil mengelabuhi Claudius dengan menggunakan Polonius, Rosen Crantz, Guildernstern bahkan Opelia pacarnya untuk memata-matai niatnya yang sebenarnya, dia menggunakan pertunjukan teater sebagai tempat pengakuan Raja.
• Pementasan dalam pertunjukan itu memang berhasil mengungkap pengakuan Raja sehingga Hamlet mendapat kesempatan untuk membunuhnya pada saat Raja sedang berdoa tetapi Hamlet tidak mau melaksanakannya.
• Hamlet menemukan tempat yang tepat untuk membunuh Raja yaitu, dibalik tirai dikamar ibunya. Hamlet tidak sadar bahwa sang Raja sedang berdoa ditempat lain sehingga yang terbunuh dikamar ibunya adalah Polonius.
• Karena membunuh Polonius, Hamlet dianggap gila dan dibuang ke Inggris.
• Setelah pulang dari Inggris Hamlet berduel dengan Laertes dan terakhir membunuh Claudius.
• Di akhir cerita, semua tokoh yang ada dalam lakon mati.



2.1 Jenis Plot
Ketika kita menonton atau melihat atau membaca sebuah lakon fiksi maka emosi kita akan terpengaruh dengan apa yang kita tonton, lihat, atau baca tersebut. Emosi ini timbul karena terpengaruh oleh jalinan peristiwa-peristiwa dan jalannya cerita yang ditulis oleh penulis. Jalinan peristiwa dan jalannya cerita inilah yang dimaksud dengan plot. Plot lakon banyak sekali ragamnya tergantung dari penulis lakon mempermainkan emosi kita. Secara sederhana plot dapat dibagi menjadi dua yaitu simple plot (plot yang sederhana) dan multi plot (plot yang lebih dari satu)

2.1.1 Simple Plot
Simple plot atau plot lakon yang sederhana adalah lakon yang memiliki satu alur cerita dan satu konflik yang bergerak dari awal sampai akhir. Simple plot ini terdiri dari plot linear dan linear-circular. Plot linear adalah alur cerita mulai dari awal sampai akhir cerita bergerak lurus sedangkan linear-circular adalah alur cerita mulai dari awal sampai akhir bergerak lurus secara melingkar sehingga awal dan akhir cerita akan bertemu dalam satu titik. Alur linear ini masih bisa dibagi-bagi lagi sesuai dengan sifat emosi yang terkandung dari plot linear ini, terdiri dari alur menanjak atau rising plot, alur menurun atau falling plot, alur maju atau progressive plot, alur mundur atau regressive plot, alur lurus atau straight plot, dan alur melingkar atau circular plot.
Alur menanjak atau rising plot adalah alur dengan emosi lakon mulai dari tingkat emosi yang paling rendah menuju tingkat emosi lakon yang paling tinggi. Alur ini adalah alur cerita paling umum pada alur lakon. Alur menurun atau falling plot adalah alur dengan emosi lakon mulai dari tingkat emosi yang paling tinggi menuju tingkat emosi lakon yang paling rendah. Alur ini merupakan kebalikan dari alur menanjak atau rising plot. Alur maju atau progresive plot adalah alur cerita yang dimulai dari pemaparan peristiwa lakon sampai menuju inti peristiwa lakon. Jalinan jalan cerita dalam lakon bergerak mulai dari awal sampai akhir tanpa ada kilas balik. Alur mundur atau regresive plot adalah alur cerita yang dimulai dari inti cerita kemudian dipaparkan bagaimana sampai terjadi peristiwa tersebut. Alur ini merupakan kebalikan dari progressive plot. Contoh lakon dengan alur mundur adalah Opera Primadona karya Nano Riantiarno yang dimainkan oleh Teater Koma. Alur lurus atau straight plot hampir sama dengan alur maju.


2.1.2 Multi Plot
Multi plot adalah lakon yang memiliki satu alur utama dengan beberapa sub plot yang saling bersambungan. Multi plot ini terdiri dari dua tipe yaitu alur episode atau episodic plot dan alur terpusat atau concentric plot. Alur episode atau episodic plot adalah plot cerita yang terdiri dari bagian perbagian secara mandiri, di mana setiap episode memiliki alur cerita sendiri. Setiap episode dalam lakon tersebut sebenarnya tidak ada hubungan sebab akibat dalam rangkaian cerita, tema, tokoh. Tetapi pada akhir cerita alur cerita yang terdiri dari episode-episode ini akan bertemu. Contoh lakon dengan alur episode atau episodic plot adalah lakon Panembahan Reso karya W.S. Rendra, Raja Lear karya William Shakespeare dan lain-lain.
Concentric plot adalah cerita lakon yang memiliki beberapa plot yang berdiri sendiri, dimana pada akhir cerita semua tokoh yang terlibat dalam cerita yang terpisah tadi akhirnya menyatu guna menyelesaikan cerita. Plot-plot yang ada dalam cerita tersebut memiliki permasalah yang harus diselesaikan.

2.2 Anatomi Plot
Menurut Rikrik El Saptaria (2006), plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Plot disusun oleh pengarang dengan tujuan untuk mengungkapkan buah pikirannya yang secara khas. Pengungkapan ini lewat jalinan peristiwa yang baik sehingga menciptakan dan mampu menggerakkan alur cerita itu sendiri. Dengan demikian plot memiliki anatomi atau bagian-bagian yang menyusun plot tersebut yang disebut dengan anatomi plot, yakni:

2.2.1 Gimmick
Gimmick adalah adegan awal dari sebuah lakon yang berfungsi sebagai pemikat minat penonton untuk menyaksikan kelanjutan dari lakon tersebut. Sesuai dengan fungsinya, gimmick biasanya berisi teka-teki agar penonton penasaran dan menimbulkan rasa ingin tahu kelanjutan dari adegan tersebut. Maka dari itu gimmick biasanya dikemas semenarik mungkin. Adegan yang terdapat dalam gimmick merupakan benang merah dari keseluruhan lakon.
Misalnya, gimmick yang terdapat pada lakon Raja Lear karya Willliam Shakespeare terjemahan Trisno sumardjo. Adegan yang disajikan dalam kutipan di bawah ini merupakan awal dari peristiwa-peristiwa dalam lakon Raja Lear. Bagaimana nantinya Raja Lear membagi kerajaannya sampai dia terusir dan menderita. Bagaimana nantinya Edmund memfitnah kakaknya (putra Gloucester yang sah) sendiri sampai Edgar menjadi buronan. Jika adegan ini dikemas dengan menarik maka penonton akan penasaran untuk mengetahui bagaimana kelanjutan dari teka-teki ini.





Sebuah balairung di istana Raja Lear.
Masuk Kent, Gloouscester dan Edmund

KENT : Kusangka baginda lebih menyayangi Adipati Albany daripada Adipati Cornwall

GLOUCESTER : Kami selalu beranggapan begitu; tapi kini pada pembagian kerajaan, tak kentara tumenggung yang mana paling diihargai baginda; sebab semuannya adil benar timbangannya, hingga dengan secermat-cermatnya pun kedua pihak tak sanggup memilih bagian masing-masing.

KENT : Ini putra tuan, bukan?

GLOUCESTER : Asuhannya menjadi tanggunganku. Sering aku malu mengakui dia, namun kini menjadi biasa.

KENT : Saya tak mengerti

GLOUCESTER : Ibu si anak lebih mengerti tuan dan itu menyebabkan dia berbadan dua. Ia mempunyai anak untuk ayunannya, sebelum punya suami untuk ranjangnya. Tuan bisa mencium kesalahannya?

KENT : Tak kuharap kesalahan itu batal, sebab kulihat buahnya baik

GLOUCESTER : Aku juga punya anak lelaki yang sah, tuan, kira-kira setahun lebih tua dari ini, tapi tak lebih kuhargai......


2.2.2 Fore Shadowing
Fore shadowing adalah bayang-bayang yang mendahului sebuah peristiwa yang sesungguhnya itu terjadi. Bisa berupa ucapan atau ramalan seorang tokoh tentang nasib yang akan diderita oleh tokoh lain.
Misalnya, fore shadowing yang terdapat pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah sebagai berikut.

EDMUND : “ Itulah kegilaan paling hebat di dunia ini: bila kita merana dalam kebahagian – sering karena mual pada perbuatan sendiri – yang kita salahkan atas bencana kita ialah matahari, bulan bintang; seolah kita jadi penjahat karena kodrat, gila karena paksaan falak; menjadi durjana, mencuri dan berkhianat karena suasana alam; mabuk, dusta dan berjinah karena terpaksa tunduk pada pengaruh suatu planet; dan segala kejahatan kita karena paksaan dewata ……………

Dalam penggalan naskah lakon di atas diperlihatkan bagaimana tokoh Edmund yang menjelasakan tentang persitiwa yang sedang terjadi dan di alami. Peristiwa yang baginya tidak baik dan menentang kebajikan ini menghasilkan satu ramalan akan akibat-akibat yang bakal terjadi ke depan. Satu peristiwa yang menjadi sebab dan memunculkan sebuah akibat di kemudian hari telah dibicarakan sebelumnya oleh Edmund. kutipan di bawah memberikan penjelasan tersebut.

EDMUND : Percayalah, akibat-akibat yang disebut itu malang sekali telah terjadi benar-benar; misalnya kejadian tak fitri antara anak dan orangtuanya, persahabatan lama yang putus, sengketa dalam Negara, ancaman dan hasutan terhadap para raja dan bangsawan, kecurigaan yang tidak beralasan, pembuangan kawan-kawan, tentara kucar-kacir, perkawinan retak dan entah apa lagi.

Dalam perjalanan lakon, ramalan dan pikiran yang diucapkan oleh Edmund ini benar-benar terjadi.


2.2.3 Dramatic Irony
Dramatic irony adalah aksi seorang tokoh yang berkata atau bertindak sesuatu, dan tanpa disadari akan menimpa dirinya sendiri. Dalam lakon banyak dijumpai tokoh-tokoh ini, dan biasanya tidak disadari oleh tokoh tersebut. Misalnya, lakon Oidipus karya Sophocles dimana Oidipus mencari penyebab bencana yang melanda kerajaannya. Oidipus memerintahkan untuk menangkap penyebab bencana tersebut dan harus diusir dari kerajaannya. Padahal yang menjadi penyebab tersebut adalah dirinya sendiri yang membunuh bapaknya dan mengawini ibunya sendiri. Ucapannya tersebut harus dibuktikan yaitu dengan mengusir dirinya sendiri dari kerajaan.

Contoh dramatic irony yang ada pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah sebagai berikut.

EDGAR : Agaknya ada penjahat memfitnah aku.

EDMUND : Itulah kukhawatirkan. Jangan lupa, jauhidia senantiasa. Sampai amarahnya berkurang nyalanya; datanglah ke kamarku,akan kuatur hingga dapat kaudengar apa yang dikatakan ayah kita. Pergilah, ini kunciku. – Dan bila keluar, bawalah senjata.

EDGAR : Senjata?

EDMUND : Nasihatku ini untuk kebaikan kanda; aku boleh disebut penjahat, kalau tak ada niat orang menjatuhkan engkau. Kusampaikan padamu apa yang kulihat dan kudengar; itupun samar-samar, belum kugambarkan kekejiannya. Pergilah kini

Dalam dialog di atas sebenarnya yang memfitnah dan ingin mencelakakan Edgar adalah Edmund sendiri, tetapi dengan tipu daya yang memikat rancangan ini seolah-olah sebuah nasehat. Dramatic irony ini berfungsi untuk mengaduk-aduk emosi penonton dan seolah-olah membodohkan tokoh yang menjadi korban dramatic irony. Dalam dramatik ironi sebenarnya penonton sudah mengetahuinya, tetapi bagaimana cara yang dilakukan untuk melaksanakannya yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran penonton. Dengan timbulnya tanda tanya ini penonton akan merasa penasaran. Rasa penasaran inilah yang sebenarnya menjadi tujuan dalam rangkaian adegan yang sedang berlangsung.

2.2.4 Flashback
Flashback adalah kilas balik peristiwa lampau yang dikisahkan kembali pada saat ini. Kilas balik ini berfungsi untuk mengingatkan kembali ingatan penonton pada peristiwa yang telah lampau tetapi masih dalam satu rangkaian peristiwa lakon. Kilas balik biasanya diceritakan melalui dialog peran, tetapi kilas balik pada film biasanya berupa nukilan-nukilan gambar.

Misalnya, flashback yang terdapat pada lakon “Antigone” karya Sophocles terjemahan Rendra dapat dilihat pada kutipan berikut.

ANTIGONE : Larangan Creon tidak pada tempatnya. Ia saudaraku. Aku akan menguburnya.

ISMENE : Ya, Dewa! Apakah sudah kamu lupa: betapa Ayahanda ditindas, dihina dan meninggal dunia? Betapa ia bertanya dan mengungkapkan dosanya, kemudian menusuk kedua matanya sendiri sehingga buta! Dan lalu Jocasta, yang menjadi istri Namun juga ibunya sendiri itu, mati menggantung diri! Selanjutnya, kedua saudara kita, bertengkar, berperang dan saling berbunuhan. Dan kini, kamu dan aku, tinggal sendiri. Betapa sempurnanya kemalangan kita, apabila akhirnya kita berdua binasa kerna melanggar undang-undang kepala negara. Antigone, ingatlah, bukankah kita ini wanita? Apa daya melawan pria? Di dalam keadaan gawat dan darurat, pria terkuatlah yang mengatasi suasana. Kita mesti patuh pada perintahnya, betapa pun keras kedengarnnya. – maka sementara memohon pengertian lepada yang wafat, menyesal karena harus menahan diri dalam berbuat, aku akan menyesuaikan diriku dengan perintah pihak atasan. Apa guna mempertaruhkan nyawa secara sia-sia?

Seperti diketahui bahwa lakon Oidipus merupakan lakon trilogi (lakon yang terdiri dari tiga seri atau periode). Dari dialog Ismene di atas penonton akan mengetahui bagaimana kejadian atau peristiwa yang menimpa keluarga Oidipus mulai dari lakon Oidipus Sang Raja, Oidipus di Kolonus, sampai dengan Antigone. Dengan penceritaan latar belakang peristiwa ini maka penonton bisa merunut perjalanan keluarga Oidipus.


2.2.5 Suspen
Suspen berisi dugaan, dan prasangka yang dibangun dari rangkaian ketegangan yang mengundang pertanyaan dan keingintahuan penonton. Suspen akan menumbuhkan dan memelihara keingintahuan penonton dari awal sampai akhir cerita. Suspen ini biasanya diciptakan dan dijaga oleh penulis lakon dari awal sampai akhir cerita, supaya penonton bertanya-tanya apa akibat yang ditimbulkan dari peristiwa sebelumnya ke peristiwa selanjutnya. Dengan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan ini penonton akan betah mengikuti cerita sampai selesai.
Suspen ini biasanya dibangun melalui dialog-dialog serta laku para peran yang ada dalam naskah lakon. Kalau pemeran atau sutradara tidak cermat dalam menganalisisnya maka kemungkinan suspen terlewati dan tidak tergarap dengan baik. Hal ini akan menyebabkan kualitas pertunjukan dinilai tidak terlalu bagus, karena semuanya sudah bisa ditebak oleh penonton. Kalau cerita itu bisa ditebak oleh penonton maka perhatian penonton akan berkurang dan menganggap pertunjukan tersebut tidak menyuguhkan sesuatu untuk dipikirkan.

2.2.6 Surprise
Surprise adalah suatu peristiwa yang terjadi diluar dugaan penonton sebelumnya dan memancing perasaan dan pikiran penonton agar menimbulkan dugaan-dugaan yang tidak pasti. Namun peristiwa yang diharapkan tersebut, pada akhirnya mengarah ke sesuatu yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Misalnya, dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare, penonton akan mengira bahwa kedua putri Raja Lear yang diberi kerajaan akan membahagiakan ayahnya, sedangkan putri yang diusir akan membencinya. Dalam perjalanan cerita, kedua putri yang disangka akan membahagiakan malah membencinya sedangkan putri yang diusir malah mengasihinya.
Surprise dalam lakon di atas memang diperlukan karena dianggap mampu menegaskan pesan lakon yang akan disampaikan kepada penonton. Penulis mencoba memberi gambaran-gambaran yang samar pada sebuah lakon dan gambaran tersebut akan diduga oleh penonton. Dugaan ini akan menimbulkan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu ini yang memikat perhatian penonton untuk menyaksikan cerita tersebut sampai selesai dengan harapan akan menemukan dan mencocokan jawaban yang sudah dibayangkan. Keahlian penulis untuk memberi jawaban inilah yang ditunggu oleh penonton, apakah sesuai dengan dugaanya atau malah berbeda.

2.2.7 Gestus
Gestus adalah aksi atau ucapan tokoh utama yang beritikad tentang sesuatu persoalan yang menimbulkan pertentangan atau konflik antartokoh. Gambaran tentang gestus yang terdapat pada lakon Raja Lear adalah ketika raja Lear membagi kerajaannya, ini menimbulkan konflik antara ketiga putrinya. Kemudian ketika Edmund ingin menyingkirkan Edgar yang dianggap sebagai anak yang sah dan akan mewarisi semua kekayaan Gloucester, maka Edmund membuat suatu aksi yang menimbulkan permusuhan antara Edgar dan Gloucester. Dalam lakon terkadang dijumpai aksi-aksi yang seperti ini dan akan menimbulkan suatu rasa simpati penonton kepada korbannya.

3. Setting
Membicarakan tentang setting dalam mengkaji lakon tidak ada kaitan langsung dengan tata teknik pentas, karena memang bukan persoalan scenery yang hendak dibahas. Pertanyaan untuk setting atau latar cerita adalah kapan dan dimana persitiwa terjadi. Pertanyaan tidak serta merta dijawab secara global tetapi harus lebih mendetil untuk mengetahui secara pasti waktu dan tempat kejadiannya.
Analisis setting lakon ini merupakan suatu usaha untuk menjawab sebuah pertanyaan apakah peristiwa terjadi di luar ruang atau di dalam ruang? Apakah terjadi pada waktu malam, pagi hari, atau sore hari? Jika terjadi dalam ruang lalu di mana letak ruang itu, di dalam gedung atau di dalam rumah? Jam berapa kira-kira terjadi? Tanggal, bulan, dan tahun berapa? Apakah waktu kejadiannya berkaitan dengan waktu kejadian peristiwa di adegan lain, atau sudah lain hari? Pertanyaan-pertanyaan seputar waktu dan tempat kejadian ini akan memberikan gambaran peristiwa lakon yang komplit (David Groote, 1997).

3.1 Latar Tempat
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar peristiwa lakon itu terjadi. Peristiwa dalam lakon adalah peristiwa fiktif yang menjadi hasil rekaan penulis lakon. Menurut Aristoteles peristiwa dalam lakon adalah mimesis atau tiruan dari kehidupan manusia keseharian. Seperti diketahui bahwa sifat dari naskah lakon bisa berdiri sendiri sebagai bahan bacaan sastra, tetapi bisa sebagai bahan dasar dari pertunjukan. Sebagai bahan bacaan sastra, interpretasi tempat kejadian peristiwa ini terletak pada keterangan yang diberikan oleh penulis naskah lakon dan dalam imajinasi pembaca. Sedangkan sebagai bahan dasar pertunjukan, tempat peristiwa ini harus dikomunikasikan atau diceritakan oleh para pemeran sebagai komunikator kepada penonton.
Analisis ini perlu dilakukan guna memberi suatu gambaran pada penonton tentang tempat peristiwa itu terjadi. Analisis ini juga sangat penting dilakukan karena berhubungan dengan tata teknik pentas. Gambaran tempat peristiwa dalam lakon kadang sudah diberikan oleh penulis lakon, tetapi kadang tidak diberikan oleh penulis lakon. Analisis latar tempat dapat dilakukan dengan mencermati dialog-dialog peran yang sedang berlangsung dalam satu adegan, babak atau dalam keseluruhan lakon tersebut. Misalnya, analisis latar tempat pada adegan Antigone dan Ismene dalam lakon Antigone karya Sophocles terjemahan Rendra.

ANTIGONE : Ismene, saudariku! Beginilah warisan Oidipus kepada kita. Dewa telah melimpahkan unggun penderitaan kepada kita – duka demi duka, dari terhina, - dan kita ditambah pula dengan peraturan raja yang ……. Apakah kamu sudah tahu? Atau barangkali kamu belum sadar bahwa ada musuh menyusun rencana.

ISMENE : Tak ada warta, buruk atau baik, sampai ke telingaku, Antigone, sejak kedua saudara kita wafat, tak ada kudengar apa-apa. Ah, ya, sejak mundurnya tentara argos semalam, tak ada berita tentang jenasah kedua saudara kita yang telah gugur bersama.

ANTIGONE : Itu sudah kuduga. Itulah sebabnya aku tarik kamu kemari, ke luar istana, supaya bisa lebih bebas bicara.


Dari dialog ini kita bisa mengetahui bahwa tempat adegan ini dilakukan di luar istana Raja Creon penganti Raja Oidipus. Kalau dikaji dan analisis selanjutnya adalah di mana letak istana Raja Creon? Istana raja Creon terletak di wilayah Thebes, dan merupakan bagian dari Yunani. Dengan mengetahui tempat kejadian peristiwa, seorang sutradara dan penata pentas bisa merancang tata teknik pentasnya.


3.2 Latar Waktu
Latar waktu adalah waktu yang menjadi latar belakang peristiwa, adegan, dan babak itu terjadi. Latar waktu terkadang sudah diberikan atau sudah diberi rambu-rambu oleh penulis lakon, tetapi banyak latar waktu ini tidak diberikan oleh penulis lakon. Tugas seorang sutradara dan pemeran ketika menghadapi sebuah naskah lakon adalah menginterprestasi latar waktu dalam lakon tersebut. Dengan menggetahui latar waktu yang terjadi pada maka semua pihak akan bisa mengerjakan lakon tersebut. Misalnya, penata artistik akan menata perabot dan mendekorasi pementasan sesuai dengan latar waktu.
Analisis latar waktu perlu dilakukan baik oleh seorang sutradara maupun oleh pemeran. Analisis latar waktu yang dilakukan oleh sutradara biasanya berhubungan dengan tata teknik pentas, sedangkan yang dilakukan oleh pemeran biasanya berhubungan dengan akting dan bisnis akting. Latar waktu dalam naskah lakon bisa menunjukkan waktu dalam arti yang sebenarnya (siang, malam, pagi, sore), waktu yang menunjukkan sebuah musim (musim hujan, musim kemarau, musim dingin dan lain-lain), dan waktu yang menunjukkan suatu zaman atau abad (Zaman Klasik, Zaman Romantik, zaman perang dan lain-lain). Analisis latar waktu bisa dilakukan dengan mencermati dialog-dialog yang disampaikan oleh tokoh dalam adegan atau babak yang sedang berlangsung. Misalnya, analisis latar waktu pada babak tiga adegan II dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo dapat dilihat pada kutipan berikut.

KENT : Astaga! Tuan di sini? Makluk yang cinta malam pun
Tak suka malam begini; kemurkaan langit.
Malam ini bahkan menakutkan kaum perampok,
Hingga lebih suka tinggal di pondok; seumur hidup
Tak saya ingat pernah mendengar kilat menyambar,
Guntur berdegar dahsyat. Hujan badai meraung
Dan mengaung semacam ini; manusia tak
betah. Dilanda kegerian begini

LEAR : Dewa-dewa agung
Yang mengganas atas kepala kita hendaknya
Bersua tandingan. Maka celakalah si papa
Yang dalam batinnya menyimpan dosa,
belum terhukum
Di pengadilan. Sembunyilah, tangan berdarah,
Penyumpah palsu dan penjinah munafik
Yang mengaku suci; gentar dan gugurlah si penjahat Yang haus darah, berkudung kedok indah.
Dan dosa terpendam hendaknya membedah selubungnya,
Memohon ampun pada para hakim yang dahsyat ini. – Dosaku sedikit dan banyak kuderita karena
Dosa insan.

Dari dialog dalam penggalan naskah lakon di atas, dapat diketahui bahwa babak tiga adegan II dari lakon Raja Lear terjadi pada waktu malam dan dan cuaca alam sedang hujan dan badai sedang keras-kerasnya. Dengan mengetahui latar waktu dan suasana yang terjadi pada satu adegan atau babak maka akan lebih mudah dalam mengekspresikannya, dan memainkan adegan tersebut.

3.3 Latar Peristiwa
Latar peristiwa adalah peristiwa yang melatari adegan itu terjadi dan bisa juga yang melatari lakon itu terjadi. Latar peristiwa ini bisa sebagai realita bisa juga fiktif yang menjadi imajinasi penulis lakon. Latar peristiwa yang nyata digunakan oleh penulis lakon untuk menggambar peristiwa yang terjadi secara nyata pada waktu itu sebagai dasar dari lakonnya. Misalnya, lakon Raja Lear, mungkin saja William Shakespeare terinspirasi oleh bencana yang melanda Inggris pada waktu itu, yaitu seolah-olah terjadi kiamat karena lakon ini dialegorikan sebagai kiamat kecil. Lakon-lakon dengan latar peristiwa yang riil juga terjadi pada lakon-lakon di Indonesia pada tahun 1950 sampai tahun 1970. Lakon pada waktu itu mengambil latar peristiwa pada Zaman Perang Revolusi di Indonesia.
Latar peristiwa pada adegan atau lakon adalah peristiwa yang mendahului adegan atau lakon tersebut, atau yang mengakibatkan adegan atau lakon itu terjadi. Misalnya, adegan awal pada lakon Antigone karya Sophocles terjadi karena adanya peperangan yang sedang berlangsung dan memakan korban saudara Antigone, dan adanya aturan yang ditetapkan raja bahwa jenasah saudara Antigone tidak boleh dikebumikan secara wajar karena dianggap sebagai pengkhianat.

ANTIGONE : Ismene, saudariku! Beginilah warisan Oidipus kepada kita. Dewa telah melimpahkan unggun penderitaan kepada kita – duka demi duka, dari terhina, - dan kita ditambah pula dengan peraturan raja yang ……. Apakah kamu sudah tahu? Atau barangkali kamu belum sadar bahwa ada musuh menyusun rencana.

ISMENE : Tak ada warta, buruk atau baik, sampai ke telingaku, Antigone, sejak kedua saudara kita wafat, tak ada kudengar apa-apa. Ah, ya, sejak mundurnya tentara argos semalam, tak ada berita tentang jenasah kedua saudara kita yang telah gugur bersama.



4. Struktur Dramatik
Struktur dramatik sebetulnya merupakan bagian dari plot karena di dalamnya merupakan satu kesatuan peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian yang memuat unsru-unsur plot. Rangkaian ini memiliki atau membentuk struktur dan saling bersinambung dari awal cerita sampai akhir. Fungsi dari struktur dramatik ini adalah sebagai perangkat untuk lebih dapat mengungkapkan pikiran pengarang dan melibatkan pikiran serta perasaan penonton ke dalam laku cerita. Teori dramatik Aristotelian memiliki elemen-elemen pembentuk struktur yang terdiri dari eksposisi (Introduction), komplikasi, klimaks, resolusi (falling action), dan kesimpulan (denoument).


4.1 Piramida Freytag


Gb.42 Piramida Freytag
Gustav Freytag (1863), menggambarkan struktur dramatiknya mengikuti elemen-elemen tersebut dan menempatkannya dalam adegan-adegan lakon sesuai laku dramatik yang dikandungnya. Struktur Freytag ini dikenal dengan sebutan piramida Freytag atau Freytag’s pyramid (Setfanie Lethbridge dan Jarmila Mildorf, tanpa tahun) . Dalam gambar di atas dijelaskan bahwa alur lakon dari awal sampai akhir melalui bagian-bagian tertentu yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

• Exposition
Eksposisi adalah Penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi tentang perkenalan karakter, masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi informasi atas masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter yang ada dalam naskah lakon. Misalnya: lakon Raja Lear Karya William Shakespeare, dimulai dari kebijakan raja Lear terhadap pembagian kerajaan, memperkenalkan siapa Edmund. Dari dua tokoh inilah lakon Raja Lear terpusat, yaitu Raja Lear mendapatkan konflik dari anak-anaknya dan Edmund mendapatkan konflik dari keinginan menguasai wilayah Gloucester.

• Complication ( rising Action)
Mulai terjadi kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan menjadi jalinan peristiwa. Di sini sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk mengatasi konflik dan tidak mudah untuk mengatasinya sehinga timbul frustasi, amukan, ketakutan, kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat karakter-karakter yang memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk keluar dari konflik tersebut. Misalnya, Raja Lear mulai mendapatkan konflik karena diusir oleh Gonerill dan Regan dan keluar dari istananya untuk hidup mengembara. Dalam pengembaraan ini Raja Lear mengalami amukan, frustasi, kemarahan, keinginan untuk balas dendam dan lain-lain.

• Climax
Klimak adalah puncak dari laku lakon dan titik kulminasi mencapai titik. Pada titik ini semua permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat dialog yang disampaikan oleh peran. Misalnya, Raja Lear mengucapkan dialog, “O, raung, raung, raung, raung! – O, Kamu manusia batu, kalau kupunya lidah dan matamu, aku melolong sampai retak kubah langit, - Selama-lamanya dia mati bagai bumi..............” pada titik inilah semua terbongkar permasalahan-permasalahan yang menjadi konflik dari keseluruhan lakon. Semua putri Raja Lear mati, Edmund menemui kematiannya, karena untuk menguasai kerajaan dia berkomplot dengan Gonerill dan Regan yang dijanjikan akan dinikahi. Dengan terbongkarnya semua masalah yang melingkupi keseleruhan lakon diharapkan penonton akan mengalami katarsis atau proses membersihkan emosi dan memberikan cahaya murni pada jiwa penonton.

• Reversal (falling action )
Reversal adalah penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi juga untuk menurunkan emosi penonton. Dari awal emosi penonton sudah diajak naik dan dipermainkan. Falling Action ini juga berfungsi untuk memberi persiapan waktu pada penonton untuk merenungkan apa yang telah ditonton. Titik ini biasanya ditandai oleh semakin lambatnya emosi permainan, dan volume suara pemeran lebih bersifat menenangkan. Misalnya pada lakon Raja Lear diwakili oleh dialog antara Raja Lear dengan Kent, bagaimana Kent menenangkan gejolah emosi Raja Lear karena kematian Cordelia anak yang sangat disayangi tetapi diusir dari kerajaan tetapi masing sangat sayang pada orang tuanya.

• Denouement
Denoument adalah penyelesaian dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun menderita. Pada lakon Raja Lear hal ini diselesaikan dengan kematian Raja Lear. Kemudian lakon tersebut disimpulkan oleh Edgar lewat dialognya “Orang tunduk pada beban zaman serba berat; lidah tunduk pada rasa, bukan pada adat. Yang tertua paling berat bebannya; kita yang muda tak akan berpengalaman sebanyak mereka”.

4.2 Skema Hudson
Menurut Hudson (Wiliiam Henry Hudson) seperti yang dikutip oleh Yapi Tambayong dalam buku Dasar-dasar Dramaturgi (1982), plot dramatik tersusun menurut apa yang dinamakan dengan garis laku. Garis laku tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.


Gb.43 Skema Hudson

Garis laku lakon dalam skema ini juga melalaui bagian-bagian tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut.


• Eksposisi
Saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan dalam lakon tersebut. Materi-materi ini termasuk karakter-karakter yang ada, dimana terjadinya peristiwa tersebut, peristiwa apa yang sedang dihadapi oleh karakter-karakter yang ada dan lain-lain.

• Insiden Permulaan
Mulai teridentifikasi insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu. Misalnya dalam lakon Raja Lear, insiden ini dimulai dari kejujuran dan ketulusan Cordelia dalam memuji Raja Lear, kemudian insiden fitnah yang dilakukan oleh Edmund kepada Edgar. Insiden-insiden ini akan menggerakkan plot dalam lakon.

• Pertumbuhan Laku
Pada bagian ini merupakan tindak lanjut dari insiden-insiden yang teridentifikasi tersebut. Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin menanjak, dan semakin mengalami komplikasi yang ruwet. Jalan keluar dari konflik tersebut terasa samar-samar dan tak menentu.

• Krisis atau Titik Balik
Krisis adalah keadaan dimana lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau menggelikan sehingga emosi penonton tidak bisa apa-apa. Bagi Hudson, klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik, dan bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan titik balik sudah menunjukan suatu peleraian dimana emosi lakon maupun emosi penonton sudah mulai menurun.

• Penyelesaian atau Penurunan Laku
Penyelesaian atau denoument yaitu bagian lakon yang merupakan tingkat penurunan emosi dan jalan keluar dari konflik tersebut sudah menemukan jalan keluarnya.

• Catastroph
Semua konflik yang terjadi dalam sebuah lakon bisa diakhiri, baik itu akhir sesuatu yang membahagiakan maupun akhir sesuatu yang menyedihkan. Dalam lakon Raja Lear, cerita diakhir dengan sesuatu yang menyedihkan yaitu suasana kematian ketiga putri dan Raja Lear sendiri. Dengan kematian tokoh-tokoh ini suasana lakon dapat dikembalikan pada keadaan yang semula.


4.3 Tensi Dramatik


Gb.44 Tensi Dramatik

Brander Mathews, seperti dikutip oleh Adhy Asmara dalam buku Apresiasi Drama (1983), menekankan pentingnya tensi dramatik. Perjalanan cerita satu lakon memiliki penekanan atau tegangan (tensi) sendiri dalam masing-masing bagiannya. Tegangan ini mengacu pada persoalan yang sedang dibicarakan atau dihadapi. Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik. Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang monoton dan menjemukan. lTitik berat penekanan tegangan pada masing-masing bagian akan memberikan petunjuk laku yang jelas bagi aktor sehingga mereka tidak kehilangan intensitas dalam bermain dan dapat mengatur irama aksi.

• Eksposisi
Bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan keterangan-keterangan mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini harus dijelaskan atau digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti. Nilai tegangan dramatik pada bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan menandakan kenaikan tetapi dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan seluruh tokoh dalam cerita dan kunci pembuka awalan persoalan.


• Penanjakan
Sebuah peristiwa atau aksi tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian ini, penekanan tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mau mengarah pada konflik sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan tegangan ini terus berlanjut sampai menjelang komplikasi.

• Komplikasi
Penggawatan yang merupakan kelanjutan dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan satu keadaan yang menimpanya. Pada tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan kehendak untuk bangkit melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik mulai terasa karena seluruh tokoh berada dalam situasi yang tegang.

• Klimaks
Nilai tertinggi dalam perhitungan tensi dramatik dimana penanjakan yang dibangun sejak awal mengalami puncaknya. Semua tokoh yang berlawanan bertemu di sini.

• Resolusi
Mempertemukan masalah-masalah yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai mendapatkan titik terang dari segenap persoalan yang dihadapi.

• Konklusi
Tahap akhir dari peristiwa lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas masalahnya. Pada tahap ini peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai tensi tidak kemudian nol tetapi paling tidak berada lebih tinggi dari bagian eksposisi karena pengaruh emosi atau tensi yang diperagakan pada bagian komplikasi dan klimaks.

4.4 Turning Point
Model struktur dramatik dari Marsh Cassady (1995) menekankan pentingnya turning atau changing point (titik balik perubahan) yang mengarahkan konflik menuju klimaks. Titik balik ini menjadi bidang kajian yang sangat penting bagi sutradara berkaitan dengan laku karakter tokohnya sehingga puncak konflik menjadi jelas, tajam, dan memikat.
Gambar di bawah ini memperlihatkan posisi titik balik perubahan yang menuntun kepada klimaks. Titik ini menjadi bagian yang paling krusial dari keseluruhan laku karena padanya letak kejelasan konflik dari lakon berada. Inti pesan atau premis yang terkandung dalam permasalahan akan menampakkan dramatikanya dengan menggarap bagian ini sebaik mungkin. Tiga titik penting yang merupakan nafas dari lakon menurut struktur ini adalah konflik awal saat persoalan dimulai, titik balik perubahan saat perlawanan terhadap konflik dimulai, dan klimaks saat konflik antarpihak yang berseteru memuncak hingga menghasilkan sebuah penyelesaian atau resolusi.


Gb.45 Turning Point

Titik A adalah permulaan konflik atau awal cerita saat persoalan mulai diungkapkan. Selanjutnya konflik mulai memanas dan cerita berada dalam ketegangan atau penanjakan yang digambarkan sebagai garis B. Garis ini menuntun pada satu keadaan yang dapat dijadikan patokan sebagai titik balik perubahan yang digambarkan debagai titik C. Pada titik ini terjadi perubahan arah laku lakon saat pihak yang sebelumnya dikalahkan atau pihak yang lemah mulai mengambil sikap atau sadar untuk melawan. Dengan demikian, tegangan menjadi berubah sama sekali. Ketika pada titik A dan garis B pihak yang dimenangkan tidak mendapatkan saingan maka pada titik C kondisi ini berubah. Hal ini terus berlanjut hingga sampai pada titik D yang menggambarkan klimakas dari persoalan. Tegangan semakin menurun karena persoalan mulai mendapatkan titik terang dan pihak yang akhirnya menang telah ditentukan. Keadaan ini digambarkan sebagai garis E yang disebut dengan bagian resolusi.

5. Tipe Lakon

5.1 Drama
Drama berasal dari kata Yunani Kuno, draomai yang berarti bertindak atau berbuat (mengacu pada salah satu jenis pertunjukan) dan drame yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika atau kematian (Bakdi Soemanto, 2001). William Froug (1993) mendefinisikan drama sebagai lakon serius yang memiliki segala rangkaian peristiwa yang nampak hidup, mengandung emosi, konflik, daya tarik memikat serta akhir yang mencolok dan tidak diakhiri oleh kematian tokoh utamanya.
Drama juga bisa diartikan sebagai suatu kualitas komunikasi, situasi, aksi dan segala apa saja yang terlihat dalam pentas baik secara objektif maupun secara subjektif, nyata atau khayalan yang menimbulkan kehebatan, keterenyuhan dan ketegangan perasaan para pendengar atau penonton. Bisa juga diartikan sebagai suatu bentuk cerita konflik sikap dan sifat manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan gerak dihadapan pendengar maupun penonton.
Dengan mengacu pada definisi di atas dapat disimpulkan bahwa drama adalah salah satu jenis lakon serius dan berisi kisah kehidupan manusia yang memiliki konflik yang rumit dan penuh daya emosi tetapi tidak mengagungkan sifat tragedi. Contoh lakon-lakon drama adalah Hedda Gabler, Musuh Masyarakat, Brand, Boneka Mainan, Tiang-Tiang Masyarakat, Hantu-Hantu (Henrik Ibsen), Domba-domba Revolusi (B. Sularto), Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin).

5.2 Tragedi
Tragedi berasal dari kata tragoidia (bahasa Yunani), tragedy (bahasa Ingggris), tragedie (bahasa Perancis) yaitu penggabungan kata tragos yang berarti kambing dan kata aeidein yang berarti nyanyian. Jadi tragedi adalah nyanyian yang dinyanyikan untuk mengiringi kambing sebelum dibaringkan di atas altar untuk dikorbankan. Pengorbanan kambing dilakukan pada saat upacara untuk menghormati dewa Dionysos yang dianggap sebagai dewa kesuburan. Bisa juga kata tersebut berarti untuk menyebut kostum kambing yang dikenakan oleh aktor ketika memainkan lakon satir.
Lakon tragedi menurut Aristoteles adalah lakon yang meniru sebuah aksi yang sempurna dari seorang tokoh besar dengan menggunakan bahasa yang menyenangkan supaya para penonton merasa belas kasihan dan ngeri, sehingga penonton mengalami pencucian jiwa atau mencapai katarsis. Kalau dikaji lebih lanjut tentang definisi tragedi menurut Aristoteles ini adalah sebagai berikut. Lakon tragedi memerlukan aksi yang sempurna. Dengan aksi yang sempurna diharapkan mempunyai daya pikat yang tinggi, padat, kompleks, dan sublim. Dengan aksi yang sempurna diharapkan penonton mencapai katarsis (penyucian jiwa). Tokoh yang besar diharapkan mampu menghadirkan efek tragis yang besar. Jadi lakon tragedi sebenarnya bukan lakon yang bercerita duka cita dan kesedihan tetapi lakon yang bertujuan untuk mengoncang jjiwa penonton sehingga lemas, tergetar, merasa ngeri tetapi sekaligus juga merasa belas kasihan. Pendeknya penonton merasa menyadari betapa kecil dan rapuhnya jiwa manusia di depan kedahsyatan suratan takdir (Rendra, 1993).
Tujuan utama lakon tragedi ini adalah membuat kita mengalami pengalaman emosi melalui identifikasi para tokoh dan untuk menguatkan kembali kepercayaan pada diri sendiri sebagai bagian dari manusia. Tokoh dalam lakon tragedi ini biasanya tokoh terpandang, raja, kesatria, atau tokoh yang memiliki pengaruh di masyarakat sehingga identifikasi penonton terhadap tokoh tersebut merasa betul-betul kasihan. Tokoh utama dalam lakon tragedi di akhir cerita biasanya mengalami kesengsaraan dan kematian yang tragis. Jalan yang ditempuh biasanya sangat berat, sulit dan membuatnya menderita, tetapi sikap ini justru membuatnya tampak mulia dan berkeprimanusiaan. Sebenarnya bukan masalah kematian tokoh utama yang menjadi penting pada lakon tragedi tetapi tentang apa yang dikatakan dalam lakon tentang kehidupanlah yang penting.
Lakon-lakon tragedi Yunani Kuno mengajak manusia untuk merenungkan hakikat kehidupan dipandang dari sisi yang menyedihkan karena kehidupan pada prinsipnya selalu kalah dengan takdir ilahi. Dalam lakon tragedi tokoh utama menghadapi konsekuensi yang tidak bisa ditolak, tetapi mereka yakin bahwa kehidupan ini bisa ditaklukkan dan dikalahkan meskipun pada akhirnya juga kalah dengan takdir. Lakon tragedi seperti roman yang mengungkapkan pencarian manusia terhadap rahasia kehidupan abadi dan pertahanan terhadap kekuatan jahat untuk mendapatkan identitas sekaligus semangat hidup, meskipun untuk mendapatkannya melalui berbagai pengorbanan. Misalnya lakon Oedipus karya Sophocles menceritakan kedukaan manusia yang tidak berdaya dihadapan takdir dewa bahwa Oedipus akan mengawini ibunya dan membunuh bapaknya serta menjalani kehidupannya dengan kesengsaraan.
Menurut Aristoteles ada enam elemen yang ada dalam lakon tragedi sebagai berikut.
• Plot adalah susunan kejadian atau insiden. Lakon tragedi adalah imitasi perbuatan manusia, dan perbuatan ini akan menghasilkan aksi-aksi atau insiden yang membuat tragedi ada.
• Watak atau karakter adalah ciri khas tokoh yang terlibat dalam kejadian atau insiden. Melalui watak atau karakter inilah penonton mengidentifikasikan dirinya dalam lakon tragedi.
• Pikiran-pikiran merupakan kemampuan untuk mengekspresikan apa yang perlu dan cocok untuk situasi. Dalam lakon harus ada pembicaraan-pembicaraan yang mengandung pemikiran-pemikiran yang masuk akan dan universal.
• Diksi adalah gaya atau cara dalam menyusun dan menampilkan kata-kata sebagai upaya untuk mengekspresikan maksud penulis lakon. Dalam lakon tragedi kata-kata disusun dan diucapkan dengan cara puitis.
• Musik, dalam lakon tragedi fungsi musik adalah untuk memberikan rasa kesenangan dan mengarahkan emosi-emosi penonton.
• Spektakel (mise en scene) elemen ini merupakan elemen non personal tetapi lebih pada elemen pendukung pementasan dari lakon tragedi. Elemen ini berfungsi untuk mengarahkan emosi penonton pada suasana tragis.

Para penulis lakon tragedi adalah sebagai berikut.
Sophocles : Oedipus Sang Raja, Oedipus di Kolonus, Antigone (trilogi Oedipus)
Aeschylus : Agamemnon, The Llibatian Beavers, The Furies (trilogi Oresteia)
Euripides : Medea, Hyppolitus, Ion and Electra, The Troyan Woman, Cyclops
Shakespeare : Hamlet, Macbeth, Romeo and Juliet, Antony and Cleopatra, King Lear, Julius Caesar, Othello
Henrik Ibsen : Mrs. Alving, A Doll’s House
Arthur Miller : The Crucible, All My Sons, Death of a Salesman
Seneca : Phaedra

5.3 Komedi
Komedi berasal dari kata comoedia (bahasa Latin), commedia (bahasa Italia) berarti lakon yang berakhir dengan kebahagiaan. Lakon komedi seperti halnya lakon tragedi merupakan bagian dari upacara penghormatan terhadap dewa Pallus. Upacara penghormatan ini dilakukan dengan cara melakukan arak-arakan dan memakai kostum setengah manusia dan setengah kambing. Arak-arakan ini menyanyi dan melontarkan kata-kata kasar untuk memancing tertawaan penonton. Menurut Aristoteles lakon komedi merupakan tiruan dari tingkah laku manusia biasa atau rakyat jelata. Tingkah laku yang lebih merupakan perwujudan keburukan manusia ketika menjalankan kehidupan sehingga mampu menumbuhkan tertawaan dan cemoohan sampai terjadi katarsis atau penyucian jiwa (Yudiaryani, 2002).
Penciptaan lakon komedi bertitik tolak dari perasaan manusia yang memiliki kekuatan, namun manusia tidak sadar bahwa dirinya memiliki daya hidup yang dikelilingi alam semesta. Manusia harus mempertahankan kekuatan dan vitalitas secara utuh terus menerus bahkan harus menumbuhkembangkan untuk mengatasi perubahan alam, politik, budaya maupun ekonomi (Yudiaryani, 2002). Perasaan lemah dalam diri manusia akan mengakibatkan tidak bisa bertahan terhadap segala perubahan dan tantangan. Untuk menguatkan perasaan itu manusia membutuhkan semacam cermin diri agar tidak ditertawakan oleh yang lain.
Lakon komedi adalah lakon yang mengungkapkan cacat dan kelemahan sifat manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih menghayati kenyataan hidupnya. Jadi lakon komedi bukan hanya sekedar lawakan kosong tetapi harus mampu membukakan mata penonton kepada kenyataan kehidupan sehari-hari yang lebih dalam (Rendra, 1983). Tokoh dalam lakon komedi ini biasanya adalah orang-orang yang lemah, tertindas, bodoh, dan lugu sehingga identifikasi penonton terhadap tokoh tersebut bisa ditertawakan dan dicemoohkan. Peristiwa mentertawakan tokoh yang dilihat ini sebenarnya mentertawakan kelemahan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.
Perkembangan lakon komedi bisa dikategorikan dalam berbagai tipe lakon komedi berdasarkan pada sumber humornya, metode penyampaiannya dan bagaimana lakon komedi itu disampaikan. Berikut ini adalah tipe lakon komedi berdasarkan alirannya.
• Black Comedy (komedi gelap) adalah lakon komedi yang merujuk pada hal-hal yang meresahkan, misalnya kematian, teror, pemerkosaan, dan perang. Beberapa aliran komedi ini hampir mirip dengan film horor.
• Character Comedy (komedi karakter) adalah lakon komedi yang mengambil humor dari sebuah pribadi yang dicipakan atau dibuat oleh pemeran. Beberapa lakon komedi ini berasal dari hal-hal yang klise.
• Improvisational Comedy (komedi improvisasi) adalah lakon komedi yang tidak terencana dalam pementasannya.
• Observational Comedy (komedi pengamatan) adalah lakon komedi yang bersumber pada lelucon hidup keseharian dan melebih-lebihkan hal yang sepele menjadi hal yang sangat penting atau mengamati kebodohan, kekonyolan yang ada dalam masyarakat dan berharap itu diterima sebagai sesuatu yang wajar.
• Physical Comedy (komedi fisik) adalah lakon komedi yang hampir mirip dengan slaptis, dagelan atau lelucon yang kasar. Komedi lebih mengutamakan pergerakan fisik atau gestur. Lakon komedi sering terpengaruh oleh badut.
• Prop Comedy (komedi dengan peralatan) adalah lakon komedi ini mengandalkan peralatan yang tidak masuk akal.
• Surreal Comedy (komedi surealis) adalah lakon komedi yang berdasarkan pada hal-hal yang ganjil, situasi yang absur, dan logika yang tidak mungkin.
• Topical Comedy (komedi topik/satir) adalah lakon komedi yang mengandalkan pada berita utama dan skandal-skandal yang terpenting dan terpilih. Durasi waktu pementasan komedi ini sangat cepat tetapi komedi ini sangat populer. Misalnya talkshow tengah malam.
• Wit atau Word Play (komedi intelektual) adalah lakon komedi yang berdasarkan pada kepintaran, dan kecerdasan. Komedi ini seringkali memanipulasi kehalusan bahasa sebagai bahan leluconnya.

Para penulis lakon komedi adalah sebagai berikut.
Aristophanes : The Archanians, The Knights, Lysistrata, The Wasps, The Clouds, The Frogs, The Birds
Manander : Dyscolus, Aspis, Georgo”, Dis exapaton, Epitrepontes, Colax, misumenos, Perikeiromene, Samia, Sicyonios, Heros, Theophoroumene, Kitharistes, Phasma, Orge
Shakespeare : A Midsummer Night’s Dream, The Comedy Of Errors

5.4 Satir
Satir berasal dari kata satura (bahasa Latin), satyros (bahasa Yunani), satire (bahasa Inggris) yang berarti sindiran. Lakon satir adalah lakon yang mengemas kebodohan, perlakuan kejam, kelemahan seseorang untuk mengecam, mengejek bahkan menertawakan suatu keadaan dengan maksud membawa sebuah perbaikan. Tujuan drama satir tidak hanya semata-mata sebagai humor biasa, tetapi lebih sebagai sebuah kritik terhadap seseorang, atau kelompok masyarakat dengan cara yang sangat cerdik. Lakon satir hampir sama dengan komedi tetapi ejekan dan sindiran dalam satir lebih agresif dan terselubung. Sasaran dari lakon satir adalah orang, ide, sebuah institusi atau lembaga maupun masalah sosial yang menyimpang.
Lakon satir sudah dimainkan sejak abad ke-5 sebelum masehi di teater Atena. Lakon satir awalnya digunakan untuk melengkapi lakon tragedi Yunani pada waktu upacara penghormatan dewa Dionysos, pertunjukannya berupa adegan yang singkat dan bersifat menyenangkan penonton. Tetapi perkembangan lakon satir mengalami kemunduran dan lama kelamaan menghilang dari teater Yunani.
Penulis lakon satir yang paling terkenal adalah Euripides yang menulis lakon The Cyclops yang menceritakan pertemuan Odysseus dengan makluk Cyclops. Sebelum Euripides, ada penulis lakon satir yang mendahuluinya yaitu Sophocles yang menulis lakon The Trackers yang menceritakan keinginan Apollo untuk menyembuhkan sekawanan ternak miliknya yang dicuri oleh Hermes. Para penulis satir pada jaman Yunani biasanya mengambil sasaran dewa sebagai bahan ejekan, karena pada waktu itu dewa memiliki kelebihan dan senang memainkan manusia.

5.5 Melodrama
Melodrama adalah lakon yang isinya mengupas suka duka kehidupan dengan cara yang menimbulkan rasa haru kepada penonton. Menurut Herman J. Waluyo (2001) melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan perasaan penonton. Pementasan lakon-lakon melodrama sangat berbeda dengan jenis-jenis lakon lainnya, pementasannya seolah-olah dilebih-lebihkan sehingga kurang menyakinkan penonton. Tokoh-tokoh dalam melodrama adalah tokoh biasa dan tidak ternama (berbeda dengan tokoh dalam lakon tragedi yang harus menggunakan tokoh yang besar), serta bersifat steriotipe. Jadi kalau tokoh tersebut jahat maka seterusnya tokoh tersebut jahat dan tidak ada sisi baiknya, sedangkan kalau tokoh tersebut adalah tokoh pahlawan maka tokoh tersebut menjadi tokoh pujaan yang luput dari kekurangan dan kesalahan serta luput dari tindak kejahatan. Tokoh hero dalam lakon melodrama selalu memenangkan peperangan.
Jenis drama ini berkembang pada permulaan abad kesembilan belas. Istilah melodrama berasal dari bagian sebuah opera yang menggambarkan suasana sedih atau romantis dengan iringan musik (melos diturunkan dari kata melody atau lagu). Kesan suasana inilah yang kemudian berkembang menjadi jenis drama tersendiri. Ciri-ciri melodrama sebagai berikut.
• Berpegang kepada keadilan moralitas yang keras; yang baik akan mendapatkan ganjaran pahala, dan yang jahat akan mendapat hukuman.
• Membangkitkan simpati dan keharuan penonton dengan memperlihatkan penderitaan tokoh baik, dan sebaliknya membangkitkan rasa benci dan marah kepada tokoh jahat.
• Cerita dalam melodrama diramu dengan unsur-unsur ketegangan (suspense).
• Plot dijalin dengan kejadian-kejadian yang mendadak dan di luar dugaan, kejadian-kejadian yang tokoh utama-nya selalu nyaris lolos dari bahaya besar.
• Karakter tetap yang selalu muncul dalam melodrama adalah pahlawan (lelaki atau wanita), tokoh lucu (komik), dan penjahat.
• Dalam pementasannya selalu diiringi musik seperti layaknya seni film sekarang. Kata melodrama sendiri berasal dari kata melo (melodi) dan drama. Musik dalam lakon jenis ini berfungsi untuk membangun suasana dan membangkitkan emosi penonton.
• Tema-tema melodrama berkisar tentang dengan sejarah, dan peristiwa rumahtangga.

6. Penokohan
Penokohan merupakan usaha untuk membedakan peran satu dengan peran yang lain. Perbedaan-perbedaan peran ini diharapkan akan diidentifikasi oleh penonton. Jika proses identifikasi ini berhasil, maka perasaan penonton akan merasa terwakili oleh perasaan peran yang diidentifikasi tersebut. Suatu misal kita mengidentifisasi satu peran, berbarti kita telah mengadopsi pikiran-pikiran dan perasaan peran tersebut menjadi perasaan dan pikiran kita.
Penokohan atau perwatakan dalam sebuah lakon memegang peranan yang sangat penting. Bahkan Lajos Egri berpendapat bahwa berperwatakanlah yang paling utama dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada cerita, tanpa perwatakan tidak bakal ada plot. Padahal ketidaksamaan watak akan melahirkan pergeseran, tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan cerita (A. Adjib Hamzah, 1985).

6.1 Peran
Peran merupakan sarana utama dalam sebuah lakon, sebab dengan adanya peran maka timbul konflik. Konflik dapat dikembangkan oleh penulis lakon melalui ucapan dan tingkah laku peran. Dalam teater, peran dapat dibagi-bagi sesuai dengan motivasi-motivasi yang diberikan oleh penulis lakon. Motivasi-motivasi peran inilah yang dapat melahirkan suatu perbuatan peran. Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut.

• Protagonis
Protagonis adalah peran utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita. Keberadaan peran adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika mencapai suatu cita-cita. Persoalan ini bisa dari tokoh lain, bisa dari alam, bisa juga karena kekurangan dirinya sendiri. Peran ini juga menentukan jalannya cerita. Contoh tokoh protagonis pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah tokoh Raja Lear itu sendiri.

• Antagonis
Antagonis adalah peran lawan, karena dia seringkali menjadi musuh yang menyebabkan konflik itu terjadi. Tokoh protagonis dan antagonis harus memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu harus berkembang mencapai klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan kontradiktif terhadap tokoh protagonis. Contoh tokoh antagonis pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo adalah tokoh Gonerill dan tokoh Regan. Kedua tokoh inilah yang menentang perkembangan, keinginan, dan cita-cita Raja Lear.

• Deutragonis
Deutragonis adalah tokoh lain yang berada di pihak tokoh protagonis. Peran ini ikut mendukung menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh protaganis. Contoh, peran Tumenggung Kent, Edgar, Cordelia dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare.

• Tritagonis
Tritagonis adalah peran penengah yang bertugas menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan antagonis. Contoh, tokoh Bangsawan pada lakon Raja Lear karya Willliam Sahkespeare. Dia adalah pengawal dari Cordelia.

• Foil
Foil adalah peran yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi tetapi ia diperlukan guna menyelesaikan cerita. Biasanya dia berpihak pada tokoh antagonis. Contoh, tokoh Perwira, Oswald, Curan dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare.

• Utility
Utility adalah peran pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik. Biasanya tokoh ini mewakili jiwa penulis. Contoh: tokoh Badut dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare.

6.2 Jenis Karakter
Karakter adalah jenis peran yang akan dimainkan, sedangkan penokohan adalah proses kerja untuk memainkan peran yang ada dalam naskah lakon. Penokohan ini biasanya didahului dengan menganalisis peran tersebut sehingga bisa dimainkan. Menurut Rikrik El Saptaria (2006), jenis karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character, round charakter, teatrikal, dan karikatural.

• Flat Character (perwatakan dasar)
Flat character atau karakter datar adalah karakter tokoh yang ditulis oleh penulis lakon secara datar dan biasanya bersifat hitam putih. Karakter tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi manusia yang berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Ketika masih kecil dia bereksplorasi dengan dirinya sendiri untuk mengetahui perkembangan dirinya, dan ketika sudah dewasa maka pribadinya berkembang melalui hubungan dengan lingkungan sosial. Jadi perkembangan karakter seharusnya mengacu pada pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi yang dilakukannya dan terus berkembang.
Penulis lakon adalah orang yang memiliki dunia sendiri yaitu dunia fiktif, sehingga ketika mencipta sebuah karakter dia bebas menentukan suatu perkembangan karakter. Flat character ini ditulis dengan tidak mengalami perkembangan emosi maupun derajat status sosial dalam sebuah lakon. Flat character biasanya ada pada karakter tokoh yang tidak terlalu penting atau karakter tokoh pembantu, tetapi diperlukan dalam sebuah lakon. Misalnya tokoh Oswald, tokoh Badut dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo. Tokoh Oswald ini dari awal cerita sampai akhir cerita tetap sebagai pembantu atau abdi Gonerill, sama dengan tokoh Badut dalam lakon ini tidak berkembang, baik secara emosi, pribadi, maupun secara status sosialnya.

• Round Character (perwatakan bulat)
Karakter tokoh yang ditulis oleh penulis secara sempurna, karakteristiknya kaya dengan pesan-pesan dramatik. Round karakter adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami perubahan dan perkembangan baik secara kepribadian maupun status sosialnya. Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan karakter ini menarik dan mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.
Misalnya perkembangan karakter tokoh Raja Lear pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno sumardjo, awalnya Raja Lear berniat turun tahta dengan cara membagi-bagi wilayah kerajaan tetapi masih tetap ingin kemegahan, kenyamanan, dan masih ingin dihormati. Tetapi keinginan dihalangi oleh ulah putri-putrinya, sehingga mengalami frustasi dan menjadi gila. Terus dalam kegilaanya Raja Lear mencari cara untuk balas dendam kepada putri-putrinya yang telah menghalanginya. Kegilaan ini semakin menjadi-jadi sampai dengan pertemuannya dengan Gloucester di akhir babak ke empat dan dia membayangkan menyelusup ke dalam puri putri-putri serta membunuhnya. Sampai pada akhir cerita, Raja Lear bertemu dengan putrinya yang sudah diusir serta tidak diakui sebagai anak yang mampu merubah pribadinya dari pribadi yang gila menjadi pribadi yang penuh kasih sayang.
Perubahan karakter inilah yang menjalankan lakon menjadi menarik. Misalnya lakon Raja Lear Karya William Shakespeare, awalnya karakter Raja Lear hanya memikirkan dirinya sendiri, terus mengalami penderitaan dan menjadi orang baru diakhir cerita merefleksikan perubahan karakter. Perubahan ini dikemas dan dimainkan menjadi sesuatu yang menarik sehingga penonton tidak mengalami kejenuhan.


Gb.46 Karakter teatrikal

• Teatrikal
Teatrikal adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis seperti nampak pada gambar 14 di atas. Karakter-karakter teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis, tetapi sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik dan non realis. Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan jaman dan lain-lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh manusia. Misalnya karakter yang diciptakan oleh Putu Wijaya pada lakon-lakonnya yang bergaya post-realistic, seperti tokoh A, D, C, Si Gembrot, Si Tua, Kawan, Pemimpin (lakon LOS) dan lain-lain.


Gb.47 Karakter karikatural


• Karikatural
Karikatural adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir seperti diperlihatkan dalam gambar 15 di atas. Karakter ini segaja diciptakan oleh penulis lakon sebagai penyeimbang antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan dengan keriangan suasana. Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh karakter tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara ucapan dengan tingkah laku. Misalnya, karakter Badut pada lakon Raja Lear karya Willilam Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo, kalau dianalisis dialognya menunjukkan betapa sangat satir dan dapat mengimbangi ketegangan suasana yang diciptakan oleh Raja Lear.

BADUT : Bakal kau alami, anakmu yang lain itu berbuat layak, sebab meskipun dia serupa kakaknya, seperti apel hutan serupa dengan apel biasa, namun aku tahu apa yang kutahu.

LEAR : Apa yang kau tahu, bocah?

BADUT : Seleranya sama, seperti apel sama rasanya dengan apel. Bisa menjawa, mengana hidung orang ada di tengah-tengah mukanya?

LEAR : Tidak.
BADUT : Yaitu supaya ada mata di kanan-kiriinya, jadi manusia dapat melihat apa yang tak mampu diciumnya.

LEAR : Aku berbuat salah terhadap dia –

BADUT : Tahu, bagaimana kerang membikin kulitnya?

LEAR : Tidak

BADUT : Aku pun tidak, tapi kutahu mengapa keong punya rumah.

LEAR : Ya?

BADUT : Yakni guna menyimpan kepalanya; tidak untuk diberikan pada anak-anaknya,hingga tanduknya tak berkerudung.

LEAR : Hendak kulupakan watakku – padahal ayahnya sebaik itu – Kudaku siap?

Dari dialog yang dilakukan oleh Raja Lear dengan Badut ini bisa dianalisis bahwa suasana yang diciptakan oleh Raja Lear cenderung pada suasana kemarahan karena telah diusir oleh anaknya, sedangkan dialog yang disampaikan oleh Badut cenderung lucu dan ceria meskipun berisi tentang olok-olok dan nasehat kepada Raja Lear.

BAB III
PENYUTRADARAAN

Pada mulanya pementasan teater tidak mengenal sutradara. Pementasan teater muncul dari sekumpulan pemain yang memiliki gagasan untuk mementaskan sebuah cerita. Kemudian mereka berlatih dan memainkkannya di hadapan penonton. Sejalan dengan kebutuhan akan pementasan teater yang semakin meningkat, maka para aktor memerlukan peremajaan pemain. Para aktor yang telah memiliki banyak pengalaman mengajarkan pengetahuannya kepada aktor muda. Proses mengajar dijadikan tonggak awal lahirnya “sutradara”. Dalam terminologi Yunani sutradara (director) disebut didaskalos yang berarti guru dan pada abad pertengahan di seluruh Eropa istilah yang digunakan untuk seorang sutradara dapat diartikan sebagai master.
Istilah sutradara seperti yang dipahami dewasa ini baru muncul pada jaman Geroge II. Seorang bangsawan (duke) dari Saxe-Meiningen yang memimpin sebuah grup teater dan menyelenggarakan pementasan keliling Eropa pada akhir tahun 1870-1880. Dengan banyaknya jumlah pentas yang harus dilakukan, maka kehadiran seorang sutradara yang mampu mengatur dan mengharmonisasikan keseluruhan unsur artistik pementasan dibutuhkan. Meskipun demikian, produksi pementasan teater Saxe-Meiningen masih mengutamakan kerja bersama antarpemain yang dengan giat berlatih untuk meningkatkan kemampuan berakting mereka (Robert Cohen, 1994).
Model penyutradaraan seperti yang dilakukan oleh George II diteruskan pada masa lahir dan berkembangnya gaya realisme. Andre Antoine di Perancis dengan Teater Libre serta Stansilavsky di Rusia adalah dua sutradara berbakat yang mulai menekankan idealisme dalam setiap produksinya. Max Reinhart mengembangkan penyutradaraan dengan mengorganisasi proses latihan para aktor dalam waktu yang panjang. Gordon Craig merupakan seorang sutradara yang menanamkan gagasannya untuk para aktor sehingga ia menjadikan sutradara sebagai pemegang kendali penuh sebuah pertunjukan teater (Herman J. Waluyo, 2001). Berhasil tidaknya sebuah pertunjukan teater mencapai takaran artistik yang diinginkan sangat tergantung kepiawaian sutradara. Dengan demikian sutradara menjadi salah satu elemen pokok dalam teater modern.
Oleh karena kedudukannya yang tinggi, maka seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan pementasan. Oleh karena itu, kerja sutradara dimulai sejak merencanakan sebuah pementasan, yaitu menentukan lakon. Setelah itu tugas berikutnya adalah menganalisis lakon, menentukan pemain, menentukan bentuk dan gaya pementasan, memahami dan mengatur blocking serta melakukan serangkaian latihan dengan para pemain dan seluruh pekerja artistik hingga karya teater benar-benar siap untuk dipentaskan.

1. Menentukan Lakon
Proses atau tahap pertama yang harus dilakukan oleh sutradara adalah menentukan lakon yang akan dimainkan. Sutradara bisa memilih lakon yang sudah tersedia (naskah jadi) karya orang lain atau membuat naskah lakon sendiri.

1.1 Naskah Jadi
Mementaskan teater dengan naskah yang sudah tersedia memiliki kerumitan tersendiri terutama pada saat hendak memilih naskah yang akan dipentaskan. Nskah tersebut harus memenuhi kreteria yang diinginkan serta sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan oleh sutradara dalam memilih naskah, seperti tertulis di bawah ini.
• Sutradara menyukai naskah yang dipilih. Jika sutradara memilih naskah yang akan ditampilkan dalam keadaan terpaksa maka bisa dipastikan hasil pementasan menjadi kurang baik. Naskah yang tidak dikehendaki akan membawa pengaruh dan masalah tersendiri bagi sutradara dalam mengerjakannya, seperti analisis yang kurang detil, pemilihan pemain yang asal-asalan, keseluruhan kerja menjadi tidak optimal.
• Sutradara merasa mampu mementaskan naskah yang telah dipilih. Mampu mementaskan sebuah naskah tentunya tidak hanya berkaitan dengan kecakapan sutradara, tetapi juga dengan unsur pendukung yang lain. Semua sumber daya dimiliki seperti pemain, penata artsitik, dan pendanaan menjadi pertimbangan dalam memilih naskah yang akan dipentaskan.
• Sutradara wajib mempertimbangkan sisi pendanaan secara khusus. Beberapa naskah yang baik terkadang memiliki konsekuensi logis dengan pendanaan. Misalnya, naskah yang dipilih memoiliki latar cerita di rumah mewah dengan segala perabot yang indah. Hal ini membawa dampak tersendiri dalam bidang pendanaan. Jika sutradara merasa mampu mengusahakan pendanaan secara optimal untuk mewujudkan tuntutan artistik lakon, maka naskah tersebut bisa dipilih. Jika tidak, sutradara harus mampu melakukan adaptasi sehingga pendanaan bisa dikurangi tanpa mengurangi nilai artistik lakon.
• Sutradara mampu menemukan pemain yang tepat. Naskah lakon yang baik tidak ada gunanya jika dimainkan oleh aktor yang kurang baik. Oleh karena itu, sutradara harus mampu mengukur kualitas sumber daya pemain yang dimiliki dalam menentukan naskah yang akan dipentaskan.
• Sutradara mampu tetap mementaskan naskah yang dipilih. Tidak ada gunanya berlatih naskah lakon tertentu dalam waktu lama jika di tengah proses tiba-tiba hal itu terhenti karena alasan tertentu. Sutradara dengan segenap kemampuannya harus mampu meyakinkan pemain dan mengusahakan pertunjukan agar tetap digelar sehingga proses yang telah dilakukan tidak menjadi sia-sia.

1.2 Membuat Naskah Sendiri
Membuat naskah lakon sendiri tidak menguntungkan karena akan memperpanjang proses pengerjaan. Akan tetapi berkenaan dengan sumber daya yang dimiliki, membuat naskah sendiri dapat menjadi pilihan yang tepat. Untuk itu, sutradara harus mampu membuat naskah yang sesuai dengan kualitas sumber daya yang ada. Naskah semacam ini bersifat situasional, tetapi semua orang yang terlibat menjadi senang karena dapat mengerjakannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Beberapa langkah di bawah ini dapat dijadikan acuan untuk menulis naskah lakon.
• Menentukan tema. Tema adalah gagasan dasar cerita atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada penonton. Tema, akan menuntun laku cerita dari awal sampai akhir. Misalnya tema yang dipilih adalah “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, maka dalam cerita hal tersebut harus dimunculkan melalui aksi tokoh-tokohnya sehingga penonton dapat menangkap maksud dari cerita bahwa sehebat apapun kejahatan pasti akan dikalahkan oleh kebaikan.
• Menentukan persoalan. Persoalan atau konflik adalah inti dari cerita teater. Tidak ada cerita teater tanpa konflik. Oleh karena itu pangkal persoalan atau titik awal konflik perlu dibuat dan disesuaikan dengan tema yang dikehendaki. Misalnya dengan tema “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, pangkal persoalan yang dibicarakan adalah sikap licik seseorang yang selalu memfitnah orang lain demi kepentingannya sendiri. Persoalan ini kemudian diikembangkan dalam cerita yang hendak dituliskan.
• Membuat sinopsis (ringkasan cerita). Gambaran cerita secara global dari awal sampai akhir hendaknya dituliskan. Sinopsis digunakan pemandu proses penulisan naskah sehingga alur dan persoalan tidak melebar. Dengan adanya sinopsis maka penulisan lakon menjadi terarah dan tidak mengada-ada.
• Menentukan kerangka cerita. Kerangka cerita akan membingkai jalannya cerita dari awal sampai akhir. Kerangka ini membagi jalannya cerita mulai dari pemaparan, konflik, klimaks sampai penyelesaian. Dengan membuat kerangka cerita maka penulis akan memiliki batasan yang jelas sehingga cerita tidak bertele-tele. William Froug (1993) misalnya, membuat kerangka cerita (skenario) dengan empat bagian, yaitu pembukaan, bagian awal, tengah, dan akhir. Pada bagian pembukaan memaparkan sketsa singkat tokoh-tokoh cerita. Bagian awal adalah bagian pengenalan secara lebih rinci masing-masing tokoh dan titik konflik awal muncul. Bagian tengah adalah konflik yang meruncing hingga sampai klimaks. Pada bagian akhir, titik balik cerita dimulai dan konflik diselesaikan. Riantiarno (2003), sutradara sekaligus penulis naskah Teater Koma, menentukan kerangka lakon dalam tiga bagian, yaitu pembuka yang berisi pengantar cerita atau sebab awal, isi yang berisi pemaparan, konflik hingga klimaks, dan penutup yang merupakan simpulan cerita atau akibat.
• Menentukan protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa laku keseluruhan cerita. Dengan menentukan tokoh protagonis secara mendetil, maka tokoh lainnya mudah ditemukan. Misalnya, dalam persoalan tentang kelicikan, maka tokoh protagonis dapat diwujudkan sebagi orang yang rajin, semangat dalam bekerja, senang membantu orang lain, berkecukupan, dermawan, serta jujur. Semakin detil sifat atau karakter protagonis, maka semakin jelas pula karakter tokoh antagonis. Dengan menulis lawan dari sifat protagonis maka karakter antagonis dengan sendirinya terbentuk. Jika tokoh protagonis dan antagonis sudah ditemukan, maka tokoh lain baik yang berada di pihak protagonis atau antagonis akan mudah diciptakan.
• Menentukan cara penyelesaian. Mengakhiri sebuah persoalan yang dimunculkan tidaklah mudah. Dalam beberapa lakon ada cerita yang diakhiri dengan baik tetapi ada yang diakhiri secara tergesa-gesa, bahkan ada yang bingung mengakhirinya. Akhir cerita yang mengesankan selalu akan dinanti oleh penonton. Oleh karena itu tentukan akhir cerita dengan baik, logis, dan tidak tergesa-gesa.
• Menulis. Setelah semua hal disiapkan maka proses berikutnya adalah menulis. Mencari dan mengembangkan gagasan memang tidak mudah, tetapi lebih tidak mudah lagi memindahkan gagasan dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, gunakan dan manfaatkan waktu sebaik mungkin.


2. Analisis Lakon
Menganalisis lakon adalah salah satu tugas utama sutradara. Lakon yang telah ditentukan harus segera dipelajari sehingga gambaran lengkap cerita didapatkan. Dengan analisis yang baik, sutradara akan lebih mudah menerjemahkan kehendak pengarang dalam pertunjukan.



2.1 Analisis Dasar
Analisis dasar adalah telaah unsur-unsur pokok yang membentuk lakon. Dalam proses analisis ini, sutradara memepelajari seluruh isi lakon dan menangkap gambaran lengkap lakon seperti apa yang tertulis. Jadi, dalam tahap ini sutradara hanya membaca kehendak pengarang melalui lakonnya. Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara adalah senagai berikut.
• Pesan Lakon. Merupakan bahan komunikasi utama yang hendak disampaikan kepada penonton. Berhasil atau tidaknya sebuah pertunjukan teater diukur dari sampai tidaknya pesan lakon kepada penonton. Oleh karena itu, sutradara wajib menemukan pesan utama dari lakon yang telah ditentukan. Apa yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui naskah lakon disebut pesan. Romeo and Juliet karya Shakespeare mengandung pesan bahwa seseorang yang telah menemukan cinta sejati tidak takut terhadap risiko apapun termasuk mati. Pesan ini ingin disampaikan oleh pengarang dengan akhir yang tragis dimana tokoh Romeo dan Juliet akhirnya mati bersama. Dinamika percintaan Romeo dan Juliet yang berakhir dengan kematian inilah yang harus ditekankan oleh sutradara kepada penonton.
• Konflik dan Penyelesaian. Penting mengetahui dasar persoalan (konflik) dalam sebuah lakon karena hal tersebut akan membawa laku aksi para tokohnya. Di bagian mana konflik itu muncul dan bagaimana aksi dan reaksi para tokohnya, pada bagian mana konflik itu memuncak, dan pada akhirnya bagaimana konflik itu diselesaikan. Semua ini akan memberi sudut pandang bagi sutradara dalam melihat, menilai, dan memahami konflik lakon. Selain itu sudut pandang pengarang dalam menyelesaikan konflik dapat menegaskan pesan yang hendak disampaikan.
• Karakter Tokoh. Analisis karakter tokoh sangat penting dan harus dilakukan secara mendetil agar sutradara mendapatkan gambaran watak sejelas-jelasnya. Karena tidak banyak arahan dan keterangan yang dituliskan mengenai karakter tokoh dalam sebuah lakon, maka sutradara harus menggalinya melalui kalimat-kalimat dialog. Perjalanan sebuah karakter terkadang tidak mengalami perubahan yang berarti tetapi beberapa tokoh dalam lakon (biasanya protagonis dan antagonis) bisa saja mengalami perubahan. Oleh karena itu analisis karakter ini harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati sehingga setiap perubahan karakter yang dialami oleh tokoh tidak lepas dari pengamatan sutradara.
• Latar Cerita. Gambaran tempat kejadian, peristiwa, dan waktu kejadian harus diungkapkan dengan jelas karena hal ini berkaitan dengan tata artistik. Untuk mewujudkan keadaan peristiwa seperti dikehendaki lakon di atas panggung maka informasi yang jelas mengenai latar cerita harus didapatkan. Misalnya, gambaran tempat kejadian persitiwa adalah di sebuah gedung maka harus dijelaskan apakah terjadi di sebuah gedung megah, sederhana atau mewah. Apakah gedung tersebut merupakan gedung pertemuan, dewan kota, museum, atau gedung pertunjukan. Di gedung tersebut cerita terjadi di ruang aula, teras gedung, dapur umum, atau di salah satu ruang khusus. Arsitektur gedung itu apakah menggunakan arsitektur kolonial, gaya spanyol, atau ciri khas daerah tertentu. Intinya informasi sekecil apapun harus didapatkan. Hal ini berlaku juga untuk latar peristiwa dan waktu. Semua informasi dikumpulkan dan diseleksi untuk kemudian diwujudkan dalam pementasan. Dengan demikian penonton akan mendapatkan gambaran yang jelas latar cerita yang dimainkan.

2.2 Interpretasi
Setelah menganalisis lakon dan mendapatkan informasi lengkap mengenai lakon, maka sutradara perlu melakukan tafsir atau interpretasi. Berdasarkan hasil analisis, sutradara memberi sentuhan dan atau penyesuaian artistik terhadap lakon yang akan dipentaskan. Proses ini bisa disebut sebagai proses asimilasi (perpaduan) antara gagasan sutradara dan pengarang. Seorang sutradara sebetulnya boleh tidak melakukan interpretasi terhadap lakon, artinya, ia hanya sekedar melakukan apa yang dikehendaki oleh lakon apa adanya sesuai dengan hasil analisis. Akan tetapi sangat mungkin seorang sutradara memiliki gagasan astistik tertentu yang akan ditampilkan dalam pementasan setelah menganalisa sebuah lakon. Proses interpretasi biasanya menyangkut unsur latar, pesan, dan penokohan.
• Latar. Adaptasi terhadap tempat kejadian peristiwa sering dilakukan oleh sutradara. Secara teknis hal ini berkaitan dengan sumber daya yang dimiliki. Misalnya, dalam lakon mengehendaki tempat kejadian di sebuah apartemen yang mewah, tetapi karena ketersediaan sumber daya yang kurang memadahi maka bentuk penampilan apartemen mewah disesuaikan. Secara artistik, sutradara dapat menafsirkan tempat kejadian secara simbolis. Misalnya, apartemen mewah disimbolkan sebagai pusat kekuasaan maka tata panggungnya disesuaikan dengan simbolisasi tersebut. Ketika adaptasi ini dilakukan maka unsur-unsur lain pun seperti tata rias dan busana akan ikut terkait dan mengalamu penyesuaian. Penyesuaian inipun berkaitan langsung dengan latar waktu dan peristiwa. Jika apartemen disimbolkan sebagai pusat kekuasaan maka peristiwa yang terjadi di dalamnya juga harus mengikuti simbolisasi ini sedangkan latar waktunya bisa ditarik ke masa lalu atau masa kini seperti yang dikehendaki oleh sutradara. Oleh karena itulah pentas teater dengan lakon-lakon yang sudah berusia lama seperti Oedipus, Antigone, Romeo and Juliet masih aktual dipentaskan sekarang ini.
• Pesan. Hal yang paling menarik mengenai penyampaian pesan kepada penonton adalah caranya. Cara menyampaikan pesan antara sutradara satu dengan yang lain bisa berbeda meskipun lakon yang dipentaskan sama. Cara menyampaikan pesan ini menjadi titik tafsir lakon yang penting karena pesan inilah inti dari keseluruhan lakon. Untuk menekankan pesan yang dimaksud ada sutradara yang memberi penonjolan pada tata artistik, misalnya warna-warna yang digunakan di atas panggung. Ada juga sutradara yang menonjolkan laku aksi aktor di atas pentas sehingga adegan dibuat dan dikerjakan secara detil. Masing-masing cara penonjolan pesan ini mempengaruhi unsur-unsur lain dalam pementasan. Dengan demikian sutradara harus benar-benar memikirkan cara menyampaikan pesan lakon dengan mempertimbangkan unsur-unsur lakon dan sumber daya yang dimiliki.
• Penokohan. Tafsir ulang terhadap tokoh lakon paling sering dilakukan. Hal ini biasanya berkaitan dengan isu atau topik yang sedang hangat terjadi di masyarakat. Tafsir ulang tokoh tidak hanya sekedar mengubah nama dan menyesuaikan bentuk penampilan fisik, tetapi juga mental, emosi, dan keseluruhan watak tokoh. Misalnya, sebuah lakon yang tokoh-tokohnya memiliki latar belakang budaya Eropa hendak diadaptasi ke dalam budaya Indonesia. Banyak hal yang harus dilakukan selain mengganti nama dan penampilan fisik, yaitu cara berbicara, gaya berjalan, tata krama, pandangan hidup, takaran emosi dan cara berpikir. Semuanya memliki keterkaitan. Misalnya, dalam budaya Eropa orang bepikir secara bebas sementara orang Indonesia cenderung mempertimbangkan hal-hali lain (tata krama, pranata sosial) di luar hal utama yang dipikirkan. Hal ini mempengaruhi hasil pemikiran dan cara mengungkapkan hasil pikiran tersebut. Dengan demikian cara pandang sutradara terhadap keseluruhan lakon pun harus diubah atau mengalami penyesuaian.


2.3 Konsep Pementasan
Hasil akhir dari analisis naskah adalah konsep pementasan. Dalam konsep ini sutradara menjelaskan secara lengkap mengenai cara menyampaikan pesan yang berkaitah dengan pendekatan gaya pementasan dan pendekatan pemeranan serta memberikan gambaran global tata artistik.
• Pendekatan gaya pementasan. Seniman teater dunia telah banyak berusaha melahirkan gaya pementasan. Dewasa ini hampir tidak bisa ditemukan gaya pementasan murni yang dihasilkan seorang sutradara atau pemikir teater. Setiap kelahiran gaya baru memiliki keterkaitan atau perlawanan terhadap gaya tertentu (baca bagian sejarah teater). Oleh karena itu, hal yang paling bisa adalah mendekatkan gaya pementasan dengan gaya tertentu yang sudah ada. Istilah pendekatan di sini digunakan dalam arti sutradara tidak hanya sekedar melaksanakan sebuah gaya secara wantah (utuh) tetapi ada pengembangan atau penyesuaian di dalamnya. Untuk itu, sutradara harus memahami gaya-gaya pementasan. Dengan demikian pendekatan yang dilakukan tidak salah sasaran. Konvensi atau aturan main sebuah pertunjukan diungkapkan dalam poin ini, misalnya, karena menggunakan pendekatan gaya presentasional, maka bahasa dialog antaraktor menggunakan bahasa yang puitis. Gerak laku aktor distilisasi atau diperindah. Aktor boleh berbicara secara langsung kepada penonton.
• Pendekatan pemeranan. Setelah menetapkan pendekatan gaya, maka metode pemeranan yang dilakukan perlu dituliskan. Hal ini sangat berguna bagi aktor. Metode akting berkaitan dengan pencapaian aktor (standar) sesuai dengan pendekatan gaya pementasannya. Misalnya, penggunaan bahasa puitis dengan sendirinya membuat aktor harus mau memahami dan melakukan latihan teknik-teknik membaca puisi agar dalam pengucapan dialog tidak seperti percakapan sehari-hari. Hal ini mempengaruhi bentuk dan gaya penampilan aktor dalam beraksi. Sutradara harus membuat metode tertentu dalam sesi latihan pemeranan untuk mencapai apa yang dinginkan.
• Gambaran tata artistik. Secara umum, sutradara harus menuliskan gambaran (pandangan) tata artistiknya. Meski tidak secara mendetil, tetapi gambaran tata artisitk berguna bagi para desainer untuk mewujudkannya dalam desain. Jika sutradara mampu, maka ia bisa memberikan gambaran tata artistik melalui sketsa. Jika tidak, maka ia cukup menuliskannya. Di bawah ini contoh sketsa tata artistik.


Gb.48 Contoh sketsa tata panggung

Gambar 48 menunjukkan keinginan sutradara untuk menghadirkan rumah sederhana di lingkungan yang tandus (berbatu) di atas pentas.


Gb.49 Contoh sketsa tata busana Gb.50 Contoh sketsa tata rias
Gambar 49 menunjukkan keinginan sutradara untuk mengkombinasikan tata busana pelaut dan perompak. Topi dan sepatu yang dikenakan mengambil bentuk dari busana pelaut sementara jaket dan belati mengambil dari busana perompak. Dalam gambar 50 sutradara menginginkan tata rias dan rambut yang natural. Tidak banyak modifikasi.

3. Memilih Pemain
Menentukan pemain yang tepat tidaklah mudah. Dalam sebuah grup atau sanggar, sutradara sudah mengetahui karakter pemain-pemainnya (anggota). Akan tetapi, dalam sebuah grup teater sekolah yang pemainnya selalu berganti atau kelompok teater kecil yang membutuhkan banyak pemain lain sutradara harus jeli memilih sesuai kualifikasi yang dinginkan. Grup teater tradisional biasanya memilih pemain sesuai dengan penampilan fisik dengan ciri fisik tokoh lakon, misalnya dalam wayang orang atau ketoprak. Akan tetapi, dalam teater modern, memilih pemain biasanya berdasar kecapakan pemain tersebut.

3.1 Fisik
Penampilan fisik seorang pemain dapat dijadikan dasar menentukan peran. Biasanya, dalam lakon yang gambaran tokohnya sudah melekat di masyarakat, misalnya tokoh-tokoh dalam lakon pewayangan, penentuan pemain berdasar ciri fisik ini menjadi acuan utama.
• Ciri Wajah. Berkaitan langsung dengan penampilan mimik aktor. Meskipun kekurangan wajah bisa ditutupi dengan tata rias, tetapi ciri wajah pemain harus diusahakan semirip mungkin dengan ciri wajah tokoh dalam lakon. Hal ini dianggap dapat mampu melahirkan ekspresi wajah yang natural. Misalnya, dalam cerita Kabayan, maka pemain harus memiliki ciri wajah yang tampak tolol.
• Ukuran Tubuh. Dalam kasus tertentu, ukuran tubuh merupakan harga mati bagi sebuah peran. Misalnya, dalam wayang wong, tokoh Bagong memiliki ukuran tubuh tambun (gemuk), maka pemain yang dipilih pun harus memiliki tubuh gemuk. Tidak masuk akal jika Bagong tampil dengan tubuh kurus.
• Tinggi Tubuh. Hal ini juga sama dengan ukuran tubuh. Tokoh Werkudara (Bima) harus diperankan oleh orang yang bertubuh tinggi besar. Sutradara akan diprotes oleh penonton jika menampilkan Bima bertubuh kurus dan pendek, karena tidak sesuai dengan karakter dan akan menyalahi laku lakon secara keseluruhan.
• Ciri Tertentu. Ciri fisik dapat pula dijadikan acuan untuk menentukan pemain. Misalnya, dalam ketoprak, seorang yang tinggi tapi bungkuk dianggap tepat memainkan peran pendeta. Seorang yang memiliki kumis, janggut, dan brewok tebal cocok diberi peran sebagai warok atau jagoan.


3.2 Kecakapan
Menentukan pemain berdasar kecapakan biasanya dilakukan melalui audisi. Meskipun dalam khasanah teater modern, sutradara dapat menilai kecakapan pemain melalui portofolio tetapi proses audisi tetap penting untuk menilai kecakapan aktor secara langsung.
• Tubuh. Kesiapan tubuh seorang pemain merupakan faktor utama. Tidak ada gunanya seorang aktor bermain dengan baik jika fisiknya lemah. Dalam sebuah produksi yang membutuhkan latihan rutin dan intens dalam kurun waktu yang lama ketahanan tubuh yang lemah sangatlah tidak menguntungkan. Untuk menilai kesiapan tubuh pemain, maka latihan katahanan tubuh dapat diujikan.
• Wicara. Kemampuan dasar wicara merupakan syarat utama yang lain. Dalam teater yang menggunakan ekspresi bahasa verbal kejelasan ucapan adalah kunci ketersampaian pesan dialog. Oleh karena itu pemain harus memiliki kemampuan wicara yang baik. Penilaian yang dapat dilakukan adalah penguasan, diksi, intonasi, dan pelafalan yang baik. Dengan memberikan teks bacaan tertentu, calon aktor dapat dinilai kemampuan dasar wicaranya.
• Penghayatan. Menghayati sebuah peran berarti mampu menerjemahkan laku aksi karakter peran dalam bahasa verbal dan ekspresi tubuh secara bersamaan. Untuk menilai hal ini, sutradara dapat memberikan penggalan adegan atau dialog karakter untuk diujikan. Calon aktor, harus mampu menyajikannya dengan penuh penghayatan. Untuk menguji lebih mendalam sutrdara juga dapat memberikan penggalan dialog karakter lain dengan muatan emosi yang berbeda.
• Kecakapan lain. Kemampuan lain selain bermain peran terkadang dibutuhkan. Misalnya, seorang calon aktor yang memiliki kemampuan menari, menyanyi atau bermain musik memiliki nilai lebih. Mungkin dalam sebuah produksi ia tidak memenuhi kriteria sebagai pemain utama, tetapi bisa dipilih sebagai seorang penari latar dalam adegan tertentu. Untuk itu, portofolio sangat penting bagi seorang aktor profesional. Catatan prestasi dan kemampuan yang dimiliki hendaknya ditulis dalam portofolio sehingga bisa menjadi pertimbangan sutradara.




4. Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan
Bentuk dan gaya pementasan membingkai keseluruhan penampilan pementasan. Penting bagi sutradara untuk menentukan dengan tepat bentuk dan gaya pementasan. Bentuk dan gaya yang dipilih secara serampangan akan mempengaruhi kualitas penampilan. Kehati-hatian dalam memilih bentuk dan gaya bukan saja karena tingkat kesulitan tertentu, tetapi latar belakang pengetahuan dan kemampuan sutradara sangat menentukan. Di bawah ini akan dibahas bentuk dan gaya pementasan menurut penuturan cerita, bentuk penyajian, dan gaya penyajian. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan kecakapan sutradara dalam bidang tertentu untuk melaksanakannya.

4.1 Menurut Penuturan Cerita
Ada dua jenis pertunjukan teater menurut penuturan ceritanya, yaitu berdasar naskah lakon dan improvisasi. Teater tradisional biasanya memilih imporivisasi karena semua pemain telah memahami dengan baik cerita yang akan dilakonkan dan karakter tokoh yang akan diperankan. Sebaliknya, teater modern menggunakan naskah lakon sebagai sumber penuturan. Meskipun beberapa kelompok teater modern tertentu memperbolehkan improvisasi (biasanya lakon komedi situasi) tetapi sumber utama dialognya diambil dari naskah lakon.

4.1.1 Berdasar Naskah Lakon
Mementaskan teater berdasarkan naskah lakon menjadi ciri umum teater modern. Hal ini memiliki kelebihan tersendiri, di antaranya adalah sebagai berikut.
• Durasi waktu dapat ditentukan dengan pasti. Karena dialog peran sudah ditentukan dan tidak boleh ditambah atau dikurangi maka durasi pementasan dapat ditentukan. Dari serangkaian latihan yang dikerjakan secara rutin dan kontinyu ditambah dengan unsur artistik dan teknis maka lamanya pertunjukan teater berdasar naskah dapat ditetapkan. Bahkan dalam produksi teater profesional yang semuanya dirancang dengan baik, lamanya adegan, perpindahan antaradegan, dan tanda keluar-masuk ilustrasi musik atau pencahayaan ditentukan waktunya sehingga setiap detik sangat berharga dan menentukan berhasil tidaknya pertunjukan tersebut.
• Arahan dialog sudah ada. Sutradara tidak perlu menambah atau mengurangi dialog yang sudah tertulis dalam lakon kecuali punya keinginan mengadaptasinya. Tugas aktor adalah menghapalkan dialog tersebut dan mengucapkannya dalam pementasan. Dalam lakon terkadang arahan emosi berkaitan dengan dialog juga dituliskan sehingga sutrdara lebih mudah dalam memantau emosi tokoh yang diperankan aktor.
• Arahan laku permainan dapat ditemukan dalam naskah. Dengan mempelajari naskah, arahan laku permainan dari awal sampai akhir dapat ditemukan. Dengan demikian, sutradara mudah dalam membuat perencanaan blocking.
• Konflik dan penyelesaian tidak bekembang. Karena tidak ada impovisasi, maka konflik dan penyelesaian lakon pasti.
• Fokus permasalahan telah ditentukan. Sutradara menjadi mudah menentukan penekanan permasalahan lakon. Pengembangan yang dilakukan hanyalah persoalan sudut pandang.
• Gambaran bentuk latar kejadian dapat ditemukan dalam naskah. Lakon telah menyediakan gambaran lengkap laku perisitiwa melalui dialog tokoh-tokohnya. Gambaran ini sangat penting bagi sutradara untuk mewujudkannya di atas pentas. Kalaupun hendak melakukan adaptasi atau penyesuaian, sutradara telah mendapatkan gambarannya.
Di samping kelebihan tersebut di atas, pementasan teater berdasar naskah lakon juga memiliki kekurangan dan problem tersendiri.
• Jika sumber daya yang dimiliki tidak sesuai dengan kehendak lakon harus dilakukan adaptasi. Hal ini perlu dilakukan. Jika memaksakan kehendak harus sesuai dengan gagasan lakon, maka kerja sutradara akan semakin keras. Tergantung dari kekurangan sumber daya yang dimiliki. Jika sumber daya manusia (aktor) yang kurang, maka sutradara memerlukan waktu ekstra untuk membimbing para aktornya. Jika sumber dana yang kurang maka tim poruduksi harus berusaha keras untuk memenuhi tuntutan tersebut. Jika hendak menyesuaikan dengan ketersediaan sumber daya, maka adaptasi lakon harus dilakukan. Sutradara perlu meluangkan waktu untuk melakukannya.
• Kreativitas aktor terbatas. Dengan ditentukannya arah laku maka kreativitas aktor di atas panggung menjadi terbatas. Meskipun secara artistik tidak masalah, tetapi karya teater menjadi karya sutradara. Aktor tidak memiliki kebebasan penuh selain menerjemahkan konsep artistik sutradara.
• Tidak memungkinkan pengembangan cerita. Cerita yang telah dituliskan oleh pengarang harus ditaati. Setuju atau tidak setuju terhadap cerita, konflik, dan penyelesaian konflik, sutradara harus mengikutinya. Jika sutradara hendak mengembangkan cerita, konflik dan mengubah cara penyelesaian, ia harus mendapatkan ijin dari penulis naskah lakon. Jika ia tetap melakukannya, maka sutradara telah melanggar kode etik dan hak karya artistik. Jika naskah lakon tersebut telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan memiliki hak cipta maka sutradara bisa dituntut di muka hukum.

4.1.2 Improvisasi
Mementaskah teater secara improvisasi memiliki keunikan tersendiri. Sutradara hanya menyediakan gambaran cerita selanjutnya aktor yang mengembangkannya dalam permainan. Beberapa kelebihan pentas teater improvisasi adalah;
• Kreativitas sutradara dan aktor dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Sutradara dapat mengembangkan cerita dengan bebas dan aktor dapat mengembangkan kemungkinan gaya permainan dengan bebas pula. Dalam proses latihan terkadang sutradara mendapat inspirasi dari laku aksi pemain demikian pula sebaliknya. Dengan berkembangnya cerita maka aktor mendapatkan arahan laku lain yang bisa dicobakan.
• Arahan laku terbuka. Oleh karena tidak ada petunjuk arah laku yang jelas, maka aktor dapat mengembangkannya. Terkadang hal ini dapat menimbulkan efek artistik yang alami dan menarik.
• Konflik dan sudut pandang penyelesaian bisa dikembangkan. Sifat teater improvisasi yang terbuka memungkinkan pengembangan konflik dan penyelesaian. Dalam teater tradisional, mereka biasanya menerima pesan tertentu dari penyelenggara. Pesan ini dengan luwes dapat diselipkan dalam lakon. Terkadang untuk menyampaikan pesan titipan tersebut konflik minor baru dimunculkan. Setelah konflik ini diselesaikan dengan cara yang khas dan lucu maka cerita kembali ke konflik semula.
• Memungkinkan percampuran bentuk gaya. Dalam teater improvisasi gaya pementasan juga terbuka. Misalnya, dalam pertunjukan ketoprak sebuah adegan dilakukan mengikuti kaidah gaya presentasional (adegan Istana), tetapi di adegan lain menggunakan gaya realis (adegan dagelan). Pencampuran gaya ini dimaksudkan untuk memenuhi selera penonton.
• Cerita bisa disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki. Salah satu kelebihan utama teater improvisasi adalah cerita dan pemeran dapat dibuat berdasarkan sumber daya yang dimiliki. Jika banyak pemain yang bisa melucu maka cerita komedi akan efektif, tetapi jika jumlah pemain yang memiliki kemampuan laga banyak, maka cerita penuh aksi dapat dijadikan pilihan. Kemampuan sumber daya ini bisa dijadikan strategi untuk membuat pertunjukan menarik dan memiliki ciri khas tertentu.


Di balik semua kelebihan di atas, teater improvisasi juga memiliki kekurangan yang patut diperhatikan oleh sutradara.
• Durasi waktu tidak tertentu. Oleh karena cerita bisa dikembangkan, maka durasi pementasan bisa berubah-ubah. Semua tergantung dari improvisasi aktor di atas pentas. Sutradara bisa memotong sebuah adegan yang berjalan cukup lama dengan membunyikan tanda agar musik dimainkan dan adegan segera diselesaikan. Kekurangan dari pemotongan adegan ini adalah jika inti dialog (persoalan) belum sempat terucapkan maka inti dialog harus diucapkan pada adegan berikutnya.
• Improvisasi dialog tidak berimbang. Dalam sebuah grup teater, kemampuan setiap aktor pasti tidak sama. Oleh karena itu, jika sutradara tidak jeli memahami hal ini, bisa jadi ia memasangkan aktor yang memilliki kemampuan tak berimbang dalam improvisasi. Akibatnya, dalam adegan tersebut aktor yang satu terlalu aktif dan yang lain pasif. Jika hal ini terjadi cukup lama, maka akan membosankan.
• Kualitas dialog tidak dapat distandarkan. Karena tidak ada arahan dialog yang baku, maka kualitas dialog tidak bisa distandarkan. Bagi aktor yang memiliki kemampuan sastra memadai tidak jadi masalah, tetapi bagi aktor yang kualitas sastranya pas-pasan hal ini menjadi masalah besar. Untuk itu, meskipun improvisasi, latihan adegan tetap harus sering dilakukan.
• Kemungkinan aktor melakukan kesalahan lebih besar. Sifat akting adalah aksi dan reaksi. Jika seorang aktor beraksi, maka aktor lawan mainnya harus bereaksi. Karena arahan laku yang terbuka maka reaksi ucapan sering dilakukan spontan dan belum tentu benar. Di samping itu, kesalahan ucap atau penyampaian informasi tertentu bisa saja salah karena memang tidak dicatat dan hanya diingat garis besarnya saja.
• Sutradara tidak bisa sepenuhnya mengendalikan jalannya pementasan. Jika pementasan sudah berjalan, maka panggung sepenuhnya adalah milik aktor. Sutradara tidak bisa lagi mengendalikan jalannya pertunjukan. Aktor mengambil peran penuh. Karena sifatnya yang serba terbuka, aktor bisa mengembangkan cerita dan gaya permainan di atas pentas dan sutradara tidak bisa lagi mengarahkan secara langung. Jika dalam teater berbasis naskah, lakon sebagai pengendali cerita maka dalam teater imrpovisasi aktor harus mampu mengendalikan jalannya cerita.



4.2 Menurut Bentuk Penyajian
Banyaknya pilihan bentuk penyajian pementasan teater membuat sutradara harus jeli dalam menentukannya. Jika tidak, sutradara akan kerepotan sendiri. Oleh karena setiap bentuk penyajian memiliki kekhasan dan membutuhkan prasyarat tertentu yang harus dipenuhi, maka sutradara wajib mengetahui langkah-langkah dalam melaksanakannya.

4.2.1 Teater Gerak
Teater gerak lebih banyak membutuhkan ekspresi gerak tubuh dan mimik muka daripada wicara. Pesan yang tidak disampaikan secara verbal membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengelolanya. Di bawah ini beberapa langkah yang bisa diambil oleh sutradara dalam menggarap teater gerak
• Sutradara mampu mengeksplorasi dan menciptakan gerak. Simbol dan makna yang disampaikan melalui gerak harus dikerjakan dengan teliti. Jika tidak, maka maknanya akan kabur. Sutrdara harus mampu mengeksplorasi dan menciptakan gerak sesuai dengan makna pesan yang hendak disampaikan.
• Memahami komposisi dan koreografi. Karena bekerja dengan gerak, maka teori komposisi dan koreografi dasar wajib dimiliki oleh sutradara. Penataan gerak tidak bisa dikerjakan dengan serampangan, harus mempertimbangkan makna pesan, suasana, dan terutama musik ilustrasinya. Untuk mendukung rangkaian gerak yang telah diciptakan, pengaturan pemain perlu dilakukan. Meskipun rangkaian gerak yang dihasilkan sangat indah, tetapi jika komposisi (tata letak) pemainnya tidak berubah akan melahirkan kejenuhan.
• Mewujudkan bahasa dalam simbol gerak. Mengubah bahasa dalam simbol gerak tidaklah mudah. Apalagi jika sudah menyangkut makna. Oleh karena itu, sutradara harus bisa mewujudkan bahasa verbal dalam simbol gerak.
• Mewujudkan ekspresi melalui mimik para aktor. Ekspresi emosi atau karakter peran harus bisa diwujudkan melalui mimik para aktor. Oleh karena keterbatasan bahasa verbal dalam pertunjukan teater gerak, maka ekspresi mimik menjadi sangat penting.
• Mengerti musik ilustrasi. Meskipun tidak bisa memainkan musik, sutradara teater gerak harus mengerti kaidah musik ilustrasi. Kapan musik mengikuti gerak pemain, kapan pemain harus menyesuaikan dengan alunan musik, kapan musik hadir sebagai latar suasana, dan perbedaannya harus dimengerti oleh sutradara.
• Jika pemain dalam jumlah banyak, maka pengaturan blocking harus lebih teliti. Jumlah pemain yang banyak menimbulkan persoalan tersendiri, terutama menyangkut komposisi. Jika tidak pintar mengelola, maka banyaknya jumlah pemain justru akan memenuhi panggung dan membuat suasana menjadi sesak. Menempatkan pemain dalam posisi dan gerak yang tepat akan membuat pertunjukan semakin menarik. Jika jumlah pemain banyak dan harus bergerak secara serempak, maka dianjurkan untuk mengkreasi gerak sederhana yang mudah dilakukan. Jika gerak terlalu sulit, maka irama rampak gerak yang diharapkan bisa kacau.
• Jika pemain sedikit maka motif gerak harus lebih variatif. Jumlah pemain bisa disiasati dengan menambah perbendaharaan gerak. Motif gerak yang kaya akan membuat tampilan menjadi variatif dan menyegarkan.


4.2.2 Teater Boneka
Teater boneka memiliki karakter yang khas tergantung jenis boneka yang dimainkan. Kewajiban sutradara tidak hanya mengatur pemain manusia, tetapi juga mengatur permainan boneka. Di bawah ini beberapa langkah yang bisa dikerjakan oleh sutradara yang hendak mementaskan teater boneka.
• Mampu memainkan boneka dengan baik. Banyak jenis boneka dan masing-masing membutuhkan teknik khusus dalam memperagakannya. Boneka dua dimensi seperti wayang kulit memiliki teknik memainkan berbeda dengan boneka tiga dimensi seperti wayang golek. Boneka wayang golek memiliki teknik permainan yang berbeda dengan boneka marionette yang dimainkan dengan tali. Sutradara harus bisa memainkan boneka tersebut.
• Mampu mengisi suara sesuai dengan karakter boneka. Mengisi suara sesuai karakter boneka menjadi prasyarat utama. Karakter suara harus bisa tampil secara konsisten dari awal hingga akhir pertunjukan. Biasanya seorang pemain boneka bisa membuat beberapa karakter suara yang berbeda.
• Mampu menghidupkan ekspresi boneka yang dimainkan. Memainkan boneka bisa saja dipelajari, tetapi memberikan ekspresi hidup adalah hal yang lain. Ekspresi selalu menyangkut penghayatan dan konsentrasi. Karena peran diperagakan oleh boneka, maka karakter boneka harus benar-benar melekat sehingga pengendali boneka seolah-olah bisa memberikan nafas hidup di dalamnya. Boneka yang dimainkan dengan hidup akan menarik dan tampak nyata.
• Jika pemain boneka banyak maka harus mampu mengatur adegan agar pergerakan boneka tidak saling mengganggu. Jika lakon yang dimainkan membutuhkan banyak peran, maka pengaturan adegan harus dikerjakan dengan teliti. Tempat pertunjukan teater boneka yang terbatas harus disesuaikan dengan jumlah boneka yang tampil. Selain itu, seorang pengendali biasanya hanya bisa mengendalikan maksimal dua boneka, maka penampilan boneka yang terlalu banyak juga akan merepotkan para pengendalinya.
• Jika pemain sedikit harus memiliki kemampuan mengisi suara dengan karakter yang berbeda. Jumlah pengendali boneka yang sedikit tidak masalah asal setiap orang mampu menciptakan beberapa karakter suara. Yang terpenting dan perlu dicatat adalah setiap boneka mempunyai karakter suaranya sendiri.
• Mampu membangun kerjasama antarpemain boneka. Dalam teater boneka kerjasama antarpemain tidak hanya menyangkut emosi, tetapi juga menyangkut hal-hal teknis. Keluar masuknya boneka di atas pentas berkaitan langsung dengan pengendali bonekanya. Oleh karena itu, pengaturan adegan boneka disesuaikan dengan kemampuan pengendali. Jika tidak ada kerjasama yang baik antarpemain (pengendali boneka), maka pergantian adegan bisa semrawut sehingga para pemain kewalahan.

4.2.3 Teater Dramatik
Mementaskan teater dramatik membutuhkan kerja keras sutradara terutama terkait dengan akting pemeran. Oleh karena tuntutan pertunjukan teater dramatik yang mensyaratkan laku aksi seperti kisah nyata, maka sutradara harus benar-benar jeli dalam menilai setiap aksi para aktor. Demikian juga dengan suasana kejadian, semua harus tampak natural, tidak dibuat-buat. Beberapa langkah yang dapat dikerjakan oleh sutradara dalam menggarap teater dramatik adalah sebagai berikut.
• Memahami tensi dramatik (dinamika lakon). Laku lakon dari awal sampai akhir mengalami dinamika atau ketegangan yang turun naik. Sutradara harus memahami bobot tegangan (tensi) dramatik dalam setiap adegan yang ada pada lakon. Jika pada bagian awal konflik tegangan terlalu tinggi, maka aktor akan kesulitan meninggikan tegangan pada saat klimaks. Hasil akhirnya adalah anti klimaks di mana pada adegan yang seharusnya memiliki tensi tinggi justru melemah karena energi para aktornya telah habis. Untuk menghindari hal tersebut sutradara harus benar-benar teliti dalam mengukur tegangan dramatik adegan per adegan dalam lakon. Jika dianalogikan dengan nilai 1 sampai dengan 10, maka sutradara harus menetapkan tegangan optimal dan minimal. Angka tertinggi dari deret tegangan yang harus dicapai oleh aktor adalah 8 atau 9, sehingga ketika dalam adegan tertentu membutuhkan tegangan yang lebih aktor masih bisa mengejarnya. Intinya, bijaksanalah dalam menentukan tegangan dramatik adegan dan buatlah klimaks yang mengesankan dan penyelesaian yang dramatis.
• Memahami sisi kejiwaan karakter peran. Hal yang paling sulit dilakukan oleh sutradara adalah membongkar kejiwaan karakter peran dan mewujudkannya dalam laku aktor di atas pentas. Sisi kejiwaan yang menyangkut perasaan karakter peran harus dapat ditampilkan senatural mungkin sehingga penonton menganggap hal itu benar-benar nyata terjadi. Di sinilah letak kesulitannya, aktor diharuskan berakting tetapi seolah-olah ia tidak berakting melainkan melakukan kenyataan hidup. Jika sutradara tidak memahami kejiwaan karakter peran dengan baik maka penilaiannya terhadap kualitas penghayatan aktor pun kurang baik. Jika demikian, maka efek dramatik yang diharapkan dari aksi aktor menjadi gagal.
• Mampu meningkatkan kualitas pemeranan aktor untuk menghayati peran secara optimal. Berkaitan dengan karakter peran, sutradara harus dapat menentukan metode yang tepat agar para aktornya dapat memahami, menghayati dan memerankan karakter dengan baik. Banyak sutradara yang mengadakan semacam pemusatan latihan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan tujuan agar para aktornya berada dalam suasana lakon yang akan dipentaskan.
• Mampu menghadirkan laku cerita seperti sebuah kenyataan hidup. Langkah pamungkas yang dapat dijadikan patokan adalah menghadirkan pentas seperti sebuah kenyataan hidup. Membuat penonton terkesima dengan pertunjukan tidaklah mudah. Dalam teater dramatik, jika melakonkan cerita yang sedih ukuran keberhasilannya adalah membuat penonton ikut terhanyut sedih. Demikian pula dengan cerita suka-ria, maka penonton harus dibawa dalam suasana yang suka-ria. Untuk mencapai hasil maksimal maka kejelian sutradara dalam mengamati dan menangani keseluruhan unsur pertunjukan sangat dibutuhkan. Kejanggalan-kejanggalan kecil yang dirasa kurang masuk akal oleh penonton akan mengurangi kualitas dramatika lakon yang dihadirkan. Teater dramatik adalah teater yang mencoba meniru peristiwa kehidupan secara total dan sempurna. Jadi, hindarilah kesalahan atau hal yang tidak lumrah dan berada di luar jangkauan nalar penonton.

4.2.4 Drama Musikal
Kemampuan multi harus dimiliki oleh seorang sutradara jika hendak mementaskan drama musikal. Bahasa ungkap yang beragam antara bahasa verbal, lagu, gerak, dan musikal harus dirangkai secara harmonis untuk mencapai hasil maksimal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sutradara dalam drama musikal adalah sebagai berikut.
• Mengerti karya musik dramatik. Sutradara tidak harus bisa memainkan musik, tetapi memahami karya musik merupakan keharusan dalam drama musikal. Peranan musik sangat doniman dalam drama musikal bahkan musik bisa hadir secara mandiri untuk menceritakan sesuatu. Artinya, musik itu sendiri sudah bercerita sehingga pemain atau penari yang berada di atas panggung hanyalah pelengkap gambaran peristiwa. Pada adegan lain, peran musik bisa menjadi pengiring lagu yang bercerita, pengiring gerak, dan ilustrasi suasana kejadian. Kepiawaian sutradara dalam menentukan kegunaan karya musik yang satu dengan yang lain benar-benar dibutuhkan. Jika karya drama musikal tersebut berawal dari karya musik murni (musik yang bercerita) seperti The Cats karya Andrew Lloyd Webber, maka sutradara harus benar-benar piawai dalam mengolah visualisasinya di atas pentas.
• Mengerti lagu dan nyanyian. Peranan dialog verbal yang digubah dalam bentuk lagu dan diucapkan melalui nyanyian adalah satu hal yang membutuhkan perhatian tersendiri. Ketepatan nada dalam nyanyian serta ekspresi wajah ketika menyanyi juga tidak boleh luput dari pengamatan. Banyak penyanyi yang memiliki suara baik tetapi ekspresinya datar, demikian pula sebaliknya. Sutradara harus mampu memecahkan masalah dasar tersebut. Lagu dan nyanyian harus bisa ditampilkan secara baik dan harmonis.
• Mampu membuat gerak dan ekspresi berdasar karya musik. Pada adegan dimana musik bercerita secara mandiri maka sutradara harus mampu memvisualisasikan cerita tersebut di atas pentas. Memilih pelaku yang tepat dan membuat komposisi atau koreografi berdasar karya musik yang ada. Ekspresi cerita melalui nada-nada musik harus benar-benar bisa divisualisasikan dengan tepat.
• Mampu membuat gerak, komposisi, dan koreografi. Dalam satu adegan saat cerita diungkapkan melalui gerak, maka sutradara harus mampu menciptkan koreografinya. Dalam hal ini musik bertindak sebagai pengiring. Makna cerita sepenuhnya dituangkan dalam wujud gerak. Dituntut kepiawaian sutradara dalam memilih dan merangkai motif gerak. Meskipun sutradara bekerja dengan seorang koreografer, tetapi makna dan atau simbolisasi cerita harus benar-benar bisa diwujudkan dalam gerak tarian yang dilakukan. Koreografer bisa saja mencipta gerak, tetapi pada akhirnya sutradara yang memutuskan.

4.2.5 Teatrikalisasi Puisi
Menciptakan karya teater berdasarkan puisi yang bercerita membutuhkan keahlian tersendiri. Sifat puisi berbeda dengan lakon (sastra drama), maka sutradara harus mampu meramu bait-bait pusisi ke dalam bentuk teatrikal. Beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan acuan sutradara yang hendak mementaskan teatrikalisasi puisi.
• Memahami karya sastra dalam bentuk puisi. Sutradara harus memahami karya sastra dalam bentuk puisi. Lebih mudah jika puisi tersebut sudah terjalin menjadi satu cerita. Jika karya puisi masih terpisah-pisah - bisa dengan satu pencipta atau lebih – sutradara harus dapat menjalinnya menjadi sebuah cerita yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam bentuk teater. Syarat cerita teater adalah adanya “konflik”. Jika ada konflik, maka secara otomatis harus ada penyebab dan penyelesaiannya. Puisi yang sudah dirangkai sesuai dengan prasyarat ini bisa diangkat ke dalam bentuk teater. Yang perlu diingat adalah kesatuan tema dan gaya puisi. Kalau gaya masing-masing puisi berbeda, maka rangkaian yang dihasilkan hanya merupakan sekumpulan puisi sehingga bentuk pementasannya menjadi kumpulan sketsa.
• Memahami teknik membaca puisi. Teknik membaca puisi berbeda dengan teknik wicara dalam teater. Ada kaidah-kaidah tertentu yang harus dipahami oleh sutradara, misalnya pemenggalan kata, irama pengucapan, dan penekanan makna. Jika teknik membaca dipahami dan dikuasai dengan baik, maka sutradara akan dapat melatihkannya ke aktor. Selain itu, kemungkinan bentuk pengembangan (gaya pengucapan) akan terbuka lebih lebar dan terarah.
• Mewujudkan makna puisi dalam gerak, ekspresi, dan laku aktor. Teatrikalisasi puisi bisa ditampilkan dengan menambahkan komposisi gerak. Hal ini bertujuan untuk menegaskan gambaran makna puisi yang disampaikan. Bagi aktor yang mengucapkan baris-baris puisi, maka tugas sutradara adalah mengatur keselarasan gerak, ekspresi, dan pengucapan kalimat puisi tersebut. Ketiga unsur ini harus saling mendukung dan menguatkan. Sementara, pemain lain yang memberikan latar gerak, komposisi dan irama geraknya diatur untuk mendukung pemain utama. Semua mengacu pada harmonisasi.
• Mengubah puisi dalam bentuk koreografi atau nyanyian. Untuk menambah daya tarik terkadang bait-bait puisi diubah dalam bentuk gerak atau diubah menjadi lagu. Kemampuan sutradara untuk menemukan alternatif media ungkap puisi sangat diperlukan. Bentuk gerak dan nyanyian hanyalah salah satunya. Jika sutradara menemukan bentuk ungkap lain, maka hal tersebut harus diterapkan dengan baik demi mendukung harmonisasi. Banyaknya ragam media ungkap puisi membuat pertunjukan menjadi kaya.
• Menghadirkan musik ilustrasi yang tepat. Musik pengiring merupakan unsur yang penting dalam teatrikalisasi puisi. Dalam pementasan pembacaan puisi, seniman biasanya menambahkan musik pengiring. Usaha yang cukup berhasil ini membawa puisi ke dalam dimensi yang lebih dalam dan itu membawa pengaruh kuat dalam pementasan. Usaha ini kemudian dilestarikan para seniman sehingga dalam pentas baca puisi, kehadiran musik pengiring menjadi penting. Tanpa musik pengiring, pertunjukan teatrikalisasi puisi menjadi hambar. Dengan alasan ini, maka sutradara harus mampu memilih jenis karya musik yang tepat untuk mengiringi setiap adegan. Sutradara diharapkan bekerjasama dengan penata musik, tetapi arahan utama atau gagasan pengadeganan tetap ada pada sutradara. Penata musik hanya menerjemahkan kehendak sutradara ke dalam komposisinya. Selanjutnya sutradara memberi penilaian baik (tepat) tidaknya komposisi tersebut dalam adegan.

4.3 Menurut Gaya Penyajian
Sejak sejarah kelahirannya, teater telah memunculkan berbagai macam gaya pementasan. Para seniman teater tidak pernah berhenti menggali visualisasi artistik pementasan. Beberapa gaya pementasan yang dilahirkan ada yang bertahan hingga saat ini dan banyak yang tidak lama bertahan. Gaya pementasan yang bertahan biasanya memiliki daya tarik yang kuat dan membuat seniman lain ikut melakukannya. Jika gaya tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang lama oleh seniman berbeda dalam berbagai produksi, maka ciri-ciri dari gaya tersebut berubah menjadi konvensi (pakem). Pertunjukan teater yang menjalankan konvensi tertentu dengan ketat disebut sebagai teater konvensional. Untuk membedakan, pertunjukan teater dengan gaya lain yang masih membuka kemungkinan pengembangan dan belum menetapkan konvensi disebut sebagai teater non konvensional.

4.3.1 Konvensional
Mementaskan teater konvensional membutuhkan kecermatan dan kedisiplinan dalam menerapkan konvensi. Mentaati konvensi terkadang tidak mudah karena kemungkinan bentuk pengembangannya menjadi sangat terbatas. Jika tidak hati-hati gagasan baru untuk pengembangan justru bertolak belakang dari konvensi yang ada. Banyak polemik lahir mengenai ketaatan konvensi, terutama dalam teater tradisional. Hal ini biasanya berkaitan dengan penyebutan nama dan prasyarat yang mengikutinya. Misalnya, untuk menyebut pertunjukan teater yang bernama ludruk maka aturan-aturan pertunjukan ludruk harus dipenuhi. Di bawah ini adalah langkah-langkah yang bisa diterapkan sutradara yang ingin mementaskan teater konvensional.
• Memilih jenis teater konvensional. Banyak sekali jenis teater konvensional, terutama di Indonesia. Setiap teater tradisional bisa disebut sebagai teater konvensional. Ludruk, randai, ketoprak, longser, lenong, wayang wong, semua dapat digolongkan ke dalam teater konvensional. Di Asia terdapat noh, kyogen, bunraku (Jepang), sandiwara bangsawan, mak yong (Malaysia), lakhon (Thailand, Myanmar). Di Barat, semua teater sejak belum lahirnya realisme disebut teater konvensional. Bahkan dewasa ini realisme dan beberapa gaya teater modern lain yang ciri-cirinya sudah melembaga bisa disebut sebagai teater konvensional. Sutradara harus memilih jenis teater konvensional yang hendak dipentaskan sesuai dengan kemampuannya.
• Memahami konvensi. Untuk mementaskan teater ini sutradara harus memahami dengan baik konvensi (pakem) yang ada. Meskipun konvensi tersebut bersifat normatif tetapi pemberlakuannya ketat apalagi jika jenis teater tersebut telah digolongkan sebagai teater klasik. Setiap jenis teater konvensional memiliki aturan yang berbeda. Misalnya, aturan pertunjukan ludruk berbeda dengan randai, ketoprak, wayang wong, longser, dan lain sebagainya. Meskipun terdapat beberapa unsur kesamaan tetapi ciri khas masing-masing jenis teater tersebut berbeda. Hal ini berlaku juga untuk teater di Barat, jenis teater konvensional yang ada misalnya gaya presentasional (klasik) dan represantisonal (realis) memliki konvensi yang sangat berbeda. Sutradara harus benar-benar memahami konvensi jenis teater konvensional yang dipilih.
• Dapat menjalankan konvensi dengan konsisten. Karena konvensi ini harus dilakukan, maka sutradara harus mau dan mampu menjalankannya secara konsisten. Misalnya, dalam sebuah konvensi pemain harus menari ketika keluar-masuk panggung maka sutradara diharuskan mentaatinya. Jika ada pemain yang tidak bisa menari, maka ia harus melatihnya atau memanggilkan pelatih untuk mengajari menari. Jika sutradara putus asa dan memperbolehkan para pemain tidak menari ketika keluar-masuk panggung, maka ia telah menyalahi konvensi dan bisa jadi menuai kritikan tajam dari para pengamat dan pelaku teater konvensional.
• Mampu bekerja dengan semua unsur dalam mewujudkan konvensi. Konvensi sebuah pertunjukan terkadang tidak hanya menyangkut laku pemain, tetapi juga unsur pendukung lain, misalnya tata busana dan musik. Misalnya, dalam wayang wong, tata rias-busana pewayangan (meniru tokoh wayang dalam wayang kulit) serta gamelan merupakan keharusan. Oleh karena itu sutradara harus mampu bekerja dengan semua unsur yang menjadi prasyarat sebuah konvensi. Biasanya dalam hal ini sutradara mengangkat beberapa penasehat untuk memberikan arahan dalam bidang-bidang yang tidak dikuasai (secara langsung) dengan baik oleh sutradara. Menjaga konvensi sebuah pertunjukan sangat berarti bagi pelestarian sebuah tradisi.

4.3.2 Non Konvensional
Teater non konvensional memiliki kemungkinan yang sangat terbuka bagi pengembangan artistik dan sudut pandang. Eksperimentasi sangat dimungkinkan. Pencobaan model penyajian, bentuk pemanggungan, laku lakon sampai bentuk dan gaya akting dapat dikerjakan. Akan tetapi, semua harus disikapi dengan kreativitas artistik yang positif. Di bawah ini beberapa hal yang dapat diperhatikan oleh sutradara yang hendak menyajikan pementasan teater non konvensional.
• Memahami dasar-dasar penciptaan teater. Dasar penciptaan teater baik secara teori dan praktik harus dikuasai oleh sutradara. Dasar penciptaan selanjutnya dapat dijadikan pijakan untuk melahirkan kreasi artistik yang baru. Pengetahuan yang perlu dipahami oleh sutradara adalah sejarah teater sampai munculnya kreasi-kreasi penciptaan dalam teater. Hal ini penting karena kreativitas teater bisa dilahirkan dari berbagai rangsang dan imajinasi. Proses kreatif seniman terkadang melahirkan kehendak kreatif bagi seniman yang lain. Oleh karena itu, mempelajari proses penciptaan teater dari para tokoh teater adalah wajib. Banyak pekerja teater pemula yang merasa telah melahirkan gagasan kreatif baru dan memplubikasikan karya tersebut secara luas, tetapi ketika ditelaah lebih teliti karya yang dikerjakannya adalah pengulangan dari karya yang pernah dikerjakan oleh seniman sebelumnya. Keadaan ini sering terjadi karena faktor distribusi informasi yang tidak baik dan sang pelaku tidak mau meningkatkan pengetahuannya.
• Kreatif. Sifat kreatif harus dimiliki oleh sutradara. Tawaran-tawaran kreatif harus mampu dilahirkan jika ingin menyajikan bentuk pementasan yang baru dan menarik perhatian.
• Inovatif. Jiwa inovasi atau mampu menciptakan yang belum ada dan mengembangkan yang sudah ada wajib dimiliki. Melihat persoalan dari berbagai sudut pandang adalah cara yang paling mudah untuk menjelaskan proses inovasi. Dengan melihat persoalan dari beragam sudut pandang, maka peluang-peluang kreasi yang belum tersentuh dapat digali. Stanislawsky melakukan inovasi hebat dalam hal metode pemeranan demi mencapai tujuan artistik gaya realisme. Grotowski melalui berbagai usahanya menyajikan pertunjukan dalam bentuk panggung yang kreatif dan provokatif sehingga menarik minat penonton. Inovasi terbuka lebar bagi yang mau membuka pikiran.
• Merancang dan menjelaskan konsep pertunjukan secara menyeluruh. Gagasan dasar yang dimiliki harus dijelaskan dalam sebuah konsep sehingga semua yang terlibat di dalamnya memahami. Dalam rancangan konsep, semua pertanyaan yang timbul harus bisa dijawab. Misalnya, dalam sebuah pertunjukan, sutradara menghendaki semua pemainnya melakukan gaya akrobatik dalam berakting, maka segala hal yang melatari lahirnya gagasan tersebut serta tujuan dari pentas itu harus dijelaskan dengan jelas. Apa yang akan dicapai oleh sutradara secara artsitik, apa yang akan ditawarkan kepada penonton melalui bentuk pertunjukan tersebut. Semua harus mampu dijelaskan sutradara sehingga karya yang dihasilkan memiliki konsep yang kuat dan tidak hanya sekedar lain dari yang lain.
• Mewujudkan konsep melalui aktor dan seluruh unsur pendukung. Setelah menjelaskan dalam tataran wacana, sutradara harus mampu mewujudkannya melalui para aktor dan unsur pendukung artistik yang lain. Misalnya, untuk memenuhi tuntutan aksi akrobatik, sutradara memanggil pelatih sirkus dan melatih para aktor melakukan berbagai jenis akrobat. Tata panggung dibuat sedemikian rupa sehingga mendukung aksi akrobat yang dilakukan. Tata busana pun harus dirancang dengan baik agar tidak mengganggu aksi yang dilakukan. Semua unsur harus mendapatkan perhatian, termasuk penataan adegan, pola dialog, blocking, ilustrasi musik, dan lain sebagainya. Semuanya harus diatur, diarahkan, dan dijalin dengan memperhatikan harmonisasi. Banyak pertunjukan yang mencoba menawarkan sesuatu yang baru, tetapi masih bersifat tambal sulam dan unsur-unsurnya tidak menyatu.

5. Blocking
Sutradara diwajibkan memahami cara mengatur pemain di atas pentas. Bukan hanya akting tetapi juga blocking. Secara mendasar blocking adalah gerakan fisik atau proses penataan (pembentukan) sikap tubuh seluruh aktor di atas panggung. Blocking dapat diartikan sebagai aturan berpindah tempat dari titik (area) satu ke titik (area) yang lainnya bagi aktor di atas panggung. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu diperhatikan agar blocking yang dibuat tidak terlalu rumit, sehingga lalulintas aktor di atas panggung berjalan dengan lancar. Jika blocking dibuat terlalu rumit, maka perpindahan dari satu aksi menuju aksi yang lain menjadi kabur. Yang terpenting dalam hal ini adalah fokus atau penekanan bagian yang akan ditampilkan. Fungsi blocking secara mendasar adalah sebagai berikut.
• Menerjemahkan naskah lakon ke dalam sikap tubuh aktor sehingga penonton dapat melihat dan mengerti.
• Memberikan pondasi yang praktis bagi aktor untuk membangun karakter dalam pertunjukan.
• Menciptakan lukisan panggung yang baik.
Dengan blocking yang tepat, kalimat yang diucapkan oleh aktor menjadi lebih mudah dipahami oleh penonton. Di samping itu, blocking dapat mempertegas isi kalimat tersebut. Jika blocking dikerjakan dengan baik, maka karakter tokoh yang dimainkan oleh para aktor akan tampak lebih hidup.


5.1 Pembagian Area Panggung
Untuk membuat atau merencanakan blocking bagi para pemain, perlu diketahui terlebih dahulu pembagian area panggung. Panggung pertunjukan secara kompleks dibagi dalam lima belas area, yaitu tengah, tengah kanan, tengah kiri, kanan, kiri, bawah tengah, bawah kanan tengah, bawah kiri tengah, bawah kanan, bawah kiri, atas tengah, atas kanan tengah, atas kiri tengah, atas kanan, dan atas kiri. Pembagian panggung dalam lima belas area ini biasanya digunakan untuk panggung yang berukuran besar.


Gb.51 Pembagian lima belas area panggung

Akn = Atas Kanan, AknT = Atas Kanan Tengah, AT = Atas Tengah, AkrT = Atas Kiri Tengah, Akr = Atas Kiri, Kn = Kanan, TKn = Tengah Kanan, T = Tengah, TKr = Tengah Kiri, Kr = Kiri, BKn = Bawah Kanan, BKnT = Bawah Kanan Tengah, BT = Bawah Tengah, BKrT = Bawah Kiri Tengah, BKr = Bawah Kiri

Letak kanan dan kiri atau atas dan bawah ditentukan berdasar pada arah hadap aktor ke penonton. Kanan adalah kanan pemain dan bukan kanan penonton dan kiri adalah kiri pemain. Atas adalah jarak terjauh dari penonton, sedangkan bawah adalah jarak terdekat dengan penonton, sedangkan kanan adalah posisi kanan arah hadap aktor atau sisi kiri penonton.
Secara sederhana dan umum panggung dibagi sembilan area, yaitu tengah, tengah kanan, tengah kiri, bawah tengah, bawah kanan, bawah kiri, atas tengah, atas kanan, dan atas kiri. Panggung yang tidak terlalu luas jika dibagi menjadi lima belas area, maka luas masing-masing area akan terlalu sempit sehingga tidak memungkinkan sebuah pergerakan yang leluasa baik untuk pemain maupun perabot. Pembagian sembilan area juga memudahkan sutradara dalam memberikan arah gerak kepada para aktornya.


Gb.52 Pembagian sembilan area panggung

AKn = Atas Kanan, AT = Atas Tengah, AKr = Atas Kiri, TKn = Tengah Kanan,
T = Tengah, TKr = Tengah Kiri, BKn = Bawah Kanan, BT = Bawah Tengah,
BKr = Bawah Kiri

Masing-masing area memiliki kekhususan dan karakternya sendiri. Kedudukan area yang satu dapat mendukung atau melemahkan area yang lain. Oleh sebab itu, pengaturan blocking haruslah memperhatikan pembagian area panggung. Semua area ini dapat disebut sebagai area imajinatif, di mana sutradara dan aktor mewujudkan imajinasi peristiwa lakon di atas pentas.


5.2 Komposisi
Komposisi dapat diartikan sebagai pengaturan atau penyusunan pemain di atas pentas. Sekilas komposisi mirip dengan blocking. Bedanya, blocking memiliki arti yang lebih luas karena setiap gerak, arah laku, perpindahan pemain serta perubahan posisi pemain dapat disebut blocking. Sedangkan komposisi, lebih mengatur posisi, pose, dan tinggi-rendah pemain dalam keadaan diam (statis). Pengaturan posisi pemain seperti ini dilakukan agar semua pemain di atas pentas dapat dilihat dengan jelas oleh penonton. Ada dua ragam komposisi pemain, yaitu komposisi simetris dan komposisi asimetris yang ditata dengan mempertimbangkan keseimbangan.


5.2.1 Simetris
Komposisi simetris adalah komposisi yang membagi pemain dalam dua bagian dan menempatkan bagian-bagian tersebut dalam posisi yang benar-benar sama dan seimbang. Jika digambarkan komposisi ini mirip cermin. Bagian yang satu merupakan cerminan bagian yang lain. Di bawah ini adalah contoh komposisi simetris.



Gb.53 Komposisi simteris


5.2.2 Asimetris
Komposisi asimetris tidak membagi pemain dalam dua bagian yang sama persis, tetapi membagi pemain dalam dua bagian atau lebih dengan tujuan memberi penonjolan (penekanan) bagian tertentu. Di bawah ini contoh komposisi asimetris.


Gb.54 Komposisi asimetris


5.2.3 Keseimbangan
Dalam menata komposisi pemain di atas pentas hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah keseimbangan. Keseimbangan adalah pengaturan atau pengelompokan aktor di atas pentas yang ditata sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan ketimpangan. Hal ini diperlukan untuk memenuhi ruang dan menghindari komposisi aktor yang berat sebelah. Jika salah satu ruang dibiarkan kosong sementara ruang yang lain terisi penuh, maka hal ini akan menimbulkan pemandangan yang kurang menarik dan jika hal ini berlangsung lama, maka penonton akan menjadi jenuh.


Gb.55 Komposisi yang seimbang

Gambar di atas memperlihatkan komposisi yang seimbang, meskipun jumlah pemain di sisi kanan dan kiri berbeda. Jumlah pemain yang banyak diimbangi dengan pemain tunggal yang mengambil jarak dengan memanfaatkan area lain yang kosong.
Gambar di bawah memperlihatkan ketidakseimbangan komposisi karena posisi atau kedudukan pemain berat sebelah sehingga areal panggung yang lain nampak kosong. Komposisi seperti ini jika berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan memberikan gambaran yang jelek dan membuat mata penonton lelah.


Gb.56 Komposisi tak seimbang



5.3 Fokus
Dalam mengatur blocking, hal yang paling utama untuk diperhatikan sutradara adalah perhatian penonton. Setiap aktivitas, karakter, perubahan ekspresi dan aksi di atas pentas harus dapat ditangkap mata penonton dengan jelas. Oleh karena itu, pengaturan blocking harus mempertimbangkan pusat perhatian (fokus) penonton. Hal ini dapat dikerjakan dengan menempatkan pemain dalam posisi dan situasi tertentu sehingga ia lebih menonjol atau lebih kuat dari yang lainnya.

5.3.1 Prinsip Dasar
Pada dasarnya fokus adalah membuat pemain menjadi terlihat jelas oleh mata penonton. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar di bawah ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menempatkan posisi dan mengatur pose pemain.
• Kurangilah menempatkan pemain dalam posisi menghadap lurus ke arah penonton atau menyamping penuh. Usahakan pemain menghadap diagonal (kurang lebih 45 derajat) ke arah penonton. Menghadap lurus ke arah penonton akan memberikan efek datar dan kurang memberikan dimensi kepada pemain, sedangkan menyamping penuh akan menyembunyikan bagian tubuh yang lain. Dengan menghadap secara diagonal, maka dimensi dan keutuhan tubuh pemain akan dilihat dengan jelas oleh mata penonton. Gambar di bawah memperlihatkan pemain dengan pose menyamping, diagonal, dan ke depan. Jika diperhatikan dengan seksama, pemain dengan pose diagonal lebih memiliki dimensi dibandingkan pemain dengan pose yang lain.

Gb.57 Pose arah hadap pemain

• Jika pemain hendak melangkah, maka awali dan akhiri langkah tersebut dengan kaki panggung atas (yang jauh dari mata penonton). Jika melangkah dengan kaki panggung bawah (yang dekat dari mata penonton), maka kaki yang jauh akan tertutup dan wajah pemain secara otomatis akan menjauh dari mata penonton. Hal ini menjadikan gerak pemain kurang terlihat dengan jelas. Gambar di bawah memperlihatkan pemain yang melangkah menggunakan kaki panggung bawah dan kaki panggung atas. Pemain yang melangkah dengan kaki panggung atas tampak lebih luwes dan memberi keluasan pandangan bagi penonton


Gb.58 Gerak langkah pemain

Gb.59 Pose menunjuk
• Gunakan lengan atau tangan panggung atas (yang jauh dari mata penonton) untuk menunjuk ke arah panggung atas dan gunakan lengan atau tangan panggung bawah (yang dekat dengan mata penonton) untuk menunjuk ke panggung bawah. Jika yang dilakukan sebaliknya, maka gerakan lengan dan tangan akan menutupi bagian tubuh lain. Gambar di atas memperlihatkan pemain yang menunjuk dengan lengan panggung atas nampak lebih serasi dan memberi keluasan pandangan.

• Jangan pernah memegang benda atau piranti tangan di depan wajah ketika sedang berbicara, karena hal ini akan menutupi suara dan pandangan penonton. Gambar di bawah memperlihatkan betapa mengganggunya memegang piranti (telepon) dengan menutupi muka. Jika tangan yang digunakan adalah tangan yang tidak menganggu pandangan penonton, maka gerak laku aktor dalam menggunakan telepon akan kelihatan. Hal ini mempertegas laku aksi yang sedang dikerjakan.

Gb.60 Cara memegang piranti

• Usahakan agar para aktor saling menatap (berkontak mata) pada saat mengawali dan mengakhiri dialog (percakapan). Selebihnya, usahakan untuk berbicara kepada penonton atau kepada aktor lain yang berada di atas panggung. Membagi arah pandangan ini sangat penting untuk menegaskan dan memberi kejelasan ekspresi karakter kepada penonton. Perhatikan gambar aktor yang melakukan kontak mata ketika berbicara di bawah ini.


Gb.61 Aktor saling kontak mata

5.3.2 Teknik
Marsh Cassady (1997) menyebutkan beberapa teknik untuk menciptakan fokus pemain di atas panggung, di antaranya dengan memanfaatkan area panggung, memanfaatkan tata panggung, trianggulasi, individu dan kelompok, serta kelompok besar.

5.3.2.1 Memanfaatkan Area Panggung
Dalam tata panggung, suatu area memiliki kekuatan berbeda dibanding area yang lain. Kekuatan dalam makna blocking di sini adalah, area yang lebih mudah mendapat perhatian mata penonton. Semua area panggung kelihatan sama jika dalam keadaan kosong, tetapi setelah para aktor hadir di dalamnya, maka segera perhatian penonton akan tertuju ke area tertentu yang lebih kuat dibanding area lain. Secara umum, area tengah, area terdekat dengan penonton, serta jarak area, dapat dimanfaatkan untuk menciptakan fokus.
• Area tengah, secara natural lebih kuat jika dibandingkan dengan area di sisi kiri atau kanan. Pemain yang berada di tengah secara otomatis menjadi pusat perhatian penonton sementara pemain yang berada di sisi kanan dan kirinya seolah-olah hadir sebagai penyeimbang. Gambar 62 menunjukkan bahwa pemain yang berada di tengah menjadi pusat perhatian. Gambar 63 juga menunjukkan hal yang sama, meskipun jumlah pemain di sisi kanan dan kiri lebih banyak tetapi tetap saja pemain yang berada di tengah menjadi pusat perhatian.


Gb.62 Pemain yang berada di tengah menjadi fokus


Gb.63 Pemain yang berada di tengah tetap menjadi fokus meskipun jumlah pemain di sisi kiri dan kanan lebih banyak

• Area terdekat dengan penonton lebih memiliki kekuatan dibanding dengan area yang jauh dari mata penonton. Gambar 64 di bawah ini memperlihatkan bahwa secara otomatis perhatian penonton akan mengarah pada pemain yang berada lebih dekat daripada yang berdiri di area yang jauh. Mata penonton secara otomatis akan menangkap objek yang lebih dekat dan jelas. Hal ini memberikan jawaban mengapa dalam pertunjukan teater tradisional pemain yang berbicara dan hendak melontarkan pernyataan penting selalu mendekat ke arah penonton. Mereka ingin menjadi pusat perhatian.


Gb.64 Pemain yang berada lebih dekat dengan penonton menjadi fokus perhatian

• Jarak area satu dengan yang lain jika dimanfaatkan dengan baik dapat menciptakan fokus. Dengan analogi yang lebih terang akan lebih mudah terlihat, maka jarak antararea dapat digunakan untuk memberi penonjolan pada pemain tertentu. Dalam gambar 65 di bawah diperlihatkan bahwa seorang pemain yang menjaga jarak dari sekelompok pemain akan lebih mudah dan enak dilihat.


Gb.65 Pemain yang mengambil jarak dari sekelompok pemain akan menjadi fokus



5.3.2.2 Memanfaatkan Tata Panggung
Tata panggung, sesederhana apapun dapat dimanfaatkan untuk menciptakan fokus. Dengan sedikit kejelian, tata dekorasi pentas menghasilkan ruang yang dapat dimaknai secara khusus untuk kepentingan fokus pemain.
• Dengan memanfaatkan posisi tinggi rendah pemain menurut tatanan set dekor yang ada, fokus dapat diciptakan. Posisi pemain yang berdiri di ketinggian biasanya lebih kuat jika dibanding dengan pemain yang ada di bawah. Tetapi jika ada dua pemain yang sama tingginya, maka pemain yang berada di bawah justru akan menjadi fokus karena kedudukan tinggi dua pemain akan saling menghapuskan kekuatan satu sama lain.


Gb.66 Pemain yang lebih tinggi dari pemain lain menjadi fokus


Gb.67 Pemain yang berada pada level tinggi tetap menjadi fokus meskipun pemain lain mengambil jarak

Dalam gambar 66 pemain yang berdiri paling tinggi di antara sekumpulan pemain mencuri perhatian dan menjadi fokus. Meskipun posisi pemain disebar tetap saja pemain yang berdiri paling tinggi menjadi pusat perhatian (Gb.67). Sementara dalam gambar 68, pemain yang berdiri paling rendah justru menjadi pusat perhatian karena pemain yang berdiri tinggi di kanan dan kiri justru saling menghapuskan fokus.


Gb.68 Pemain yang berdiri di tengah menjadi fokus

• Tata dekorasi pentas sering menggunakan bingkai dalam wujud jendela, pintu atau bingkai yang lain. Selain sebagai penguat artistik pementasan, bingkai dapat dimanfaatkan untuk menciptakan fokus.


Gb.69 Fokus dengan memanfaatkan bingkai


Gb.70 Pemain yang berada di tengah bingkai menjadi fokus

Pemain yang berada di dalam bingkai lebih memiliki kekuatan dibanding dengan yang berada di luar bingkai. Dalam dua gambar di atas (Gb.69 dan Gb.70) diperlihatkan bahwa posisi pemain yang beradar di dalam bingkai lebih menarik perhatian dibanding yang lainnya.

5.3.2.3 Trianggulasi
Untuk menciptakan fokus yang mudah dan natural adalah menempatkan pemain dalam posisi segitiga. Setiap pemain akan mudah terlihat oleh penonton dan mereka dapat melihat satu sama lain sehingga perubahan gerak dan karakter akan lebih cepat ditangkap. Selain itu posisi segitiga memudahkan perpindahan pemain dari titik satu ke titik yang lain tanpa menghilangkan fokus. Penempatan pemain dengan berdasar pada bentuk segitiga ini disebut trianggulasi. Banyak kreasi segitiga yang bisa diwujudkan baik dengan jumlah pemain sedikit ataupun banyak. Gambar di bawah ini (Gb.71, 72 dan Gb. 73) memperlihatkan variasi fokus trianggulasi dengan jumlah pemain minimal 3 orang.


Gb.71 Variasi triangulasi 1


Gb.72 Variasi trianggulasi 2


Gb.73 Variasi trianggulasi 3

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pergeseran posisi satu pemain dan pemain yang lain menghasilkan bocking yang tidak saling menutupi. Semua dapat ditangkap dengan jelas oleh penonton. Pada posisi ini fokus bisa berganti-ganti tergantung dari arah gerak dan laku aksi yang diperagakan oleh pemain di atas pentas.

5.3.2.4 Individu dan Kelompok
Fokus juga dapat diciptakan dengan memisahkan satu orang pemain dari sekelompok pemain yang ada. Penonton akan lebih tertarik untuk melihat satu orang daripada sejumlah orang dalam sebuah kelompok yang biasanya memiliki gestur, pose, dan aktivitas yang sama. Gambar 74 dan 75 memperlihatkan penataan individu yang berjarak dengan kelompok.


Gb.74 Fokus individu dari kelompok 1


Gb.75 Fokus individu dari kelompok 2

Gb.76 Fokus individu dari kelompok yang membentuk komposisi garis lurus

Gambar 76 memperlihatkan pemisahan individu dan kelompok, dimana kelompok membentuk garis lurus. Sedangkan dalam gambar 77 kelompok membentuk setengah lingkaran sehingga energi dan perhatian yang diberikan kepada individu menjadi lebih besar.


Gb.77 Fokus individu dari kelompok yang membentuk komposisi setengah lingkaran

Selain memisahkan individu dari sekelompok pemain, fokus antara individu dan kelompok dapat diciptakan dengan membedakan posisi. Seorang pemain yang posisinya berbeda dari sekelompok pemain secara otomatis akan lebih menarik perhatian penonton. Seseorang yang jongkok di antara beberapa orang yang berdiri pasti memliki daya tarik yang lebih kuat untuk dilihat, demikian juga sebaliknya.


Gb.78 Fokus dengan membedakan pose dan level pemain 1


Gb.79 Fokus dengan membedakan pose dan level pemain 2

Gambar 78 dan 79 memperlihatkan bahwa perhatian penonton akan terarah pada pemaian yang berbeda di antara yang lain. Pembedaan pose dan level ini tentu saja harus diikuti pembedaan laku aksi dalam lakon. Misalnya, pemain yang mengambil pose berbeda adalah pimpinan kelompok sehingga ia memiliki peran yang lebih besar daripada yang lainnya.


5.3.2.5 Kelompok Besar
Menempatkan pemain dalam kelompok besar membutuhkan teknik tersendiri karena dalam sebuah blocking kelompok tidak ada individu yang lebih menonjol dari yang lain. Artinya, fokus atau perhatian penonton ditujukan kepada sekelompok pemain. Untuk itu ada empat teknik dasar yang bisa diterapkan, yaitu garis, lingkaran, setengah lingkaran, dan segitiga.

Gb.80 Teknik garis

Penempatan pemain dengan teknik garis seperti gambar di atas (Gb. 80) menguntungkan pemain, karena semua berada dalam posisi sejajar sehingga tidak ada pemain yang lebih mononjol. Teknik ini dapat diterapkan dengan membentuk satu atau lebih dari satu garis dengan kombinasi tinggi rendah pemain. Dalam adegan chorus atau paduan suara, penempatan kelompok dengan teknik garis sering digunakan.
Penempatan pemain dengan teknik lingkaran seperti gambar 81 sangat tidak menguntungkan karena sebagin pemain yang berdiri di belakang tidak dapat dilihat oleh penonton. Meski demikian, teknik ini seringkali digunakan dengan mengkombinasikan gerak kelompok. Artinya, jika semua pemain dalam keadaan diam dalam waktu yang lama, teknik lingkaran kurang menguntungkan tetapi jika semua pemain bergerak bersama sehingga posisi antarpemain saling berpindah maka teknik ini memiliki kekuatan fokus yang besar.



Gb.81 Teknik lingkaran 1



Gb. 82 Teknik lingkaran 2

Dalam bentuk lingkaran posisi pemain dapat dimodifikasi seperti gambar 82. Pemain yang berada di depan mengambil posisi lebih rendah dari pemain yang ada di belakang sehingga semua pemain dapat terlihat. Hal ini menguntungkan karena posisi pemain dapat bertahan lama meskipun dalam kondisi statis.
Bentuk setengah lingkaran, memliki keuntungan seperti teknik garis (Gb. 83). Semua pemain terlihat. Tetapi bentuk ini secara dimensional lebih menguntungkan tetapi untuk ruang pentas yang kecil kurang menguntungkan. Bentuk setengah lingkaran membutuhkan tempat yang lebih luas untuk memberi ruang kosong di tengah. Posisi ini sering juga digunakan untuk chorus.


Gb.83 Teknik setengah lingkaran


Gb.84 Teknik segitiga

Penempatan kelompok pemain dengan teknik segitiga lebih memiliki kemungkinan kreativitas. Dengan mengkombinasikan bentuk segitiga masing-masing kelompok pemain dapat ditempatkan secara proporsional sehingga tidak saling menutupi. Seperti dalam gambar 84, semua pemain dapat dilihat oleh penonton sehingga penonjolan pemain sangat tergantung dari aksi dan aktifitas peran yang dimainkan.

5.4 Mobilitas Pemain
Selain mengatur dan menempatkan posisi pemain di atas pentas, blocking juga mengatur mobilitas atau perpindahan pemain dari titik satu ke titik yang lain. Jika perpindahan para pemain tidak diatur dengan baik maka lalulintas pemain akan menjadi semrawut sehingga fokus pertunjukan menjadi kabur yang akibatnya makna lakon tidak sampai. Untuk menghindari hal tersebut perlu diatur mobilitas pemain dengan pertimbangan peristiwa, fokus, dinamika lakon, dan pengaturan arah gerak.
• Peristiwa memberikan gambaran watak kejadian yang ada di atas panggung. Watak kejadian ini bisa digunakan sebagai acuan untuk mengatur mobilitas pemain. Misalnya, dalam peristiwa duka, perpindahan pemain dari titik satu ke titik dilakukan dengan tenang. Pergerakan antarpemain dibatasi. Sebaliknya dalam peristiwa kekacauan, perpindahan para pemain dapat dilangsungkan dengan cepat.
• Fokus yang telah ditetapkan pada pemain tertentu dalam situasi tertentu harus didukung oleh mobilitas pemain lainnya. Artinya, gerak, posisi, dan ekspresi pemain lain harus menguatkan gerak, posisi, dan ekspresi pemain yang menjadi fokus. Jika intensitas gerak semua pemain sama, maka fokus tidak akan tercipta dan makna adegan yang dimaksudkan melalui laku aksi pemain yang menjadi fokus menjadi kabur. Hal ini mempengaruhi dinamika lakon secara keseluruhan.
• Dinamika lakon mempengaruhi pergerakan pemain di atas pentas. Perubahan situasi dalam jalinan peristiwa lakon harus dibarengi dengan perubahan laku aksi setiap pemain yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, mobilitas pemain perlu diatur dan disesuaikan dengan dinamika laku lakon di atas pentas.
• Pengaturan arah gerak ditetapkan untuk mengatur pergerakan dan perpindahan pemain secara teknis. Dengan mengatur arah gerak setiap pemain, laku aksi menjadi kelihatan kaku dan mekanis tetapi perpindahan pemain menjadi teratur sehingga setiap laku aksi dapat ditangkap oleh mata penonton.
Pengaturan mobilitas pemain seperti tersebut di atas merupakan hal penting yang harus dipahami oleh sutradara. Tidak ada artinya seorang pemain bermain dengan sangat baik jika pola gerak dan perpindahan pemain lain tidak mendukung. Dalam teater, semua pemain, semua peran memegang kedudukan yang sama karena saling mendukung untuk menciptakan harmoni lakon. Oleh karena itu, mobilitas semua pemain yang terlibat dalam pertunjukan harus diatur dengan baik sehingga makna lakon yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton dan pertunjukan berjalan menarik.

6. Latihan-latihan
Sutradara membimbing para aktor selama proses latihan. Untuk mendapatkan hasil terbaik sutradara harus mampu mengatur para aktor mulai dari proses membaca naskah lakon hingga sampai materi pentas benar-benar siap untuk ditampilkan. Kunci utama dari serangkaian latihan adalah kerjasama antara sutradara dan aktor serta kerjasama antaraktor. Sutradara perlu menetapkan target yang harus dicapai oleh aktor melalui tahapan latihan yang dilakukan. Oleh karena itu, penjadwalan latihan perlu dibuat.


Tabel.1 Perencanaan jadwal latihan

Dengan melaksanakan latihan sesuai jadwal maka aktor dituntut kedisiplinan untuk memenuhi target capaian. Jadwal ini juga bisa digunakan sebagai acuan kerja penata artistik sehingga ketika sesi latihan teknik dilangsungkan pekerjaan mereka telah siap.

6.1 Membaca
Tahap awal latihan teater adalah membaca. Sutradara membacakan naskah lakon secara keseluruhan kepada aktor kemudian menjelaskan maksud dari lakon tersebut. Pada sesi ini aktor boleh bertanya kepada sutradara hingga semua menjadi jelas dan aktor memahami maksud sutradara berkenaan dengan isi lakon. Setelah itu para aktor membaca lakon secara bersama sesuai dengan karakter yang akan diperankan.
Karakter tokoh yang ada dalam naskah lakon tidak tampak hidup jika tidak dibaca dengan pemahaman. Yang dimaksud dengan pemahaman di sini adalah “mengerti”. Langkah pertama dalam pemahaman adalah menangkap “apa” maksud dari dialog karakter tersebut. “Apa” merupakan kata kunci pertama dalam menghayati karakter. Banyak aktor yang hanya mempelajari baris kalimatnya sendiri dan secara instan mulai memutuskan, “Bagaimana saya harus melakukan dialog ini, bagaimana saya harus mengatakannya?”. Tidak seorangpun aktor dapat menjawab “bagaimana” sebelum tahu “apa” maksud dari lakon tersebut.
Menjelaskan detil maksud lakon yang tertuang dalam dialog karakter para tokohnya adalah tugas bersama aktor dan sutradara. Jika aktor kesulitan memahami maksud dialog maka kewajiban sutradara untuk menjelaskannya. Beberapa teknik membaca seperti di bawah ini dapat dilakukan untuk mendapatkan maksud lakon secara detil;
• Membaca keseluruhan lakon dengan pelan dan cermat
• Membaca per suku kata dengan pelan dan teliti
• Membaca per kata dengan pelan dan teliti
• Membaca teks sebagai teks (tanpa mencoba mencari makna kalimat) dengan pelan
• Membaca dengan memperhatikan tanda baca dengan pelan dan teliti
• Mencari hubungan antara satu kata dengan kata lain, satu kalimat dengan kalimat yang lain
• Membaca dengan pemahaman
• Menambah waktu khusus untuk membaca naskah secara mandiri

6.2 Menghapal
Kerja menghapal dimulai sesegera mungkin setelah mendapatkan naskah. Tidak perlu membayangkan blocking dalam menghapal teks. Latihan baris-baris dialog yang ada dalam teks lakon bisa dilakukan setiap hari. Semakin cepat dan tepat dalam menghapal maka proses kerja berikutnya menjadi semakin mudah. Dalam satu proses latihan sutradara berhak menetapkan target hapalan untuk para aktornya. Target sutradara ini akan memacu para aktor untuk segera menghapal baris-baris dialog yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk memudahkan kerja menghapal beberapa teknik di bawah ini dapat dilakukan:
• Membaca dialog secara keseluruhan dan diulang-ulang
• Membaca bagian per bagian secara berulang-ulang
• Membaca satu baris dialog kemudian langsung dihapalkan setelahnya diikuti baris dialog selanjutnya
• Menemukan kata kunci atau kata yang mudah diingat antara dialog satu dengan yang lain
• Menggunakan tape recorder untuk merekam pembacaan dialog

6.3. Merancang Blocking
Lalu lintas perpindahan gerak pemain di atas pentas harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kekacauan. Sutradara perlu menata blocking pemain untuk memberikan kejelasan gerak, arah gerak, serta penekanan-penekanan terhadap tokoh atau situasi tertentu. Rancangan gambar blocking biasanya hanya melukiskan garis besar perpindahan posisi pemain dari titik satu ke titik yang lain. Perpindahan ini akan mempengaruhi posisi aktor yang lain. Gambar 85, 86, 87, dan 88 memperlihatkan bagaimana cara sutradara menggambarkan blocking pemain.


Gb.85 Rancangan blocking 1


Gb.86 Rancangan blocking 2

Gb.87 Rancangan blocking 3


Gb.88 Rancangan blocking 4


6.4 Stop and Go
Stop and Go adalah proses latihan menghapal secara keseluruhan atau per bagian. Di tengah proses, sutradara menghentikan sebentar (stop) dan memberikan penjelasan atau arahan kemudian para pemain mengulangi lagi adegan yang sama (go) sesuai arahan sutradara. Teknik ini sangat baik dilakukan agar pemain tidak kehilangan detil karakter yang diperankan (penghayatan peran). Sutradara dituntut ketelitiannya dalam proses ini karena perubahan atau pembenahan yang dilakukan akan mempengaruhi adegan berikutnya. Beberapa hal yang bisa dibenahi dalam proses latihan stop and go:

6.5 Top-tail
Proses latihan top-tail dilakukan untuk menghapal rancangan blocking yang telah ditetapkan oleh sutradara. Selain itu juga digunakan untuk mengingat kunci akhir satu dialog dan awal dialog berikutnya atau yang biasa disebut cue (kyu). Para aktor mempraktekkan blocking yang ditetapkan oleh sutradara dengan mengucapkan baris awal dialog (top) sebagai tanda mula dan mengucapkan baris akhir dialog (tail) sebagai tanda berubahnya blocking. Latihan ini dilakukan berulang-ulang hingga para aktor memahami desain blocking yang telah ditentukan. Proses top-tail penting dilakukan terutama untuk menyesuaikan tempat permainan, dari studio latihan ke panggung atau dari panggung satu ke panggung lain. Perubahan ukuran tempat latihan atau panggung pementasan akan mempengaruhi blocking. Oleh karena itu, setiap berada di tempat yang baru perlu proses adaptasi dengan latihan top-tail.

6.6 Run-through
Run-through adalah latihan hapalan naskah lakon secara keseluruhan. Para aktor berlatih memainkan peran dari awal sampai akhir cerita tanpa menggunakan naskah (lepas naskah). Dalam run-through sutradara tidak menghentikan proses latihan yang sedang dilakukan. Arahan atau kritik diberikan setelah latihan berakhir. Run-through tahap pertama dapat dilakukan per bagian atau per babak yang disebut sebagai run-thorugh kasar. Tahap berikutnya dilakukan secara menyeluruh. Dalam latihan ini yang dipentingkan adalah hapalan dialog dan blocking yang disesuaikan dengan ekspresi dan emosi karakter peran. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh sutradara dalam proses ini adalah.
• Ketepatan dialog
• Irama
• Penghayatan peran
• Hubungan antara karakter satu dengan yang lain
• Perpindahan adegan atau babak berkaitan dengan dinamika lakon
• Tensi dramatik
• Blocking pemain
• Kerjasama antarpemain
• Ketersampaian pesan

6.7 Latihan Teknik
Latihan teknik merupakan proses pengenalan aktor dengan tata panggung, busana, suara, cahaya dan piranti (property) lainnya. Latihan teknik biasanya dilakukan pada hari-hari terakhir menjelang pertunjukan. Hal ini dapat merusak keseluruhan rancangan pertunjukan dan membuat kerja menjadi sia-sia. Para aktor yang sudah sekian lama berlatih peran jika dibebani dengan hal-hal teknis menjelang pementasan akan mempengaruhi karakter peran. Akibat yang paling fatal adalah karakter yang telah lama dilatihkan justru tidak bisa ditemukan karena beban teknis. Oleh karena itu, lakukan latihan teknik secara khusus paling tidak seminggu sebelum pementasan dilakukan.
• Pertama adalah piranti tangan (hand props). Segala hal yang disentuh atau digunakan oleh aktor harus segera mungkin dilatihkan agar menjadi kebiasaan. Misalnya, seorang aktor harus menggunakan tongkat untuk berjalan, maka segera mungkin ia berlatih dengan tongkat tersebut agar biasa berjalan dengan tongkat, sehingga perannya nampak wajar dan tidak dibuat-buat. Hal ini berlaku untuk piranti tangan lain, seperti pedang, belati, tas jinjing, pipa cangklong, dan lain sebagainya.
• Kedua adalah tata panggung. Meskipun tidak komplet, tetapi latihan dengan tata panggung atau set dekorasi perlu dilakukan secara mendalam. Terutama dengan benda-benda yang akan digunakan atau disentuh oleh aktor, misalnya kursi, meja, pintu, vas bunga, lukisan dinding, dan lain sebagainya. Jika dalam proses latihan benda-benda tersebut belum bisa dihadirkan, maka bisa diganti dengan benda lain yang menyerupai.
• Ketiga adalah tata busana. Latihan dengan busana ini sangat bermanfaat bagi para aktor. Berlatih dengan tata busana idealnya dilakukan lebih awal, agar aktor memiliki waktu yang cukup untuk membiasakan diri dengan busana tersebut. Semakin sering aktor mengenakan busana pentas, maka ia akan merasa mengenakan pakaiannya sendiri. Hal ini sangat mempengaruhi laku peran, karena busana dapat memberikan kesan berbeda bagi pemakainya. Kesan yang diharapkan muncul melalui tata busana akan tampak jika aktor telah terbiasa mengenakannya.
• Keempat adalah tata lampu. Jika piranti tangan, tata panggung, dan tata busana telah dipenuhi, maka berikutnya adalah penyesuaian dengan tata lampu. Lampu memiliki karakter khusus karena cahaya yang dihasilkan dapat memberikan dimensi dan menambah hidup suasana. Oleh karena itu, penataan cahaya tidak bisa dibarengkan dengan latihan akting. Tata lampu menyesuaikan dengan warna set, busana, segala piranti yang ada di panggung, dan suasana yang dikehendai oleh sutradara. Setelah semuanya terpasang, barulah latihan akting dengan tata lampu bisa dilaksanakan. Dalam latihan ini, lampu menyesuaikan blocking dan fokus yang dikehendaki. Untuk mencapai hasil maksimal, latihan dengan tata lampu perlu dilakukan berulang-ulang.
• Kelima adalah tata rias. Tata rias harus menyesuaikan tata lampu. Intensitas dan warna cahaya dapat mempengaruhi tata rias. Oleh karena itu, latihan dengan tata rias dilakukan setelah penataan lampu, karena mengubah atau menyesuaikan tata rias lebih mudah daripada mengubah tata lampu.
• Terakhir adalah tata suara. Biasanya, aktor tidak menggunakan mikrofon. Mereka berbicara langung kepada penonton. Tetapi dalam beberapa kasus tata suara untuk pemain diperlukan, misalnya ada pemain yang menyanyi dan menggunakan wireless mic di atas panggung, maka pengaturan sound system perlu disesuaikan, demikian juga dengan ilustrasi musik atau efek yang ingin dihasilkan melalui sound system. Proses penataan sound sytem membutuhkan waktu tersendiri dan tidak berkaitan langsung dengan latihan akting.
Selain bersama dengan para aktor, akan lebih baik jika disediakan waktu khusus bagi para teknisi atau unsur tata artistik untuk melakukan latihan secara mandiri. Latihan ini merupakan latihan teknik dalam arti sesungguhnya dimana para kru memasang, mengatur, dan mengujicobakan piranti teknik sebelum benar-benar digunakan. Penataan panggung dan lampu hendaknya mendapatkan waktu khusus karena keduanya membutuhkan waktu penataan dan penyesuaian yang lebih lama dibanding unsur tata artistik yang lain.

6.8 Dress Rehearsal
Setelah semua persyaratan untuk pementasan dipenuhi, maka dress rehearsal atau latihan secara lengkap dan menyeluruh dapat dilakukan. Alasan utama untuk menyelenggarakan dress rehearsal adalah memberikan nuansa pementasan yang sesungguhnya kepada para aktor dan seluruh kru pendukung teknik. Dengan demikian, semua bisa mempelajari segala kekurangan dan mengetahui hal-hal yang perlu disesuaikan dan diperbaiki.
Umumnya proses ini dilakukan dua atau bahkan tiga kali. Tahap pertama dan yang kedua biasanya disebut dengan istilah gladi kotor. Pada tahap ini, komentar, kritik, dan saran dapat diberikan baik dari sutradara atau pengamat yang dihadirkan. Seluruh pemain dan kru masih memiliki waktu untuk memperbaikinya. Akan tetapi, pada pelaksanaan tahap akhir atau yang biasa disebut gladi bersih, pembenahan secara teknis sudah tidak bisa lagi dikerjakan, melainkan hal-hal kecil yang berkaitan dengan pemahaman serta semangat kebersamaan para pemain dan kru bisa diperkuat.
Sutradara wajib memberikan catatan lisan atau tertulis kepada seluruh pemain dan kru setelah melaksanakan dress rehearsal. Catatan tersebut berfungsi sebagai:
• Bentuk dari dukungan dan edukasi. Nasehat atau semangat yang diberikan sutradara akan mempengaruhi sikap para pemain dan kru sehingga persoalan yang ada bisa dihadapi bersama.
• Pengingat bahwa masalah bisa saja terjadi. Akan tetapi, dengan saling memahami antara satu dengan yang lain, hal itu bisa diatasi. Misalnya, dalam dress rehearsal kru panggung salah menempatkan kursi, maka pemain bisa segera mengatasi masalah tersebut secara improvisasi tanpa mengganggu konsentrasi aktingya. Masalah ini selanjutnya menjadi catatan kru agar tidak terulang lagi.
• Penghargaan terhadap jerih payah kerja yang telah dilakukan. Dalam hal ini sutradara diperkenankan memuji hasil kerja seluruh pendukung sehingga semangat kerja akan menjadi lebih baik dan kualitas kerja menjadi lebih sempurna.
Setelah melakukan dress rehearsal, maka seluruh pendukung diperbolehkan untuk istirahat dan menyipakan diri untuk menghadapi pentas yang sesungguhnya. Hal ini penting untuk mengembalikan energi dan menenangkan pikiran. Tekanan kerja yang terlalu berat justru tidak akan menghasilkan produk yang maksimal. Apalagi produk tersebut adalah teater yang berkaitan langsung dengan sisi psikologis manusia.

BAB IV
PEMERANAN

1. Olah Tubuh
Pemeran atau aktor adalah salah satu elemen pokok dalam pertunjukan teater. Sebelum memainkan karakter, pemeran harus menguasai tubunhya. Oleh karena itu, seorang pemeran harus ikhlas belajar demi pencapaian kualitas tubuh agar enak ditonton. Proses belajar penguasaan tubuh memerlukan waktu yang panjang dan secara kontinu serta tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Pemeran harus bersabar dan tidak boleh ada rasa jenuh dalam melakasanakannya.
Penampilan fisik pemeran dalam pentas berhubungan dengan penampilan watak, sikap, gesture, dan umur peran yang digambarkan. Hal ini juga sangat berhubungan dengan penampilan laku fisik yang digariskan pengarang, sutradara, dan tuntutan peran. Tampilan fisik seorang pemeran adalah tanggungjawab pribadi pemeran.
Seorang pemeran adalah seorang seniman yang memainkan peran yang digariskan oleh penulis naskah dan sutradara. Untuk mewujudkan laku peran di atas pentas, pemeran harus mengetahui, memahami, dan memfungsikan dengan baik alat dan sarana yang akan dipergunakan. Alat dan sarana tersebut adalah tubuh dan jiwanya sendiri. Tidak ubahnya seorang pelukis yang memahami fungsi dan manfaat dari kuas, palet, pensil, cat, kanvas, dan figura. Begitu juga dengan seorang pemeran, dia harus tahu betul cara berjalan yang gagah, jalannya orang yang sudah sangat tua, cara membungkuk, cara menengok, cara melambai, bagaimana posisi punggungnya, dan lain-lain. Oleh karena tubuh pemeran sangat dominan di atas pentas, maka penguasaan tubuh menjadi kewajiban.
Tubuh manusia terdiri dari tulang, urat, dan otot-otot sebagai penghubungnya. Tulang manusia terdiri dari ratusan jenis, mulai tulang tengkorak, tulang leher, tulang badan, tulang tangan, tulang pinggul, dan tulang kaki. Bagian yang paling penting dari tubuh manusia adalah tulang belakang atau tulang punggung. Tulang punggung terdiri dari dua puluh empat buah ruas asli dan sembilan buah ruas palsu (semu). Ruas asli dipisahkan satu dengan yang lain melalui tulang rawan (cartilago) yang berbentuk piringan dan berfungsi untuk memudahkan gerakan tulang satu dengan yang lain. Sedangkan 9 buah ruas palsu menyatu dalam satu kesatuan sehingga tidak memungkinkan untuk menimbulkan gerak. Tulang punggung juga berfungsi sebagai tangkai dari jalinan urat saraf.
Pusat saraf terdiri dari otak dan jaringan urat saraf tulang belakang. Tulang yang berhubungan langsung dengan tulang belakang adalah tulang belikat (Scapula), dan tulang pinggul (Coxae). Cara berbaring, duduk, berdiri, berjalan, berlari, melompat, dan jatuh sangat dipengaruhi oleh tulang belakang. Elastisitas atau kelenturan tulang belakang berfungsi sebagai peredam goncangan atau shock breaker tubuh.
Dalam pemeranan, posisi tulang belakang dapat menyampaikan pesan atau gambaran pada penonton berbagai kondisi yang dialami. Gambaran ketika sedang tegang atau tenang, letih atau segar, tua atau muda sangat dipengaruhi oleh posisi tulang belakang. Tulang belakang juga membantu keberlangsungan perubahan sikap tubuh dan bunyi suara.

Secara anatomis bagian-bagian tulang terdiri dari beberapa bagian.
• Kelompok tulang kepala atau tengkorak (cranium).
• Tujuh buah ruas tulang tengkuk atau leher (vertebra cervicalis).
• Dua belas buah ruas tulang belakang atau punggung (vertebra horacalis).
• Lima buah ruas tulang pinggang (vertebra lubalis).
• Lima buah ruas yang bersatu tulang kelangkang (os sacrum).
• Empat buah ruas yang bersatu tulang ekor (os coccygis).
• Kelompok tulang tangan(extremitas superior).
• Kelompok tulang kaki (extremitas inferior).
• Kelompok tulang dada.


Gb.89 Tulang rangka manusia

Rangkaian yang dihubungkan dengan tulang belakang adalah pengikat bahu (gelang bahu) yang terdiri dari dua buah tulang selangka dan dua buah tulang belikat (bagian atas), rongga dada, dan gelang panggul atau biasa disebut pinggul (bagian bawah). Tulang punggung atau tulang belakang sangat mempengaruhi pembentukan seluruh tubuh. Apabila tulang punggung ditegangkan, maka koordinasi dan aliran gerak tubuh terhalang (terganggu).
Gerak tubuh manusia juga dipengaruhi sendi-sendi tubuh yang ada. Sendi adalah hubungan yang terbentuk antara dua tulang. Sendi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu sendi fibrus, sendi tulang rawan, dan sendi sinovil. Sendi fibrus adalah sendi yang tidak dapat bergerak, maka tidak mungkin terjadi pergerakan antara tulang-tulangnya. Contoh sendi ini adalah sendi tulang pipih tengkorak.
Sendi tulang rawan yaitu sendi dengan sedikit gerakan dan persendiannya dipisahkan oleh tulang rawan. Contoh sendi ini adalah sendi yang terdapat pada simfilis dan pubis, untuk mempersatukan tulang pubis. Sedangkan sendi sinovil atau diartroses adalah sendi yang dapat bergerak bebas.
Sendi sinovil dibagi menjadi enam jenis, yaitu sendi datar, sendi putar, sendi engsel, sendi condiloid, sendi poros, dan sendi pelana. Sendi datar atau geser adalah sendi yang memiliki dua permukaan datar dari tulang dan saling meluncur antara satu tulang dengan yang lain. Contoh sendi sinovil adalah sendi carpus dan sendi tarsus. Sendi putar, yaitu sendi yang memiliki ujung bulat tepat masuk ke dalam rongga cawan atau mangkuk tulang lainnya yang dapat bergerak ke segala jurusan. Contoh sendi bahu, sendi pinggul. Sendi engsel yaitu sendi yang memiliki satu permukaan yang diterima oleh tulang lainnya sedemikian rupa sehingga hanya memberi kemungkinan gerakan dalam satu bidang saja. Contoh sendi siku. Sendi Condiloid yaitu sendi yang mirip dengan sendi engsel tetapi dapat bergerak dalam dua bidang, ke belakang dan ke depan, ke samping dan ke tengah tetapi tidak rotasi. Contoh sendi pergelangan tangan. Sendi poros atau putar yaitu sendi yang hanya mungkin melakukan putaran seperti pada gerakan kepala. Sendi Pelana yaitu sendi yang timbal balik menerima. Contoh antara trapezium dan tulang metacarpal pertama dari ibu jari yang memberi kebebasan bergerak.
Latihan olah tubuh melatih kesadaran tubuh dan cara mendayagunakan tubuh. Olah tubuh dilakukan dalam tiga tahap, yaitu latihan pemanasan, latihan inti, dan latihan pendinginan. Latihan pemanasan (warm-up), yaitu serial latihan gerakan tubuh untuk meningkatkan sirkulasi dan meregangkan otot dengan cara bertahap. Latihan inti, yaitu serial pokok dari inti gerakan yang akan dilatihkan. Latihan pendinginan atau peredaan (warm-down), yaitu serial pendek gerakan tubuh untuk mengembalikan kesegaran tubuh setelah menjalani latihan inti.



1.1 Persiapan
Sebelum melakukan latihan harus memperhatikan denyut nadi. Mengetahui denyut nadi sebelum latihan fisik dianjurkan karena berhubungan dengan kerja jantung. Cara untuk menghitung denyut nadi, yaitu dengan menghitung denyut nadi yang ada di leher atau denyut nadi yang ada di pergelangan tangan dalam. Penghitungan denyut nadi yang ada dipergelangan tangan lebih dianjurkan untuk menghasilkan perhitungan yang tepat. Cara penghitungan denyut nada yang ada di pergelangan tangan, yaitu dengan meletakkan jari tengah di atas pergelangan tangan dalam segaris dengan ibu jari atau jari jempol. Selama menghitung denyut nadi mata selalu melihat jam (jam tangan maupun jam dinding yang ada di dalam ruangan). Penghitungan dilakukan selama enam detik dan hasilnya dikalikan sepuluh, atau penghitungan dilakukan selama sepuluh detik dan hasilnya dikalikan enam. Untuk memudahkan perhitungan dan perkaliannya dapat menggunakan tabel perhitungan perhitungan denyut nadi di bawah ini.


Tabel.2 Perhitungan denyut nadi

Perhitungan denyut nadi tersebut juga harus disesuaikan dengan umur peserta latihan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dan ketahanan kerja jantung dalam memompakan darah ke seluruh tubuh. Perhitungan denyut nadi ini disebut dengan perhitungan denyut nadi sesuai umur peserta latihan. Untuk mengetahui denyut nadi maksimal yang dapat diacapai adalah dengan mengurangi angka 220 dengan jumlah umur. Setelah mengetahui denyut nadi maksimal terkait umur, maka perlu diketahui rentang denyut nadi yang diperbolehkan untuk melakukan latihan olah tubuh. Di bawah ini adalah rentang denyut nadi yang diperbolehkan untuk melakukan latihan olah tubuh sesuai dengan umur peserta.


Tabel.3 Denyut nadi latihan sesuai umur

Dalam mempersiapkan latihan olah tubuh dapat dimulai dengan pemeriksaan denyut nadi. Apabila denyut nadi kurang dari 100 denyut per menit maka sebaiknya melakukan jalan cepat atau loncat-loncat selama lima menit sampai mencapai denyut nadi 100 denyut per menit yang merupakan batas terendah denyut nadi yang aman untuk melakukan latihan. Setelah mencapai denyut nadi latihan, maka latihan olah tubuh siap dilaksanakan dengan latihan pemanasan.


1.2 Pemanasan
Peregangan atau pemanasan (warm-up) yaitu serial dari gerakan tubuh untuk meningkatkan sirkulasi dan meregangkan otot dengan cara bertahap. Pedoman sebelum melakukan pemanasan dan latihan tubuh adalah sebagai berikut.
a. Cobalah untuk selalu konsentrasi dan santai, jangan menahan nafas, dan bernafaslah secara normal.
b. Mulailah dengan tingkat hitungan yang sedikit kemudian meningkat kehitungan yang banyak sesuai dengan tahapan. Misalnya dalam satu seri latihan dimulai dengan 8 hitungan kemudian pada tahap berikutnya ditingkatkan 2 x 8 hitungan sampai banyak hitungan.
c. Konsentrasi pada latihan, jangan biarkan pikiran yang lain memecah konsentrasi. Rasakan setiap pergerakan otot dan tulang-tulang kita selama latihan.
d. Lakukanlah pemanasan ini dengan cara yang halus dan jangan melakukan latihan-latihan dengan gerakan yang disentak-sentak.
e. Usahakan latihan- secara berurut, bisa dimulai dari bagian bawah tubuh menuju ke atas, bisa juga dimulai dari atas menuju ke bagian bawah tubuh.

1.2.1 Pemanasan Jari dan Pergelangan Tangan
a. Patutkan jari-jari tangan satu sama yang lain, putar telapak tangan menjauhi tubuh, luruskan lengan-lengan dan regangkan selama 8 hitungan.
b. Tekan telapak tangan bersamaan dan regangkan pergelangan tangan, pertahankan selama 8 hitungan.
c. Tekan punggung tangan bersamaan dan regangkan pergelangan tangan, pertahankan selama 8 hitungan.



Gb.90 Pemanasan jari dan pergelangan tangan

1.2.2 Pemanasan Siku
a. Fleksi siku dengan cara tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan dan melipat tangan kanan sampai jari tangan kanan menyentuh pundak, pertahankan sampai 8 hitungan. Lakukan bergantian dengan tangan kanan yang memegang pergelangan tangan kiri.
b. Ekstensi siku dengan cara menjulurkan tangan kanan ke depan lurus dan tangan kiri menyangga siku tangan kanan, pertahankan selama 8 hitungan. Lakukan bergantian dengan tangan kiri.



Gb.91 Pemanasan siku




1.2.3 Pemanasan Bahu
a. Silangkan lengan-lengan di depan tubuh dan genggamlah bahu-bahu yang berlawanan, pertahankan selama 8 hitungan.
b. Letakkan siku kanan di belakang kepala dan gunakan tangan kiri untuk membuat topangan regangan, pertahankan selama 8 hitungan.
c. Letakkan siku kiri di belakang kepala dan gunakan tangan kanan untuk membuat topangan regangan, pertahankan selama 8 hitungan.
d. Letakkan satu tangan di atas kepala dan di belakang punggung. Cobalah untuk mempertemukan jari-jari tangan, buatlah regangan dan tahan selama 8 hitungan dan lakukan bergantian.



Gb.92 Pemanasan bahu

1.2.4 Pemanasan Leher
a. Letakkan kepala di atas bahu kiri dan tahan selama 8 hitungan.
b. Letakkan kepala di atas bahu kanan dan tahan selama 8 hitungan.
c. Putar dagu atau tengok ke bahu kiri dan tahan selama 8 hitungan.
d. Putar dagu atau tengok ke bahu kanan dan tahan selama 8 hitungan.
e. Tarik kepala sejauh mungkin ke depan dan letakkan dagu di atas dada dan tahan selama 8 hitungan.
f. Tarik kepala sejauh mungkin ke belakang, sentuhkan belakang kepala ke bahu dan tahan selama 8 hitungan.




Gb.93 Pemanasan leher

1.2.5 Pemanasan Batang Tubuh
a. Kedua tangan di pinggang dan bengkokkan badan ke samping kanan, tahan selama 8 hitungan.
b. Kedua tangan di pinggang dan bengkokkan badan ke samping kiri, tahan selama 8 hitungan.
c. Kedua tangan di pinggang dan bengkokkan badan ke belakang, tahan selama 8 hitungan.
d. Kedua tangan di pinggang dan bengkokkan ke depan, tahan selama 8 hitungan.





Gb.94 Pemanasan batang tubuh


1.2.6 Pemanasan Tungkai Kaki dan Punggung
a. Berdiri mengangkang sejauh + 80 – 100 Cm, capailah tungkai kaki kanan, tahan selama 8 hitungan.
b. Berdiri mengangkang sejauh + 80 – 100 Cm, capailah tungkai kaki kiri, tahan selama 8 hitungan.
c. Berdiri mengangkang sejauh + 80 – 100 Cm, capailah bagian tengah dengan membungkukan badan ke depan, tahan selama 8 hitungan.



Gb.95 Pemanasan tungkai kaki dan punggung 1


d. Kedudukan jongkok dengan bertumpu pada ujung telapak kaki, telapak tangan menempel alas dan tangan lurus di sisi luar kanan dan kiri tubuh, tahan selama 8 hitungan.
e. Kedudukan duduk, telapak kaki menapak sempurna pada alas, dan telapak tangan menempel atau menyentuh pada alas, tahan selama 8 hitungan.
f. Telapak kaki menapak sempurna pada alas, badan membungkuk, jari tangan memegang erat pergelangan kaki dan kepala mencium lutut, tahan selama 8 hitungan.





Gb.96 Pemanasan tungkai dan punggung 2



1.2.7 Pemanasan Pergelangan Kaki, Tungkai, Punggung

a. Fleksikan pergelangan kaki kanan, gunakan kedua tangan untuk memberikan tekanan regangan, tahan selama 8 hitungan.
b. Ekstensikan pergelangan kaki kanan, gunakan kedua tangan untuk melemaskan, tahan selama 8 hitungan.
c. Fleksikan pergelangan kaki kiri, gunakan kedua tangan untuk memberikan tekanan regangan, tahan selama 8 hitungan.
d. Ekstensikan pergelangan kaki kiri, gunakan kedua tangan untuk melemaskan, tahan selama 8 hitungan.
e. Fleksikan lutut tungkai kanan, gunakan kedua tangan untuk menarik lutut ke dada, dan tahan selama 8 hitungan.
f. Ekstensikan lutut tungkai kanan, gunakan kedua tangan untuk menjauhkan lutut dari dada, dan tahan selama 8 hitungan.
g. Fleksikan lutut tungkai kiri, gunakan kedua tangan untuk menarik lutut ke dada, dan tahan selama 8 hitungan.
h. Ekstensikan lutut tungkai kiri, gunakan kedua tangan untuk menjauhkan lutut dari dada, dan tahan selama 8 hitungan.






Gb.97 Pemanasan pergelangan kaki, tungkai, punggung

Variasi: dalam latihan pemanasan ini bisa juga dilakukan dengan cara bergerak membentuk angka 8 (delapan) dengan anggota badan kita. Angka delapan adalah angka yang tidak punya awal dan akhir, maka sangat baik untuk latihan pemanasan. Latihan ini merupakan latihan pemanasan secara ritmis. Teknis latihan ini adalah sebagai berikut:
• Buatlah angka 8 (delapan) dengan anggota badan kita mulai dari kepala sampai jari kita. Misalnya membuat angka 8 dengan kepala, berarti kita sedang melaksanakan latihan pemanasan bagian leher. Membuat angka 8 dengan tangan, berarti kita sedang melakukan latihan pemanasan pada bagian siku dan bahu kita, dan seterusnya.

1.3 Latihan Inti
Latihan Olah tubuh inti yaitu serial pokok dari gerakan yang akan dilatih sesuai dengan tujuan membentuk ketahanan tubuh, kelenturan tubuh, dan ketangkasan fisik.

1.3.1 Ketahanan
Ketahanan adalah toleransi suatu otot terhadap stress dimana suatu otot dapat mempertahankan penampilannya pada beban kerja tertentu. Latihan ini bertujuan untuk mengembangkan kekuatan bagi respon otot. Dalam latihan olah tubuh ketahanan ini difokuskan pada kekuatan otot perut, tangan, dan kaki.

Pedoman dalam melakukan latihan olah tubuh ketahanan adalah sebagai berikut.
a. Coba untuk konsentrasi dan konsekuen dalam latihan ini.
b. Ajaklah teman sebagai patner ataupun sebagai pengawas dalam latihan.
c. Untuk latihan gerak tertentu, pergunakan matras sebagai pelindung maupun sebagai alas latihan.
d. Lakukan dengan rileks dan jangan terburu-buru. Prinsip dari dasar dari latihan ini adalah pengulangan-pengulangan secara rutin.

1.3.1.1 Otot Perut
a. Posisi telungkup dan naikkan badan bagian atas, lakukan 8 hitungan
b. Posisi telungkup dan naikkan badan bagian bawah, lakukan 8 hitungan
c. Posisi terlentang dan lakukan kayang dengan topangan bahu dan kepala
d. Posisi terlentang dan lakukan kayang dengan topangan kaki dan tangan, lakukan 8 hitungan
e. Posisi terlentang dan lakukan kayang dengan topangan kaki dan tangan, angkat salah satu kaki, lakukan 8 hitungan secara bergantian.




Gb.98 Latihan otot perut

1.3.1.2 Otot Perut dan Pinggang
a. Posisi terlentang dan lakukan sit-up, lakukan 8 hitungan
b. Posisi terlentang dan angkat kaki tegak lurus, tangan terbuka di samping badan, turun kaki ke samping kanan dan kiri bergantian, lakukan 8 hitungan.
c. Posisi terlentang dan cium lutut dalam-dalam, lakukan 8 hitungan
d. Posisi terlentang dan cium lutut dalam-dalam dengan tungkai diangkat melampaui kepala, lakukan 8 hitungan
e. Posisi terlentang dan tungkai diangkat terbuka melampaui kepala, lakukan 8 hitungan.




Gb.99 Latihan otot perut dan pinggang

1.3.1.3 Kaki, Lutut, dan Tangan
a. Posisi duduk satu kaki diangkat tahan 2 detik, lakukan 8 hitungan dan kaki bergantian.
b. Posisi duduk, kaki dan tangan dibuka dan ditutup, lakukan 8 hitungan dan bergantian.
c. Posisi terlentang, kaki dan tangan dibuka dan ditutup, lakukan 8 hitungan dan bergantian.
d. Posisi berdiri pada lutut, badan tegap dan condongkan ke belakang tahan 2 detik dan kembali tegap, lakukan 8 hitungan.
e. Posisi tidur miring topang badan dengan satu tangan, angkat dan turunkan badan, lakukan 8 hitungan dan bergantian.











Gb.100 Latihan kaki, lutut, dan tangan


1.3.1.4 Lengan, Bahu, dan Dada
a. Push up dengan kaki rapat di lantai 8 hitungan
b. Push up dengan kaki terbuka di lantai 8 hitungan
c. Push up kedua lengan lurus ke atas dan kedua tungkai kaki jinjit.
d. Push up kedua lengan lurus ke atas dan salah satu kaki ditekuk turun naik 8 hitungan



Gb.101 Latihan lengan, bahu, dan Dada

1.3.2 Kelenturan
Kelenturan adalah kelemah-lembutan atau kekenyalan dari otot dan kemampuannya untuk meregang cukup jauh agar memungkinkan persendian dapat beraksi dengan lengkap dalam jarak normal dan dari gerakan ini tidak menyebabkan cedera. Kelenturan tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh kelenturan tulang punggung, kaki dan tangan. Latihan ini difokuskan pada latihan tulang punggung, kaki, dan tangan.
Pedoman dalam melakukan latihan olah tubuh kelenturan ini adalah sebagai berikut.
a. Lakukan latihan ini dalam tempo yang lambat pada tahap permulaan, dan yang terpenting adalah dapat merasakan pergerakan ruas demi ruas tulang punggung. Setelah dapat merasakan dengan betul tingkatkan kecepatannya dan secara bertahap melambat kembali sampai diam.
b. Latihan ini tidak ada patokan waktu dan hitungan, tetapi lebih pada pencapaian hasil.
c. Latihlah setiap sesi latihan dengan benar, jangan terburu-buru pindah ke sesi selanjutnya.
d. Bila anda melakukan gerakan menunduk, usahakan kepala lebih dahulu merendah. Sedangkan kalau gerakan menaik usahakan gerakkan itu berawal dari bagian dasar tulang punggung.

1.3.2.1 Cembung, Cekung, dan Datar Tulang Punggung
a. Posisi rukuk tangan di lutut dan bungkukkan punggung. Bengkokkan tulang ekor anda turun dan ke dalam, bulatkan tulang punggung dibagian dada dan bahu serta turunkan kepala dan leher. Bentuklah punggung anda ke dalam posisi secembung-cembungnya.
b. Angkat bagian tulang ekor, kosongkan tulang punggung bagian dada dan bahu, dan tegakkan leher serta kepala anda. Bentuklah punggung ke dalam posisi secekung-cekungnya.
c. Turunkan pinggul, luruskan tulang punggung bagian dada dan bahu sehingga membentuk garis lurus dan tulang ekor. Turunkan leher secukupnya agar berada dalam satu garis lurus dengan tulang punggung di bagian bahu.





Gb.102 Latihan cembung, cekung, dan datar tulang punggung


1.3.2.2 Membulat, Mencekung, dan Melurus
a. Berdiri dengan dua kaki saling berjauhan + 30 cm. Bengkokkan kaki pelan-pelan dan letakkan tangan di atas lutut. Tundukkan kepala, lengkungkan seluruh tulang punggung dan turunkan bagian ekor sehingga posisi tulang punggung membulat.
b. Posisi badan masih sama, naikkan bagian ekor, kosongkan bagian tengah tulang punggung, dan tegakkan kepala.
c. Ulangi gerakan di atas secara bergantian dari tempo yang lambat sampai cepat kemudian melambat lagi.
d. Ulurkan ruas demi ruas tulang punggung sehingga terasa tulang punggung tegak dan lurus.
e. Pinggul harus kembali pada posisi awal, leher harus berada dalam satu garis lurus dengan ekor dan tulang punggung. Arahkan pandangan mata lurus ke depan. Rasakan posisi telapak kaki dan lutut serta rasakan kemampuan berdiri tubuh anda mulai dari bawah hingga ke atas.



Gb.103 Latihan membulat, mencekung, dan melurus

1.3.2.3 Menggulung dan Melepas
a. Berdiri dengan kedua kaki direnggangkan, turunkan pinggul dan merendahlah sampai jongkok dengan bertumpukan kekuatan daya dukung lutut.
b. Bungkukkan tubuh bagian atas, tarik tulang ekor masuk ke arah dalam lalu pelan-pelan duduklah dilantai.
c. Luruskan kedua kaki dan gerakkan tulang punggung ke belakang sehingga seluruh punggung terletak di lantai dengan tenang.
d. Gulung seluruh tulang punggung ke depan mulai dari kepala, leher, tulang punggung, dan ekor sehingga membungkuk di atas kaki dan regangkan ke depan.
e. Pelan-pelan berdiri sampai tegak dan mulai jalan dalam gaya lamban.
f. Ulangi latihan ini sampai dapat merasakan fungsi ruas-ruas tulang belakang.





Gb.104 Latihan menggulung dan melepas

1.3.2.4 Ayunan Bandul Tubuh Atas
a. Berdiri dengan posisi melangkah dan angkatlah kedua lengan tinggi di atas kepala.
b. Bengkokkan tubuh bagian atas yang lurus itu sehingga membentuk sudut yang tepat dengan kaki anda. Pertahankan posisi dan rasakan ketegangan yang terjadi.
c. Lutut-lutut dibengkokkan sedikit, biarkan tubuh bagian atas terjatuh memberat dari bagian tengah tulang punggung dan kemudian hayunkan mendekati dan menjauhi kaki.
d. Lengan-lengan harus mengikuti tubuh bagian atas dan ikut terayun maju dan mundur. Jangan naikkan tubuh bagian atas. Ayunan ini akan mampu menaikkan tulang punggung hanya sejauh sudut membengkoknya yang tepat dari ayunan itu bermula.
e. Panjang ayunan harus tetap sama dan harus mampu membulat dan meluruskan tulang punggung. Membulat, ketika batang tubuh bagian atas menjauh, dan melurus, ketika tulang punggung mengayun ke depan dan menjauh kalau kedua lengan berada di belakang. Membulat lagi ketika batang tubuh bagian atas jatuh lagi, dan melurus, ketika tulang punggung mengayun ke luar dan menjauh lagi ketika kedua lengan berada di depan.



Gb.105 Latihan ayunan bandul tubuh atas

1.3.3 Ketangkasan
Ketangkasan merupakan suatu bentuk latihan olah tubuh yang difokuskan pada keterampilan, kecepatan, dan kegesitan. Ketangkasan sebenarnya hasil pertumbuhan alami dari latihan kelenturan dan ketahanan. Latihan ketangkasan banyak ragamnya, misalnya latihan bela diri, senam alat, dan permainan alat (tombak, pedang, toya, kipas, pisau, tali/rantai ). Latihan ini akan difokuskan pada konsentrasi gerak dan latihan bela diri, baik dengan tangan kosong maupun dengan pisau.
Pedoman sebelum melakukan latihan olah tubuh ketangkasan ini adalah sebagai berikut.
a. Menemukan pasangan berlatih untuk melatih teknik-teknik yang ada dengan penuh ketelitian dan kesabaran, sehingga posisi-posisi dan gerak yang dilaksanakan benar-benar tepat.
b. Latihlah pada tiap-tiap teknik dalam suatu rangkaian gerak mulai dari gerak lambat menuju gerak yang cepat
c. Teknik yang dilatih harus dilakukan dari kanan maupun dari kiri, sehingga benar-benar dapat dikuasai dari semua sudut.
d. Lakukan pergantian posisi antara penyerang dan yang diserang.
e. Lakukan dengan tangan dan kaki yang sebaliknya.


1.3.3.1 Latihan Cermin
a. Berpasangan dan berhadapan serta ditentukan siapa sebagai cermin dan siapa yang bercermin.
b. Latihan dimulai dari gerak sederhana dan lambat, semakin lama semakin bervariasi dan cepat.
c. Lakukan pergantian, antara cermin dan yang bercermin.



Gb.106 Latihan cermin

1.3.3.2 Latihan Kuda-Kuda
a. Lompat terus jongkok dan lakukan sebanyak 8 kali
b. Lompat terus mengangkang dan lakukan sebanyak 8 kali.



Gb.107 Latihan kuda-Kuda


1.3.3.3 Menangkis Pukulan
a. Berhadapan posisi kuda-kuda dan lawan menyerang dari samping dengan tangan kanan, tangkis ke arah luar dengan tangan kiri pada pengelangan tangan lawan, kaki kiri maju dan tangan kanan memukul pada wajah lawan.
b. Lakukan dengan tangan yang sebaliknya.
c. Lawan memukul dengan tangan kiri, ditangkis dengan jari-jari tangan kanan dan langsung menangkapnya pada pergelangan tangannya. Majukan kaki kanan untuk memperpendek jarak lawan dan siapkan tangan kanan untuk memukul muka lawan dengan punggung kepalan tangan.







Gb.108 Latihan menangkis pukulan





1.3.3.4 Membalas Serangan Dengan Tebangan
a. Dorongan yang dilakukan oleh tangan kiri lawan, ditangkap dengan tangan kanan kita, terus tekan ke bawah dan diiringi dengan tebangan memakai sisi tangan kiri pada leher atau tulang pipi.


Gb.109 Latihan membalas serangan dengan tebangan

1.3.3.5 Putaran Pergelangan Tangan Merusak Posisi Lawan
a. Lawan melakukan pukulan memakai tangan kiri, tangkis dengan cepat menggunakan tangan kanan ke arah luar.
b. Kaki kiri maju sambil memukul dengan tangan kiri, lawan melangkah mundur dengan kaki kiri sambil menangkis pergelangan tangan ke arah keluar. Dengan cepat pergelangan tangan kiri lawan ditangkap dan diturunkan.
c. Kaki kanan maju menyamping kiri ke arah lawan sambil mendorong dagu ke atas.



Gb.110 Latihan putaran pergelangan tangan merusak posisi lawan

1.3.3.6 Pemakaian Satu Tangan
a. Lawan memukul dengan tangan kiri, tangkis ke arah luar dengan tangan kanan. Selesai menangkis, tangan kanan langsung memukul ke arah dagu lawan.



Gb.111 Latihan pemakaian satu tangan

1.3.3.7 Tangkisan Dengan Kombinasi Tendangan Kaki
a. Lawan menyerang dengan tangan kanan, tangkap dan tarik dengan tangan kiri serta lepaskan, selanjutnya tangan kiri mendorong pada dada lawan sehingga terlontar mundur.
b. Tarik kaki kanan mendekat ke kaki kiri, selanjutnya kaki kiri diangkat untuk melakukan tendangan samping pada lawan.



Gb.112 Latihan tangkisan dengan kombinasi tendangan kaki



1.3.3.8 Gerak Memotong Lawan
a. Lawan melakukan gerakan mendorong dengan tangan kiri, tangkis dengan bagian sisi luar tangan kiri.
b. Serang dengan tangan kiri mengepal, lawan mundur dan menangkis dengan tangan kanan. Melangkahlah maju tepat di depan lawan sambil menarik tangan kanan lawan dan pukullah dagu dari bawah.



Gb.113 Latihan Gerak Memotong Lawan

1.3.3.9 Pukulan Balasan Dari Luar
a. Lawan memukul dengan tangan kanan, mengelaklah ke kanan lawan sambil menangkis dan menangkap pergelangan tangan lawan dengan tangan kiri, terus menarik searah serangan lawan.
b. Ketika menarik tangan tersebut, lakukan pukulan pada rusuk atau mata lawan dengan tangan kiri.



Gb.114 Latihan pukulan balasan dari luar

1.3.3.10 Melutut Lawan
a. Lawan mendorong, menghindarlah ke samping sambil menangkis pergelangan tangan, balaslah bagian tubuh lawan dengan lutut kaki kanan.


Gb.115 Latihan melutut lawan

1.3.3.11 Pukulan Balasan ke Dalam
a. Lawan memukul dengan tangan kanan, tangkis dengan tangan kiri dengan posisi tubuh menyamping.
b. Berbaliklah arah sambil melakukan pukulan memutar dengan tangan kanan ke arah perut lawan.



Gb.116 Latihan pukulan balasan ke dalam



1.3.3.12 Gerak Dorongan ke Samping
a. Lawan menyerang dengan tangan kiri, tangkis dan tangkap pergelangan tangan lawan dan menghindarlah ke kiri lawan.
b. Tangan kanan mendorong bahu lawan dan kaki kanan mendorong kaki kiri lawan dengan kuat.





Gb.117 Latihan gerak dorongan ke amping


1.3.3.13 Menangkis dan Menyerang Tendangan
a. Lawan menyerang dengan tangan kanan dan melangkah maju, tangkis dengan tangan kanan dan kaki kiri mundur.
b. Lawan melanjutkan serangan dengan tangan kiri dari arah bawah, tanpa mengubah posisi, tangkis dengan tangan kanan ke arah bawah. Setelah menangkis, ambil posisi jongkok, sambar dan angkat kaki kanan lawan dengan tangan kiri.
c. Pada saat posisi lawan goyah, tendang dada lawan dengan kaki kanan.



Gb.118 Latihan menangkis dan menyerang tendangan

1.3.3.14 Melumpuhkan Lawan Dengan Kaki
a. Lawan menyerang dengan pukulan tangan kanan, menghindarlah ke samping dan kaki kanan langsung di belakang kaki lawan yang maju, sedangkan tangan kanan di dada lawan serta tangan kiri menempel pada siku lawan.
b. Tangan kanan mendorong dada lawan searah dengan arah hadap. Ganjalkan kaki ke kaki kanan lawan.


Gb.119 Latihan melumpuhkan lawan dengan kaki

1.3.3.15 Bela Diri Terhadap Serangan Pisau
a. Lawan menusuk dengan pisau di tangan kanan. Bersikaplah dengan tenang dan menghindar ke samping sambil menangkis pergelangan tangan lawan dengan tangan kanan, lanjutkan dengan tendangan kaki kanan pada tangan.





Gb.120 Latihan melumpuhkan serangan pisau
b. Lawan menusuk dengan pisau di tangan kanan, menghindarlah ke samping kanan sambil menangkap punggung tangan lawan dengan tangan kiri. Gerak selanjutnya adalah memelintir tangan lawan dengan bantuan tangan kanan. Setelah terpelintir, tendanglah dada lawan.





Gb.121 Latihan melawan serangan pisau

c. Lawan menyerang dengan pisau dari atas, menghindarlah ke kiri disertai tangkapan tangan lawan dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri menyambar baju lawan dan kaki kanan menendang kaki kiri lawan. Pada saat lawan jatuh, tekanlah dengan lutut kaki kanan.


Gb.122 Latihan melumpuhkan serangan pisau

1.4 Pendinginan
Pendinginan atau peredaan (warm-down) yaitu serial pendek gerakan latihan yang bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi tubuh. Pengenduran otot-otot dilakukan untuk memperbaiki kelenturan tubuh yang menegang akibat latihan inti.

Sasaran dari latihan ini adalah sebagai berikut.
a. Mengakhiri setiap latihan dalam suasana yang menyenangkan.
b. Menetapkan suatu serial gerakan dengan maksud untuk mempertahankan penambahan sirkulasi yang ringan, meregangkan otot-otot dan melancarkan peredaran darah, serta menstabilkan pernafasan.
c. Memperbaiki kesadaran diri dari kebutuhan-kebutuhan otot-otot.

Program latihan pendinginan atau peredaan itu adalah sebagai berikut.

a. Berdiri tegak, kaki dibuka + 60 cm, badan condong ke kiri, kaki kanan lurus dan kaki kiri agak ditekuk ke bawah, tangan kanan lurus ke atas di samping kepala dan tangan kiri ditempelkan pada paha kaki kiri, tahan sampai 8 hitungan. Ganti badan condong ke kanan.



Gb.123 Pendinginan kaki dan sisi luar badan


b. Posisi berdiri masih sama tetapi badan tegak di tengah dan kedua lengan direntangkan ke kiri dan ke kanan lurus bahu, kaki agak ditekuk ke bawah dan lakukan gerakan mengeper ke atas dan bawah, lakukan selama 8 hitungan.


Gb.124 Pendinginan kaki dan tangan

c. Posisi berdiri masih sama, kedua tangan lurus ke atas kepala dan condongkan badan ke kiri, tahan sampai 8 hitungan. Ganti badan condong ke kanan dengan hitungan yang sama.



Gb.125 Pendinginan tangan dan sisi luar badan

d. Posisi berdiri masih sama, silangkan tangan kanan sejajar bahu di depan dada ke arah kiri dan tangan kiri membantu peregangan tepat pada siku, tahan sampai 8 hitungan. Ganti tangan kiri sejajar bahu di depan dada ke arah kanan dan tangan kanan membantu peregangan tepat pada siku, tahan sampai 8 hitungan.


Gb.126 Pendinginan tangan

e. Posisi berdiri masih sama, tangan kanan lurus ke atas di samping kepala dan tangan kiri menekan kepala kearah kiri, tahan sampai 8 hitungan. Ganti tangan kiri lurus dan tangan kanan menekan kepala ke arah kanan dengan hitungan yang sama.





Gb.127 Pendinginan leher

f. Posisi berdiri masih sama, langkahkan kaki kanan ke kanan, lutut kanan ditekuk serong kanan, kaki kiri bertumpu pada tumit, badan condong ke kanan, kedua telapak tangan menempel di atas kedua paha dan ayunkan ke bawah sampai 8 hitungan. Ganti dengan kaki kiri langkahkan ke kiri, lutut kiri ditekuk serong kiri, kaki kanan bertumpu pada tumit, badan condong ke kiri, kedua telapak tangan menempel di atas kedua paha dan ayunkan ke bawah sampai 8 hitungan.



Gb.128 Pendinginan lutut dan tumit


g. Posisi berdiri masih sama, tangan di samping badan, mulai tangan diangkat lurus ke atas kepala sambil menghirup napas dalam 4 hitungan dan menurunkan tangan sambil menghembuskan napas dalam 4 hitungan. Lakukan gerakan ini 4 kali dan gerakan yang terakhir dibarengi dengan menutup kaki.



Gb.129 Pendinginan dengan pernafasan


1.5 Relaksasi
Relaksasi adalah memposisikan tubuh dalam kondisi yang rileks, tanpa tegangan. Akan tetapi, meskipun tubuh rileks bukan berarti berada dalam keadaan pasif (tanpa bergerak). Relaksasi melepaskan kekangan yang ada dalam tubuh melalui gerakan-gerakan lembut yang teratur. Keteraturan gerak seirama dengan nafas sehingga ketegangan otot-toto tubuh kembali mengendur. Relaksasi merupakan hal yang penting bagi semua pemeran. Oto-otot tubuh yang menegang membawa dampak yang kurang baik bagi emosi sehingga mempengaruhi konsentrasi.
Pemeran pemula biasanya sulit bersikap rileks. Hal ini disebabkan ketidaksiapan fisik dan semosi saat berada di hadapan penonton. Dengan kata lain, dalam keadaan rileks, aktor akan menunggu dengan tenang dan sadar dalam mengambil tempat dan melakukan akting. Untuk mencapai relaksasi atau mencapai kondisi kontrol mental maupun fisik diatas panggung, konsentrasi adalah tujuan utama.
Ada bermacam-macam bentuk relaksasi, lakukan relaksasi yang sesuai dengan keadaan pikiran. Relaksasi bisa dilakukan dengan cara tai-chi, yoga. Pada sub bab ini akan dibahas relaksasi dalam bentuk yoga. Yoga sebenarnya adalah seni daya tubuh yang dilakukan melalui perpaduan antara pernafasan, pose tubuh dan konsentrasi sehingga jiwa atau pikiran kita menjadi relaks. Pose tubuh dalam yoga disebut dengan asana. Dasar-dasar dari yoga yang perlu diperhatikan, adalah cinta kasih, kejujuran, kesederhanaan, kesucian, dan tidak gila hormat. Yoga selain sebagai relaksasi juga dipercaya bisa menyembuhkan penyakit.

Pedoman melakukan relaksasi adalah sebagai berikut.
a. Konsentrasi pada nafas, bila perlu rasakan perjalanan udara mulai dari hidung, tenggorokan, dan paru-paru.
b. Santai dan kendorkan semua pikiran, otot-otot, dan jangan ada yang mengganggu atau terjadi ketegangan.
c. Gunakan nafas segitiga, yaitu menghirup, menahan, dan menghembuskan nafas dengan hitungan yang sama.
d. Pilihlah pose-pose yang sesuai dengan kemampuan, jangan memaksakan suatu pose tetapi tidak merasa nyaman.
Pose-pose yoga yang dapat digunakan untuk latihan relaksasi ini adalah sebagai berikut.


1.5.1 Dhanurasana (Pose Busur)
a. Posisi badan telungkup kaki dilipat ke atas, nafas biasa.
b. Tangan menarik kaki yang dilipat tadi sehingga posisi badan seperti busur, goyang-goyangkan pada perut.
c. Ketika menarik dan mengoyangkan badan, nafas ditahan.
d. Pergunakanlah nafas segitiga, yaitu ketika menarik, menahan, dan menghembuskan nafas hitungannya sama. Misalnya menarik nafas dengan 10 hitungan, berarti menahan dan menghembuskan 10 hitungan dan seterusnya.





Gb.130 Pose busur






1.5.2 Garudasana (Pose Garuda)
a. Posisi duduk kaki dilipat saling menumpuk, tarik nafas diiringi dengan dengan posisi tangan membentang lurus di kanan dan kiri tubuh.
b. Tahan nafas, terus menarik tangan dalam posisi menyembah sambil menghembuskan nafas. Lakukan paling sedikit 8 kali.



Gb.131 Pose garuda

1.5.3 Pavartasana (Pose Gunung)
a. Posisi duduk kaki dilipat saling menumpuk, tangan diangkat lurus di atas kepala. Ketika mengangkat tangan diiringi dengan menarik nafas.
b. Condongkan badan ke kanan sambil menahan nafas.
c. Posisi tubuh lurus kembali dan menurunkan tangan sambil menghembuskan nafas.
d. Ulangi lagi posisi dan gerak tersebut tetapi sekarang badan condong ke kiri. Lakukan secara bergantian sebanyak 8 kali ke kanan dan kiri.





Gb.132 Pose gunung


1.5.4 Sirshasana (Rajanya Pose)
a. Posisi duduk dengan kaki sebagai alas, tarik nafas, dan tahan.
b. Posisi sujud dengan tangan membentuk segi tiga di samping kepala, pelan-pelan angkat badan dan kaki ke atas sampai lurus.
c. Posisi terbalik (kepala di bawah dan kaki di atas) hembuskan nafas. Pada posisi ini kita bernafas segi tiga yaitu tarik, tahan, hembuskan.
d. Pada awalnya lakukan hanya beberapa menit tetapi semakin sering dilakukan, hitungan waktunya semakin ditambah.
e. Kalau belum ada keseimbangan minta bantuan teman untuk memegangi kaki.







Gb.133 Pose sirshasana



1.5.5 Sarvangasana
a. Posisi tidur terlentang dengan tangan di samping badan, terus angkat kaki ke atas sambil menghirup udara.
b. Posisi berdiri pada pundak dan leher. Nafas ditahan dan hembuskan. Pernafasan menggunakan pernafasan segitiga.
c. Lakukan yoga ini mulai dari waktu yang pendek sampai waktu yang panjang.





Gb.134 Pose sarvangasana









1.5.6 Matyasana (Pose Ikan)
a. Posisi duduk dengan kaki dilipat saling menumpuk, tangan di samping badan, diteruskan merebahkan diri dengan kaki masih saling terkait.
b. Tangan yang di samping badan terus mengangkat pinggang agar kedudukan dada lebih tinggi. Tangan setelah mengangkat kemudian dipakai sebagai alas kepala.
c. Lakukan dengan pernafasan segitiga sebanyak 10 – 15 kali pernafasan.







Gb.135 Pose ikan








1.5.7 Salabhasana (Pose Belalang)
a. Posisi tubuh telungkup rata dengan lantai, kedua tangan santai di samping badan dan menghirup nafas.
b. Angkat kaki kanan ke atas dan nafas ditahan. Ketika kaki diturunkan maka nafas dihembuskan
c. Lakukan dengan kaki secara bergantian.





Gb.136 Pose belalang


1.5.8 Bhujangasana (Pose Cobra)
a. Posisi tubuh telungkup rata dengan lantai, tangan dilipat di samping badan.
b. Tangan mendorong dada dan kepala tegak. Dorongan ini diusahakan sampai tangan tegak lurus. Ketika tangan mendorong kita menghirup nafas terus ditahan. Ketika tangan diturunkan kita menghembuskan nafas.
c. Lakukan sampai 10 – 15 kali nafas.


Gb.137 Pose cobra

1.5.9 Suryanamaskar (Pose Hormat pada Cahaya)
a. Posisi berdiri, tangan posisi menyembah di dada, dan menghirup nafas panjang.
b. Tangan dibuka dan ayunkan ke belakang sambil menahan nafas.
c. Tangan diayunkan ke depan sampai menyentuh lantai sambil menghembuskan nafas.
d. Posisi jongkok dan kaki kiri ditarik ke belakang sedangkan kedua tangan menahan berat tubuh sambil menghirup nafas panjang.
e. Posisi push-up sambil menahan nafas.
f. Posisi push-up yang diturunkan hanya pada tangan sambil menghembuskan nafas.
g. Posisi tubuh diteruskan dengan pose kobra sambil menarik nafas panjang.
h. Pose kobra dan menarik pinggul ke atas sehingga tangan dan kaki dalam keadaan lurus sambil menahan nafas.
i. Kaki kanan dimajukan sampai tertekuk turun sambil menghembuskan nafas.
j. Bangkit sampai seperti posisi ketiga sambil menghirup nafas.
k. Posisi bangkit dan tangan diangkat ke atas sampai belakang sambil menahan nafas.
l. Posisi berdiri dan menurunkan tangan sammbil menghembuskan nafas. Lakukan latihan sebanyak 8 kali.






Gb.138 Pose suryanamaskar









2. OLAH SUARA
Suara adalah unsur penting dalam kegiatan seni teater yang menyangkut segi auditif atau sesuatu yang berhubungan dengan pendengaran. Dalam kenyataannya, suara dan bunyi itu sama, yaitu hasil getaran udara yang datang dan menyentuh selaput gendang telinga. Akan tetapi, dalam konvensi dunia teater kedua istilah tersebut dibedakan. Suara merupakan produk manusia untuk membentuk kata-kata, sedangkan bunyi merupakan produk benda-benda.
Suara dihasilkan oleh proses mengencang dan mengendornya pita suara sehingga udara yang lewat berubah menjadi bunyi. Dalam kegiatan teater, suara mempunyai peranan penting, karena digunakan sebagai bahan komunikasi yang berwujud dialog. Dialog merupakan salah satu daya tarik dalam membina konflik-konflik dramatik. Kegiatan mengucapkan dialog ini menjadi sifat teater yang khas.
Suara adalah lambang komunikasi yang dijadikan media untuk mengungkapkan rasa dan buah pikiran. Unsur dasar bahasa lisan adalah suara. Prosesnya, suara dijadikan kata dan kata-kata disusun menjadi frasa serta kalimat yang semuanya dimanfaatkan dengan aturan tertentu yang disebut gramatika atau paramasastra.
Pemilihan kata-kata memiliki peranan dalam aturan yang dikenal dengan istilah diksi. Selanjutnya, suara tidak hanya dilontarkan begitu saja tetapi dilihat dari keras lembutnya, tinggi rendahnya, dan cepat lambatnya sesuai dengan situasi dan kondisi emosi. Itulah yang disebut intonasi. Suara merupakan unsur yang harus diperhatikan oleh seseorang yang akan mempelajari teater.
Kata-kata yang membawa informasi yang bermakna. Makna kata-kata dipengaruhi oleh nada. Misalnya, kalimat, “Yah, memang, kamu sekarang sudah hebat..... ”. Maka, nada suara yang terlontarkan, menunjukkan maksud memuji atau sebenarnya ingin mengatakan, “kamu belum bisa apa-apa”. Banyak lagi contoh yang menunjukkan tentang makna suara. Misalnya, dalam situasi tertentu tidak mampu mengungkapkan maksud yang sebenarnya, sehingga secara tidak sadar mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki. Maksud tersembunyi seperti itu disebut subtext.
Seorang pemeran dalam pementasan teater menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa tubuh dan bahasa verbal yang berupa dialog. Bahasa tubuh bisa berdiri sendiri, dalam arti tidak dibarengi dengan bahasa verbal. Akan tetapi, bisa juga bahasa tubuh sebagai penguat bahasa verbal.
Dialog yang diucapkan oleh seorang pemeran mempunyai peranan yang sangat penting dalam pementasan naskah drama atau teks lakon. Hal ini disebabkan karena dalam dialog banyak terdapat nilai-nilai yang bermakna. Jika lontaran dialog tidak sesuai sebagaimana mestinya, maka nilai yang terkandung tidak dapat dikomunikasikan kepada penonton. Hal ini merupakan kesalahan fatal bagi seorang pemeran.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh seorang pemeran tentang fungsi ucapan, yaitu sebagai berikut.
a. Ucapan yang dilontarkan oleh pemeran bertujuan untuk menyalurkan kata dari teks lakon kepada penonton.
b. Memberi arti khusus pada kata-kata tertentu melalui modulasi suara.
c. Memuat informasi tentang sifat dan perasaan peran, misalnya: umur. kedudukan sosial, kekuatan, kegembiraan, putus asa, marah, dan sebagainya.
d. Mengendalikan perasaan penonton seperti yang dilakukan oleh musik.
e. Melengkapi variasi.
Ketika pemeran mengucapkan dialog harus mempertimbangkan pikiran-pikiran penulis. Jika pemeran melontarkan dialognya hanya sekedar hasil hafalan saja, maka dia mencabut makna yang ada dalam kata-kata. Ekspresi yang disampaikan melalui nada suara membentuk satu pemaknaan berkaitan dengan kalimat dialog. Proses pengucapan dialog mempengaruhi ketersampaian pesan yang hendak dikomunikasikan kepada penonton.

2.1 Persiapan
Sebelum melakukan latihan olah suara sebaiknya mempelajari organ produksi suara. Organ produksi suara pada manusia terbagi menjadi tiga, yaitu organ pernafasan, resonator, dan organ pembentuk kata. Organ pernafasan terdiri dari hidung, tekak atau faring, pangkal tenggorokan atau laring, batang tenggorokan atau trakea, cabang tenggorokan atau bronkus, paru-paru, serta pita suara. Resonator terdiri dari: rongga hidung, rongga mulat, dan rongga dada. Sedangkan organ pembentuk kata terdiri lidah, bibir, langit-langit mulut, dan gigi.
Hidung atau nasal adalah saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang, dipisahkan oleh sekat dan di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, kotoran-kotoran yang masuk dalam rongga hidung. Fungsi dari hidung adalah bekerja sebagai saluran keluar masuknya udara. Tekak atau faring adalah tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Letak tekak terdapat di bawah dasar tengkorak di belakang rongga hidung dan mulut pada bagian depan ruas tulang leher. Pangkal tenggorokan atau laring adalah saluran udara dan bertindak sebagai pembentukkan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebrata servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Batang tenggorokan atau trakea adalah merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh enam belas sampai dengan dua puluh cincin tulang rawan dan berbentuk kuku kuda atau huruf “C”. Trakea diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar dan hanya bergerak ke arah luar. Fungsi bulu getar ini adalah mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara. Cabang tenggorokan atau bronkus adalah lanjutan dari trakea yang terdiri dari dua buah cabang yang menuju paru-paru. Paru-paru adalah organ tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung dan berjumlah kurang lebih 700.000.000 (tujuh ratus juta) gelembung di paru-paru kanan dan kiri.

2.2 Pemanasan
Setelah mengetahui macam-macam, letak, dan fungsi dari organ produksi suara, maka latihan pemanasan siap dilakukan. Fungsi pemanasan ini adalah mengendorkan otot-otot organ produksi suara. Latihan pemanasan olah suara diawali dengan senam wajah, senam lidah, dan senam rahang. Pedoman latihan olah suara adalah sebagai berikut.
a. Konsentrasi dan sadar pada pekerjaan. Kesadaran ini akan memicu kepada ingatan kita.
b. Santai dan lakukan pengulangan-pengulangan dalam latihan ini karena otot-otot organ tubuh kita bukan suatu hal yang mekanis tetapi lebih bersifat ritmis.
c. Hindari keteganggan dan lakukan segala sesuatu dengan wajar secara alami.
d. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, jangan lakukan latihan secara terburu-buru. Beri kesempatan otot-otot dan persendian untuk menyesuaikan khendak kita.
e. Lakukan semua latihan ini dimulai dari tempo lambat sampai dengan tempo cepat.

2.2.1 Senam Wajah
a. Dahi dikerutkan ke atas, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
b. Arahkan otot-otot wajah ke kanan, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
c. Arahkan otot-otot wajah ke kiri, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
d. Arahkan otot-otot wajah ke bawah, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
e. Buka mulut selebar mungkin, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
f. Bibir dikatupkan dan arahkan ke depan sejauh mungkin, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
g. Bibir dikatubkan dan arahkan ke kanan sejauh mungkin, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
h. Bibir di katupkan dan arahkan ke kiri sejauh mungkin, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
i. Bibir ditarik ke belakang sejauh mungkin sampai kita meringis, tahan, dan lepaskan. Lakukan latihan ini 8 kali.
j. Bibir dikatupkan dan putar searah jarum jam, lakukan 8 hitungan, terus kearah sebaliknya, 8 kali.
k. Ucapkan u...o...o...o...a... ( huruf o diucapkan seperti pada kata soto), kemudian diucapkan dengan sebaliknya. Posisi lidah tetap datar pada mulut, tenggorokan tetap terbuka lebar dan rahang rileks.
l. Ucapkan me...mo...me...mo...me...mo...me...mo...me (me diucapkan seperti pada kata medan).











Gb.139 Senam wajah


2.2.2 Senam Lidah
a. Lidah dijulurkan sejauh mungkin, tahan dan tarik sedalam mungkin, lakukan 8 kali.
b. Lidah dijulurkan dan arahkan ke kanan dan ke kiri secara bergantian, lakukan 8 kali.
c. Lidah dijulurkan dan putar searah jarum jam terus kebalikannya, lakukan 8 kali.
d. Bibir dikatupkan, rahang diturunkan dan lidah diputar di dalam mulut searah jarum jam terus kebalikannya. Lakukan 8 kali.
e. Lidah ditahan di gigi seri, terus hentakkan. Lakukan 8 kali.
f. Membunyikan errrrr................, errrrrrr................ berulang -ulang. Latihan ini berfungsi untuk melemaskan lidah.
g. ucapkan dengan cepat: fud...fud...fud...fud...fud...dah – fud...fud...fud...fud...fud...dah. lakukan latihan ini sesering mungkin.







Gb.140 Senam lidah


2.2.3 Senam Rahang Bawah
a. Gerakkan rahang bawah dengan cara membuka dan menutup, lakukan 2 x 8 hitungan.
b. Gerakkan rahang bawah ke kiri dan kanan secara bergantian, lakukan 2 x 8 hitungan.
c. Gerakkan rahang bawah ke depan dan ke belakang secara bergantian. Lakukan 2 x 8 hitungan.
d. Gerakkan rahang bawah melingkar sesuai dengan arah jarum jam dan ke arah sebaliknya, lakukan 8 hitunngan searah jarum jam dan 8 hitungan kearah sebaliknya.
e. Ucapkan dengan riang, ceria, gembira dan rileks: da....da....da.... da..... da..... da.... kemudian la....la.....la....la.....la.....la.... Latihan ini bisa dengan huruf konsonan yang lain yang digabung dengan huruf vokal a.







Gb.141 Senam rahang bawah


2.2.4 Latihan Tenggorokan
a. Ucapkan lo...la...le...la...lo...- lo...la...le...la...lo...- lo...la...le...la...lo... Lakukan latihan ini dengan santai, semakin lama semakin keras teatpi tenggorokan jangan teggang.
b. Nyanyikan dengan tenggorokan tetap terbuka la...la...la...la...laf... – la...la...la...la...los... – la...la...la...la...lof...

2.2.5 Berbisik
a. Lafalkan huruf vokal (a...i...u...e...o...) tanpa mengeluarkan suara. Dalam latihan ini yang diutamakan adalah kontraksi otot-otot bibir, wajah dan rahang.
b. Lafalkan huruf c... d... l... n... r... s... t... tanpa mengeluarkan suara. Latihan ini juga berfuungsi untuk melenturkan lidah.
c. Lafalkan huruf konsonan dengan tanpa mengeluarkan suara.
d. Lafalkan kata dan kalimat pendek tanpa mengeluarkan suara. Latihan ini diutamakan pengejaan tiap suku kata, baik dalam kata maupun dalam kalimat.

2.2.6 Bergumam
Fungsi bergumam adalah sebagai pemanasan organ produksi suara. Tahap latihan berguman adalah sebagai berikut.

a. Tarik nafas, tahan, dan hembuskan dengan cara bergumam., Fokus gumaman ini pada rongga dada. Rasakan getaran pada rongga dada pada waktu kita bergumam. Lakukan latihan ini 8 kali.
b. Tarik nafas, tahan, dan hembuskan dengan cara bergumam., Fokus gumaman ini pada batang tenggorokan atau trakea. Rasakan getaran pada batang tenggorokan pada waktu kita bergumam. Lakukan latihan ini 8 kali.
c. Tarik nafas, tahan, dan hembuskan dengan cara bergumam, fokus gumaman ini pada rongga hidung atau nasal. Rasakan getaran pada rongga hidung pada waktu kita bergumam, biasanya ujung hidung akan terasa gatal. Lakukan latihan ini 8 kali.

2.2.7 Bersenandung
Fungsi latihan bersenandung adalah untuk pemanasan organ produksi suara sekaligus untuk melatih penguasaan melodi.

a. Tarik nafas, tahan, dan hembuskan sambil bersenandung. Lakukan latihan ini mulai dari nada rendah sampai nada yang tinggi. Misalnya dengan suku kata NA disenandungkan sesuai dengan tangga nada (do, re, mi, fa, sol, la, si, do). Lakukan 8 kali pengulangan.
b. Tarik nafas, tahan, dan hembuskan sambil bersenandung dengan tidak sesuai tangga nada.


2.3 Latihan-latihan
2.3.1 Pernafasan
Pernafasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang mengandung karbondioksida. Proses menghirup udara disebut inspirasi dan proses menghembuskan udara ini disebut ekspirasi. Fungsi pernafasan secara fisiologi adalah mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk pembakaran serta mengeluarkan karbondioksida sisa pembakaran, kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang. Di dalam seni teater, pernafasan berhubungan dengan produksi suara.
Terbentuknya suara merupakan hasil kerja sama antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Proses terbentuknya suara adalah sebagai berikut: antara kedua pita suara dimasuki aliran udara, maka tulang rawan gondok dan tulang rawan bentuk beker diputar. Akibatnya, pita suara menjadi kencang dan mengendor. Dengan demikian sela udara menjadi sempit atau luas. Pergerakan ini dibantu oleh otot-otot laring, kemudian udara dari paru-paru dihembuskan dan menggetarkan pita suara. Getaran diteruskan melalui udara yang keluar dan masuk.
Penguasaan suara dalam pemeranan pada dasarnya adalah penguasaan organ produksi suara, serta penguasaan diri secara utuh. Kedudukan suara sebagai salah satu alat ekspresi dan totalitas diri seorang pemeran. Pengertian ‘penguasaan diri secara utuh’ menuntut suatu keseimbangan seluruh aspek, baik yang menyangkut kegiatan indrawi, perasaan, atau pikiran. Sebelum latihan olah suara, perlu dilakukan latihan pernafasan sebagai berikut.





2.3.1.1 Latihan Pernafasan Dasar
a. Posisi berdiri dan tarik nafas, tahan, hembuskan. Latihlah nafas segi tiga dengan santai dan lakukan 8 kali pengulangan.
b. Posisi masih berdiri dan lakukan nafas segi tiga dengan menaikan tangan sampai sebatas bahu dan menurunkannya. Pada saat menaikan tangan kita menarik nafas dan pada saat tangan diturunkan nafas dihembuskan. Ketika menghembuskan nafas lakukan dengan cara mendesis, lakukan 8 kali.
c. Posisi masih berdiri, tangan di samping badan, terus tangan diangkat sambil menghirup nafas panjang sampai tangan tegak lurus ke atas, tahan, hembuskan nafas sambil berdesis dibarengi dengan menurunkan tangan sampai telapak tangan menyentuh lantai lakukan 8 kali.






Gb.142 Pose latihan pernafasan









2.3.1.2 Latihan Pernafasan Perut
Ciri dari pernafasan perut adalah pada waktu menghirup udara, rongga perut mengembang untuk memberi ruang yang leluasa bagi paru-paru dalam menyimpan udara. Pernafasan ini juga ditandai dengan naik turunnya sekat diafragma yang terdapat di antara rongga dada dan rongga perut.

a. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan perut sampai optimal, tahan, hembuskan. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
b. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan perut sampai optimal, tahan, dan hembuskan sambil berdesis. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
c. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan perut sampai optimal, tahan, dan hembuskan sambil membunyikan huruf vokal. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
d. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan perut secara optimal dan hembuskan. Latihan ini dilakuan secara cepat antara menarik dan menghembuskan.
e. Variasi latihan pernafasan perut ini bisa dilakukan dengan cara duduk maupun berbaring santai.
f. Ketika menghirup nafas, rasakan dan hayati perjalanan udara seolah-olah mulai dari hidung ke paru-paru. Demikian pula sebaliknya ketika menghembuskan nafas.

2.3.1.3 Latihan Pernafasan Dada
Ciri dari pernafasan dada adalah pada waktu kita menghirup udara rangka dada mengembang untuk memberikan ruang leluasa bagi paru-paru dalam menyimpan udara. Latihlah sampai nafas dada ini terkuasai.

a. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan dada secara optimal, tahan, hembuskan. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
b. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan dada secara optimal, tahan, dan hembuskan sambil berdesis. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
c. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan dada secara optimal, tahan, dan hembuskan sambil membunyikan huruf vokal. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
d. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan dada secara optimal dan hembuskan. Latihan ini dilakuan secara cepat antara menarik dan menghembuskan.
e. Variasi latihan pernafasan dada ini bisa dilakukan dengan cara duduk maupun berbaring santai.
f. Ketika menghirup nafas, rasakan dan hayati perjalanan udara seolah-olah mulai dari hidung ke paru-paru. Demikian pula sebaliknya ketika menghembuskan nafas.


2.3.1.4 Latihan Pernafasan Diafragma
Fokus nafas diarahkan pada sekat antara rongga dada dan rongga perut yang disebut dengan sekat diafragma. Ciri dari pernafasan diafragma adalah otot-otot sekat diafragma akan mengembang dan mendatar ketika menghirup udara dan mencekung ketika menghembuskan nafas. Sekat diafragma terletak persis di bawah rongga dada dan di atas perut. Latihlah sampai nafas diafragma ini terkuasai.

a. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan sekat diafragma secara optimal, tahan, hembuskan. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
b. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan sekat diafragma secara optimal, tahan, dan hembuskan sambil berdesis. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
c. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan sekat diafragma secara optimal, tahan, dan hembuskan sambil membunyikan huruf vokal. Lakukan latihan ini 8 kali pengulangan.
d. Posisi berdiri tegak dan tarik nafas panjang sambil mengembangkan sekat diafragma secara optimal dan hembuskan. Latihan ini dilakuan secara cepat antara menarik dan menghembuskan.
e. Variasi latihan pernafasan diafragma ini bisa dilakukan dengan cara duduk maupun berbaring santai.
f. Ketika menghirup nafas, rasakan dan hayati perjalanan udara seolah-olah mulai dari hidung ke paru-paru. Demikian pula sebaliknya ketika menghembuskan nafas.

2.3.2 Diksi
Diksi berasal dari kata dictionary (kamus), yaitu pemilihan kata untuk mengekspresikan ide-ide yang tepat dan selaras. Diksi dapat diartikan, kata-kata sebagai satu kesatuan arti. Dalam pelatihan ini, diksi (diction) dimaksudkan sebagai latihan mengeja atau berbicara dengan keras dan jelas. Latihan diksi berfungsi untuk memberi kejelasan kata yang diucapkan. Banyak pemeran yang menyangka bahwa untuk dapat didengar hanya perlu berbicara keras, padahal yang dibutuhkan tidak sekedar itu, tetapi pengucapan yang jelas. Dalam bahasa Indonesia huruf yang hampir sama pengucapannya adalah huruf p dengan b, t dengan d, dan k dengan g. Latihan diksi dimulai dari membedakan huruf , kemudian diaplikasikan pada kata dan kalimat.

2.3.2.1. Latihan Membedakan Huruf

a. Membedakan huruf P dan B, latihlah sesuai dengan ketukan.
p.......... p.......... p.......... p..........
pp........ pp........ pp........ pp........
ppp...... ppp...... ppp...... ppp......
pppp.....pppp.....pppp.....pppp....
ppppp.. ppppp.. ppppp.. ppppp..
b.......... b.......... b.......... b..........
bb........ bb........ bb........ bb........
bbb...... bbb...... bbb...... bbb......
bbbb.....bbbb.....bbbb.....bbbb....
bbbbb.. bbbbb.. bbbbb.. bbbbb..


b. Membedakan huruf T dan D, latihlah sesuai dengan ketukan.
t.......... t.......... t.......... t............
tt..... ... tt......... tt......... tt...........
ttt........ ttt........ ttt........ ttt..........
tttt........tttt........tttt........tttt.........
ttttt...... ttttt...... ttttt...... ttttt........
d.......... d.......... d.......... d..........
dd........ dd........ dd........ dd........
ddd...... ddd...... ddd...... ddd......
dddd.....dddd.....dddd.....dddd....
ddddd.. ddddd.. ddddd.. ddddd..

c. Membedakan huruf K dan G, latihlah sesuai dengan ketukan.
k.......... k.......... k.......... k..........
kk........ kk........ kk........ kk........
kkk...... kkk....... kkk...... kkk......
kkkk.....kkkk......kkkk.....kkkk......
kkkkk.. kkkkk .. kkkkk .. kkkkk ..
g.......... g.......... g.......... g..........
gg........ gg........ gg........ gg........
ggg...... ggg...... ggg...... ggg......
gggg.....gggg.....gggg.....gggg....
ggggg.. ggggg.. ggggg.. ggggg..



d. Kombinasikan latihan huruf-huruf tersebut.
p.......... b.......... p.......... b..........
pb........ pb........ bp........ bp........
pbp...... pbp...... pbp...... pbp......
pbbp.....pbbp.....pbbp.....pbbp....
ppbpp.. ppbpp.. ppbpp.. ppbpp..
t........... d.......... t........... b..........
dt......... td......... dt......... td.........
tdt....... dtd........ tdt....... dtd........
dttd.......tddt.......dttd.......tddt......
ddtdd.... ttdtt..... ddtdd.... ttdtt.....
k.......... g.......... k.......... g..........
kg........ gk........ kg........ gk........
kgk...... gkg...... kgk...... gkg......
gkkg.....kggk.....gkkg.....kggk.....
ggkgg.. kkgkk.. ggkgg.. kkgkk..


2.3.2.2 Latihan Kata
a. Latihan ini dilakukan dengan cara menggabungkan huruf-huruf tersebut di atas dengan huruf vokal. Misalnya pa dengan ba atau ta dengan da, ki dengan gi dan seterusnya.
b. Latihan diteruskan sudah dalam bentuk kata, misalnya:
- Apabila
- Perpustakaan
- Begitu
- Kudengar
- Menyambut
- Luput
- Dan seterusnya, serta cari kata yang dalam suku katanya terdapat huruf-huruf seperti di atas.

2.3.2.3 Latihan Kalimat
a. Latihan ini dilakukan dengan cara mengeja dengan benar. bacalah dengan pelan-pelan dan rasakan gerak organ produksi suara yang terlibat serta rasakan posisi organ tersebut.

Kakek : Tengah malam nanti, apabila angin mendayu dan bulan luput dari mata. Akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua. Waktu itu aku sedang mencari-cari buku harianku di kamar perpustakaan, lalu kudengar suara itu isinya kurang lebih begitu tapi aku tak tahu bagaimana persisnya.

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra )
b. Setelah itu baca sekali lagi dan rekam untuk membedakan hasilnya, perhatikan huruf-huruf yang digaris bawahi dan dicetak tebal.

Kakek : Tengah malam nanti, apabila angin mendayu dan bulan luput dari mata. Akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua. Waktu itu aku sedang mencari-cari buku harianku di kamar perpustakaan, lalu kudengar suara itu isinya kurang lebih begitu tapi aku tak tahu bagaimana persisnya.

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra )


2.3.3 Artikulasi
Artikulasi adalah hubungan antar otot, hubungan antara yang dikatakan dan cara mengatakanya. Artikulasi adalah satu ekspresi suara yang kompleks. Ekspresi suara dalam teater bersumber dari wicara tokoh atau dialog antartokoh. Dialog yang ditulis oleh penulis naskah seperti sebuah partitur musik yang penuh dengan irama, bunyi-bunyian, tanda-tanda yang dinamis, yang semuanya dibutuhkan untuk karakter peran.
Dalam latihan artikulasi yang perlu diperhatikan adalah bunyi suara yang keluar dari organ produksi suara. Bunyi suara meliputi bunyi suara nasal (di rongga hidung), dan bunyi suara oral (di rongga mulut). Bunyi nasal muncul ketika langit-langit lembut di rongga mulut diangkat dan diturunkan, dan membuka jalan untuk aliran udara lewat menuju rongga hidung. Di dalam tongga hidung udara beresonansi menghasilkan bunyi. Bunyi nasal meliputi huruf m, n, ny, dan ng.
Bunyi suara dibagi menjadi dua, yaitu bunyi suara vokal dan bunyi suara konsonan. Bunyi vokal atau huruf hidup diproduksi dari bentuk mulut yang terbuka, misalnya a, i, u, e, o, dan diftong (kombinasi dua huruf hidup, misalnya au, ia, ai, ua dan lain-lain). Bunyi konsonan diproduksi ketika aliran nafas dirintangi atau tertahan di mulut.
Bunyi konsonan dipengaruhi posisi dimana aliran udara dirintangi dan seberapa besar rintangannya. Misalnya, gutural yaitu bagian belakang lidah menyentuh bagian belakang mulut akan menghasilkan bunyi yang berisik dan tidak jelas. Palatal belakang, yaitu bagian belakang lidah diangkat dan bersentuhan dengan langit-langit lembut akan menghasilkan huruf seperti g. Palatal tengah, yaitu bagian tengah lidah diangkat dan bersentuhan dengan langit-langit keras akan menghasilkan bunyi k. Dental, yaitu lidah digunakan bersama dengan bagian gusi belakang gigi depan di atas dan menghasilkan bunyi t. Labial, yaitu bibir bagian bawah bersatu dengan gigi bagian atas untuk membuat bunyi huruf f atau bibir dengan bibir bersatu untuk membuat bunyi huruf b.
Resonansi konsonan lebih kecil tetapi lebih tajam dibandingkan dengan bunyi resonasi huruf hidup. Konsonan berarti, “berbunyi dengan”. Hal ini mengindikasikan bahwa bunyi konsonan tidak bisa menciptakan satu suku kata tetapi harus dikombinasikan dengan huruf hidup atau vokal.


2.3.3.1 Latihan Huruf
a. Lafalkan huruf-huruf konsonan dan rasakan organ produksi suara mana saja yang terpengaruh serta bagaimana posisi dari organ produksi suara tersebut. Lakukan latihan ini 8 kali ulangan.
b. Lafalkan huruf-huruf vokal, dan rasakan organ produksi suara mana saja yang terpengaruh serta bagaimana posisi dari organ produksi suara tersebut. Lakukan latihan ini 8 kali ulangan.
c. Lafalkan huruf-huruf nasal, dan rasakan organ produksi suara mana saja yang terpengaruh serta bagaimana posisi dari organ produksi suara tersebut. Lakukan latihan ini 8 kali ulangan.
d. Lafalkan huruf-huruf diftong, dan rasakan organ produksi suara mana saja yang terpengaruh serta bagaimana posisi dari organ produksi suara tersebut. Lakukan latihan ini 8 kali ulangan.

2.3.3.2 Latihan Kata
a. Lafalkan kata ini, dari tempo lambat ke tempo yang cepat.
• buru... babi... rubu... bara... babu... baru... raba... rusa... rubah. Lakukan latihan ini sesering mungkin untuk melemas organ produksi suara serta cari kemungkinan-kemungkinan kata yang lain
• burubabibarurusarubah... burubabibarurusarubah.... Lakukan latihan ini sesering mungkin dan cari kemungkinan-kemungkinan yang lain.

b. Lafalkan kata-kata yang berakhiran huruf mati (konsonan). kecenderungan pemeran kurang jelas dalam mengucapkan kata-kata yang berakhiran huruf konsonan, misalnya
• Badan, sering terdengar sebagai bada
• Tegas, sering terdengar sebagai tega
• Gatal, sering terdengar sebagai gata
• Geram, sering terdengar sebagai gera


c. Lafalkan kata-kata yang berawal dan atau berakhir dengan bunyi nasal.
• Nyanyi........ ngambek....... ngungsi....... nyiram.......... nyuci..... nyulam
• Makan......... malam.......... nasi........ nangis......... masak........ makar....... uang.........sayang....... lakukan latihan ini sesering mungkin dan cari kemungkinan-kemungkinan kata yang lain.
• Makanmalamnasinangis......masakmakaruangsayang....... lakukan latihan ini sesering mungkin dan cari kemungkinan-kemungkinan kata yang lain.

d. Lafalkan kata-kata yang mengandung huruf diftong.
• Tua.....dia.....engkau.......wahai......dua......siang...... saing....... lakukan latihan ini sesering mungkin dan cari kemungkinan-kemungkinan kata yang lain.
• Tuadiaengkauwahaiduasiangsaing.......Tuadiaengkauwa............ haiduasiangsaing...... lakukan latihan ini sesering mungkin dan cari kemungkinan-kemungkinan kata yang lain.


2.3.3.3 Latihan Kalimat
a. Baca monolog dalam kutipan naskah ini secara pelan-pelan, perhatikan bunyi konsonan, bunyi nasal dan bunyi vokal serta bunyi diftongnya.

Nenek : Aku tahu, aku juga mendengarnya. Engkau dua orang tua yang selalu bergandengan tangan dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.
Wahai...............wahai.... dengarlah aku memanggilmu, datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menjemput kau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin. Musim gugur menampari pepohonan dan daun-daunan yang berpusing.
Wahai........... wahai........... di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana. Kereta kencana sepuluh kuda satu warna.

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra )


b. Coba latih sekali lagi dengan fokus pada huruf diftong dan ucapkan dengan lambat untuk mengeksplorasi dan merasakan ayunan dari satu huruf ke huruf hidup lainnya, dan rasakan organ produksi suara yang menimbulkan dan dimana letaknya.

Nenek : Aku tahu, aku juga mendengarnya. Engkau dua orang tua yang selalu bergandengan tangan dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.
Wahai...............wahai....... dengarlah aku memanggilmu, datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menjemput kau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin. Musim gugur menampari pepohonan dan daun-daunan yang berpusing.
Wahai........... wahai........... di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana. Kereta kencana sepuluh kuda satu warna.

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco terjemahan W.S. Rendra)


c. Coba latihan sekali lagi dengan fokus pada huruf konsonan g, k, t, f, b, bunyi nasal (m, n, ng), c, dan j, dan rasakan organ produksi suara yang menimbulkan dan dimana letaknya. Bedakan betul huruf-huruf tersebut dan rekam untuk mendengarkan ketidaktepatan pengucapan huruf-huruf yang dilatih tersebut.

Nenek : Aku tahu, aku juga mendengarnya. Engkau dua orang tua yang selalu bergandengan tangan dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.
Wahai...............wahai....... dengarlah aku memanggilmu, datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menjemput kau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin. Musim gugur menampari pepohonan dan daun-daunan yang berpusing.
Wahai........... wahai........... di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana. Kereta kencana sepuluh kuda satu warna.

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco terjemahan W.S. Rendra )





2.3.4 Intonasi
Intonasi (intonation) adalah nada suara, irama bicara, atau alunan nada dalam melafalkan kata-kata, sehingga tidak datar atau tidak monoton. Intonasi menentukan ada tidaknya antusiasme dan emosi dalam berbicara. Fungsi intonasi adalah membuat pembicaraan menjadi menarik, tidak membosankan, dan kalimat yang diucapkan lebih mempunyai makna. Intonasi berperan dalam pembentukan makna kata, bahkan bisa mengubah makna suatu kata.
Seorang pemeran harus menguasai intonasi dalam suara, karena dengan suara ia akan menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam naskah lakon. Maka dari itu, latihan penguasaan penggunaan intonasi suara menjadi hal yang sangat penting bagi seorang pemeran. Kekurangan-kekurangan atau hambatan terhadap intonasi suara akan merugikan. Intonasi dapat dilatih melalui jeda, tempo, timbre, dan nada.

2.3.4.1 Jeda
Jeda adalah pemenggalan kalimat dengan maksud untuk memberi tekanan pada kata dan berfungsi untuk memunculkan rasa ingin tahu lawan bicara, maupun penonton. Syarat penggunaan jeda adalah harus ada yang ditonjolkan atau dikesankan kepada lawan bicara maupun kepada penonton, baik penonjolan pada kata maupun nada bicara. Terlalu banyak penggunaan jeda akan berakibat terlalu banyak penonjolan. Jadi dalam penggunaan jeda kita harus hemat dan selektif.

Latihan Penggunaan Jeda.
a. Baca kutipan dialog berikut tanpa penggunaan jeda dan rasakan efeknya.

LEAR : Kau kenal aku, sobat?
KENT : Tidak, tuan; tapi ada sifat tuan yang saya inginkan sebagai majikan saya
LEAR : Yaitu?
KENT : Kewibawaan.

( dikutip dari naskah Raja Lear karya Willilam Shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo )

b. Baca sekali lagi dan gunakan jeda pada bagian yang diberi keterangan.

LEAR : Kau kenal aku, sobat?
KENT : Tidak, tuan; tapi ada sifat tuan yang saya inginkan sebagai majikan saya
LEAR : Yaitu?
KENT : (diberi jeda tiga hitungan) Kewibawaan.

( dikutip dari naskah Raja Lear karya Willilam Shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo )

2.3.4.2. Tempo
Tempo adalah cepat lambatnya suatu ucapan. Fungsi tempo adalah untuk menekankan suatu kata yang kita harapkan masuk ke alam bawah sadar penonton maupun lawan bicara. Tempo dalam teater tidak seperti dalam musik yang bisa dihitung atau diberi tanda tertentu, misalnya empat perempat, tiga perempat, dua pertiga. Tempo dalam dialog adalah tempo yang tepat yaitu tempo yang tumbuh dari dalam jiwa pemeran yang diciptakan berdasarkan kebutuhan penggambaran situasi perasaan dan kejiwaan peran.

Latihan Penggunaan Tempo
a. Bacalah kutipan dialog berikut secara datar tanpa penggunaan tempo. Rasakan kejanggalannya. Apakah pengucapan kalimat tersebut memiliki makna?

EDMUND : Ingat-ingatlah, karena apa kau mungkin menyakitkan hatinya; dan kuminta padamu, jangan dekati dia, sampai sedikit waktu lagi akan padam api kegusarannya yang kini bergolak dalam dirinya; tak dapat diredakan, juga tidak, andaikata orang menganiayamu.

( dikutip dari naskah Raja Lear karya Willilam Shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo )


b. Baca sekali lagi dan gunakan tempo yang tepat. Misalnya, kata atau kalimat yang digaris bawahi. Baca dengan tempo yang lambat dan ditekan. Rasakan perbedaannya dengan cara pemabacaan pada bagian a.

EDMUND : Ingat-ingatlah, karena apa kau mungkin menyakitkan hatinya; dan kuminta padamu, jangan dekati dia, sampai sedikit waktu lagi akan padam api kegusarannya yang kini bergolak dalam dirinya; tak dapat diredakan, juga tidak, andaikata orang menganiayamu.

( dikutip dari naskah Raja Lear karya Willilam Shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo )


Latihan membaca di atas mengisyaratkan maksud dialog tersebut, yaitu Edmund melarang lawan bicaranya untuk tidak mendekati seseorang yang telah gusar padanya. Meskipun, kalau dibaca semuanya tersirat bahwa Edmund mempunyai tujuan khusus.


2.3.4.3 Timbre
Timbre adalah warna suara yang memberi kesan pada kata-kata yang diucapkan. Untuk memunculkan timbre ini dilakukan dengan cara memperberat atau memperingan tekanan suara kita. Penggunaan timbre dalam suara adalah untuk memperbesar gema suara kita. Semakin bergema dan berat suara, kesan yang ditangkap oleh penonton adalah suatu kewibawaan. Semakin kecil gema dan ringan suara, kesan yang ditangkap adalah suara yang tidak berwibawa.

Contoh: lafalkan kalimat berikut “pergilah..... dan jangan melihat ke belakang lagi”. Ucapkan kalimat tersebut dengan suara yang bergema dan berat. Kemudian ucapkan kalimat tersebut dengan ringan dan tidak bergema. Suruh teman anda untuk memberi penilaian dan merasakan kesan yang ditimbulkan oleh kata tersebut.


2.3.4.4 Nada
Nada adalah tinggi rendahnya suara. Nada sangat berpengaruh pada makna kata yang disampaikan kepada komunikan. Kata yang diucapkan bisa berubah makna ketika nada yang digunakan tidak tepat. Misalnya kata “pergi”, ketika nada yang digunakan pada kata tersebut tidak benar bisa bermakna tanya, menyuruh, mengusir, atau makna yang lain sesuai dengan nadanya.

Latihan penggunaan Nada
a. Bacalah dialog di bawah ini pelan-pelan dengan cara yang monoton, tahan keinginan untuk membaca dengan menggunakan nada. Beri tanda di mana ingin membaca dengan menggunakan nada.

Nenek : Jangan begitu! Ayolah! Bangkit dari lantai.
Kakek : Aku orang hina, tempatku di tanah.
Nenek : Tidak. Yang ditanah cuma cacing, pahlawanku selalu berdiri di atas kedua kaki. Engkau pahlawan Perancis, engkau pernah berjuang dan berperang untuk Perancis, engkau pernah mendapatkan Legion d’honour, engkau harus berdiri.
Kakek : Hidupku hampa dan sia-sia.
Nenek : Putra Perancis berdirilah!

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra )


b. Bacalah sesuai tanda nada (dalam latihan ini, tanda yang digunakan adalah: ˜ (nada mendatar), ? (nada menurun), dan v (nada meninggi) yang ada dan rekam untuk membetulkan kalau ada ketidaktepatan supaya mudah untuk memperbaikinya.


˜ v v v ?
Nenek : Jangan begitu! Ayolah! Bangkit dari lantai.
˜ ? ˜ ?
Kakek : Aku orang hina, tempatku di tanah.
v ˜ ? v
Nenek : Tidak. Yang ditanah cuma cacing, pahlawanku
˜ v ˜ v ˜
selalu berdiri di atas kedua kaki. Engkau pahlawan
v v ˜ v ˜ v
Perancis, engkau pernah berjuang dan berperang
˜ v ˜
untuk Perancis, engkau pernah mendapatkan
˜ v ˜ v
Legion d’honour, engkau harus berdiri.
˜ ? ˜ ?
Kakek : Hidupku hampa dan sia-sia.
˜ v
Nenek : Putra Perancis berdirilah!

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra )


2.3.5. Wicara
Wicara adalah cara berbicara dan cara mengucapkan sebuah dialog dalam naskah lakon. Penggunaan diksi, artikulasi dan intonasi, diaplikasikan dalam wicara. Oleh karena suara adalah kendaraan imajinasi pemeran, maka wicara harus dilakukan dengan memperhatikan teknik olah suara. Dengan demikian, penonton menjadi jelas menangkap makna kalimat yang diucapkan. Dengan mengolah suara dan cara berbicara, maka peran yang dimainkan akan hidup dan memiliki ciri khas.
Rendra dalam bukunya Tentang Bermain Drama (1982) memberi catatan tentang teknik ucapan. Teknik ini sangat bagus untuk melatih cara mengucapkan dialog. Untuk mengecek bagaimana kualitas wicara, bisa dilakukan dengan cara melipat salah satu daun telinga dan menekankan pada kepala kemudian berbicara. Suara yang terdengar melewati getaran tulang kepala itu mendekati gambaran suara yang nyata. Cara ini membuat pemain terpisah dengan suaranya, sehingga bisa meneliti suara yang diucapkan.
Cara yang kedua adalah dengan menggiatkan bibir atas, bibir bawah, dan lidah. Seorang calon pemeran terkadang malas untuk menggerakkan bibirnya karena kebiasaan dalam berbicara sehari-hari. Untuk itu, seorang calon pemeran harus rajin melatih bibir dan lidahnya supaya lebih aktif. Caranya dengan membaca sambil berbisik. Jika seseorang tahu apa yang dibaca dengan berbisik, berarti bibir dan lidahnya sudah aktif. Cara ini dapat digunakan untuk melatih artikulasi. Artikulasi yang baik apabila mampu mengartikulasikan huruf hidup dan huruf mati dengan sempurna. Suara huruf hidup memberikan keindahan pada bunyinya sedang suara huruf mati memberikan kejelasan pada ucapan.
Cara yang ketiga adalah dengan menghindari kebiasaan bersuara melewati hidung. Suara yang melewati hidung tidak mendatangkan wibawa dan terkesan lucu dan menjemukan. Hidung adalah organ produksi suara dengan ruang resonansi yang kecil. Dengan ruang tersebut suara tidak cukup mendapatkan ruang gema. Suara yang tidak bergema adalah suara yang kehilangan kewibawaannya.
Cara yang keempat adalah menerapkan diksi dan intonasi dalam wicara. Penerapan diksi dan intonasi ini membuat kualitas bicara tidak menjemukan karena memunculkan irama. Selain itu juga akan memunculkan makna dalam kata-kata. Dengan bermaknannya kata yang diucapkan, maka proses komunikasi akan berjalan dengan lancar. Kalau diksi dan intonasinya lemah akan memunculkan kesalahan komunikasi.
Dalam naskah lakon, perjalanan cerita diungkap melalui tokohnya. Dari segenap pembicaraan ini dapat digali karakter dari masing-masing tokoh. Ada empat jenis pembicaraan dalam naskah lakon, yaitu dialog, monolog, solilokui, dan aside. Dialog adalah pembicaraan yang terjadi antara tokoh satu dengan yang lain. Dari hasil pembicaraan ini maka dapat diketahui sikap, perilaku, gaya, dan karakter yang terlibat. Dengan dialog, cerita, alur, dan tangga dramatik akan bergulir. Perhatikan kutipan naskah di bawah ini.

Nenek : Jangan begitu! Ayolah! Bangkit dari lantai.
Kakek : Aku orang hina, tempatku di tanah.
Nenek : Tidak. Yang ditanah cuma cacing, pahlawanku selalu berdiri di atas kedua kaki. Engkau pahlawan Perancis, engkau pernah berjuang dan berperang untuk Perancis, engkau pernah mendapatkan Legion d’honour, engkau harus berdiri.
Kakek : Hidupku hampa dan sia-sia.
Nenek : Putra Perancis berdirilah!

( dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra )

Monolog adalah pembicaraan panjang seorang tokoh di hadapan tokoh lain, dan hanya ia sendiri yang berbicara. Dalam monolog, tokoh bisa mengungkapkan pendapatnya mengenai persoalan yang dihadapi, sikapnya dalam menerima persoalan atau pandangan-pandangan hidupnya. Monolog mampu mengungkap karakter tokoh. Di bawah ini adalah contoh sebuah monolog.

Edmund : Itulah kegilaan paling hebat di dunia ini: bila kita merana dalam kebahagiaan – sering karena mual pada perbuatan sendiri – yang kita salahkan atas bencana kita ialah matahari, bulan, bintang; seolah kita jadi penjahat karena kodrat, gila karena paksaan falak; menjadidurjana, mencuri dan berkhianat karena suasanaalam; mabuk, dusta dan berjinah karena terpaksa tunduk pada pengaruh sesuatu planit; dan segala kejahatan kita karena paksaan dewata. Ayahku bertemu dengan ibuku di bawah ekor naga dan lahirku di bawah beruang bersar, akibatnya aku menjadi kasar dan mesum. Uh! Aku punmenjadi seperti sekarang ini, karena bintang yang bersinar pada saat kelahiranku itu bintang yang paling suci! Edgar

Masuk Edgar
Itu dia datang sekonyong-konyong seperti malapetaka dari sandiwara kuno. Perananku adalah kemurungan jahat, dengan keluh seperti Tom dari rumah gila – O, gerhana itu meramalkan perceraian! Fa,Sol, La, Mi.

( dikutip dari naskah Raja Lear karya Willliam Shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo )

Jenis wicara lain yang menampilkan tokoh berbicara sendiri adalah solilokui. Perbedaanya, dalam solilokui tokoh hanya tampil sendirian di atas panggung sehingga ia bisa dengan bebas mengungkapkan isi hatinya, rahasia-rahasia hidupnya, harapan-harapannya, dan bahkan rencana jahatnya. Solilokui memang menghadirkan karakter tokoh secara detil dan personal sehingga sebagian besar wataknya dapat ditemukan. Di bawah ini contoh solilokui.

ADEGAN II
Sebuah bangsal dalam puri Gloucester.
Masuk Edmund dengan surat di tangannya

EDMUND : Alam, engkaulah dewaku, pada hukummulah
Aku tunduk. Mengapa mau dirongrong adat kolot,
Dan sabar saja kalau menurut istiadat.
Aku tak dapat warisan, hanya karena lahirku
Dua belas atau empat belas bulan kemudian
Dari kakakku? Mengapa anak haram?
Padahal sosok tubuhku sama padatnya, otakkua
Sama sehatnya, dan ujudku
Sama tulennya dengan anak orang terhormat! Mengapa
Aku dicap sebagai haram? Anak jadah? Haram?
Padahal akulah buah curian,
Kokoh, bergelora, lebih dari
Buah ranjang lemah, lesu, usang,
Gerombolan makluk pesolek, dibenihkan
Antara bangun dan tidur – Nah, Edgar yang sah, tanahmu
Mesti kumiliki! Edmun anak haram ini,
Membagi cinta ayah kita bersama
Anak yang sah. Kata hebat itu: “yang sah”!
Nah, anak yang sah, jika surat ini berhasil
Dan maksud tercapai, maka Edmund yang haram
Akan mengatasi yang sah. Aku tumbuh. Aku subur.
O, dewata, bantulah kaum yang haram!
Masuk Gloucester

( diambil dari naskah Raja Lear karya Willilam Shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo )

Jenis wicara yang unik dan dapat dijadikan pedoman untuk mengungkap karakter tokoh adalah aside. Aside secara harafiah dapat diartikan sebagai wicara menyamping. Pembicaraan dilakukan begitu saja oleh sang tokoh dalam menanggapi sebuah persoalan secara spontan baik kepada dirinya sendiri, kepada penonton, atau dibisikkan kepada karakter lain. Aside dapat dilakukan oleh seorang tokoh atau beberapa tokoh sekaligus dalam waktu yang terbatas. Dari aside dapat diketahui karakter tokoh dari sudut pandangnya sendiri dalam menanggapi persoalan secara spontan dan jujur. Di bawah ini contoh aside.

EDGAR : Saya jauh, tuan; salam.

Gloucester melompat dan jatuh

Mungkinkah khayalan merampas mutu hidup, kalau hidup itu sendiri membiarkan dirinya dirampok? Kalau ia tiba di tempat yang disangkanya, maka inilah sangkanya yang terakhir. – Hidupkah atau ati dia? – hai tuan, kawan! Tak dengar.
(Ke samping)
Betulkah ia mati? – O, dia hidup. – bagaimana, tuan?

EDGAR : (ke samping) Pikiran sehat dan kacau berbauran, berakal dalam gilanya

( dikutip dari naskah Raja Lear karya Willilam shakespeare
terjemahan Trisno Sumardjo )


2.4 Relaksasi
Relaksasi pada olah suara sebenarnya hampir sama dengan relaksasi pada oleh tubuh, yaitu berfungsi melepaskan semua kekangan dan memfokuskan energi pada hal-hal yang telah dilatihkan. Relaksasi juga berfungsi memfokuskan peran yang akan dimainkan. Kunci dari relaksasi, adalah pertama senantiasa sadar terhadap aspek-aspek fisik dan mental. Kedua, adalah senantiasa menjaga ketenangan diri. Kalau kedua hal tersebut bisa dilaksanakan maka ketegangan otot-otot produksi suara akan bisa dikuasai dan ini sangat mendukung teknik permainan.

Pedoman melakukan relaksasi ini adalah sebagai berikut.
a. Konsentrasi pada nafas, bila perlu rasakan perjalanan udara yang dihirup mulai dari hidung, tenggorokan, dan paru-paru.
b. Santai dan kendorkan semua pikiran, otot-otot, dan jangan ada yang mengganggu atau keteganggan otot-otot produksi suara.
c. Gunakan nafas segitiga yaitu menghirup, menahan, dan menghembuskan nafas dengan hitungan yang sama.

2.4.1 Relaksasi Pada Olah Vokal
a. Posisi tubuh membungkuk dan goyang ke kiri dan kanan. Setelah itu perlahan-lahan rentang ke atas seraya menghirup udara. Rasakan setiap buku tulang punggung anda seakan terlepas dari kungkungannya. Lakukan latihan 8 kali.
b. Posisi tubuh dibukukan kembali sambil membuang nafas, goyang-goyangkan atau ayun-ayunkan tangan ke depan dan kebelakang. Ketika mengayunkan tangan dibarengi dengan melepas dan menghirup uadara dengan cepat. Lakukan latihan 8 kali.
c. Posisi perlahan berdiri tegak dan rentangkan kedua belah lengan ke atas, rileks dari mulai ujung jari-jari anda sampai ke pergelangan tangan, bahu, punggung, pinggul, terus sampai anda bungkuk kembali, lutut rileks, pada akhir hembusan nafas.
d. Posisi berdiri dan tarik nafas panjang (gunakan nafas segitiga) tahan dan hembuskan. Rasakan bahu dan rongga dada anda rileks. Lakukan latihan ini 8 kali.
e. Tarik nafas panjang. Hembuskan nafas seraya meneriakkan huruf-huruf hidup: a, e, i, o, u. Buka mulut lebar-lebar. Lakukan latihan ini 8 dan setiap kali lebih cepat dari sebelumnya.
f. Tarik nafas panjang dan ucapkan abjad sebanyak kali dalam satu nafas. Lakukan latihan ini 8 kali dan setiap kali lebih cepat.
g. Terakhir lakukan pemijatan pada muka, mula-mula pada daerah dahi, terus ke daerah pelipis, daerah pipi, daerah rahang, dan terakhirke dareah hidung dan bibir.


3. OLAH RASA
Pemeran teater membutuhkan kepekaan rasa. Dalam menghayatai karakter peran, semua emosi tokoh yang diperankan harus mampu diwujudkan. Oleh karena itu, latihan-latihan yang mendukung kepekaan rasa perlu dilakukan. Terlebih dalam konteks aksi dan reaksi. Seorang pemeran tidak hanya memikirkan ekspresi karakter tokoh yang diperankan saja, tetapi juga harus memberikan respon terhadap ekspresi tokoh lain.
Banyak pemeran yang hanya mementingkan ekspresi yang diperankan sehingga dalam benaknya hanya melakukan aksi. Padahal akting adalah kerja aksi dan reaksi. Seorang pemeran yang hanya melakukan aksi berarti baru mengerjakan separuh dari tugasnya. Tugas yang lain adalah memberikan reaksi (Mary Mc Tigue, 1992). Dengan demikian, latihan olah rasa tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa dalam diri sendiri, tetapi juga perasaan terhadap karakter lawan main. Latihan olah rasa dimulai dari konsentrasi, mempelajari gesture, dan imajinasi.

3.1 Konsentrasi
Pengertian konsentrasi secara harfiah adalah pemusatan pikiran atau perhatian. Makin menarik pusat perhatian, makin tinggi kesanggupan memusatkan perhatian. Pusat perhatian seorang pemeran adalah sukma atau jiwa peran atau karakter yang akan dimainkan. Segala sesuatu yang mengalihkan perhatian seorang pemeran, cenderung dapat merusak proses pemeranan. Maka, konsentrasi menjadi sesuatu hal yang penting untuk pemeran.
Tujuan dari konsentrasi ini adalah untuk mencapai kondisi kontrol mental maupun fisik di atas panggung. Ada korelasi yang sangat dekat antara pikiran dan tubuh. Seorang pemeran harus dapat mengontrol tubuhnya setiap saat. Langkah awal yang perlu diperhatikan adalah mengasah kesadaran dan mampu menggunakan tubuhnya dengan efisien. Dengan konsentrasi pemeran akan dapat mengubah dirinya menjadi orang lain, yaitu peran yang dimainkan.
Dunia teater adalah dunia imajiner atau dunia rekaan. Dunia tidak nyata yang diciptakan seorang penulis lakon dan diwujudkan oleh pekerja teater. Dunia ini harus diwujudkan menjadi sesuatu yang seolah-olah nyata dan dapat dinikmati serta menyakinkan penonton. Kekuatan pemeran untuk mewujudkan dunia rekaan ini hanya bias dilakukan dengan kekuatan daya konsentrasi. Misalnya seorang pemeran melihat sesuatu yang menjijikan (meskipun sesuatu itu tidak ada di atas pentas) maka ia harus menyakinkan kepada penonton bahwa sesuatu yang dilihat benar-benar menjijikkan. Kalau pemeran dengan tingkat konsentrasi yang rendah maka dia tidak akan dapat menyakinkan penonton.

3.1.1 Konsentrasi dengan Panca Indera
Latihan konsentrasi bisa dilakukan dengan melatih lima indra yang ada pada tubuh. Latihan ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengalaman tentang berbagai suasana yang kemudian disimpan dalam ingatan sebagai sumber ilham.

3.1.1.1 Indera Penglihat
a. Amati sebuah benda secara intensif, dan deskripsikan hasil pengamatan kepada peserta lain.
b. Lakukan dengan suasana yang santai dan presentasikan sesuai dengan gaya.
c. Latihan diteruskan dengan mengamati sekumpulan benda.
d. Deskripsikan hasil pengamatan tersebut termasuk yang menjadi ciri khas dari objek pengamatan anda.
e. Dalam latihan ini diusahakan dilakukan dengan pengamatan yang sangat jeli dan dalam suasana santai.

3.1.1.2 Indera Pencium
a. Konsentrasi pada bau yang paling menyengat dan dekat dengan tubuh kita (latihan diusahakan betul-betul membaui bukan menghayalkan atau berimajinasi tentang bau).
b. Kalau sudah mendapatkan bau tersebut, kemudian simpan dalam ingatan kita. Latihan dilanjutkan dengan menambahkan jarak dari sumber bau. Kemudian dipresentasikan sesuai dengan gaya dan cara masing-masing.
c. Latihan indera penciuman juga bisa dilakukan menbedakan bermacan-macam bau.

3.1.1.3 Indera Pendengaran
a. konsentrasi pada sumber suara yang paling lemah dan dekat (latihan ini benar-benar mendengar bukan mengkhayal atau berimajinasi).
b. Kalau sudah mendengar bunyi tersebut, kemudian simpan dalam ingatan. Latihan dilanjutkan dengan menambah jarak dari sumber bunyi. Pada sesi terakhir presentasikan kepada yang lain sesuai dengan gaya dan cara masing-masing.
c. Latihan mendengar ini bisa dilakukan dengan membedakan bermacam-macam bunyi dan dari sumber apa bunyi tersebut. Misalnya berasal dari logam, kayu, batu, membran dan lain-lain.


3.1.1.4 Indera Pengecap
a. Latihan menggunakan stimulus berbagai macam rasa, coba rasakan berbagai macam rasa yang ada dan ukur kadar rasa tersebut. Kalau rasa itu asin, rasakan rasa asin tersebut dan sampai seberapa kadar rasa tersebut.
b. Latihan dititikberatkan pada sensasi tentang rasa individu bukan tentang rasa kolektif, karena kadar tentang rasa bersifat sangat individual.
c. Simpan pengalaman tentang rasa tersebut dan jadikan pengalaman batin, karena dengan konsentrasi dan dibarengi dengan ingatan batin akan dapat diekspresikan tentang rasa tersebut meskipun tanpa ada yang dikecap.

3.1.1.5 Indera Perasa Atau Peraba
a. Latihan difokuskan pada pembedaan rasa yang tersentuh oleh kulit. Latihan bisa dilakukan dengan cara membedakan rasa kasar dan halus, panas dan dingin, keras dan lembek dan lain-lain.
b. Ambil sebuah benda dan raba permukaan benda tersebut dari beberapa sisi, bedakan antar permukaan tersebut. Rasakan betul perbedaan permukaan benda tersebut, kemudian diskripsikan dengan cara dan gaya masing-masing.
c. Jalanlah pada berbagai macam permukaan jalan, konsentrasi pada telapak kaki dan bedakan permukaan jalan tersebut, simpan ingatan ini sebagai pengalaman batin.
d. Lakukan latihan ini dengan santai dan jangan tergesa-gesa. Ingat, latihan ini tetap terfokus pada daya konsentrasi. Ketika melaksanakan latihan jangan berfikir yang macam-macam.

3.1.2 Latihan Konsentrasi Dengan Permainan
3.1.2.1 Hitung 20
Semua peserta dalam lingkaran. Cobalah menghitung 1 sampai 20. siapa saja boleh memulai dengan menyebut angka ‘1’, kemudian yang lain meneruskan secara acak (siapa saja boleh melanjutkan) menyebutkan ‘2’ dan begitu seterusnya. Jika ada dua peserta menyebutkan angka berbarengan maka permainan dimulai dari awal lagi.

CATATAN: sebuah permainan yang baik untuk konsentrasi serta mengontrol emosi.

3.1.2.2 Bebek, 2 Kaki, Kwek,.....
Peserta duduk melingkar. Salah seorang peserta memulai dengan mengucapkan satu bebek dua kaki wek, peserta berikutnya mengucapkan dua bebek empat kaki kwek, peserta selanjutnya mengucapkan tiga bebek enam kaki kwek kwek kwek, demikian seterusnya sampai semua peserta medapatkan gilirannya. Jika terjadi kesalahan, maka permainan dimulai dari awal. Permainan bisa dilakukan dengan bantuan instruktur untuk menunjuk peserta berikutnya.

CATATAN: Untuk membuat variasi dan meningkatkan konsentrasi jenis binatang bisa diganti dengan yang memiliki 4, 6, atau delapan kaki dengan aturan yang sama.


3.1.2.3 Hitung Bilangan Prima
Latihan ini dilakukan secara kelompok besar. Langkah pertama menjelaskan aturan main yaitu semua peserta berhitung mulai dari satu sampai tak terbatas. Setiap peserta yang berhitung dan mendapat giliran pada bilang prima, peserta tersebut tidak menyebutkan angka tetapi langsung teriak “PRIMA” terus dilanjutkan berhitung lagi. Misalnya 1, 2, prima, 4, prima, 6, prima dan seterusnya.
Latihan akan diulang mulai dari satu lagi, apabila ada peserta yang lupa menyebutkan bilang prima itu dengan angka tersebut bukan dengan teriak prima.

CATATAN: Latihan ini bisa dimulai dari siapa saja dan tidak harus yang mulai menyebutkan angka satu pada orang yang sama. Latihan ini dilakukan secara berurutan baik searah jarum jam maupun kebalikannya.

3.1.2.4 Boom
Latihan ini juga dilakukan secara kelompok besar. Aturan permainannya ialah setiap peserta yang mendapat giliran angka 3 dan kelipatan tiga harus berteriak BOOM. Latihan dimulai dari berhitung mulai dari 1 sampai tak terbatas. Misalnya 1, 2, boom, 4, 5, boom, 7, 8, boom, 10, 11, boom, boom dan seterus. Latihan akan diulang mulai dari satu lagi apabila ada peserta yang lupa.

CATATAN: Latihlah sampai angka tertinggi yang bisa dicapai dalam latihan tersebut. Semakin tinggi angka yang dicapai maka tingkat konsentrasi dari peserta latihan tersebut semakin baik.

3.2 Gesture
Gesture adalah sikap atau pose tubuh pemeran yang mengandung makna. Latihan gesture dapat digunakan untuk mempelajari dan melahirkan bahasa tubuh. Ada juga yang mengatakan bahwa gesture adalah bentuk komunikasi non verbal yang diciptakan oleh bagian-bagian tubuh yang dapat dikombinasikan dengan bahasa verbal. Bahasa tubuh dilakukan oleh seseorang terkadang tanpa disadari dan keluar mendahului bahasa verbal. Bahasa ini mendukung dan berpengaruh dalam proses komunikasi. Jika berlawanan dengan bahasa verbal akan mengurangi kekuatan komunikasi, sedangkan kalau selaras dengan bahasa verbal akan menguatkan proses komunikasi. Seorang pemeran harus memahami bahasa tubuh, baik bahasa tubuh budaya sendiri maupun bahasa tubuh budaya lainnya.
Pemakaian gesture ini mengajak seseorang untuk menampilkan variasi bahasa atau bermacam-macam cara mengungkapkan perasaan dan pemikiran. Akan tetapi, gesture tidak dapat menggantikan bahasa verbal sepenuhnya. Sedang beberapa orang menggunakan gesture sebagai tambahan dalam kata-kata ketika melakukan proses komunikasi.
Manfaat mempelajari dan melatih gesture adalah mengerti apa yang tidak terkatakan dan yang ada dalam pikiran lawan bicara. Selain itu, dengan mempelajari bahasa tubuh, akan diketahui tanda kebohongan atau tanda-tanda kebosanan pada proses komunikasi yang sedang berlangsung. Bahasa tubuh semacam respon atau impuls dalam batin seseorang yang keluar tanpa disadari. Sebagai seorang pemeran, gesture harus disadari dan diciptakan sebagai penguat komunikasi dengan bahasa verbal.
Sifat bahasa tubuh adalah tidak universal. Misalnya, orang India, mengangguk tandanya tidak setuju sedangkan mengeleng artinya setuju. Hal ini berlawanan dengan bangsa-bangsa lain. Tangan mengacung dengan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran, bagi orang perancis artinya nol, bagi orang Yunani berarti penghinaan, tetapi bagi orang Amerika artinya bagus. Jadi bahasa tubuh harus dipahami oleh pemeran sebagai pendukung bahasa verbal.
Macam-macam gesture yang dapat dipahami orang lain adalah gesture dengan tangan, gesture dengan badan, gesture dengan kepala dan wajah, dan gesture dengan kaki. Bahasa tubuh atau gesture dengan tangan adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi maupun gerak kedua tangan. Bahasa tubuh yang tercipta oleh kedua tangan merupakan bahasa tubuh yang paling banyak jenisnya. Bahasa tubuh dengan tubuh adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh pose atau sikap tubuh seseorang. Bahasa tubuh dengan kepala dan wajah adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi kepala maupun ekspresi wajah. Sedangkan bahasa tubuh dengan kaki adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi dan bagaimana meletakkan kaki.

3.2.1 Gesture Dengan Tangan
a. Tangan membentuk Piramid menandakan sikap percaya diri, dan punya pendapat yang dinyakini kebenarannya.
b. Menggaruk belakang kepala atau leher menandakan kesan bohong atau ragu. Kesan ini akan lebih kuat jika dibarengi dengan memalingkan muka dari lawan bicara kita.
c. Meletakkan tangan seperti bertopang dagu menandakan kondisi seseorang sedang menganalisis atau menimbang pembicaraan orang lain. Hindari meletakkan tangan seperti saat mendengarkan lawan bicara kalau itu tidak mendukung suasana permainan.
d. Menjulurkan tangan kepada lawan bicara dengan telapak tangan di atas, menandakan kesan jujur dan terus terang. Saat mengatakan suatu fakta atau menanggapi tuduhan yang tidak benar, lakukan hal ini dengan disertai senyuman datar.
e. Touch atau menyentuh, menandakan orang mulai merasa akrab. Gesture ini bisa dimanfaatkan untuk mempercepat keakraban dengan memberikan sentuhan berupa jabat tangan di awal pertemuan. Sentuhan akan dianggap netral bila dilakukan di punggung tangan dan dilakukan sealami mungkin serta tidak kelihatan bernafsu. Jika sentuhan dilakukan di lain tempat (leher, kepala, bahu, sepanjang lengan) menandakan suatu keintiman. Hal ini hanya boleh dilakukan bila keadaan dan suasana yang inggin diciptakan memang benar-benar suasana intim.
f. Memukul anggota badan menandakan sedang lupa sesuatu. Misalnya, memukul kepala, dahi, atau paha.
g. Penguasaan gerakan tangan yang sesuai dengan perkataan menandakan pembicara adalah orang berfikir visual. Manfaat dari penguasaan tanganini adalah untuk meningkatkan impresi kata-kata serta pembicaraan lebih mudah untuk diingat.
h. Gesture dengan tangan merupakan gesture yang paling banyak yang dapat diciptakan. Apalagi kalau dikombinasikan dengan jari-jari. Misalnya, gerakan tangan dengan jari-jari yang dikepal menandakan ingin memukul, acungan ibu jari ke atas menandakan baik. Akan tetapi, kalau ke bawah menandakan meremehkan dan masih banyak lagi sesuai dengan budaya masing-masing.

3.2.2 Gesture Dengan Badan
a. Posisi badan terbuka menandakan seseorang merasa terbuka dan percaya diri. Jika posisi ini dibarengi dengan menyilangkan kaki (kalau duduk), memasukkan tangan ke dalam saku atau ditaruh di belakang badan, dan memeluk barang secara defensif, maka berarti seseorang sedang tertutup dan sedang tidak ingin diganggu.
b. Forward Lean atau tubuh condong ke depan ke arah lawan bicara menandakan kita tertarik dengan materi pembicaraan yang sedang berlangsung. Selain itu, posisi ini membuat lawan bicara merasa nyaman. Gesture ini bisa dilakukan dengan mencondongkan badan menghadap lawan bicara atau kalau kdi samping lawan bicara, berarti bisa dilakukan dengan agak memiringkan badan ke arah lawan bicara.
c. Gesture ini termasuk jarak berdiri dalam berkomunikasi atau personal space. Gesture dengan jarak berdiri ini ada bermacam-macam dan harus menyesuaikan dengan budaya komunikasi tersebut. Misalnya, orang Amerika, Eropa, Australia, personal spacenya minimal dua meter jadi lebih berjarak tetapi bagi orang-orang Timur tengah dan Asia personal space-nya lebih dekat dan tidak terlalu berjarak untuk menandakan keakraban.

3.2.3 Gesture Dengan Kepala
a. Gesture senyum menandakan perasaan seseorang sedang senang hati, nyaman, dan setuju dengan komunikasi tersebut. Penggunaan senyum ini adalah senyum lebih dahulu berarti merangsang orang untuk cocok dengan kita, gabungan senyum dengan anggukan kepala menandakan persetujuan.
b. Gesture anggukan kepala menandakan persetujuan, afirmasi, akrab, dan suka.
c. Gesture dengan kontak mata menandakan keterbukaan dan adanya keterusterangan. Manfaat gesture ini adalah meningkatkan kepercayaan lawan bicara pada kita dengan cara selalu bertatapan dengan mata lawan bicara secara hangat. Kontak mata ini harus dilakukan di daerah sekitar area mata dan hidung. Jangan memainkan mata atau tatapan mata di daerah erotis, karena akan bermakna lain.

3.2.4 Gesture Dengan Kaki
a. Posisi berdiri dengan arah telapak kaki terbuka menandakan keterbukaan dengan ide-ide dari orang lain. Sebaliknya, kalau arah telapak tertutup dan dibarengi dengan posisi tangan dilipat di dada menandakan sikap tertutup terhadap ide-ide dari luar.
b. Posisi duduk dan mengangkat satu kaki dan kedua tangan di belakang kepala menandakan seseorang merasa dominan, menantang, dan seolah-olah berkuasa.

3.2.5 Latihan-Latihan Gesture
3.2.5.1 Latihan Gesture Dengan Pose
a. Latihlah gesture-gesture di atas. Proses latihan ini yang penting adalah kesadaran rasa, meskipun gesture biasanya muncul tanpa suatu kesadaran.
b. Untuk kepentingan pemeran, gesture yang muncul tanpa kesadaran ini penggunaannya harus disadari untuk pencapaian nilai artistik. Misalnya, bagaimana cara menyentuh, berjabat tangan, berdiri, duduk, menoleh, menatap, tersenyum dan lain-lain. Lakukan latihan ini dengan santai dan jangan terburu-buru serta lakukan gerakan-gerakan ini betul-betul bermakna.

3.2.5.2 Latihan Gesture Dengan Jalan
a. Latihlah bermacam-macam cara berjalan. Usahakan cara berjalan tersebut bermakna. Misalnya, berjalan dengan terburu-buru, berjalan dengan penuh wibawa, berjalan dengan kesakitan, berjalan dengan kebingungan, dan lain-lain.
b. Ketika latihan ini dilakukan, minta pertimbangan dari guru pembimbing atau teman latihan. Cara berjalan seseorang akan mencerminkan tingkat emosi dan mengandung makna tertentu.

3.2.5.3 Latihan Gesture Dengan Permainan
a. Jabat Tangan
Semua peserta bergerak bebas mengitari ruangan. Pembimbing memerintahkan untuk saling berjabat tangan dengan setiap orang yang ditemui (berpapasan). Satu pemain berpapasan dengan yang lain, kemudian saling berjabat tangan, terus berjalan lagi, demikian seterusnya. Kemudian pembimbing memberikan panduan agar para pemain berjabat tangan dengan cara yang spesifik dengan berbagai kemungkinan.
• Berjabat tangan dengan seorang sahabat yang sudah lama tak jumpa.
• Berjabat tangan dengan orang yang dicurigai
• Berjabat tangan dengan pejabat tinggi negara atau bos besar
• Berjabat tangan dengan bekas pacar
• Berjabat tangan dengan orang yang memegang rahasia pribadi kita
• Berjabat tangan dengan orang yang dibenci
• Berjabat tangan dengan orang yang mulutnya bau, dsb.

b. Saling Curiga
Latihan ini menuntut perserta untuk berperan, meskipun peran yang dimainkan adalah diri sendiri. Setiap manusia pasti mempunyai rasa curiga dalam dirinya. Rasa curiga inilah yang coba diperankan. Latihan ini juga bisa dikembangkan dengan rasa mencintai, rasa membenci, rasa mengasihani sesama. Proses latihannya sama dengan proses latihan saling curiga.
• Latihan ini dimulai dari satu orang. Bayangkan seseorang mencurigai anda.
• Masuk satu orang lain, dan saling mencurigai. Setiap orang menyembunyikan perasaan tak percaya, gelisah, khawatir, dan curiga.
• Masuk beberapa orang. Setiap orang saling mencurigai sesama yang terlibat dalam latihan ini.
• Pertahankan bayangan akan kecurigaan ini. Biarkan perasaan dan gerakan semakin menjadi-jadi, biarkan gerak terus berkembang.
• Ekspresikan kecurigaan kepada sesama. Saling curiga tetapi tidak ada kontak badan. Kecurigaan ini kemudian berkembang menjadi saling benci dan marah. Kebencian dan kemarahan tidak hanya pada seseorang tetapi kepada seluruh peserta lain bahkan pada dirinya sendiri.


3.3 Imajinasi
Imajinasi adalah proses pembentukan gambaran-gambaran baru dalam pikiran, dimana gambaran tersebut tidak pernah dialami sebelumnya. Belajar imajinasi dapat menggunakan fungsi ”jika” atau dalam istilah metode pemeranan Stanislavski disebut magic-if. Latihan imajinasi bagi pemeran berfungsi mengidentifikasi peran yang akan dimainkan. Selain itu, seorang pemeran juga harus berimajinasi tentang pengalaman hidup peran yang akan dimainkan.

Hal-hal yang perlu diketahui ketika berlatih imajinasi.
• Imajinasi menciptakan hal-hal yang mungkin ada atau mungkin terjadi, sedangkan fantasi membuat hal-hal yang tidak ada, tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada.
• Imajinasi tidak bisa dipaksa, tetapi harus dibujuk untuk bisa digunakan. Imajinasi tidak akan muncul jika direnungkan tanpa suatu objek yang menarik. Objek berfungsi untuk menstimulasi atau merangsang pikiran. Baik hal yang logis maupun yang tidak logis. Dengan berpikir, maka akan terjadi proses imajinasi.
• Imajinasi tidak akan muncul dengan pikiran yang pasif, tetapi harus dengan pikiran yang aktif. Melatih imajinasi sama dengan memperkerjakan pikiran-pikiran untuk terus berpikir. Pikiran bisa disuruh untuk mempertanyakan segala sesuatu. Dengan stimulus pertanyaan-pertanyaan atau menggunakan stimulus ”seandainya”, maka akan memunculkan gambaran pengandaiannya.
• Belajar imajinasi harus menggunakan plot yang logis, dan jangan menggambarkan suatu objek yang tidak pasti (perkiraan).
• Untuk membangkitkan imajinasi peran gunakan pertanyaan; siapa, dimana, dan apa. Misalnya, “siapakah Hamlet itu?”, maka pikiran dipaksa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Usaha menjawab pertanyaan itu akan membawa pikiran untuk mengimajinasikan sosok Hamlet.

3.3.1 Latihan Imajinasi Dengan Asosiasi
a. Malapropism merupakan tahap awal dari latihan asosiasi, guna memancing ide atau imajinasi peserta berdasarkan benda yang dilihat. Latihan dimulai dengan berjalan pelan mengelilingi ruangan. Tunjuklah sembarang benda yang ada di ruang itu dan sebutlah dengan nama yang berlainan. Misalnya pembimbing menunjuk sebuah poster dan menyebutnya dengan “kertas”.

Catatan: latihan ini sangat bermanfaat bagi peserta yang sama sekali tidak bisa berimajinasi atau berasosiasi. Pada tahap pertama peserta boleh dengan bebas mengganti nama benda yang ditunjuk tetapi pada akhirnya peserta akan dengan sendirinya menemukan asosiasi dari benda tersebut, karena sangat sulit pikiran manusia untuk lepas dari asoiasi.

3.3.2 Latihan Imajinasi Dengan Stimulus
a. Latihan ini menggunakan benda untuk stimulus imajinasi. Masing-masing peserta memegang sebuah sebuah benda, dan benda tersebut diimajinasikan sebagai apa saja. Dalam latihan gunakan stimulus seandainya. Misalnya, sebuah bola, maka imajinasikan ”seandainya” bola tersebut ingin memakan anda, atau bola tersebut mengajak anda untuk berdansa dan sebagainya.
b. Ajaklah teman anda dalam latihan imajinasi ini, seandainya teman anda itu adalah sebuah tanah liat, atau sebatang kayu, buatlah sebuah patung dari teman anda tersebut. Lakukanlah secara bergantian.

3.3.3 Latihan Imajinasi Tanpa Stimulus
a. Tiada Tempat Berlindung
Ambil suatu posisi di tempat yang berbeda dalam sebuah ruangan. Semuanya membayangkan tidak punya tempat untuk berlindung. Rasakan akan kedatangan bahaya yang mengancam jiwa dan tidak ada tempat untuk berlindung. Mulailah bergerak dengan menyambar, berlari, kadang-kadang berhenti membeku. Biarkan ekspresi merasakan ketakutan tersebut. Kadang anda berkelompok, kadang anda sendiri dan usahakan agar bayangan dan perasaan itu tersebut menjadi jelas. Rasakan intensitas tersebut tumbuh dan berkembang ke berbagai arah.

b. Jembatan Tali
Latihan akan berhasil jika betul-betul menghayati dan seolah-olah merasakan serta dihadapkan pada kejadian yang menuntut seperti melewati jembatan tali. Latihan ini selain menuntut berimajinasi juga menuntut kepekaan.
Bayangkan seutas tali yang direntangkan tinggi di atas lantai, kemudian berdiri di atas panggung dan siap untuk mencoba melintasi tali itu. Jangan terburu-buru bila belum siap, tunggu sampai mendapatkan gambaran yang jelas tentang jembatan tali tersebut. Jika sudah siap, mulailah perjalanan tersebut. Untuk pertama kali mungkin menemukan kesulitan, tetapi jangan berhenti. Harus tetap dicoba dan coba dengan berbagai cara. Jangan tergesa dan tetaplah berkonsentrasi pada perasaan yang dirasakan. Ketika sudah siap biarkan perasaan yang membuat bergerak. Kalau dalam bayangan merasa kesulitan, ekspresikan kesulitan tersebut.

Catatan. Jika pengalaman ini dicoba dengan hati-hati, sehingga tidak menjadi sebuah kegiatan yang mekanik, kebanyakan orang akan bisa merasakan keterlibatan yang mendalam.

c. Karet Elastis
Latihan ini bisa dilakukan secara sendiri maupun secara kelompok. Posisi tubuh yang enak. Bayangkan sebuah karet elastis yang agak tipis. Peganglah masing-masing ujungnya dengan tangan. Sekarang mulai menarik karet itu ke berbagai arah, tetapi upayakan posisi karet tersebut dekat tubuh. Cobalah dengan berbagai cara untuk menarik dan melepaskan karet tersebut. Berikan cukup waktu untuk penjagaan ini. Ketika menarik karet tersebut usahakan se-ekspresif mungkin. Kemudian mulailah menarik dengan posisi yang menjauh dari badan dan masuk dalam ruang. Tarik karet tersebut ke berbagai arah secara ekspresif. Teruskan menjajagi sendiri gerakan ini ke berbagai arah. Sekarang bayangkan karet elastis yang sangat kuat, coba untuk menariknya ke segala arah. Biarkan gerakkan itu membuat gerakan jongkok dan berdiri, namun tidak usah tergesa-gesa. Biarkan gerakkan itu berkembang sendiri.

Catatan. Karet elastis adalah benda kongkrit, dan menariknya adalah sebuah pengalaman biasa. Penekanan kegiatan ini adalah pada kesadaran dan penghayatan terhadap gerakan menarik. Ini adalah sebuah aktivitas gerak arahan sendiri. Latihan sederhana ini akan memberikan pengalaman kepada peserta untuk terlibat dalam situasi permainan. Melakukan gerakan hingga berjongkok dan berdiri membutuhkan penghayatan yang cukup.

3.3.4. Latihan Imajinasi Dengan Permainan
a. Voly Nama
Permainan voly dengan nama sebagai bola. Pemain di bagi dalam grup, masing-masing grup terdiri dari 3 atau 6 orang. Dua grup kemudian dipertandingkan. Permaian voly ini dilakukan dengan pantomim dan bolanya adalah nama (aturan seperti permainan voly sungguhan). Grup pertama melakukan service dengan menyebut salah satu nama dari grup lawan, nama yang dsebut kemudian mengoper bola dengan menyebut nama rekannya, nama rekan yang disebut kemudian melakukan smash dengan menyebut salah satu nama lawan, nama lawan yang disebut menerima bola dan mengoperkan dengan menyebut nama kawannya, demikian seterusnya. Permainan ini akan menarik jika temponya dipercepat.

b. Mencari Selamat
Permainan dilakukan secara kelompok misalnya lima atau enam orang. Tentukan dulu aba-aba yang digunakan, banjir, petir, hujan, panas, dan badai. Properti yang digunakan adalah level, kipas tangan dan payung, jumlahnya kurang satu dari jumlah peserta. Latihan dimulai dengan peserta berjalan dengan santai, dalam satu waktu pembimbing meneriakkan aba-aba yang telah disepakati. Misalnya, pembimbing berteriak “hujan”, maka peserta berebut mencari payung dan memakainya. Bagi peserta yang tidak kebagian payung berarti dia akan kehujanan dan kedinginan. Bila pembimbing berteriak “banjir”, maka semua peserta berusaha menyelamatkan diri menuju ke tempat yang lebih tinggi yaitu level yang ada. Bagi peserta yang tidak kebagian level maka dia akan terbawa oleh banjir dan harus berenang, dan sebagainya.








4. TEKNIK DASAR PEMERANAN
Teknik dasar pemeran adalah teknik mendayagunakan peralatan ekspresi pemeran. Fungsi teknik dasar adalah untuk meningkatkan keluwesan dan ketahanan tubuh, serta keterampilan gerak, dan reaksi. Latihan teknik dasar pemeranan ini merupakan landasan kuat untuk bangunan penciptaan peran. Latihan harus dilakukan terus menerus, diresapi, dan dikuasai sampai menjadi hal yang bukan teknis. Suatu saat, kalau diperlukan kemampuan teknik muncul secara spontan, seakan-akan merupakan gambaran peran dan bukan hasil paksaan pemeran.
Seorang pemeran bekerja di teater dengan dasar ekspresi diri untuk menghidupkan karakter peran. Dalam usaha untuk menghidupkan ekspresi itu, maka pemeran berusaha menciptakan sistem reaksi yang beragam yang dapat memenuhi tuntutan teknis pementasan. Latihan-latihan yang dilakukan bisa berupa latihan non-teknis dan latihan yang bersifat teknis. Latihan non-teknis adalah latihan penguasaan tubuh dan jiwa pemeran itu sendiri seperti relaksasi, konsentrasi, kepekaan, kreativitas yang terpusat pada pikirannya. Sedangkan latihan yang bersifat teknis adalah latihan yang terfokus pada latihan penguasaan peran yang akan dimainkan.
Latihan teknik ini penting dilakukan oleh pemeran, karena dalam menjalankan tugasnya ia harus terampil menggunakan segala aspek yang diperlukan saat memainkan karakter. Semakin terampil ia memainkan karakter, maka penonton semakin mengerti dan mau menerima permainan itu. Latihan teknik ini harus dipelajari dan dikuasai, tetapi ketika teknik-teknik ini sudah terkuasai maka harus lebur menjadi milik pribadi pemeran. Teknik-teknik itu harus menjadi sesuatu yang spontan ketika digunakan.
Latihan teknik bermain ada dua macam yaitu latihan teknik yang bersifat individu dan latihan teknik yang bersifat umum. Teknik yang bersifat individual diciptakan oleh seorang pemeran dalam menghadapi peran yang akan dimainkan. Misalnya, teknik Yoyok Aryo (Alm.), Jim Carey, Butet Kertarajasa, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, dan lain-lain. Teknik ini sangat unik, karena timbul dari pribadi-pribadi seniman. Orang lain bisa mempelajari teknik yang bersifat individual ini, tetapi kebanyakan akan terjebak dengan peniruan. Teknik latihan yang bersifat umum ini bisa dipelajari dan digunakan secara umum. Bila digunakan akan menghasilkan sesuatu yang umum tetapi ini juga penting dipelajari calon pemeran. Latihan teknik bermain yang digunakan disini adalah latihan teknik yang bersifat umum yang diajarkan oleh W.S. Rendra, latihan-latihan ini terdiri dari teknik muncul, teknik memberi isi, teknik pengembangan, teknik membina puncak-puncak, teknik timing, teknik penonjolan, teknik pengulangan, dan teknik improvisasi.





4.1 Teknik Muncul
Teknik muncul (the technique of entrance) menurut Rendra dalam buku Tentang Bermain Drama (1982), adalah suatu teknik seorang pemeran dalam memainkan peran untuk pertama kali memasuki sebuah pentas lakon. Pemunculan pemeran ini bisa di awal pementasan, pada suatu babak lakon, pada adegan lakon. Pemunculan pemeran ini harus memberikan gambaran secara keseluruhan terhadap peran yang dimainkan. Gambaran itu bisa berupa suasana batin, tingkat emosi, tingkat intelektual, maupun segi fisik dari peran yang dibawakan. Gambaran inilah yang akan mempengaruhi kesan, penilaian, dan identifikasi penonton terhadap peran. Tanpa penggambaran peran yang jelas, penonton akan kesulitan untuk mengidentifikasi peran tersebut.
Pemunculan pemeran untuk pertama kali ketika memasuki sebuah pentas lakon harus memberikan hal-hal sebagai berikut.
a. Memberi gambaran fisik karakter yang dimainkan.
b. Menunjukan tingkat emosi karakter yang dimainkan
c. Kesinambungan hubungannya dengan jalan cerita yang sedang berjalan
d. Memberikan atau mencerminkan kerja sama yang baik di antara sesama pemeran
e. Memberikan suasana baru atau perubahan suasana dan perkembangan emosi dalam suatu adegan yang sedang berjalan (Suyatna Anirun, 1989).

4.1.1 Latihan Teknik Muncul
a. Latihan Muncul Dengan Penggambaran
• Lakukan latihan muncul dengan menggambarkan usia karakter
• Lakukan latihan muncul dengan menggambarkan kecacatan karakter yang dimainkan, baik cacat fisik maupun cacat psikis.
• Lakukan latihan muncul dengan menggambarkan status sosial karakter

b. Latihan Muncul Dengan Sikap Rasa
• Lakukan latihan muncul dengan rasa kegembiraan, kesedihan, kecapekan, kemarahan, kecurigaan, dan lain-lain.
• Lakukan latihan muncul dengan ketergesa-gesaan, kepanikan, santai, keseriusan dan lain-lain.

c. Latihan Muncul Dengan Menyambung Emosi
• Lakukan latihan secara kelompok. Lakukan improvisasi secara bergantian sebagai sumber atau stimulus. Misalnya, A sedang marah, kemudian dilanjutkan pemunculan B dengan marah-marah juga, dan seterusnya.

d. Latihan Dengan Game
• Emosi Berlanjut
Sebuah adegan sederhana dimainkan, minimal oleh dua orang. Di tengah adegan cerita dihentikan oleh pembimbing. Kemudian cerita dilanjutkan dengan perubahan karakter dan emosi pemain sesuai permintaan audiens (partisipan lain). Jadi, audiens menentukan perubahan karakter dan emosi pemain secara mendadak begitu adegan dihentikan oleh pembimbing, sehingga para pemain dituntut kreativitas, imajinasi, dan penangan masalah dengan cepat sesuai permintaan.

Catatan: Latihan ini bagus untuk teknik muncul ketika suasana pementasan sudah terbentuk, sehingga emosi adegan tersebut tidak mulai dari nol lagi.


4.2 Teknik Memberi Isi
Teknik memberi isi adalah teknik untuk memberi isi pengucapan dialog-dialog untuk menonjolkan emosi dan pikiran-pikiran yang terkandung dalam dialog tersebut. Menurut Rendra (1982), teknik memberi isi adalah cara untuk menonjolkan emosi dan pikiran di balik kalimat-kalimat yang diucapkan dan di balik perbuatan-perbuatan yang dilakukan di dalam sandiwara. Teknik ini bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu.
a. Dengan tekanan dinamik adalah memberi tekanan ucapan pada salah satu kata pada kalimat. Fungsi dari tekanan ini adalah untuk membedakan antara kata yang dianggap penting dengan kata-kata yang kurang penting. Tekanan dinamik ini berguna untuk menjelaskan isi pikiran dari kata dan kalimat yang kita ucapkan.
b. Dengan tekanan nada adalah pengucapan kalimat atau kata dengan menggunakan nada atau melodi. Kalimat atau kata yang kita ucapkan dengan bernada akan mencerminkan perasaan kita ketika mengucapkan kata katau kalimat tersebut.
c. Dengan tekanan tempo adalah memberi tekanan terhadap kata dengan cara memperlambat pengucapan kata tersebut. Tekanan ini efeknya hampir sama dengan tekanan dinamik yaitu untuk menjelaskan isi pikiran dari kata yang diberi tekanan.




4.2.1 Latihan-latihan Teknik Memberi Isi
a. Latihan Mengucapkan Kata Dengan Perasaan
• Pilih dan ucapkan kata apa saja sesuai dengan pilihan peserta, misalnya “Saya lapar“. Ucapkan kata tersebut dengan perasaan sedih, malu, manja, marah, gembira dan lain-lain. Latihan dapat dilanjut dengan mengucapkan kata-kata yang lain.
• Bacalah kalimat berikut ”Aku mau pergi merantau”. Ketika mengucapkan pilih salah satu kata yang ditekan. Misalnya; “AKU mau pergi merantau”. Teruskan latihan ini dengan mengganti pada salah satu kata yang lain.

b. Latihan Mengeja Kata
• Bacalah dengan cara dieja sesuai dengan suku kata atau sesuai dengan tanda-tanda yang ditetapkan. Setelah selesai, baca kembali dan rekam untuk mengetahui perbedaan hasilnya.

Kakek : Te-ngah ma-lam nan-ti, apa-bi-la a-ngin men-da-yu dan bu-lan lu-put da-ri ma-ta. A-kan da-tang se-buah ke-re-ta ken-ca-na un-tuk me-nyam-but ki-ta ber-dua. Wak-tu i-tu a-ku se-dang men-ca-ri-ca-ri bu-ku ha-ri-an-ku di ka-mar per-pus-ta-ka-an, la-lu ku-de-ngar sua-ra i-tu isi-nya ku-rang le-bih be¬-gi-tu ta-pi a-ku tak ta-hu ba-gai-ma-na per-sis-nya

(dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra)



c. Latihan Mengeja Kalimat
• Bacalah dengan cara dieja sesuai dengan kalimat, setelah selesai baca kembali dan rekam untuk mengetahui perbedaan hasilnya.

Kakek : Tengah malam nanti, apabila angin mendayu dan bulan luput dari mata. Akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua. Waktu itu aku sedang mencari-cari buku harianku di kamar perpustakaan, lalu kudengar suara itu isinya kurang lebih begitu tapi aku tak tahu bagaimana persisnya

(dikutip dari naskah Kereta Kencana karya Eugene Ionesco
terjemahan W.S. Rendra)


4.3 Teknik Pengembangan
Teknik pengembangan hampir sama dengan teknik memberi isi tetapi metode yang berbeda. Teknik memberi isi dapat dilakukan dengan cara penekanan pada pengisian perasaan dan pikiran pada kalimat, sedangkan teknik pengembangan lebih menekankan pada pengembangan suasana cerita, perasaan dan pikiran dari peran yang ada dalam lakon tersebut.
Teknik pengembangan bisa dilakukan dengan teknik pengembangan pengucapan dan teknik pengembangan jasmani. Teknik pengembangan pengucapan dilakukan dengan menaikkan volume suara, menaikkan tinggi nada suara, menaikkan kecepatan tempo suara, dan menurunkan volume suara, nada suara, dan kecepatan tempo suara. Teknik pengembangan jasmani bisa dilakukan dengan menaikkan tingkat posisi jasmani, berpaling, berpindah tempat, melakukan gerak anggota badan, dan ekspresi muka.

4.3.1 Latihan-Latihan Teknik Pengembangan
a. Latihan Dengan Kata
• Cari pasangan untuk latihan ini. Gunakan metode cermin. Sebelumnya, tentukan dulu siapa yang menjadi cermin dan siapa yang bercermin. Pilih satu kata kemudian ucapkan pada cermin dan cermin menirukan kata tersebut dengan lebih keras dari ucapan yang bercermin. Lakukan latihan secara bergantian dan setiap kata yang bercermin lebih keras, maka cermin yang menirukan harus lebih keras di atas yang bercermin.
• Latihan masih dengan metode cermin, tetapi sekarang kebalikannya yaitu setiap yang bercermin mengucapkan kata. Cermin harus menirukan dengan volume yang lebih rendah dan diberi tekanan. Lakukan latihan ini bergantian.
• Latihan masih sama yaitu berpasangan dan menggunakan metode cermin. Sekarang bukan pada kerasnya volume suara tetapi menggunakan nada dasar. Misalnya yang bercermin mengucapkan dengan nada dasar do, berarti cermin yang menirukan menggunakan nada dasar re dan seterusnya. Lakukan latihan ini secara bergantian dan kebalikannya, misalnya yang bercermin mengucapkan dengan nada dasar sol berarti yang menjadi cermin menirukan dengan nada dasar fa.
• Latihan dilanjutkan dengan menggunakan tempo ucapan, misalnya yang bercermin mengucapkan kata dengan cepat maka cermin harus menirukan dengan lebih cepat lagi. Lakukan juga latihan kebalikan dengan tempo ini, yaitu kalau yang bercermin dengan tempo cepat maka yang menjadi cermin menirukan dengan tempo lambat, kalau yang bercermin dengan tempo lambat maka yang menjadi cermin harus dengan dieja.

b. Latihan Dengan Kalimat
• Latihan ini masih sama dengan metode cermin, buat sebuah kalimat sederhana. Kalimat tersebut diucapkan yang bercermin, kemudian cermin menirukan kalimat tersebut lebih keras. Lakukan latihan ini secara kebalikannya.
• Latihan dilanjutkan dengan menggunakan nada, yang bercermin mengucapkan kalimat dengan nada do dan cermin menirukan dengan nada re dan seterusnya. Lakukan latihan ini secara kebalikannya, kalau yang bercermin dengan si maka cermin menirukan dengan nada la dan seterusnya.

c. Latihan Dengan Pose Tubuh
• Latihan ini dilakukan secara berkelompok maksimal empat orang. Buat sebuah pose tubuh yang sederhana, misalnya orang pertama dengan kepala tunduk maka ketiga orang lainnya membuat pose yang berbeda (berpaling, tengadah, muka diangkat sejajar). Orang pertama dengan pose berdiri, maka ketiga orang lainnya bisa duduk, sujud, tidur) dan lain-lain.

• Lingkaran Suara
Semua berada dalam lingkaran. Seseorang memulai permainan dengan membuat gesture dan suara yang ditujukan kepada orang disebelahnya. Orang yang disebelah segera menirukan gesture dan suara tersebut dan kemudian segera membuat gesture dan suara baru yang sangat berbeda dan ditujuan untuk orang di sebelahnya. Demikian seterusnya sampai semua orang mendapatkan giliran.
Para partisipan diharapkan tidak menyiapkan, merencanakan atau menyusun lebih dulu gesture dan suara yang akan ditunjukkan, semua dimulai secara spontan dan bebas.
Variasi:
• Permainan dapat dikembangkan dengan melempar gesture dan suara secara acak kepada partisipan lain.
• Cobalah permainan ini dengan tidak mencontoh dulu suara dan gesture yang dilakukan oleh partisipan sebelah tetapi cobalah untuk membuat gesture dan suara dengan cepat secara berurutan.

d. Latihan Dengan Level Tubuh
• Latihan ini dilakukan secara berpasangan dan menggunakan metode cermin tetapi terbalik. Misalnya, yang bercermin melakukan pose duduk maka cermin menirukan dengan pose berdiri atau sujud, dan sebagainya.
• Buatlah kelompok dengan anggota tiga orang. Permainan ini membutuhkan properti satu kursi atau kotak level. Permainan diawali dengan membuat aturan yaitu bila satu orang duduk di kursi atau kotal level maka yang lain harus berdiri dan tidur. Buat sebuah obrolan dan lakukan leveling seperti di atas. Kalau yang satu duduk maka yang lain berdiri dan tidur. Selama latihan obrolan tidak berhenti dan pergantian level tetap berjalan. Lakukan latihan dengan tempo lambat sampai cepat untuk pergantian levelnya.

Catatan: latihan ini bagus untuk membina kesadaran antar pemeran dan dan berfungsi untuk mengembangkan sebuah cerita.

4.4 Teknik Membina Puncak-Puncak
Teknik membina puncak-puncak adalah teknik yang dilakukan oleh pemeran terhadap jalannya pementasan lakon. Teknik ini dilakukan oleh pemeran untuk menuju klimaks permainan. Teknik ini bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Menahan intensitas emosi, yaitu dengan cara melakukan tahap demi tahap penggunaan emosi pemeran pada suatu pementasan lakon. Misalnya ketika A marah, maka kemarahan itu bisa dilakukan mulai dari kemarahan yang paling rendah sampai pada puncak kemarahan tingkat yang paling tinggi. Kalau kemarahan itu pada awalnya sudah dimulai dari tingkat yang tinggi maka ketika sampai pada puncaknya sudah tidak bisa marah lagi.
b. Menahan reaksi terhadap perkembangan alur yaitu menyesuaikan tingkat emosi yang terdapat pada alur yang sedang dimainkan. Misalnya, si A memainkan peran yang sangat ketakutan, dan ketakutan itu harus muncul pada klimaks. Maka reaksi ketakutan tersebut harus disesuaikan dengan adegan-adegan yang sedang berlangsung sampai pada puncak ketakutan pada klimaks.
c. Gabungan, yaitu memadukan antara gerakan dan suara. Apabila pemeran menggunakan suara yang keras maka harus diimbangi dengan gerakan-gerakan yang ditahan, begitu juga sebaliknya apabila pemeran menggunakan gerakan-gerakan yang cepat maka suaranya yang ditahan. Apabila sudah sampai puncak semuanya digabung antara gerakan dan suara.
d. Kerjasama antara pemain, yaitu suatu kerjasama yang ditempuh oleh pemeran di panggung untuk membina puncak permainan. Usaha bisa dilakukan dengan cara kebalikan. Misalnya, A berbicara dengan intensitas tinggi maka B harus bicara dengan tempo yang lambat dengan penuh tekanan, A banyak bergerak atau berpindah-pindah maka B tidak terlalu banyak bergerak hanya mengawasi perpindahan A. Baru pada puncaknya antara A dan B bersama mencapai puncak suara dan gerakan.
e. Penempatan pemain yaitu dengan cara memindah-mindahkan di atas pentas. Secara teknis pemeran yang berada di panggung bagian belakang akan lebih kuat dibanding dengan pemeran yang berada di panggung bagian depan ketika pemeran itu berhadap-hadapan. Teknik ini berhubungan dengan penyutradaraan maka penggunaan teknik ini harus bekerja sama dengan sutradara.

4.4.1 Latihan-Latihan Teknik Membina Puncak
a. Berbicara Dengan Tangga Nada
• Buat sebuah kelompok terdiri dari tiga orang dan lakukan percakapan. Satu orang berbicara dengan nada dasar do, maka kedua orang lainnya berbicara dengan nada di atasnya.
• Lakukan latihan di atas dengan cara kebalikannya, yaitu semakin menurun.

b. Bergerak Dengan Level
• Lakukan latihan dengan cara bergerak dan berbicara. Satu orang bergerak dengan cepat, tetapi berbicara dengan tempo yang lambat. Satu orang berbicara cepat, tetapi bergerak dengan lambat. Sedangkan yang satu mengawasi perkembangan dua orang tersebut dan menghentikan dengan satu gerakkan dan suara.
• Hal yang perlu diperhatikan dari latihan ini adalah bagaimana kita bisa menahan dan mengontrol perkembangan cerita dan kita harus menghentikannya.

4.5 Teknik Timing
Teknik timing adalah teknik ketepatan waktu antara aksi tubuh dan aksi ucapan atau ketepatan antara gerak tubuh dengan dialog yang diucapkan. Selain itu teknik ini juga bisa digunakan untuk menjelaskan alasan sebuah aksi pemeran. Teknik ini harus dilatih terus menerus, sehingga tidak menjadi sebuah teknik tetapi lebih menjadi sebuah ilham atau intuisi dalam diri pemeran. Teknik ini kalau tidak dilakukan dengan tepat akan dapat merusak permainan kelompok, sebab ada kemungkinan terjadi tabrakan dialog antar pemeran.
Teknik timing bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu gerakan dilakukan sebelum kata-kata diucapkan, gerakkan dilakukan bersamaan kata-kata diucapkan, gerakkan dilakukan sesudah kata-kata diucapkan.

4.5.1. Latihan-Latihan Teknik Timing
a. Latihan Bergerak Kemudian Berbicara
• Buat sebuah kalimat pendek, misalnya “aku sangat lelah hari ini”. Latihan dilakukan dengan dengan bergerak dulu ke kursi dan duduk baru ucapkan kalimat tersebut.
• Lakukan latihan ini dengan kalimat-kalimat yang lain dengan model yang sama, yaitu bergerak dulu kemudian berbicara.

b. Latihan Berbicara Kemudian Bergerak
• Lakukan latihan yang di atas tetapi sekarang diubah polanya yaitu berbicara dulu baru bergerak. Jadi ucapkan dulu “aku sangat lelah hari ini”, baru kemudian bergerak ke kursi untuk duduk.
• Lakukan latihan ini dengan kalimat-kalimat yang lain dengan model yang sama yaitu berbicara dulu kemudian bergerak.

c. Latihan Bergerak dan Berbicara
• Latihan masih sama tetapi, sekarang mengucapkan kalimat tersebut berbarengan dengan bergerak ke kursi untuk duduk.
• Lakukan latihan ini dengan kalimat-kalimat yang lain dengan model yang sama yaitu bergerak berbarengan dengan berbicara.

Catatan: latihan-latihan tadi akan menimbulkan efek-efek yang berbeda-beda. Sadari efek tersebut sebagai kekayaan batin dan pengalaman untuk dapat di aplikasikan pada pementasan.

d. Latihan Dengan Permainan
• Hitung 20
Semua peserta dalam lingkaran. Cobalah menghitung 1 sampai 20. Siapa saja boleh memulai dengan menyebut angka ‘1’. Kemudian yang lain meneruskan secara acak (siapa saja boleh melanjutkannya) menyebut ‘2’ dan begitu seterusnya. Jika ada dua peserta menyebutkan angka berbarengan maka permainan dimulai dari awal lagi.

Catatan: permainan ini baik untuk konsentrasi serta mengontrol emosi sehingga terbiasa dengan timing pengucapan.


4.6 Teknik Penonjolan
Teknik penonjolan merupakan teknik memilih bagian-bagian yang perlu mendapat perhatian untuk ditonjolkan. Teknik ini berfungsi untuk menyampaikan pesan moral atau visi dan misi penulis lakon. Dalam satu kesatuan pementasan bagian-bagian yang perlu ditonjolkan (point of interest) merupakan tugas seorang sutradara. Akan tetapi, penonjolan yang berhubungan dengan isi kata-kata dan penggunaan gerak ekspresi merupakan tugas dan kewajiban seorang pemeran. Bagi seorang pemeran, teknik penonjolan bisa dilakukan dengan cara membedakan tekanan pada vokal dan pose tubuh.
Teknik penonjolan dengan vokal sudah dibahas pada teknik memberi isi, sedangkan teknik penonjolan dengan jasmani lebih dititik beratkan pada teknik ekspresi. Menurut Rendra, teknik penonjolan dengan jasmani dan ekspresi bersifat lebih dinamis dan lebih nyata karena berupa gambaran-gambaran tampak dengan mata. Teknik ini berupa perubahan-perubahan gerak, terutama perubahan tempat dan perubahan tingkat atau level. Tetapi perlu diingat bahwa penggunaan perubahan ini kalau sering dilakukan dan tanpa alasan akan mengesankan sebuah kemubaziran. Gerakan ini akan berarti kalau merupakan sebuah pengembangan dan dilakukan dengan kecukupan tempo untuk meresapkannya.

4.6.1 Latihan-Latihan Teknik Penonjolan
a. Latihan Arah Hadap
• Lakukan latihan ini dengan santai dan rasakan pergerakan-pergerakan aggota tubuh kita. Latihan dimulai dari menghadap kearah penonton secara frontal, kemudian dilanjutkan 45 derajat ke samping kanan, dilanjutkan 90 derajat ke samping kanan, 135 derajat ke samping kanan sampai membelakangi penonton. Lakukan latihan ini ke arah sebaliknya.
• Lakukan latihan di atas tetapi dengan posisi jongkok.

b. Latihan Komposisi
• Buatlah sebuah komposisi secara kelompok, mulai dari posisi bawah sampai posisi atas. Ketika membuat komposisi buatlah penonjolan pada salah satu peserta latihan.
• Seorang partisipan menawarkan sesuatu hal kepada yang lain dengan melompat ke tengah lingkaran, misalnya ia berkata: aku adalah sepotong keju. Partisipan kedua ikut melompat ke tengah lingkaran dan melengkapi penawaran tersebut dengan berkata aku sepotong roti. Partisipan ketiga menggenapi dengan berkata, Aku selada. Kemudian ketiga partisipan kembali ke lingkaran dan permainan diteruskan dari awal dengan satu orang menawarkan menjadi sesuatu sampai orang ketiga melengkapinya, demikian seterusnya.
• Buatlah komposisi potret keluarga. Partisipan dibagi dalam kelompok dan diminta untuk membuat pose potret keluarga. Keluarga yang dipilih idealnya adalah keluar yang spesifik.
- Keluarga ekonom, akuntan
- Keluarga yang beranggotakan orang-orang gemuk atau kurus
- Keluarga artis atau selebritis
- Keluarga ular, kucing, kelinci
- Keluarga peralatan kantor, kebun, dan lain sebagainya
Sampaikan kepada partisipan bahwa orang lain harus tahu dari pose tersebut siapa sebagai apa dalam keluarga itu, siapa akrab dengan siapa, siapa yang paling dibenci oleh keluarga, siapa yang selalu dipuja, siapa yang selalu menjadi kambing hitam, dan lain sebagainya. Hal ini akan berjalan dengan baik jika masing-masing partisipan mengenal satu sama lain dalam kelompoknya dengan baik.
Catatan: gunakan imajinasi untuk membentuk satu potret keluarga dari yang riil sampai yang abstrak.
c. Latihan Leveling
• Lakukan latihan leveling dimulai dari kepala, badan, kaki dan tangan. Misalnya, kepala tunduk, posisi normal menghadap ke depan, sampai kepala menegadah ke atas.
• Lakukan latihan di atas untuk badan, kaki dan tangan. Misalnya, tangan mulai menunjuk ke bawan, ke tengah sampai ke atas.






4.7 Teknik Pengulangan
Teknik pengulangan adalah teknik pemeranan dengan cara mengulangan-ulang latihan yang sedang dilakukan sampai menemukan suatu teknik yang pas. Teknik ini berfungsi untuk mencari bentuk yang sesuai dengan yang diharapkan dalam sebuah produksi. Pengulangan bisa dilakukan dengan pengulangan emosi, pengulangan cara bicara, pengulangan gerakan.

4.7.1 Latihan-Latihan Teknik Pengulangan
a. Latihan Dengan Teknik Cermin Suara
• Cari pasangan untuk latihan. Gunakan metode cermin. Sebelumnya, tentukan dulu siapa yang menjadi cermin dan siapa yang bercermin. Pilih satu kata kemudian ucapkan pada cermin dan cermin menirukan kata tersebut dari ucapan yang bercermin. Lakukan latihan secara bergantian.

b. Latihan Dengan Teknik Cermin Gerak
• Cari pasangan untuk latihan. Gunakan metode cermin. Sebelumnya tentukan dulu siapa yang menjadi cermin dan siapa yang bercermin. Buat sebuah pose atau gerakkan kemudian cermin menirukan gerakkan atau pose tersebut. Lakukan latihan secara bergantian.

c. Latihan Dengan Game
• Lingkaran Penerima
Semua partisipan berdiri melingkar. Seorang partisipan memulai dengan membuat sebuah gerakan dan pose (gesture) yang kemudian ditirukan oleh partisipan di sebelahnya. Demikian seterusnya sampai semua orang mendapatkan giliran.

Catatan: meskipun kita berharap bahwa gesture yang dilakukan tidak akan berubah tetapi perubahan pasti terjadi, karena partisipan lain ada kemungkinan menirukan dengan tidak tepat. Jika ini terjadi maka biarkan saja yang terpenting partisipan berikutnya berusaha menirukan gesture yang telah berubah tersebut dengan sungguh-sungguh.

Gagasan dasar: Partisipan mau dan mampu menirukan gesturee yang dibuat oleh temannya dengan memperhatikan detil gerakan dan posisi tangan, kaki, tubuh, dan anggota tubuh lain.

Variasi: gesture bisa ditambahkan dengan suara atau kata.

• Lingkaran Suara
Semua berada dalam lingkaran. Seseorang memulai permainan dengan membuat gesture dan suara yang ditujukan kepada orang disebelahnya. Orang yang di sebelah segera menirukan gesture dan suara tersebut, kemudian segera membuat gesture dan suara baru yang sangat berbeda dan ditujuan untuk orang di sebelahnya, demikian seterusnya sampai semua orang mendapatkan gilirannya.
Para partisipan diharapkan tidak menyiapkan, merencanakan atau menyusun lebih dulu gesture, dan suara yang akan ditunjukkan. Semua dimulai secara spontan dan bebas.

Variasi: Permainan dapat dikembangkan dengan melempar gesturee dan suara secara acak kepada partisipan lain.
Cobalah permainan ini dengan tidak mencontoh dulu suara dan gesturee yang dilakukan oleh partisipan sebelah tetapi cobalah untuk membuat gesturee dan suara dengan cepat secara berurutan.


4.8 Teknik Improvisasi
Teknik Improvisasi adalah teknik dasar permainan tanpa ada persiapan atau bersifat spontan. Teknik ini berguna untuk mengasah kepekaan seorang pemeran untuk mengatasi suatu masalah yang timbul pada saat pementasan. Dengan latihan improvisasi seorang calon pemeran juga terasah daya cipta dan daya khayalnya. Latihan ini berfungsi untuk melatih akting calon pemeran menjadi lebih jelas. Improvisasi juga berguna untuk menggambarkan karakter yang dimainkan agar mengandung daya khayal yang mampu mempesona penonton.

4.8.1 Latihan-Latihan Improvisasi
a. Improvisasi Dengan Benda
• Siapkan sebuah benda. Misalnya benda tersebut adalah kursi, maka kursi tersebut bisa dianggap sebagai teman, ajak ngobrol kursi tersebut seperti mengajak ngobrol teman. Dengarkan masalah-masalahnya, beri masukan atau nasehat, kalau memang tidak sesuai, bisa membantahnya dan mungkin bisa memarahinya atau menghiburnya dan lain-lain.

Catatan: latihan awalnya mungkin dilakukan dengan satu orang dan satu benda tetapi kalau sudah terbiasa maka benda tersebut dapat diganti dengan teman anda.

b. Improvisasi Dengan Permainan
• Ngerumpi
Semuanya berada dalam lingkaran. Seseorang mulai ngerumpi dengan berkata ”Pernahkah kamu dengar bahwa......., dan seterusnya” dengan menunjuk seseorang. Orang yang ditunjuk meneruskan kalimat rumpian tersebut dan mempertajamnya. Jika ada partisipan lain yang tertawa atau geli mendengar rumpian tersebut, maka permainan diulangi lagi dari orang yang berada di sebelah kiri (boleh kanan) dari orang kedua yang diajak ngerumpi tadi

Catatan: Lebih menarik jika yang dibicarakan adalah topik yang sedang hangat, kawan dekat, persoalan sekkolah, dan atau kehidupan sehari-hari.

• Presentasi Terusan
Seorang maju mempresentasikan sesuatu (topik bisa ditentukan). Partisipan lain boleh menghentikan presentasi itu dengan cara maju ke depan. Ketika ada yang maju, maka presenter pertama berhenti, kemudian mengulangi kalimat terakhir yang diucapkan. Selanjutnya, orang yang maju tadi harus meneruskan atau mengganti topik presentasi dimulai dengan kalimat terakhir yang diucapkan presenter sebelumnya.

Catatan: Cobalah rileks dan bebas untuk meneruskan presentasi tersebut. Lebih baik meneruskan prsentasi dari presenter sebelumnya dari pada membuat topik baru. Tanda untuk mengganti presenter bisa diganti tidak hanya dengan satu orang maju ke depan tetapi mungkin dengan kode lain yang lebih menarik misalnya berkata ‘stop’.

• Ganti Peran
Buat adegan sederhana dan dimainkan oleh dua orang atau lebih. Ambillah cerita atau permasalahan yang sangat sederhana sehingga semua pemain mampu memainkannya. Di saat adegan sedang berlangsung, pembimbing menghentikan cerita dan meminta para pemain bertukar peran, dan cerita terus dilanjutkan. Keadaan ini bisa dilakukan berulang, hingga para pemain bisa benar-benar saling bertukar peran.

Catatan: satu permainan kreatif dengan improvisasi untuk mengenal, mengobservai, serta melakukan karakter dengan cepat.


5. PENGHAYATAN KARAKTER
Seni teater adalah seni yang dalam pementasannya menggunakan media pemeran untuk mengkomunikasikan ide-ide dan gagasan penulis lakon. Pemeran adalah orang yang memainkan peran yaitu gambaran-gambaran karakter tokoh. Seorang pemeran yang baik akan menggambarkan karakter itu sedetail mungkin agar tampak hidup. Untuk mencapai gambaran itu seorang pemeran harus berusaha menggali dan meneliti peran yang akan dimainkan. Dengan bantuan pikiran, perasaan, dan jasmaninya yang terlatih, seorang pemeran akan berhasil menggambarkan bahkan menghayati peran tersebut.
Karakter adalah gambaran tokoh peran yang diciptakan oleh penulis lakon melalui keseluruhan ciri-ciri jiwa dan raga seorang peran. Karakter-karakter ini akan diwujudkan oleh pemeran serta disajikan dalam suatu pementasan teater dalam wujud tokoh-tokoh. Proses penciptaan karakter ini menuntut seorang pemeran mempunyai daya cipta yang tinggi serta mencoba semaksimal mungkin menjadi karakter tersebut. Maksudnya, pemeran harus sanggup menjiwai peran yang dimainkan sehingga seperti benar-benar wujud dari karakter tersebut.
Pemeran adalah orang yang diberi kepercayaan oleh penulis lakon atau sutradara untuk mewujudkan imajinasinya. Pemeran yang baik akan berusaha mewujudkan hasil imajinasi tersebut menjadi hidup. Dengan bisa mewujudkan karakter-karakter yang ditulis oleh penulis lakon tersebut maka penonton akan lebih mudah terpengaruh dan menikmati pementasan tersebut. Seorang pemeran tidak bisa berpura-pura menjadi karakter tersebut, tetapi harus menghayatinya. Artinya pemeran harus bisa membuat pikiran, perasaan, watak dan jasmaninya untuk berubah sementara menjadi pikiran, perasaan, watak dan jasmani karakter. Untuk dapat menghayati karakter tersebut, diperlukan suatu langkah kerja mulai dari menganalisis karakter, observasi, interpretasi kemudian memerankan karakter tersebut.

5.1 Analisis Karakter
Lakon ditulis oleh penulis lakon berdasarkan suatu pengalaman hidup, cita-cita atau ide yang disebut visi. Dengan dasar visi itulah maka karakter yang ada dalam lakon tersebut hidup. Penulis lakon tidak pernah langsung menuliskan atau menjelaskan karakter tokoh yang diciptakannya, tetapi karakter itulah yang berbicara dan hidup sebagai suatu imajinasi. Kata-kata dan kalimat yang diucapkan oleh karakter akan mengekspresikan visi seorang penulis lakon. Tugas seorang pemeran adalah menghidupkan dan memainkan karakter-karakter yang menjadi visi penulis lakon. Untuk dapat memainkan dan menghidupkan karakter tersebut perlu adanya analisis.
Tugas seorang pemeran adalah membalikkan proses yang dilakukan oleh penulis ketika menulis lakon tersebut. Ketika menganalisis karakter, pemeran harus mampu melihat naskah itu sebagai satu kehidupan yang sedang terjadi dan tahu apa pesan yang disampaikan oleh penulis lakon. Seorang pemeran harus mampu melihat naskah dimana karakter-karakternya bukan diciptakan dengan maksud tertentu sebagai bagian dari keseluruhan struktur yang saling terkait. Pemeran tidak dapat mengerti siapa karakternya jika tidak mengenal bagaimana karakternya terkait dengan keseluruhan struktur naskah.
Langkah terpenting dalam menganalisis karakter adalah membaca dan mempelajari seluruh naskah. Hal ini berarti membaca dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Walaupun kelihatannya mudah tetapi banyak pemeran yang tidak mempelajari kata perkata, adegan peradegan dari keseluruhan naskah. Jika pemeran hanya membaca adegan yang hendak dimainkan, maka ketika harus mementaskan seluruh naskah, ia hanya mampu memainkan peran sebuah karakter yang tidak jelas dan tidak mempunyai tujuan. Usaha seorang pemeran adalah menganalisis seluruh naskah untuk menemukan karakter-karakter yang dibuat oleh penulis lakon.
Karakter-karakter yang ada dalam naskah lakon menggambarkan manusia dan nilai kemanusiaannya atau fisik dan intelektual. Manusia terdiri dari raga atau jasmani, pikiran dan kualitas intelektual, hubungan masyarakat dan kualitas kemasyarakatannya. Tugas seorang pemeran sebelum memainkan karakter atau peran adalah menganalisanya demi keberhasilan permainan tersebut. Metode dalam menganalisa karakter ini bermacam-macam, misalnya Yapi Tambayong (2000) ketika menganalisis karakter dengan membagi empat segi yaitu segi historis, segi sosiologis, segi psikologis, dan segi filosofis. Sedangkan Lajos Egri (Harymawan, 1993) mengemukakan karakter manusia dapat dikaji dengan tiga dimensi yaitu dimensi fisiologis, dimensi sosiologis dan dimensi pikologis.

5.1.1 Segi Historis
Analisis karakter dari segi historis adalah analisis untuk mencari gambaran karakter dari segi kesejarahan karakter. Karakter diciptakan oleh penulis lakon sesuai dengan sejarah dimana karakter itu hidup. Ketika hendak memainkan karakter tersebut berarti harus mempelajari jaman dimana karakter berada. Jadi ketika hendak memainkan karakter, kita akan menganalisis sejarah peran dan sejarah penulis lakon itu hidup. Ada yang menyebutkan bahwa seorang penulis adalah wakil dari jiwa jamannya. Kalau ingin mengetahui keadaan jaman pada waktu itu, bacalah karya tulis penulis lakon jaman itu. Analisis ini juga termasuk menganalisis dekorasi, kostum, make-up, dan properti sebagai penunjang karakter.

Contoh: analisis segi historis karakter Raja Lear dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo.

Raja Lear adalah seorang raja di kerajaan Britania (Inggris) dan mempunyai tiga orang anak, yaitu Gonerill, Regan, dan Cordelia. Hal ini dijelaskan oleh penulis lakon pada awal lakon, ”Terjadi di Britania” , dan keterangan pada adegan III, ”Perkemahan tentara Britania dekat Dover. Masuk Edmund dan Lear serta Cordelia sebagai tawanan........”. Pada adegan III ini Raja Lear sudah tidak punya kerajaan, karena sudah dibagi-bagi pada anak-anaknya dengan harapan Raja Lear akan diurus oleh anak-anaknya tersebut. Dalalm perjalanan lakon, Raja Lear disia-siakan oleh anak-anaknya dan pergi mengembara keluar dari kerajaan tetapi masih di wilayah kerajaan Britania. Dalam lakon ini penulis lakon sudah memberi rambu-rambu tempat terjadinya peristiwa yaitu di kerajaan Britania. Akan tetapi, banyak penulis lakon tidak memberi rambu-rambu tempat terjadinya peristiwa, maka seorang pemeran bekerjasama dengan sutradara menganalisa dimana terjadinya peristiwa tersebut.
Suasana jaman dimana karakter itu hidup juga sangat mempengaruhi cara kita memainkan karakter tersebut. Analisis bisa dilakukan dengan mencermati dialog-dialog yang disampaikan oleh karakter-karakter dalam lakon.
Dari dialog-dialog dalam kutipan 74 dapat di simpulkan bahwa kerajaan Britania setelah dibagi-bagi oleh Raja Lear mengalami banyak intrik, perebutan kekuasaan, keserakahan yang merajalela, saling curiga, dan peperangan. Kisah Raja Lear ini menceritakan tragedi sebuah keluarga kerajaan yang penuh dengan fitnah, dengki, kekejaman dan kemesuman, tetapi di satu sisi juga menggambarkan keagungan jiwa, kesetiaan, pengabdian, pengorbanan dan kasih sayang yang tulus.


EDMUND : Percayalah, akibat-akibat yang disebutkan itu malang sekali telah terjadi benar-benar; misalnya kejadian tak fitri antara anak dan orang tuannya, persahabatan lama yang putus, sengketa dalam negara, ancaman dan hasutan terhadap para raja dan bangsawan, kecurigaan yang tak beralasan, pembuangan kawan-kawan, tentara kucar-kacir, perkawinan retak dan entah apa lagi.

KENT : ................ antara Cornwall dan Albany ada sengketa, meskipun sampai sekarang tak nampak, tertutup oleh penyamaran dari kedua pihak.......................... Itulah mata-mata yang mengabarkan keadaan negeri kita pada raja Perancis; kenyataan tentang keserakahan dan muslihat para tumenggung, pun kebengisan mereka terhadap raja kita yang tua dan berbudi, atau yang lebih penting lagi; dan untuk itu hal-hal yang tadi hanyalah pembuka. Tapi pastilah akan datang tentara Perancis ke negara yang terpecah ini dengan menggunakan kelalaian kita, tentara itu telah mendarat. Di berbagai pelabuhan penting dan segera mengibarkan panji-panjinya....................

EDGAR : Tuan dengar akan ada pertempuran?


William Shakespeare adalah seorang penulis puisi, soneta, aktor, dan penulis lakon yang lahir di Stratford-upon-Avon, Warwickshire Inggris pada tahun 1564 serta meninggal pada tahun 1616 di kota yang sama. Semasa hidupnya ia mendapat banyak pendidikan, bukan hanya Grammar School tetapi soal teater dan segala hal. Ia menulis 38 lakon (kebanyakan mengenai sejarah Inggris) 154 soneta, dan beberapa puisi. Ia hidup pada jaman pemerintahan ratu Elizabeth yang sangat gemar dengan teater. Tahun 1592 kerajaan Inggris terserang wabah yang sangat hebat, maka banyak teater-teater di Inggris yang ditutup. Lakon Raja Lear banyak terinspirasi oleh dongeng, sajak, balada tentang berdirinya kerajaan Britania. Selain itu Shakespeare juga menggambarkan bencana wabah yang menyerang kerajaan Inggris itu sebagai kiamat, dan lakon Raja Lear ini juga digambarkan sebagai kiamat kecil.


5.1.2 Segi Sosiologis
Manusia adalah makluk sosial yang hidupnya dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat yang ada. Struktur sosial adalah perumusan dan susunan hubungan antar individu. Struktur sosial dari suatu masyarakat dapat dipelajari dari aktivitas-aktivitas individunya. Jadi kalau ingin mengetahui Analisis karakter dari segi sosiologis adalah analisis karakter untuk mencari gambaran sifat-sifat kemanusiaan secara sosial. Dalam analisis ini kita akan mencari gambaran status ekonominya bagaimana, kepercayaan apa, profesinya apa atau sebagai apa, hubungan kekeluargaanya bagaimana, bangsa apa, pendidikannya apa, dan lain-lain yang mendudukan karakter itu dalam lingkungan atau kemasyarakatannya. Analisis ini penting karena karakter yang akan dimainkan itu memiliki dunianya sendiri dan hidup sesuai dengan dunia tersebut. Tugas seorang pemeran adalah menghidupkan karakter sesuai dengan dunia karakter tersebut.
Contoh: analisis segi sosiologis karakter Raja Lear dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo.

LEAR : Sementara itu baiklah kubuka rahasia rencana. Kemarikan peta itu – Kerajaan kami bagi jadi tiga, dan menurut rencana kami alihkan........................ Anak-anakku kini kami lepaskan kuasa, pemerintahan dan penghasilan tanah..............

CORDELIA : Ayah termulia, dari ayahlah hamba mereguk hidup, pendidikan dan cinta...................

KENT : Baginda Lear, yang selalu saya hormati sebagai raja, hamba sayangi bagai ayah, hamba turuti sebagai yang dipertuan……….

RAJA LEAR : Wah, demi Apollo………


KENT : Demi Apollo, tuan raja, sia-sialah tuan sebut para dewa…

LEAR : .............Jika pada hari kesepuluh tubuhmu terbuang itu terjumpai di neg’ri kami, saat itu matilah kau. Nyah! Demi Yupiter, ini tak bakal ditarik kembali.

LEAR : Aku tak bisa dituntut tentang pembikinan mata uang; akulah sang raja.


Dari dialog-dialog ini dapat dianalisis ciri-ciri sosial Raja Lear. Raja Lear adalah seorang raja yang membagi kerajaan dan pemerintahannya, seorang ayah dari tiga anak, dia percaya pada dewa-dewa (agama pada waktu itu percaya pada dewa-dewa), bangsa Britania.

5.1.3 Segi Psikologis
Analisis karakter dari segi psikologis adalah analisis untuk mencari gambaran tentang kebiasaan, moralitas, keinginan, nafsu, motivasi dan lain-lain. Analisis ini lebih mencari gambaran peran yang bersifat emosional batiniah dan tingkat intelektualitas peran. Analisis dapat dilakukan dengan menginterpretasi dialog-dialog peran. dan dialog karakter yang lain.

Contoh: analisis segi Psikologis karakter Raja Lear dalam lakon King Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo.

LEAR : ..................Siapa diantaramu paling cinta pada kami, supaya anugerah terbesar kami sampaikan........

LEAR : .........Kendalikan lidahmu sedikit; nanti kuhambat untungmu.

KENT : .......... tapi ada sifat tuan yang saya inginkan sebagai majikan saya

LEAR : yaitu?

KENT : Kewibawaan

GONERILL : Juga pada saatnya yang paling baik dan sehat ia suka naik darah; mudah dimengerti, dalam usia lanjut ini tak hanya ada cacat-cacat yang lama berakar, tapi ia juga keras kepala. Kekerasan dan kemarahan.

BADUT : Betul, tuan cukup pandai untuk jadi badut.

LEAR : Merampas dengan kekerasan! – keji! Tak tahu diri.

REGAN : O dewa suci! Begitu juga tuan kutuk saya nanti dalam amarah.

GONERILL : ......... Dosa bukan yang disebut dosa oleh si dungu atau kakek yang pikun.

LEAR : .................pada kamu berdua yang tidak insaniah ini akan kebalas dendam, hingga seluruh jagat – ya, pastilah dendamku berlaku.

LEAR : ...........Bukan hujan, badai, guntur atau petirlah anak-anakku; unsur alam, dendamku tidak untukmu; kau tak pernah kuberi kerajaan dan kusebut anak.........

CORDELIA : Duhai, begitulah dia; orang melihatnya tadi galak bagai laut ganas dan menyanyi lantang.............

LEAR : Terkutuk kamu semua, pembunuh, pengkhianat!.........


Dari dialog-dialog ini dapat dianalisis ciri-ciri psikis (kejiwaan) Raja Lear adalah orang yang suka dipuji, tidak suka dibantah, berwibawa, pemarah, keras kepala, pandai, suka mengutuk, sudah pikun, pendendam, galak.

5.1.4 Segi Fisiologis
Analisis karakter dari segi fisiologis adalah analisis untuk mencari gambaran tentang ciri-ciri fisik peran, termasuk jenis kelamin, usia, postur tubuh, warna kulir, warna rambut, bentuk mata dan lain-lain. Analisis ini mencari gambaran sosok raga tokoh secara utuh. Langkah menganalisis secara fisik adalah.
a. Baca keterangan dari penulis lakon, sebab kadang-kadang penulis lakon sudah memberikan gambaran tentang fisik karakter yang ditulisnya tetapi bisa juga tidak dituliskan.
b. Baca keterangan permainan (stage direction), kadang keterang fisik karakter dituliskan pada keterangan permainan oleh penulis lakon.
c. Cermati dialog-dialog karakter tersebut.
d. Analisis dari dialog-dialog karakter yang lain, kadang ciri-ciri fisik karakter terdapat pada dialog karakter yang lain.
e. analsis laku dari karakter tersebut.
f. Kalau dari semua yang tersebut di atas tidak ada, berarti harus diinterpretasi dari keseluruhan naskah tersebut.

Contoh: analisis segi Fisiologis karakter Raja Lear dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo.

LEAR : ............................. Kerajaan kami bagi jadi tiga, dan menurut rencana kami alihkan seg’ra segala tanggungan dari pundak tua ini kepada tenaga muda, agar bebas dari beban untuk merayap ke kubur.................

LEAR : ....................... Jahanam, aku malu. Bahwa jiwa jantanku tergonjang olehmu, hingga air mata panas yang mau tak mau keluar seolah sepadan denganmu!....................

LEAR : .................... Kau tak malu melihat janggut ini?................

LEAR : .....................Menyambar pohon, hanguskan rambutku putih!...........

LEAR : .......”Anak yang kusayang, kuakui aku sudah tua; umur tua tak berguna;...............

GLOUCESTER : Raja telah gila ................

CORDELIA : O dewa rahmani, pulihkan yang rusak redam di dalam otaknya yang teraniaya!.........................

LEAR : Kuharap jangan berolok-olok. Aku kakek edan yang lusuh; dan umurku delapan puluh lebih, tak kurang satu jampun. Terus terang saja: pikiranku tiada mestinya........................

CORDELIA : .................. yang berkat maksud baik diganjar nasib buruk; beban baginda menindih hatiku................

LEAR : Mataku pudar - ...................


Dari dialog-dialog di atas dapat di analisis ciri-ciri fisik Raja Lear adalah seorang laki-laki, sudah tua (berumur kurang lebih 80 tahun), berjanggut, rambut putih, sakit jiwa (setelah keluar dari kerajaan), kurus, mata sudah pudar.

5.1.5 Segi Moral
Analisis karakter dari segi moral adalah analisis untuk mencari gambaran pandangan moralitas tokoh. Walaupun segi moral sudah dituliskan oleh penulis lakon dalam naskahnya, sering tidak menjadi bagian objek analisis. Analisis ini perlu dilakukan oleh seorang pemeran dengan tujuan untuk mencari matif-motif atau alasan-alasan tokoh yang akan dimainkan ketika dia membuat sebuah keputusan-keputusan yang bersifat moralitas.
Analisis ini berfungsi untuk mempersiapkan batin dan untuk mengetahui motif peran. Kalau tahu motif dan alasannya maka akan dapat memainkan secara logis. Misalnya, analisis segi moral pada peran Raja Lear dalam lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo. Kenapa Raja Lear ingin membagi kerajaannya kepada anak-anaknya? Kenapa raja Lear marah dan murka pada Cordelia? Kemudian marah pada Gonerill dan Regan sampai mengeluarkan sumpah dan mengutuk anaknya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membimbing akting pemain pada alasan-alasan yang jelas.
Seorang penulis biasanya menuliskan moralitas lakon tersebut, pada dialog tokoh. Misalnya, lakon Raja Lear karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo.

EDGAR : Orang tunduk pada beban jaman serba berat; lidah tunduk pada rasa, bukan pada adat. Yang tertua paling berat bebannya; kita yang muda tak akan berpengalaman sebanyak mereka.







5.2 Observasi
Seorang pemeran seharusnya menjadi seorang observator atau pengamat yang baik. Observasi berarti menangkap atau merekam hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Tentang masyarakat, tempat, objek dan segala situasi yang menambah kedalaman tingkat kepekaan seorang pemeran. Ketika mengamati objek orang, pemeran seharusnya membuat catatan-catatan baik secara tertulis maupun dalam ingatan. Hal ini bisa menjadi dasar karakter yang akan ditemukannya dimasa datang. Proses ini dapat membantu untuk menciptakan sebuah karakter yang lengkap dalam sebuah struktur permainan.
Kekuatan pengamatan (observasi) adalah gabungan antara empati dan perhatian intelektual. Artinya seorang pemeran harus mengembangkan sesitifitas pada indera: melihat, menyentuh, mencium, mendengar, dan merasakan. Mengenal dan mengingat suatu perasan dalam aktifitas keseharian adalah sangat penting. Untuk mengamati secara benar seseorang harus dapat merasakan dan mengkategorikan inderanya. Jadi, indera (senses), perasaan (feelings), dan pengamatan (observation) bergabung menjadi suatu mata rantai sebagai alat pembentuk sebuah karakter. Seorang pemeran harus menggunakan kekuatan observasi untuk tujuan-tujuan sebagai berikut.
a. Untuk mempelajari karakter manusia. Hal ini berhubungan dengan karakter yang akan dimainkan. Dalam berjalan, gesture, berbicara dan duduk yang nantinya dapat ditiru saat berada di atas panggung.
b. Untuk mempelajari suasana, bagaimana suasana yang digambarkan oleh penulis lakon dapat diwujudkan oleh pemeran lewat tingkah laku, ucapan, maupun hubungan secara keseluruhan.
c. Untuk menggabungkan beberapa kualitas yang dapat dipelajari saat mengamati.
d. Untuk memperkaya perbendaharaan gambar yang bersifat fisik atau realitas.
e. Untuk mencari detail-detail objek secara spesifik dan diaplikasikan pada peran.

Contoh:
Seandainya pemeran memainkan lakon Kereta Kencana Karya Eugene Ionesco terjemahan WS. Rendra. Langkah pertama adalah menganalisis lakon tersebut, kemudian menganalisis karakter yang akan dimainkan. Langkah selanjutnya adalah mengobservasi pera-peran yang ada dalam lakon tersebut, yaitu pada tokoh kakek dan nenek berdasarkan analisis karakter. Kakek adalah seorang orang yang sangat renta, punya penyakit pada saluran pernafasan, sudah pasrah pada kematian, seperti anak kecil, mantan profesor yang dilupakan tapi juga seorang grilyawan. Observasi difokuskan pada orang-orang yang mempunyai ciri-ciri tersebut. Tempat observasi bisa dimana saja, baik di jalanan, di rumahnya sendiri, di rumah jompo dan lain-lain. Hasil dari observasi akan dicoba pada tempat latihan. Latihan dilakukan secara berulang-ulang sampai menemukan gambaran yang pas baik dari sisi fisik maupun dari sisi psikisnya.

5.3 Interpretasi
Interpretasi pada karakter adalah usaha seorang pemeran untuk menilai karakter peran yang akan dimainkan. Hasil penilaian ini didapat sesuai tingkat kemampuan, pengalaman dan hasil analisis karakter pada lakon. Fungsi interpretasi adalah untuk menjadikan karakter peran menjadi bagian dari diri pemeran. Jadi, pemeran bisa memahami sebuah peranan dan bersimpati dengan tokoh yang hendak digambarkan. Kemudian pemeran berusaha menempatkan dirinya dalam diri karakter tokoh peran. Akhirnya laku pemeran menjadi laku karakter peran.
Setelah menganalisis karakter dan mendapatkan informasi lengkap, maka pemeran perlu melakukan tafsir atau interpretasi. Interpretasi ini berdasarkan data hasil analisa karakter, observasi, dan pangalaman pemeran untuk memberi sentuhan dan atau penyesuaian terhadap peran yang akan dimainkan. Proses ini bisa disebut sebagai proses asimilasi (perpaduan) antara gambaran peran yang diciptakan oleh pemeran dan gambaran peran yang diinginkan oleh penulis lakon. Seorang pemeran sebetulnya boleh tidak melakukan interpretasi terhadap karakter, artinya, ia hanya sekedar melakukan apa yang dikehendaki oleh karakter apa adanya sesuai dengan hasil analisis. Akan tetapi, sangat mungkin seorang pemeran memiliki gagasan tertentu yang akan ditampilkan dalam pementasan setelah menganalisa sebuah karakter.
Hasil dari interpretasi terhadap karakter ini juga harus dipadukan dengan interpretasi sutradara, karena sutradara adalah perangkai atau yang merajut semua unsur pementasan. Proses interpretasi biasanya menyangkut unsur gambaran fisik dan kejiwaan.
• Gambaran Fisik. Interpretasi terhadap gambaran fisik sangat perlu, karena merupakan sesuatu yang pertama dilihat oleh penonton. Fisik peran sangat dipengaruhi oleh sosio budaya dan letak geografis. Penulis lakon ketika menciptakan karakter terkadang mendapatkan bahan dari sekelilingnya. Penulis lakon terkadang memberi gambaran fisik peran secara samar dan tidak mendetail. Tugas seorang pemeran adalah mengadaptasi fisik peran tersebut menjadi menjadi fisik pemeran sehingga bisa dimainkan. Misalnya, hasil analisis karakter raja Lear adalah seorang raja Britania yang sudah tua (berusia 80 tahun), berjenggot putih dan berambut putih, kurus, dan mata sudah pudar. Kalau hendak memainkan karakter tersebut berarti ada proses interpretasi, yaitu sosok fisik orang Inggris menjadi sosok orang Indonesia, tingkat kekurusan tubuh, warna kulit, tingkat warna putih pada rambut dan jenggotnya, meskipun ini bisa dibantu dengan make-up. Tetapi struktur tulang dan keseluruhan bentuk fisik ini yang agak susah, maka bisa dibuat raja Lear versi Indonesia.
• Kejiwaan. Kejiwaan seseorang sangat dipengaruhi oleh strata sosial, tingkat pendidikan, budaya, pengalaman hidup, dan pengendalian emosi. Kejiwaan ini menpengaruhi semua aspek tingkah laku bahkan cara berkomunikasi. Interpretasi kejiwaan peran dilakukan karena berhubungan dengan manusia yang hidup dan memiliki jiwa. Tugas seorang pemeran adalah menjadikan jiwa peran menjadi jiwanya sendiri. Proses ini perlu adanya penyesuaian-penyesuaian atau bila perlu jiwa peran tersebut diinterpretasikan secara lain karena proses adaptasi. Misalnya, kejiwaan Raja Lear diinterpretasikan bukan sebagai orang yang pemarah atau tingkat kemarahan itu, tetapi disesuaikan dengan kemarahan orang yang berpengaruh pada budaya asal pemeran. Hal ini bisa dan diperbolehkan asal sesuai dengan konsep garap yang dibuat oleh sutradara dalam keseluruhan pementasan.

5.4 Ingatan Emosi
Emosi secara umum memiliki arti proses fisik dan psikis yang kompleks yang bisa muncul secara tiba-tiba dan spontan atau diluar kesadaran. Kemunculan emosi ini akan menimbulkan respon pada kejiwaan, baik respon positif maupun respon negatif. Emosi mempengaruhi ekspresi. Emosi sering dikaitkan dengan perasaan, persepsi atau kepercayaan terhadap objek-objek baik itu kenyataan maupun hasil imajinasi.
Ingatan emosi adalah salah satu perangkat pemeran untuk bisa mengungkapkan atau melakukan hal-hal yang berada diluar dirinya (Suyatna Anirun, 1989). Sumber dari ingatan emosi adalah kajian pada ingatan diri sendiri, dan kajian sumber motivasi atau lingkungan motivasi yang bisa diamati. Ingatan emosi berfungsi untuk mengisi emosi peran yang dimainkan. Seorang pemeran harus mengingat-ingat segala emosi yang terekam dalam sejarah hidupnya, baik itu merupakan pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain yang direkam. Dengan ingatan emosi akan mudah memanggil kembali jika perlukan ketika sedang memainkan peran tertentu.
Menurut Konstantin Stanislavsky ingatan emosi adalah ingatan yang membuat pemeran menghayati kembali perasaan yang pernah dirasakan ketika melihat suatu objek yang sama ketika menimbulkan perasaan tersebut. Ingatan ini hampir sama dengan ingatan visual yang dapat menggambarkan kembali secara batiniah sesuatu yang sudah dilupakan, baik tempat maupun orang. Ingatan emosi dapat mengembalikan perasaan yang pernah dirasakan. Mula-mula rasa itu mungkin tidak bisa diingat, tapi tiba-tiba sebuah kesan, sebuah pikiran, sebuah benda yang dikenal mengembalikannya dengan kekuatan penuh. Kadang-kadang emosi itu sama kuatnya dengan dulu, kadang-kadang agak kurang, kadang-kadang perasaan yang sama dalamnya kembali tetapi dalam bentuk yang agak berbeda (Stanislavsky; 1980).
Ingatan emosi dipengaruhi oleh waktu, karena waktu adalah penyaring yang bagus untuk perasaan dan kenangan. Waktu juga mengubah ingatan-ingatan yang realistik menjadi kesan. Misalnya, kita melihat kejadian yang sangat luar biasa, maka kita akan menyimpan ingatan kejadian tersebut tetapi hanya ciri-ciri yang menonjol dan yang meninggalkan kesan, bukan detail-detailnya. Dari kesan tersebut akan dibentuk suatu ingatan tentang sensasi yang mendalam. Sensasi-sensasi yang disimpan tersebut akan saling mengait dan saling mempengaruhi dan dijadikan sintesis ingatan. Sintesis ingatan inilah yang bisa dipanggil kembali untuk keperluan pemeranan, karena bersifat subtansial dan lebih jelas dari kejadian yang sebenarnya.
Memainkan sebuah peran sebenarnya memainkan diri sendiri. Pemeran bekerja dengan tubuh dan jiwanya. Kalau pemeran sudah kehilangan dirinya maka tidak akan dapat menghayati peran yang dimainkan. Permainan yang tidak dilandasi oleh jiwa pemeran akan memunculkan permainan yang palsu dan berlebih-lebihan. Stanislavsky memberi sebuah rambu-rambu ”bagaimanapun kau bermain, betapa banyak peranan yang kau mainkan, jangan sekalil-kali kau biarkan dirimu mengecualikan penggunaan perasaanmu sendiri. Melanggar peraturan ini sama saja artinya membunuh tokoh yang kau gambarkan, karena dengan berbuat demikian kau merenggutkan daripadanya jiwa yang berdebar, yang hidup, yang manusiawi, padahal ini merupakan sumber penghayatan dan penghidupan sebuah peran yang sejati”. Jadi, ada anggapan yang salah selama ini bahwa untuk memerankan sebuah peran, pemeran harus menghilangkan diri dan jiwanya untuk diganti dengan diri dan jiwa peran.
Ingatan emosi dalam jiwa pemeran dapat dianalogikan dengan sebuah almari atau loker tempat penyimpanan. Makin banyak atau makin tajam ingatan emosi yang dimiliki maka semakin banyak bahan yang dapat digunakan untuk berkreativitas. Jika ingatan emosi lemah atau sedikit maka perasaan-perasaan yang dihasilkan tidak akan nyata dan tidak berkarakter. Jika ingatan emosi tajam dan mudah untuk diungkapkan, maka tidak akan kesulitan memindah-mindahkan ke panggung dan memainkannya. Kalau simpanan ingatan emosi penuh, maka untuk memainkan sebuah peran tidak membutuhkan teknik yang macam-macam karena alam bawah sadar akan mewujudkannya. Emosi adalah segala aktivitas yang mengekspresikan kondisi di sini dan sekarang dari organisme manusia dan ditujukan ke arah duniannya di luar. Emosi timbul secara otomatis dan terikat dengan aksi yang dihasilkan dari konfrontasi manusia dengan dunianya. Pemeran tidak menciptakan emosi karena emosi akan muncul dengan sendirinya lantaran keterlibatannya dalam memainkan peran sesuai dengan naskah. Latihan Ingatan emosi ini akan difokuskan pada latihan terhadap rasa takut, marah, bahagia, sedih, malu, dan keinginan-keinginan serta latihan achtungspiele (menceritakan nukilan-nukilan peristiwa atau kegiatan yang telah lampau).

5.4.1 Latihan-Latihan Ingatan Emosi
a. Latihan Dengan Rasa
• Duduk atau berdiri dengan santai, kemudian ingat emosi kesedihan yang mendalam yang pernah dialami. Latihan ini tidak menggambarkan kesedihan, tetapi mengingat-ingat kesedihan yang pernah dialami.
• Lakukan latihan ini dengan beragam emosi yang ada, misalnya marah, gembira, malu, takut, bahagian dan lain-lain.

b. Latihan Dengan Achtungspiele
• Peserta duduk melingkar kemudian salah seorang duduk di tengah untuk mempresentasikan atau menceritakan kejadian yang dialami satu hari sebelumnya. Ceritakan semua kegiatan sampai detil. Semakin detil cerita tersebut semakin baik.
• Lakukan latihan ini secara bergantian kemudian tingkatkan waktu yangharus diingat, misalnya dua hari sebelumnya, tiga hari sebelum. Semakin detail dan runtut cerita tersebut semakin baik. Latihan lebih baik kalau ditambah dengan ekspresi dan penghayatan yang dirasakan.

c. Latihan Dengan Game
• Sesuatu Yang Anda Tidak Disukai
Dalam posisi duduk yang nyaman, bayangkan sesuatu yang tidak disukai. Mungkin sesuatu itu ada di atas kepala, di atas pundak, punggung atau dia menekan ke bawah. Dapatkan bayangan yang jelas terhadap sesuatu (yang tidak disukai tersebut). Di mana sesuatu itu dirasakan? Adakan kontak dengannya, cobalah untuk melenyapkan. Biarkan gerakan yang terjadi.

Catatan. Bayangan semacam ini biasanya akan merangsang munculnya ingatan terhadap sebuah pengalaman yang bisa membangkitkan emosi pribadi yang kuat kepada seorang pemeran. Walaupun reaksi emosi pribadi bukan tujuan utama seorang pemeran, tetapi hal ini akan membantu anda untuk menemukan kesadaran batin yang mendalam berkaitan dengan perasaan.



• Lintasan Emosi
Buat dua kelompok dan masing-masing kelompok saling berseberangan. Pembimbing menentukan emosi, misalnya sedih maka kelompok A mengungkapkan emosi sedih dan melintas menuju tempat kelompok B, sedangkan kelompok B melintas menuju tempat kelompok A dengan emosi sebaliknya. Lakukan latihan dengan emosi-emosi yang lain.
Lakukan latihan ini dengan penghayatan dan ekspresif serta jangan terburu-buru.

• Tergesa-Gesa Dan Berhenti
Duduk atau berdiri, bayangkan anda merasakan perasaan tergesa-gesa untuk menyelamatkan diri. Ekspresikan perasaan tersebut dan jangan ditahan. Ekspresikan perasaan ketakutan tersebut dan keinginan untuk menyelamatkan diri tersebut. Biarkan tangan dan kaki bergerak, kadang tergesa-gesa kemudian berhenti, atau bergerak dengan hati-hati.

5.5 Irama
Irama dapat dirumuskan sebagai perubahan-perubahan yang teratur dan dapat diukur dari segala macam unsur yang terkandung dalam sebuah hasil seni, dengan syarat bahwa semua perubahan secara berturut-turut merangsang perhatian penonton dan menuju ke tujuan akhir si seniman (Harymawan, 1993). Irama yang di maksud disini adalah irama permainan dalam teater. Pemeran dalam sebuah pertunjukan harus menciptakan irama tersebut, karena pemeran adalah unsur utama dalam teater. Irama dasar dari permainan pemeranan adalah perkembangan watak dan cerita itu sendiri. Dengan adanya irama maka pertunjukan tersebut tidak menjadi monoton, dan dapat memikat perhatian penonton.
Latihan ini bertujuan untuk memberi variasi peran, variasi adegan dan lain-lain agar tidak membosankan. Latihan irama bagi seorang pemeran dapat dilakukan dengan melatih panjang atau pendek, keras atau lemah, tinggi rendahnya dialog serta variasi gerak sehubungan dengan timing, penonjolan bagian, pemberian isi, progresi dan pemberian variasi pentas.
Pelatihan irama banyak ragamnya, yaitu irama suara, irama gerak tubuh dan irama dari lakon. Irama dalam suara dapat ditempuh dengan latihan pernafasan, latihan intonasi, artikulasi dan emosi pada dialog. Tanpa persedian udara yang cukup dan penggunaannya yang efisien, irama ucapan seorang aktor akan terbatas, susah menahan panjangnya ucapan, dan tidak dapat mengatur nada ekspresi yang dituntut peran yang dimainkan. Ketegangan yang ada pada pita suara dan penggunaan yang tidak efisien ruang pengatur resonansi akan membuang persediaan napas yang ada dengan sia-sia. Ketengangan di area tenggorokan juga akan sangat mempengaruhi pita suara dan menghalangi proses pernafasan.
Latihan irama atau ritme bukan hanya sekedar latihan tempo (cepat atau lambat) atau beat dialog, tetapi juga variasi dari tempo atau beat sehingga memberi penekanan kata. Beat adalah kesatuan terkecil dari arti kalimat dalam dialog. Dalam latihan ini, penekanan kata dilakukan dengan cara membuat kontras ucapan. Variasi penekanan akan memberikan fokus dan penekanan pada kata-kata tertentu, gambaran-gambaran tertentu, atau pada elemen-elemen dialog tertentu sehingga arti yang dimaksud dapat sampai.
Latihan irama dalam gerak tubuh sangat dipengaruhi oleh irama batin seorang pemeran. Semakin emosional seorang pemeran semakin tidak terkontrol gerakan-gerakan tubuhnya. Untuk melatih irama batin seorang pemeran bisa ditempuh dengan yoga atau relaksasi. Kemudian sering mendengarkan irama-irama musik yang berlainan, bisa musik klasik, musik jass dan musik-musik yang lain. Dengan membiasakan didiri mendengarkan irama-irama tersebut, maka batin juga akan berirama dan ini mempengaruhi irama gerakan-gerakan tubuh.
Fungsi latihan ini adalah dapat membimbing calon pemeran untuk membentuk karakter peran. Penulis naskah biasanya memberikan ritme atau irama itu terkandung dalam dialog, sehingga cocok dengan kepribadian dan emosi peran. Emosi biasanya membuat perubahan pada ketegangan otot dan ini mempunyai efek langsung pada cara pemeran bicara. Dengan demikian ritme atau irama berhubungan langsung dengan keadaan emosional dan organ sumber suara pemeran. Ketika seorang pemeran mengerti ritme atau irama dan mengucapkan dialog yang ditulis oleh penulis naskah, maka pemeran dapat merasakan dan mengekspresikan kata-kata tersebut.


5.6 Memerankan Karakter
Ketika seorang pemeran mendapatkan peran yang akan dimainkan, maka tugas pemeran adalah menciptakan dan memainan peran tersebut. Bahan penciptaan peran adalah seluruh diri pemeran dan pendekatan memainkan peran tersebut sesuai dengan pendekatan yang di ajukan oleh Rendra yaitu pendekatan secara imajinatif dan pendekatan secara terperinci. Pendekatan imajinatif adalah pendekatan yang spontan dan otomatis. Seakan-akan dengan sekali membaca, pemeran sudah bisa menangkap peran yang akan dimainkan. Pendekatan ini bisa terjadi kalau perasaan pemeran peka, kecerdasanya tinggi dan intuisinya terhadap peran sangat tajam (Rendra; 1985).
Pendekatan secara terperinci adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengumpulkan keterangan-keterangan mengenai peran, lalu meneliti dan menguraikan keterangan-keterangan kemudian menyimpulkannya. Pendekatan ini adalah pendekatan yang sangat dasar yang dilakukan oleh seorang pemeran. Pendekatan dan cara kerja ini oleh Rendra disebut dengan jembatan keledai. Urutan kerjanya adalah sebagai berikut.

5.6.1 Mengumpulkan Tindakan Pokok Peran
Langkah ini bertujuan untuk mengetahui tindakan apa saja yang dilakukan oleh peran terhadap perkembangan perannya sendiri maupun perkembangan lakon tersebut. Kalau dalam teater daerah tindakan pokok peran ini ditentukan oleh sutradara. Misalnya, peran adipati, tindakan pertama adalah memimpin pertemuan agung, kemudian dia mendapat laporan tentang kerusuhan yang terjadi di wilayah kedipaten tersebut. Tindakan kedua adalah memimpin memberantas kerusuhan tersebut dan mendaptkan rintangan-rintangan. Tindakan ketiga adalah mengatasi rintangan tersebut dengan berbagai cara. Tindakan keempat adalah menerima kenyataan tindakan tersebut baik berupa kekalahanmaupun kemenangan.
Sedangkan pada teater yang berdasarkan pada naskah lakon maka tindakan pokok peran ini dasar analisisnaskah tersebut. Misalnya: peran Raja Lear, tindakan pertama adalah membagi kerajaannya dan mengharapkan pujian dari anak-anaknya. Tindakan kedua adalah menghadapi kenyataan bahwa anak-anaknya tidak sesuai dengan harapannya. Tindakan ketiga adalah bagaimana Raja Lear keluar dari kerajaannya dan hidup menderita. Tindakan keempat adalah bagaimana dia menjadi gila dan ingin balas dendam terhadap putri-putri yang mengusirnya.
Tindakan kelima adalah bagaimana Raja Lear menghadapi kenyataan bahwa akan bertemu dengan putri tercintanya tetapi kemudian mati dipelukannya. Tindakan pokok peran ini akan mengarahkan pemeran tentang bagaimana cara memainkan peran tersebut sesuai dengan perkembangan peran dalam lakon.

5.6.2 Mengumpulkan Sifat dan Watak Peran
Langkah ini bisa ditempuh dengan menganalisis sifat dan watak peran dalam naskah lakon. Setelah mendapatkan semua bahan kemudian dihubungkan dengan tindakan-tindakan pokok yang harus dikerjakan, kemudian ditinjau mana yang memungkinkan ditonjolkan sebagai alasan untuk tindakan-tindakan peran. Misalnya, peran Raja Lear, mempunyai sifat yang suka dipuji, tidak suka dibantah, berwibawa, pemarah, keras kepala, pandai, suka mengutuk, sudah pikun, pendendam, dan galak.
Sifat-sifat ini kemudian dihubungkan dengan tindakan-tindakan pokoknya. Ketika raja Lear membagi kerajaannya berdasarkan dari pujian dari putri-putrinya, dan salah satu putrinya tidak memuji, maka Raja Lear murka dan memutuskan hubungan keluarga. Paduan antara sifat peran dan tindakan pokok inilah yang harus dimainkan oleh pemeran dan seolah-olah itu adalah sifat dan tindakan pemeran.

5.6.3 Mencari Penonjolan Karakter
Mencari bagian-bagian dalam naskah yang memungkinkan untuk ditonjolkan dari peran tersebut. Langkah ini dilakukan untuk memberi gambaran sifat peran yang akan dimainkan. Misalnya, peran Raja Lear adalah gambaran dari orang yang suka dipuji, maka seorang pemeran harus menonjolkan sifat itu ketika ada kesempatan dalam suatu adegan. Penonjolan ini bisa digambarkan dengan pose tubuh, tingkah laku, cara bebicara, dan ekspresi muka.

5.6.4 Mencari Makna Dialog
Mencari makna dari dialog-dialog peran. Dialog-dialog peran terkadang menggunakan bahasa sastra atau kiasan yang mempunyai makna tersirat. Tugas seorang pemeran adalah mencari makna yang tersirat tersebut sehingga dimengerti. Kalau memahami makna kata tersebut, maka dapat mengekspresikan baik lewat bahasa verbal maupun bahasa tubuh.

Misalnya, dialog Raja Lear di bawah ini.

Begitu? Nah, kejujuranmu hendaknya
Jadi maskawinmu ! Demi sinar suci surya’
Demi hikmah Hecate yang gelap, demi
Khasiat falak yang memangku hidup dan mati
Sekarang kulempar tiap kewajiban orang tua,
Tiap pertalian keluarga dan darah; mulai kini
Sampai selamanya kaulah asing bagiku dan bagi
Hatiku. Orang Scyth yang biadab,
Orang yang melulur anaknya sendiri
Agar puas laparnya, dia sama dekatnya
Ke hatiku untuk belas dan bantuanku, dengan kau, bekas anakku.

(dikutip dari Raja Lear karya William Shakespeare, terjemahan Trisno Sumardjo)

Kutipan dialog di atas menunjukkan karakter Raja Lear yang keras, penuh nafsu, mudah naik darah, dan tidak bijaksana. Anak yang disayanginya menjadi tidak diakui lagi bahkan sangat asing baginya. Sampai Raja Lear mengibaratkan bagai orang Scyth yang tega memakan anaknya sendiri sebagai pemuas rasa laparnya.





5.6.5 Menciptakan Gerak Ekspresi
Menciptakan gerakan-gerakan dan ekspresi peran. Langkah ini bisa dilakukan ketika pemeran benar-benar merasakan gejolak batin atau emosi ketika mengucapkan dialog. Kalau pemeran tidak merasakan itu, maka gerak dan ekspresi yang timbul bersifat klise atau dibuat-buat.

Misalnya, dialog Raja Lear di bawah ini.

Begitu? Nah, kejujuranmu hendaknya
Jadi maskawinmu ! Demi sinar suci surya’
Demi hikmah Hecate yang gelap, demi
Khasiat falak yang memangku hidup dan mati
Sekarang kulempar tiap kewajiban orang tua,
Tiap pertalian keluarga dan darah; mulai kini
Sampai selamanya kaulah asing bagiku dan bagi
Hatiku. Orang Scyth yang biadab,
Orang yang melulur anaknya sendiri
Agar puas laparnya, dia sama dekatnya
Ke hatiku untuk belas dan bantuanku, dengan kau, bekas anakku.

(dikutip dari Raja Lear karya William Shakespeare, terjemahan Trisno Sumardjo)

Ketika mengucapkan, “Begitu? Nah, kejujuranmu hendaknya jadi mas kawinmu” posisi masih duduk, tetapi ditambah menoleh kearah Cordelia. Kemudian mulai berdiri dan menghadap ke depan agak menengadahkan kepala ketika mengucapkan, “Demi sinar suci surya” dan seterusnya. Terus melihat Cordelia ketika mengucapkan, “mulai kini sampai selamanya kaulah asing bagiku dan hatiku”. Gerak-gerakan dan ekspresi yang diciptakan harus mendukung dialog-dialog yang diucapkan. Kalau gerak dan ekspresi itu tidak mendukung maka dialog yang diucapkan dan gerakan yang diciptakan tidak akan berkualitas. Jadi gerakan dan ekspresi yang diciptakan harus mendukung apa yang diucapkan, begitu juga sebaliknya ucapan yang dilontarkan harus mendukung gerak dan ekspresi.

5.6.6 Menemukan Timing
Menemukan timing yang tepat, baik timing gerakan maupun timing dialog. Langkah selanjutnya adalah mulai menganalisis dialog peran dengan cara membagi dialog tersebut menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan beat. Beat adalah satuan terkecil dari dialog yang mengandung satu permasalahan. Fungsi dari langkah ini adalah untuk mengetahui makna yang sebenarnya dari dialog tersebut. Kalau sudah diketahui, maka bisa diucapkan dengan timing yang tepat serta dipertegas dengan gerakan.

Misalnya, dialog antara Regan dan Oswald pada lakon Raja Lear karya William Shakespeare.

REGAN : Tentara Iparku sudah di medan?
OSWALD : Sudah, Nyonya.
REGAN : Dia sendiri memimpin?
OSWALD : Ya, Terpaksa, tapi Kakak nyonya lebih berjiwa prajurit.

REGAN : Edmun tak berjumpa tuanmu di rumahnya?
OSWALD : Memang tidak.
(dikutip dari Raja Lear karya William Shakespeare, terjemahan Trisno Sumardjo)


Dialog nomer 1 sampai dengan nomer 4 adalah satu beat karena mengandung satu permasalahan pembicaraan, sedang dialog di bawahnya sudah beda permasalahan. Kalau pemeran mengetahui beat ini maka dia bisa merancang kapan dialog tersebut diberi tekanan untuk mempertegas makna dan kapan bergerak. Jadi ucapan-ucapan yang disampaikan mengandung makna dan gerakan-gerakan dan ekspresi yang diciptakan bisa mendukung makna dari ucapan.

5.6.7 Mempertimbangkan Teknik Pengucapan
Langkah ini dilakukan untuk memberikan tekanan dan penonjolan watak peran. Setelah dialog dalam beat dibagi-bagi, maka tinggal mempertimbangkan bagaimana cara mengucapkan dialog tersebut. Apakah mau diberi tekanan pada salah satu kata, diucapkan dengan dibarengi gerak, diucapkan dulu baru bergerak, atau bergerak dulu baru diucapkan. Harus diingat bahwa pemberian tekanan pada dialog atau gerak-gerak yang diciptakan harus mempunyai tujuan yaitu penggambaran watak peran yang dimainkan.

5.6.8 Merancang Garis Permainan
Permainan teater dibangun berdasarkan hukum sebab akibat atau aksi dan reaksi. Aksi dan reaksi pemeran iakan menggerakkan plot. Dengan demikian lakon akan berjalan sesuai dengan rancangan yang dibuat oleh penulis lakon dan sutradara. Pemeran juga berkewajiban membuat rancangan garis permainan di atas pentas sehingga setiap peran mengalami perkembangan menuju titik klimaks. Garis permainan hampir sama dengan tangga dramatik lakon. Tindakan-tindakan peran yang kuat dihubungkan dengan gambaran watak peran yang kuat pula. Misalnya, rancangan garis permainan dari peran Raja Lear pada lakon Raja Lear Karya William Shakespeare.
Pada awalnya Raja Lear sangat bijaksana dan tindakannya penuh dengan perhitungan, kemudian mulai ada kenaikan emosi dan tindakan yang menguat karena ada penentangan. Tingkat emosi dan tindakan Raja Lear kembali datar tetapi dengan bergulirnya lakon garis permainan mulai mengalami kenaikan dan terus naik sampai klimak pada saat mengetahui bahwa anak yang paling disayang mati. Setelah sampai pada klimaks maka tingkat emosional dan tindakan-tindakan Raja Lear semakin menurun sampai akhirnya mengalami kematian.

5.6.9 Mengkompromikan Rancangan Peran
Rancangan peran yang telah ditentukan oleh pemeran selanjutnya dikompromikan dengan sutradara. Tugas utama seorang pemeran adalah merancangkan dan menciptakan peran yang akan dimainkan. Perancangan peran yang diciptakan dari hasil analisis peran, observasi, dan interpretasi harus dikompromikan dengan sutradara. Sedetail apapun rancangan peran yang diciptakan tetapi tetap harus kompromi dengan imajinasi dan rancangan sutradara sebagai perangkai dari keseluruhan artistik di atas pentas. Misalnya, merancang peran Raja Lear, secara fisik sesuai dengan penggambaran peran dalam naskah lakon, secara psikologis sesuai dengan analisis, cara bergerak dan bicara sesuai dengan imajinasi. Rancangan ini kemudian dipadukan dengan rancangan peran Raja Lear yang dibuat oleh sutradara. Hasil dari perpaduan ini memunculkan peran Raja Lear tetapi suaranya kurang berat dari rancangan, atau gerakannya kurang perkasa meskipun sudah tua dan lain-lain. Hasil perpaduan dengan sutradara inilah yang akan dimainkan.

5.6.10 Menciptakan Bisnis Akting dan Blocking
Bisnis akting adalah gerakan-gerakan kecil yang diciptakan untuk mendukung gambaran peran yang dimainkan. Bisnis akting ada yang dipengaruhi emosi bawah sadar, tetapi ada juga yang diciptakan dengan kesadaran. Gerakan bawah sadar dipengaruhi oleh keadaan emosi jiwa pemeran. Terkadang sangat merugikan tetapi bisa juga sangat menguntungkan kalau gerakkan tersebut sesuai dengan emosi peran. Misalnya, gerakan memasukan tangan dalam saku, bersedekap, menaruh kedua tangan di belakang tubuh. Bisnis akting harus disadari dan diciptakan oleh pemeran agar gerakan ini bisa menjadi suatu ciri khas dari peran tersebut. Misalnya, peran yang dimainkan mempunyai kelainan pada mata, maka gerakan-gerakan yang mendukung pada kelainan mata tersebut harus diciptakan.
Blocking adalah pengaturan posisi pemeran di atas panggung. Dalam membuat blocking seorang pemeran harus sadar terhadap ruang karena posenya akan dinikmati oleh penonton. Pemeran juga harus mengetahui harga area panggung yang biasa dalam sembilan area atau dua belas area permainan. Dalam pembuatan blocking ini seorang pemeran harus berkoordinasi dengan sutradara, karena dia juga berhak dan mempunyai tujuan tertentu atas penempatan posisi pemeran dalam pementasan.

5.6.11 Menghidupkan Peran Dengan Imajinasi
Setelah tahapan kerja dalam memerankan karakter di atas, maka tinggal memainkan karakter tersebut dalam sebuah latihan bersama. Dalam memainkan karakter ini akan terasa kering dan tidak hidup ketika tidak melibatkan imajinasi. Proses imajinasi bisa dilakukan dengan jalan memusatkan pikiran dan perasaan kepada pikiran dan perasaan peran yang dimainkan.
Setiap detail dari karakter peran yang akan dimainkan, diciptakan melalui imajinasi. Gambaran tokoh mulai dari penampilan fisik harus diciptakan dengan jelas. Semua gambaran imajinasi tentang tokoh benar-benar dibangun dan senantiasa dimasukkan dalam pikiran, sehingga seolah-olah tokoh tersebut dikenal dengan baik. Semakin sering imajinasi ini dibangun dengan konsisten maka semakin yakin bahwa pemeran adalah tokoh tersebut. Keyakinan ini akan membawa pengaruh besar dalam penampilan di atas panggung.
Setelah gambaran fisik tokoh lekat dalam pikiran maka kemudian gambaran kejiwaan tokoh tersebut harus diciptakan. Setiap detil watak atau sikap yang mungkin akan diambil oleh tokoh dalam satu persoalan benar-benar diangankan. Perubahan perasaan dan mental tokoh dalam setiap persoalan yang dihadapi harus benar-benar dirasakan. Dengan merasakan dan memikirkan jiwa peran, maka perasaan dan pikiran peran tersebut menjadi satu dengan jiwa dan muncullah sebuah permainan yang menyakinkan. Apabila penonton bisa dinyakinkan dengan permainan, maka komunikasi yang terjadi antara penonton dan tontonan menjadi lancar.

5.6.12 Mengasah Faktor Ilham dan Imajinatif
Langkah kerja dalam memerankan karakter yang telah disebutkan di atas adalah langkah kerja secara teknis dan permainan yang teknis adalah permainan yang tidak hidup. Untuk menghidupkan peran yang dimainkan dibutuhkan faktor ilham dan imajinasi. Kedua faktor ini berhubungan dengan bakat. Apabila kurang berbakat maka pemeran hanya sampai pada jembatan keledai tersebut. Faktor bakat ini hanya bisa di atasi dengan kerja keras. Dengan kerja keras dan latihan berulang-ulang akan memunculkan suatu insting. Insting inilah yang dibutuhkan untuk menggantikan bakat.
BAB V
TATA ARTISTIK


1. TATA RIAS
Tata rias secara umum dapat diartikan sebagai seni mengubah penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Tata rias dalam teater mempunyai arti lebih spesifik, yaitu seni mengubah wajah untuk menggambarkan karakter tokoh.
Tata Rias dalam teater bermula dari pemakaian kedok atau topeng untuk menggambarkan karakter tokoh. Contohnya, teater Yunani yang memakai topeng lebih besar dari wajah pemain dengan garis tegas agar ekspresinya dapat dilihat oleh penonton. Beberapa teater primitif menggunakan bedak tebal yang biasa dibuat dari bahan-bahan alam, seperti tanah,tulang, tumbuhan, dan lemak binatang. Pemakaian tata rias akhirnya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peristiwa teater.

1.1 Fungsi Tata Rias
Tokoh dalam teater memiliki karakter berbeda-beda. Penampilan tokoh yang berbeda-beda membutuhkan penampilan yang berbeda sesuai karakternya. Tata rias merupakan salah satu cara menampilkan karakter tokoh yang berbeda-beda tersebut. Tata rias dalam teater memiliki fungsi sebagai berikut.
• Menyempurnakan penampilan wajah
• Menggambarkan karakter tokoh
• Memberi efek gerak pada ekspresi pemain
• Menegaskan dan menghasilkan garis-garis wajah sesuai dengan tokoh
• Menambah aspek dramatik.

1.1.1 Menyempurnakan Penampilan Wajah
Wajah seorang pemain memiliki kekurangan yang bisa disempurnakan dengan mengaplikasikan tata rias. Seorang pemain, misalnya, memiliki hidung yang kurang mancung, mata yang tidak ekspresif, bibir yang kurang tegas, dan sebagainya. Tata rias bisa menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga muncul kesan hidung tampak mancung, mata menjadi lebih ekspresif, dan bibir bergaris tegas. Penyempurnaan wajah dilakukan pada pemain yang secara fisik telah sesuai dengan tokoh yang dimainkan. Misalnya, seorang remaja memerankan siswa sekolah. Tata rias tidak perlu mengubah usia, tetapi cukup menyempurnakan dengan mengoreksi kekurangan yang ada untuk disempurnakan. Pemain yang tidak menggunakan rias, wajahnya akan tampak datar, tidak memiliki dimensi.


1.1.2 Menggambarkan Karakter Tokoh
Karakter berarti watak. Tata rias berfungsi melukiskan watak tokoh dengan mengubah wajah pemeran menyangkut aspek umur, ras, bentuk wajah dan tubuh. Karakter wajah merupakan cermin psikologis dan latar sosial tokoh yang hadir secara nyata. Misalnya, seorang yang optimis digambarkan dengan tarikan sudut mata cenderung ke atas. Sebaliknya, tokoh yang pesimistis cenderung memiliki karakter garis mata yang menurun. Tata rias memiliki kemampuan dalam mengubah sekaligus menampilkan karakter yang berbeda dari seorang pemeran.

1.1.3 Memberi Efek Gerak Pada Ekspresi Pemain
Wajah seorang pemain di atas pentas, tampak datar ketika tertimpa cahaya lampu. Oleh karena itu dibutuhkan tata rias untuk menampilkan dimensi wajah pemain. Tata rias berfungsi menegaskan garis-garis wajah karakter, sehingga saat berekspresi muncul efek gerak yang tegas dan dapat ditangkap oleh penonton. Seorang penata rias harus mencermati gerak ekspresi wajah untuk menentukan garis yang akan dibuat.

1.1.4 Menghadirkan Garis Wajah Sesuai Dengan Tokoh
Menampilkan wajah sesuai dengan tokoh membutuhkan garis baru yang membentuk wajah baru. Fungsi garis tidak sekedar menegaskan, tetapi juga menambahkan sehingga terbentuk tampilan yang berbeda dengan wajah asli pemain. Misalnya, seorang remaja yang memerankan seorang yang telah berumur 50 tahun. Wajah perlu ditambahkan garis-garis kerutan sesuai wajah seorang yang berusia 50 tahun. Seorang yang berperan menjadi tokoh binatang, maka perlu membuat garis-garis baru sesuai dengan karakter wajah binatang yang diperankan.

1.1.5 Menambah Aspek Dramatik
Peristiwa teater selalu tumbuh dan berkembang. Tokoh-tokoh mengalami berbagai peristiwa sehingga terjadi perubahan dan penambahan tata rias. Misalnya, seorang tokoh tertusuk belati, tertembak, tersayat wajahnya, maka dibutuhkan tata rias yang memberikan efek sesuai dengan kebutuhan. Tata rias bisa memberikan efek dramatik dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan menciptakan efek tertentu sesuai dengan kebutuhan.








1.2 Jenis Tata Rias
1.2.1 Tata Rias Korektif
Tata rias korektif (corective make-up) merupakan suatu bentuk tata rias yang bersifat menyempurnakan (koreksi). Tata rias ini menyembunyikan kekurangan-kekurangan yang ada pada wajah dan menonjolkan hal-hal yang menarik dari wajah. Setiap wajah memiliki kekuarangan dan kelebihan. Seseorang yang memiliki bentuk wajah kurang sempurna, misalnya dahi terlalu lebar, hidung kurang mancung dan sebagainya,dapat disempurnakan dengan make up korektif. Seorang pemain membutuhkan tata rias korektif ketika tampilannya tidak membutuhkan perubahan usia, ras, dan perubahan bentuk wajah. Biasanya pemeran memiliki kesesuaian dengan tokoh yang diperankan. Wajah pemain cukup disempurnakan dengan menyamarkan, menegaskan, dan menonjolkan bagian-bagian wajah sesuai dengan tokoh yang dimainkan.

1.2.2 Tata Rias Fantasi
Tata rias fantasi dikenal juga dengan istilah tata rias karakter khusus. Disebut tata rias karakter khusus, karena menampilkan wujud rekaan dengan mengubah wajah tidak realistik. Tata rias fantasi menggambarkan tokoh-tokoh yang tidak riil keberadaannya dan lahir berdasarkan daya khayal semata. Tipe tata rias fantasi beragam, mulai dari badut, tokoh horor, sampai binatang. Beberapa teater di Asia, seperti Opera Cina dan Kabuki menggunakan jenis tata rias fantasi. Tata Rias Opera Cina menyerupai topeng. Wajah pemain yang sebenarnya tak tampak (Gb 143). Tata rias kabuki memiliki pola yang menggambarkan karakter yang berbeda (Gb.144). Pola tata rias pada kabuki ini diaplikasikan pada wajah pemain yang seluruhnya dibuat putih (Gb.145).



Gb.143 Tata rias opera Cina


Gb.144 Desain tata rias kabuki


Gb.145 Tata rias kabuki

1.2.3 Tata Rias karakter
Tata rias karaker adalah tata rias yang mengubah penampilan wajah seseorang dalam hal umur, watak, bangsa, sifat, dan ciri-ciri khusus yang melekat pada tokoh. Tata rias karakter dibutuhkan ketika karakter wajah pemeran tidak sesuai dengan karakter tokoh. Tata rias karakter tidak sekedar menyempurnakan, tetapi mengubah tampilan wajah. Contohnya, mengubah umur pemeran dari muda menjadi lebih tua (Gb.146). Mengubah anatomi wajah pemain untuk memenuhi tuntutan tokoh dapat juga digolongkan sebagai tata rias karakter, misalnya memanjangkan telinga (Gb.147). Tokoh tersebut memiliki latar Suku Dayak Kalimantan yang memiliki tradisi memanjangkan telinga.


Gb. 146 Tata rias karakter

Gb.147 Tata rias karakter etnik


1.3 Bahan dan Peralatan Tata Rias
Pengetahuan bahan dan peralatan tata rias sangat penting bagi seorang penata rias. Pengetahuan bahan dan peralatan menjadi dasar untuk memilih bahan dan alat yang sesuai dengan kebutuhan. Perkembangan zaman dan teknologi membawa konsekuensi pada teknologi bahan dan Peralatan tata rias. Hampir setiap tahun bahan-bahan kosmetik diproduksi dengan berbagai jenis dan kualitas yang cukup beragam.

1.3.1. Bahan Tata Rias
Seorang penata rias harus mengerti bahan-bahan yang dapat dan tersedia untuk merias. Bahan-bahan ini biasanya tersedia di toko kosemetik. Masing-masing bahan digunakan secara berbeda sesuai pentahapan dan fungsi tata rias seperti dijelaskan dalam paparan berikut.

• Cleanser
Cleanser sering disebut juga pembersih. Cleanser atau pembersih bentuknya macam-macam, seperti krim, gel, dan lotion. Cleanser fungsinya membersihkan wajah dari kotoran, sehingga wajah menjadi bersih dan bebas dari lemak. Ada pula jenis cleanser khusus yang digunakan untuk membersihkan bagian-bagian wajah yang sensitif, seperti bibir atau bagian kelopak mata.


• Astringent
Astringent disebut juga toner, clarifying, atau penyegar. Berbentuk cair dan berfungsi menyegarkan wajah. Astringent biasanya mengandung banyak alkohol. Astringent yang baik sebenarnya yang sedikit kandungan alkoholnya. Saat ini banyak produk penyegar yang mengandung sedikit alkohol atau tanpa alkohol. Jenis penyegar tanpa alkohol ini relatif lebih aman untuk kulit.

• Concealer
Pada wajah manusia sering terdapat noda hitam atau coklat yang mengganggu penampilan. Capek dan kurang istirahat sering menimbulkan berkas hitam melingkar di sekitar mata. Concealer adalah sejenis bahan tata rias yang berfungsi untuk menyamarkan sekaligus menutup kekurangan tersebut. Concealer berbentuk krim, compact, dan stik. Pemakaiannya dioleskan pada bagian-bagian yang perlu disamarkan atau ditutup.

• Foundation
Foundation disebut juga sebagai alas bedak. Berfungsi memberikan efek mulus pada wajah. Foundation diaplikasikan sesudah concelear. Foundation memiliki berbagai bentuk, seperti krim, stik, atau compact (padat). Foundation tersedia dalam berbagai tingkatan warna, mulai dari netral, terang ,sampai warna gelap sesuai dengan warna kulit manusia. Penggunaannya pada wajah bisa dilakukan dengan tangan atau spon.

• Losse Powder
Losse Powder biasa disebut juga bedak tabur. Losse powder bentuknya bubuk yang halus dan lembut. Losse powder juga tersedia dalam berbagai tingkatan warna sesuai dengan kulit manusia. Fungsinya untuk menyempurnakan pori-pori yang terbuka. Pori-pori akan tersamarkan dan kulit wajah tampak lebih sempurna. Losse powder juga berfungsi menyatukan concealer dengan foundation.

• Compact Powder
Compact powder disebut juga sebagai bedak padat. Bedak padat berfungsi untuk lebih menyempurnakan wajah. Wajah menjadi tambah mulus. Sebagaimana bedak tabur, bedak padat juga memiliki berbagai macam tingkatan warna.


• Blush on
Blush on disebut juga sebagai pemerah pipi. Bahan ini untuk memberikan rona merah pada pipi sehingga tampil lebih segar dan berseri. Blush on tersedia dalam berbagai tingkatan warna, mulai dari merah muda sampai merah tua.

• Kosmetik Bibir
Kosmetik bibir digunakan untuk membentuk dan memperindah bibir. Peralatan yang digunakan bermacam-macam tergantung dari pembentukan serta warna yang diinginkan. Setiap bibir manusia memiliki karakter yang berbeda dan terkadang menggambarkan watak pemiliknya. Untuk mengubah kesan asli tersebut, bentuk bibir perlu disesuaikan dengan karakter peran. Untuk mebentuk dan memperindah bibir diperlukan.

Lipstik. Pemerah atau pewarna bibir. Lipstik pada umumnya tersedia dalam bentuk stik dan krim padat yang dikemas seperti kemasan bedak padat. Pemerah bibir ini tersedia dalam berbagai macam warna. Mulai dari merah dengan berbagai tingkatan warna, violet, coklat, sampai warna gelap yang cenderung hitam. Lipstik fungsinya memberi warna pada bibir. Setiap warna menghasilkan karakter yang berbeda.

Lipliner. Berbentuk pencil yang berfungsi memberi garis atau kontur pada bibir sesuai dengan yang dikehendaki. Lipliner berfungsi membentuk bibir untuk menghasilkan kesan tertentu. Misalnya bibir yang tipis dapat diubah kesannya menjadi bibir yang penuh dengan membentuk bibir menggunakan lipliner. Lipliner tersedia dalam berbagai warna.

Lipgloss. Adalah bahan yang membuat bibir tampil mengkilat dan memiliki efek bercahaya. Lipglos ini akan membuat bibir tampil segar. Lipgloss pada umumnya berbentuk stik dan krim padat. Pengaplikasiannya sesudah lipstik dan lipliner.

• Kosmetik Mata
Sama dengan kosmetika bibir, kosmetik untuk membentuk dan memperindah mata bermacam-macam. Dengan kosmetik ini mata seseorang pemain dapat dibuat sesuai dengan tuntutan karakter peran yang akan dimainkan. Beberapa kosmetik mata tersebut adalah sebagai berikut.

Eye shadow atau perona mata. Pada umumnya berbentuk compact atau padat. Diaplikasikan pada kelopak mata untuk menambah karakter. Eye shadow dapat difungsikan pula untuk membentuk alis. Khusnya warna-warna yang gelap. Dalam pementasan teater, eye shadow ini biasa dimanfaatkan pula untuk membuat shadow dan highlight pada bagian wajah tertentu.

Eyeliner. Digunakan untuk memberi kontur atau garis pada mata sesuai yang dikehendaki. Tujuannya agar mata lebih tampak ekspresif. Biasanya berbentuk pencil. Ada juga eyeliner yang berbentuk cair.

Maskara. Berfungsi menebalkan bulu mata dan melentikkan bulu mata. Dikemas dalam tabung kecil yang sudah dilengkapi dengan aplikator khusus yang ujungnya seperti sikat lembut. Sikat ini difungsikan untuk membentuk bulu mata menjadi lentik.

Pensil Alis. Berfungsi untuk membentuk dan memberi tebal pada alis. Dalam pementasan teater, pencil alis juga dimanfaatkan untuk membuat garis-garis pembentuk pada wajah. Misalnya, untuk membuat garis kerutan pada wajah. Pencil alis biasanya tersedia dalam dua warna, yaitu hitam dan coklat.

• Body Painting
Body painting adalah bahan yang bersifat opak (menutup) berbentuk krim dan stik. Di Indonesia banyak tersedia dalam bentuk krim. Bahan ini biasa digunakan untuk tata rias fantasi. Tersedia dalam berbagai warna, mulai dari putih, hitam, merah, hijau, biru, dan kuning. Body painting berfungsi pula untuk melukis badan, seperti membuat tato atau memberi warna pada bagian badan tertentu yang dikehendaki.

1.3.2 Peralatan Tata Rias
Peralatan tata rias sangatlah beragam tergantung dari kegunaannya. Beberapa memiliki fungsi yang sangat khusus untuk merias bagian yang sangat khusus seperti alis, bulu mata, dan lain sebagainya. Dengan mengenal peralatan tata rias maka kesalahan penggunaan alat bisa diminimalisir. Sering terjadi pada penata rias amatir yang sekenanya saja mempergunakan peralatan tata rias. Hal ini menyebabkan alat tersebut mudah rusak atau tidak lagi dapat digunakan dengan baik.

• Sikat Alis
Sikat alis memiliki bentuk ganda. Pada satu sisi berbentuk sisir kecil dan sisi yang lain adalah sikat yang berbentuk seperti sikat gigi. Fungsinya untuk merapikan alis, baik sebelum dan sesudah pemakaian pencil alis dan shadow.

• Sikat Bulu Mata
Sikat dengan bulu-bulu yang ditata melingkar seperti spiral. Sikat ini memiliki karakter bulu sikat yang kasar. Fungsinya untuk membersihkan bulu mata dan menyempurnakan maskara yang tidak rata.

• Kuas Alis
Kuas alis berbulu halus atau kasar. Ujung kuas dipotong menyerong atau diagonal. Kuas ini digunakan untuk membaurkan pensil alis atau eye shadow yang telah diaplikasikan sehingga terlihat rapi dan natural.

• Kuas Eyeliner
Kuas eyeliner ada dua macam. Pertama, kuas dengan bulu-bulu yang halus, agak panjang dan ramping. Kuas eyeliner berfungsi untuk melukis garis mata. Melukis garis mata bisa memakai eye shadow atau eyeliner cair. Apabila menggunakan bahan eyes hadow, baiknya kuas dalam keadaan basah. Sebaliknya kalau menggunakan bahan eyeliner cair, kuas baiknya dalam keadaan kering. Kedua, kuas dengan bulu-bulu halus, ujungnya bulat dan bulunya agak tebal. Kuas ini berfungsi menyempurnakan dan memadukan eyeliner dengan pencil mata.

• Kuas Bibir
Kuas bibir berukuran sedang dengan bulu lembut dan berujung lancip. Digunakan untuk mengaplikasikan pewarna bibir dan lipgloss.

• Kuas Concealer
Kuas concealer memiliki ukuran bervariasi. Kuas ini digunakan unuk mengaplikasikan concealer pada noda-noda yang terdapat di wajah. Kuas yang berukuran kecil dipakai untuk menjangkau sudut-sudut wajah, seperti sudut mata.

• Kuas Eye Shadow
Kuas eye shadow terdiri dari dua jenis. Pertama, berbentuk pipih, berujung tipis, dengan bulu-bulu lembut. Fungsinya untuk membentuk garis dan memadukan warna setelah diaplikasikan. Kedua, kuas berbulu tebal, lembut, dan ujungnya bulat. Kuas ini digunakan unuk membantu menyempurnakan sapuan gradasi warna eye shadow. Kuas ini juga dapat difungsikan untuk membentuk serta menghaluskan bayangan hidung.

• Kuas Kipas
Kuas kipas berbentuk pipih dan melebar seperti kipas. Terbuat dari bulu-bulu yang sangat halus. Kuas ini digunakan untuk membersihkan serpihan-serpihan kosmetik yang mengotori wajah.

• Kuas Shading
Kuas shading memiliki bulu-bulu yang lembut, tebal, dan ujungnya dibentuk serong. Digunakan untuk mengaplikasikan shading pada bagian-bagian wajah yang bersudut, seperti hidung atau rahang.

• Kuas Blush On
Kuas blush on memiliki gagang langsing dengan bulu lembut dan agak tebal. Berfungsi untuk mengaplikasikan blush on pada pipi atau bagian wajah lainnya.

• Kuas Powder
Kuas powder bergagang besar dengan bulu-bulu yang lembut dan gemuk. Kuas ini digunakan untuk mengaplikasikan losse powder. Bisa juga digunakan untuk finishing yaitu menyatukan bahan rias agar terpadu dengan lebih sempurna.

• Velour Powder Puff
Velour powder puff terbuat dari bahan sejenis beludru yang lembut. Berbentuk bundar dan tersedia dalam dua ukuran, yaitu besar dan kecil. Besar untuk mengaplikasikan bedak tabur dan kecil untuk bedak padat pada wajah.

• Spon Wajik
Spon wajik berbentuk segi tiga. Terbuat dari bahan lateks. Digunakan untuk meratakan concealer atau foundation pada bagian-bagain wajah yang sulit dijangkau, seperti bagian bawah mata, sudut mata, dan hidung.

• Spon Bundar
Spon bundar terbuat dari bahan lateks yang memiliki sifat tidak menyerap. Berfungsi untuk mengaplikasikan foundation.

• Aplikator Berujung Spon
Aplikator dengan bagian ujung terbuat dari spon digunakan untuk mengaplikasikan eye shadow. Tata rias biasanya menggunakan beberapa warna eye shadow. Idealnya setiap warna menggunakan satu aplikator, sehingga warnanya tidak kotor.

• Pinset
Pinset terbuat dari logam dengan ujung pipih. Pinset berfungsi untuk mencabut bulu alis. Pinset juga bisa dimanfaatkan untuk mengaplikasikan bulu mata palsu.

• Gunting
Gunting idealnya tersedia dalam berbagai ukuran. Setidaknya tersedia gunting dalam ukuran kecil. Baik gunting biasa, maupun gunting potong. Gunting potong rambut bisa dimanfaatkan untuk merapikan alis, kumis, dan jenggot. Gunting potong rambut bermanfaat pula untuk mengaplikasikan kumis dan jenggot palsu.

• Pencukur Alis
Alat pencukur alis berupa pisau kecil yang bergerigi. Alat ini berguna untuk membentuk alis.

• Penjepit Bulu Mata
Penjepit bulu mata biasanya terbuat dari logam. Bergagang seperti gunting dengan ujung melengkung seperti bulu mata. Fungsinya untuk melentikkan bulu mata.

1.4 Praktek Tata Rias
Praktek tata rias memaparkan urutan kerja dalam merias pemain. Tata urutan kerja atau prosedur tata rias perlu diketahui agar proses berjalan secara efektif dengan hasil yang maksimal.

1.4.1 Persiapan
Persiapan merupakan tahapan yang penting dalam praktek tata rias. Seorang penata rias perlu melakukan persiapan berupa perencanaan, persiapan tempat, bahan dan peralatan, serta persiapan pemain.

1.4.1.1 Perencanaan
Perencanaan dimulai dengan diskusi dengan sutradra, pemain, dan penata artistik yang lain. Penata rias mencatat masukan-masukan dari sutradara terkait dengan tata rias. Catatan sutradara sebagai masukan bagi penata rias untuk membuat desain atau rancangan.




1.4.1.2 Persiapan Tempat
Tempat merias memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan sebuah hasil kerja tata rias. Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tempat adalah perlengkapan tempat rias. Tempat rias idealnya memiliki cermin yang dilengkapi dengan penerangan yang cukup. Cermin yang dibutuhkan untuk tata rias setidaknya berukuran relatif besar sehingga mampu menangkap bagian tubuh dan wajah pemain secara utuh.Cermin idealnya juga terpasang di almari kabinet yang memiliki tempat untuk meletakkan bahan dan peralatan tata rias. Kursi yang dibutuhkan idealnya adalah kursi hidrolik yang bisa diputar dan dinaik-turunkan secara otomatis sehingga penata rias tidak perlu membungkuk atau berpindah tempat.
Perlengkapan lain yang harus dikontrol oleh penata rias adalah ketersediaan tata cahaya yang memadai. Idealnya terdapat lampu yang dipasang secara frontal pada sisi kanak dan kri cermin. Lampu penerangan yang sifatnya umum, idealnya dipasang di langit-langit atas di belakang meja rias. Apabila penerangan kurang memadai, maka penata rias bisa minta pada bagian yang bertanggung jawab untuk memasang cahaya tambahan. Hal ini penting karena berpengaruh langsung pada warna tata rias.

1.4.1.3 Persiapan Bahan dan Peralatan
Seorang penata rias harus tahu bahan apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan kerjanya. Bahan-bahan harus disiapkan dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Misalnya, untuk suatu pementasan menangani 8 pemain, maka diperhitungkan kebutuhan kapas, pembersih, shadow, dan sebagainya. Demikian juga peralatan yang dibutuhkan. Bahan dan peralatan ditata sedemikian rupa dan harus diketahui secara persis tempatnya agar saat praktek tidak disibukkan dengan mencari bahan atau alat yang harus digunakan.

1.4.1.4 Persiapan Pemain
Seorang penata rias harus bisa mengukur berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Termasuk menghitung berapa waktu yang dibutuhkan untuk melakukan persiapan seorang pemain untuk siap dirias. Persiapan seorang pemain dapat dipaparkan sebagai berikut.

• Melindungi kepala dan tubuh
Pada prinsipnya, persiapan ini dilakukan untuk memudahkan penata rias dalam melakukan pekerjaan. Dibutuhkan penutup kepala agar rambut tidak mengganggu proses merias. Demikian juga tubuh perlu penutup agar rontokan bahan rias tidak membuat busana menjadi kotor.


• Membersihkan wajah
Membersihkan wajah pemain merupakan persiapan yang dilakukan setelah bagian tubuh tertentu terlindungi. Membersihkan wajah dilakukan menggunakan pembersih untuk mengangkat kotoran dan lemak yang menempel pada wajah pemain. Setelah bersih, wajah poerlu diberi penyegar agar terasa nyaman, segar, dan bersihh. Teknik membersihkan wajah dimulai dari mengaplikasikan pembersih pada wajah. Berikutnya meratakan pembersih dengan tangan sambil ditekan. Setelah itu dibersihkan menggunakan kapas dengan arah gerakan ke atas. Apabila wajah telah bersih, maka tinggal mengaplikasikan penyegar.

• Mengenal wajah pemain
Seorang penata rias, idealnya mengenal karakter pemain jauh sebelum proses merias dilakukan. Karakter wajah yang perlu dikenal seorang penata rias meliputi bentuk wajah, hidung bibir, mata, serta jenis kulit. Apabila penata rias belum mengenal secara rinci, maka saat membersihkan wajah, bisa diamati hal-hal yang terkait dengan karakter wajah. Dengan demikian seorang penata rias tahu betul apa yang harus dilakukan.

1.4.2 Desain
Desain adalah rancangan berupa gambar atau sketsa sebagai dasar penciptaan. Membuat desain pada dasarnya adalah menuangkan gagasan dalam bentuk gambar atau sketsa. Proses tata rias memerlukan desain sebelum bahan-bahan kosmetik diaplikasikan pada wajah pemain. Desain mempermudah kerja penata rias dengan hasil yang maksimal. Membuat desain merupakan tata cara kerja yang perlu ditradisikan.
Desain dapat dibuat dalam bentuk kartu besar dengan kertas yang relatif tebal. Kartu dapat dimanfaatkan dua muka bolak-balik. Kartu tata rias memuat hal-hal sebagai berikut.


Gb.148 Lembar desain bagian depan

BAGIAN DEPAN
• Gambar wajah dari muka dan samping.
• Gambar wajah dari muka dan samping dipakai untuk menuangkan konsep tata rias. Contohnya, penempatan shading dan highlight pada wajah, eye shadow, garis kerutan wajah, atau aplikasi lipstik.
• Tempat untuk catatan. Tempat catatan dipakai untuk membuat catatan khusus yang belum tervisualisasikan dalam gambar. Contohnya, teknik aplikasi , karakter garis, atau arah tarikan aplikasi shadow maupun blush on.
• Daftar bahan kosmetik. Kosmetik yang dipakai dalam tata rias didaftar lengkap dengan spesifikasinya. Pencatatan bahan kosmetik yang dibutuhkan ini membuat proses merias menjadi lebih efektif . Penata rias dapat menyiapkan sekaligus mengontrol kebutuhan bahan yang dipakai.


Gb.149 Lembar desain bagian belakang

BAGIAN BELAKANG
• Produksi. Mencantumkan judul pementasan.
• Sutradara. Mencantumkan nama sutradara
• Tokoh. Mencantumkan nama tokoh dalam naskah lakon
• Karakter Tokoh. Memuat deskripsi karakter tokoh
• Pemain. Mencantumkan nama pemain
• Karakter Pemain. Mendeskripsikan tipe dan ciri-ciri wajah pemain
• Jenis Tata Rias. Mencantumkan jenis tata rias
• Catatan Khusus. Memuat keterangan atau gambar yang belum terungkap di bagian depan.






1.4.3 Merias
Desain pada akhirnya diaplikasikan pada pemeran. Seorang penata rias bekerja berdasarkan desain yang telah dibuat. Seorang penata rias bisa menyerahkan sebagian pekerjaannya pada seorang asisten dengan tetap berpedoman pada desain. Penata rias melakukan kontrol dan penyempurnaan agar hasil sebagaimana yang diharapkan.

1.4.3.1 Tata Rias Korektif
Fungsi tata rias korektif adalah untuk mengubah penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Wajah manusia memiliki kekurangan yang membuat penampilan kurang sempurna. Tata rias korektif menyamarkan kekurangan yang ada sehingga wajah tampil lebih sempurna. Penata rias perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
• Kenali kekurangan dan kelebihan wajah
• Kenali karakter tokoh dengan baik.
• Koreksi wajah pemain sesuai karakter tokoh
• Perhatikan jarak pemain dengan penonton
• Kuasai bahan kosmetik dan peralatan
Penata rias perlu mempelajari kekurangan dan kelebihan wajah, sebelum membuat desain. Hal lain yang perlu dikuasai adalah teknik mengoreksi wajah untuk penyempurnaan.

o Teknik Tata Rias Korektif
Teknik yang dipakai dalam menyempurnakan (koreksi) wajah , adalah teknik shadow dan highlight. Shadow adalah efek gelap yang memberi kesan cekung, kecil, sempit. Highlight adalah efek terang yang memberi kesan menonjol, besar, lebar. Kombinasi antara shadow dan highlight akan menghasilkan kesan tertentu sesuai yang diharapkan. Teknik lain yang bisa dilakukan adalah menambahkan unsur-unsur baru, baik dengan garis, warna atau bahan tiruan.

o Praktek Tata Rias Korektif
Sebelum merias wajah, perhatikan kelengkapan alat dan bahan. Karena jenis kulit setiap orang berbeda maka perlu diperhatikan bahan-bahan rias yang akan digunakan. Rias yang baik tidak menghasilkan efek negatif pada kulit sperti; gatal-gatal, kulit mengelupas, dan lain sebagainya. Jika semua sudah dipersiapkan maka praktek tata rias dapat dilakukan seperti di bawah ini.

• Membersihkan wajah. Langkah awal yang penting adalah membersihkan wajah dengan cleanser atau pembersih. Berikutnya, segarkan wajah dengan astringent. Pilihlah cleanser dan astringent sesuai jenis kulit.


• Menyempurnakan bentuk wajah. Wajah memiliki bentuk yang beragam. Wajah yang ideal, khususnya untuk kecantikan, adalah yang berbentuk oval dengan proporsi seimbang antara bagian-bagiannya. Bentuk-bentuk lain seperti bulat, persegi, panjang, buah pir, segitiga, dan diamond dianggap kurang sempurna dan perlu dikoreksi. Penyempurnaan bentuk wajah menggunakan teknik shading dan highlight dengan mengaplikasikan foundation. Gunakan foundation dengan tiga tingkatan warna yang berbeda, yaitu foundation sesuai warna kulit, foundation dengan warna satu tingkat lebih gelap dari warna kulit, dan foundation dengan warna satu tingkat lebih terang dari warna kulit. Foundation yang sesuai dengan warna kulit dipakai untuk bagian wajah yang ingin dipertahankan, foundation dengan warna satu tingkat lebih gelap dari warna kulit untuk menyamarkan, mempersempit, atau membuat cekung. Sedangkan foundation dengan warna satu tingkat lebih cerah dari warna kulit untuk memberi kesan lebar atau menonjol.


Gb.150 Bentuk wajah bulat

Kasus :
Pemeran memiliki bentuk wajah bulat. Bentuk bulat memiliki pipi dan garis rahang penuh dengan garis muka cenderung pendek.

Solusi :
Gunakan teknik shading. Aplikasikan foundation warna gelap satu tingkat di bawah warna kulit sepanjang garis tepi dahi, pipi, rahang, dan rahang bagian bawah. Kesan bulat akan tersamarkan dengan teknik shading yang tepat.

Gambar-gambar di bawah ini memperlihatkan bagian-bagian yang perlu dikoreksi sehubungan dengan bentuk wajah. Untuk bentuk wajah panjang (Gb.151), bagian dahi dan dagu perlu diberi warna gelap untuk mengurangi kesan panjang. Sementara bagian pipi diberi warna terang.


Gb.151 Bentuk wajah panjang

Untuk bentuk wajah persegi (Gb.152) daerah di sebelah atas pelipis kanan dan kiri serta tepi pipi sebelah kanan dan kiri diberi warna gelap untuk menghilangkan kesan kotak pada wajah. Kesan kotak akan menampakkan karakter yang kaku. Jika pemain berperan sebagai tokoh yang lemah lembut maka bentuk kotak pada wajah harus dihilangkan sehingga kesan kaku tersebut juga menjadi hilang.



Gb.152 Bentuk wajah persegi

Untuk bentuk wajah diamond (Gb.153) maka daerah seputar dahi sampai pelipis diberi warna gelap dan pipi serta dagu diberi warna terang.


Gb.153 Bentuk wajah diamond

Untuk wajah segitiga (Gb.154) bagian atas pelipis kiri dan kanan serta bagian bawah pelipis kiri dan kanan diberi warna terang sedangkan pipi, dahi, dan dagu diberi warna terang.


Gb.154 Bentuk wajah segitiga

• Mengaplikasikan bedak baik losse powder maupun compact powder, dapat dilakukan dengan teknik shading dan highlight mengikuti aplikasi foundation. Hal ini harus dilakukan lebih teliti dan hati-hati. Losse powder dapat dimanfaatkan untuk membaurkan dua warna foundation yang berbeda agar gradasi warnanya terjaga. Compact powder dipakai setelah losse powder untuk lebih menyempurnakan tampilan wajah.

• Membentuk hidung dapat menggunakan teknik shading dan highlight dengan bahan compact powder. Gunakan compact powder warna dua tingkat lebih terang dari warna kulit dan dua warna lebih gelap dari warna kulit.

Kasus dan Solusi :
a. Batang hidung besar. Shadow pada dua sisi hidung. Highlight pada garis tengah batang hidung dengan bentuk yang ramping (Gb.155).


Gb.155 Batang hidung besar

b. Cuping hidung besar. Shadow pada dua sisi cuping hidung yang harus disamarkan. Highlight pada garis tengah hidung untuk mengalihkan fokus (Gb.156).


156.Cuping hidung besar



c. Batang hidung kecil. Shadow pada kanan dan kiri batang hidung. Highlight pada batang hidung untuk menyamarkan batang hidung yang kecil (Gb.157).


Gb.157 Batang hidung kecil

d. Batang hidung pendek. Highlight dibuat tinggi mulai dari atas sampai ujung hidung. Ketinggian dapat memanipulasi dengan bagian atas ditinggikan dan ujung alis bagian dalam disesuaikan agar tidak berkesan janggal (Gb.158).


Gb.158 Batang hidung pendek

e. Hidung tidak mancung. Highlight dengan goresan ramping pada batang hidung. Shading pada sisi kanan dan kiri untuk menciptakan efek kontras.
f. Batang hidung bengkok. Shadow pada bagian yang bengkok dengan tarikan garis lurus. Highlight pada batang hidung dengan garis mengikuti bentuk hidung yang dikehendaki.

• Membentuk alis. Alis memiliki bentuk yang beragam pula. Bentuk alis tidak selalu sesuai dengan bentuk wajah. Oleh karena itu, alis perlu dikoreksi dengan menyesuaikan bentuknya dengan bentuk wajah.

Kasus dan solusi:
a. Pemeran memiliki bentuk wajah bulat. Buatlah alis tajam dan menyudut untuk menyamarkan kesan wajah yang bulat (Gb.159).


Gb.159 Alis tajam

b. Pemeran memiliki bentuk wajah persegi. Buatlah alis melengkung lembut. Hindari bentuk alis yang tajam (Gb.160).


Gb.160 Alis melengkung lembut






c. Pemeran memiliki bentuk wajah panjang. Buatlah alis cenderung mendatar. Hindari tarikan alis ke atas dan melengkung (Gb.161)


Gb.161 Alis mendatar

d. Pemeran memiliki bentuk wajah diamond. Idealnya alis dibuat melengkung lembut pada ujung terluar alis (Gb.162).


Gb.162 Ujung luar alis melengkung

e. Pemeran memiliki bentuk wajah segitiga. Alis yang ideal untuk bentuk segitiga adalah alis yang sedikit melengkung dengan membentuk sudut yang tidak terlalu tajam (Gb.163).


Gb.163 Ujung alis sedikit tajam


Apabila sudah memilih bentuk alis yang sesuai, maka perhatikan pertumbuhan alis. Apakah tumbuhnya teratur? Apakah rambut alis perlu dirapikan? Rambut alis yang tumbuh tidak teratur perlu dirapikan dengan cara dipotong. Sesuaikan alur alis dengan bentuk yang diinginkan. Merapikan pertumbuhan rambut alis idealnya dilakukan sebelum mengaplikasikan foundation, sehingga bekas potongan dapat tertutup.

• Membentuk bibir. Pembentukan bibir dapat dilakukan dengan membingkai bibir menggunakan eyeliner dan mengisinya dengan warna. Langkah awal adalah dengan menyamarkan bentuk bibir menggunakan foundation. Penyamaran bibir dapat dilakukan pada saat mengaplikasikan foundation. Penyamaran disempurnakan menggunakan compact powder. Tahap berikutnya adalah menyempurnakan bentuk bibir dengan membuat bentuk yang dikehendaki. Gunakan eyeliner untuk membuat sketsa bibir. Setelah sketsa bibir dibuat, berikutnya adalah mengisi bibir dengan lipstik.


Gb.164 Bibir tipis


Gb.165 Bibir tebal

Bibir tipis dapat dibuat tampak tebal dengan menambah garis luar bibir (Gb.164). Sebaliknya, untuk bibir terlalu tebal dapat menyamarkan bagian terluar dan membentuk kembali pada bibir bagian dalam (Gb.165). Demikian juga bibir yang mempunyai kesan sedih dapat ditarik garis ke atas pada sudur terluar bibir (Gb.166). Bibir yang terlalu kecil dapat disamarkan dengan menambah garis terluar sebagaimana bibir yang tipis (Gb.167).


Gb.166 Bibir pesimis


Gb.167 Bibir kecil

• Mengaplikasikan blush on (perona pipi). Mengaplikasikan blush on perlu mempertimbangkan bentuk wajah dengan teknik tarikan atau sapuan yang tepat. Tarikan naik untuk memberikan efek tajam pada wajah, tarikan mendatar untuk efek luas, dan tarikan naik untuk memberi kesan panjang pada wajah. Blush on sering pula difungsikan untuk sentuhan akhir (finishing) pada wajah dengan cara menyapukan tipis dan ringan pada bagian wajah. Sapuan blush on untuk finishing harus hati-hati agar tidak merusak riasan yang lain.


1.4.3.2 Tata Rias Fantasi
Tata rias fantasi disebut juga tata rias karakter khusus. Tata rias fantasi menampilkan tokoh-tokoh yang secara riil tidak terdapat dalam kehidupan. Penggolongan bisa meliputi tokoh-tokoh horor, binatang, atau menampilkan riasan yang menggambarkan flora. Tata rias fantasi tidak terbatas tergantung dari fantasi manusia. Tata rias fantasi dapat mengubah anatomi wajah untuk memberi kesan tiga dimensi. Hidung dapat diubah anatominya dengan bahan kapas yang dicampur lateks (Gb.168). Penambahan kapas pada hidung disempurnakan dengan mengaplikasikan foundation dan memberi garis serta shadow (Gb.169). Hasilnya, hidung berubah dan memiliki dimensi yang berbeda (Gb.170).


Gb.168 Pemasangan lateks Gb.169 Pemberian foundatioan


Gb.170 Hasil akhir pengubahan bentuk hidung
Praktek tata rias fantasi dapat pula memakai model atau berdasarkan khayalan perancang rias. Tokoh-tokoh macam badut, punakawan dapat digolongkan dalam jenis tata rias fantasi. Langkah-langkah Tata Rias Fantasi dapat dijelaskan sebagai berikut.

• Persiapan. Dalam hal ini adalah membersihkan wajah pemain dengan cleanser yang dilanjutkan mengaplikasikan penyegar.

• Pembentukan dasar. Merupakan tahap membuat bentuk-bentuk dasar pada wajah pemain sesuai dengan desain. Bentuk dasar dapat berupa garis-garis atau penambahan unsur lain pada bagian wajah (Gb.171). Apabila bentuk dasar berupa garis, maka foundation diaplikasikan sebelum membuat garis. Sebaliknya, apabila ada penambahan unsur lain pada wajah, maka foundation diaplikasikan sesudah penambahan unsur lain pada wajah.


Gb.171 Sketsa pada wajah

• Dimensi wajah. Tata rias memiliki kedalaman bentuk. Kedalaman bentuk dapat dibuat dengan perbedaan gelap terang, garis, warna, dan penambahan dimensi secara nyata. Membentuk dimensi wajah dengan mengisi bagian-bagian dengan gelap terang atau warna. Penambahan dimensi secara nyata berupa pengubahan wajah dengan menambah latex, tisue, atau kapas. Apabila menggunakan teknik dua dimensi cukup dibedakan dengan warna dan gelap terang (Gb.172).


Gb.172 Proses periasan

• Penyempurnaan. Tahap penyempurnaan adalah tahap finishing, dimana setiap unsur diselesaikan sesuai dengan desain.


1.4.3.3 Tata Rias Karakter
Merias karakter berarti mengubah penampilan pemain dalam hal umur, watak, bentuk wajah agar sesuai tokoh. Pengubahan wajah dapat menyangkut aspek umur saja atau aspek lain secara bersama. Tata rias karakter membantu pemain dalam mengungkapkan karakter tokoh. Tata rias karakter dikenakan pada bagian wajah dan tubuh lain yang memungkinkan dapat dilihat oleh penonton. Bagian lain tubuh seperti leher, badan, tangan, atau kaki yang terlihat.

o Umur
Perkembangan usia manusia membawa perubahan-perubahan pada wajah. Mulai dari anak-anak sampai usia tua. Manusia mengalami perubahan pada wajah ketika menginjak usia 30-an. Khususnya pada usia 35 tahun, wajah manusia mengalami perubahan dengan beberapa tanda-tanda pada wajah, yaitu munculnya kerutan pada beberapa bagian bagian. Kerutan muncul pada bagian sekitar mata, mulut, dan hidung. Perubahan lain yang terjadi adalah pada rambut yang mulai merubah warna menjadi abu-abu atau putih.
Pada usia 40 tahun, perubahan mulai tampak lebih nyata. Kerutan pada wajah mulai bertambah dan rambut berwarna putih mulai banyak. Usia 50 tahun, kulit mulai kendor dan kerutan semakin tajam dan bertambah. Usia 65 ke atas, kerutan-kerutan wajah semakin banyak, kulit pada wajah mulai mengendur, cekung, dan rambut semakin memutih.

o Praktek Tata Rias Karakter
Tata rias karakter membutuhkan persiapan yang serius. Selain bahan-bahan dasar make-up, tata rias karakter juga memerlukan bahan tambahan lain, seperti rambut palsu, kumis, jenggot, dan lain sebagainya. Tahapan tata rias karakter dapat dijelaskan sebagai berikut.

• Persiapan. Tahap persiapan selalu dimulai dengan membersihkan wajah. Menghilangkan kotoran, bekas make up dan lemak yang menempel pada wajah. Berikutnya adalah mengaplikasika penyegar.

• Aplikasi foundation. Pemakaian foundation dapat dilakukan sebagaimana dalam make up korektif, yaitu menggunakan teknik shading dan shadow. Penggunaan warna untuk menampilkan usia lebih efektif kalau menggunakan foundation warna dua tingkat lebih gelap dan dua tingkat lebih terang. Hal ini untuk menciptakan tingkat kekontrasan yang tajam. Mengingat tata rias panggung berhubungan dengan jarak yang jauh antara tempat pertunjukan dengan penonton.

• Membuat garis kerutan. Garis kerutan dibuat setelah aplikasi foundation. Garis kerutan wajah dibuat dengan pensil alis.
Kerutan pada kening biasanya mulai tampak pada usia 40-an dengan jumlah sedikit. Garis kerutan pada kening mulai bertambah jumlahnya pada usia 50 tahun ke atas. Pada usia yang lebih tua lagi, kulit-kulit disekitar kerutan mulai tampak kendor. Garis kerutan pun cenderung turun. Tokoh dalam teater biasanya ada yang berusia sangat tua, sehingga kerut-kerut wajah makin banyak pada wajah.
Kerutan pada mata. Mata memiliki kelopak yang dibagi menjadi dua, yaitu bagian atas dan bawah. Bagian yang perlu diperhatikan dalam membuat kerutan pada mata adalah bagian ujung dalam mata sampai bagian ujung luar mata. Tarikan ujung luar mata memiliki alur garis kerutan sampai bagian pelipis. Bagian bawah, untuk usia 80 tahun ke atas, kerutan bisa memiliki alur sampai pipi mengarah ke bawah. Pada usia menengah, sekitar 50-an tahun, kerutan biasanya tajam dengan kulit masih relatif kencang (Gb.173). Pada usia 60 tahun ke atas, lapisan kulit sekitar mata mulai mengendur (Gb 174 dan 175).


Gb.173 Kerutan usia 50-an


Gb. 174 Kerutan usia 70-an


Gb.175 Kerutan usia 90-an

Kerutan pada hidung dan mulut. Kerutan pada hidung memiliki hubungan yang erat dengan bagian mulut. Kerutan ini akan membentuk lipatan yang disebut lipatan nasolabial. Lipatan nasolabial merupakan lipatan tajam yang muncul dari ujung atas cuping hidung sampai bagian ujung luar mulut. Kerutan yang membentuk lipatan ini bias muncul pada usia sekitar 30-an tahun. Bagian ini merupakan salah satu bagian penting untuk mengubah usia. Pada usia yang lebih tua lipatan ini akan berlanjut pada bagian dagu pada sisi mulut sebelah luar.
Kerutan pada pipi akan muncul pada usia yang relatif lanjut sekitar 60 tahun ke atas. Kerutan ini dimulai dengan penonjolan pada tulang pipi yang mengakibatkan cekungan yang dalam. Khususnya pada orang-orang yang berwajah tirus dan kurus. Berikutnya baru menyusul kerutan pada bagian pipi. Kerutan ini memiliki bentuk cenderung turun ke bawah yang disebabkan kekendoran pada kulit.
Kerutan pada leher perlu diperhatikan karena bagian ini dapat dilihat oleh penonton. Kerutan pada leher terbentuk mulai dari rahang bawah mengarah ke bawah sampai pangkal leher.

• Aplikasi teknik shading dan highlight. Sesudah membuat garis dengan pensil, maka penyempurnaannya menggunakan eye shadow. Caranya adalah dengan menambah shadow pada bagian wajah yang akan dicekungkan dan memberi highlight pada bagian yang akan ditonjolkan. Dalam gambar 176 diperlihatkan garis kerut pada kening, wajah, dan leher pemain. Garis kerut ini menunjukkan ketuaan. Untuk memberi penekanan pada bagian mata yang mencekung maka shadow ditambahkan (Gb.177). Dengan mengolah shadow dan hightlight maka akan diperoleh gambaran ketuaan wajah seperti yang dikehendaki (Gb.178).


Gb.176 Garis kerut kening


Gb.177 Bayangan pada mata


Gb. 178 Pemberian shadow dan highlight
• Memutihkan rambut. Rambut merupakan unsur penting yang dapat dijadikan tanda untuk usia seseorang. Rambut yang normal akan mengalami perubahan warna pada usia 30-an tahun. Perubahan warna rambut pada usia 30-an belum tampak secara menyeluruh. Pada usia 50-an tahun ke atas perubahan rambut baru merata. Hal ini sebenarnya bersifat relatif. Setiap manusia mengalami perubahan warna rambut yang berbeda. Walaupun begitu, pemutihan warna rambut untuk mengubah usia menjadi cara yang efektif. Pemutihan warna rambut dapat menggunakan body painting atau rambut yang sesungguhnya, baik dari wool atau bahan sintetis. Rambut tiruan yang ideal adalah yang terbuat dari wool. Wool relatif sulit didapatkan di Indonesia.


Gb.179 Pemutihan rambut

Teknik:
Memutihkan rambut dengan body painting relatif sederhana dan mudah. Alat yang digunakan adalah sikat dan sisir. Body painting warna putih dioleskan dengan rambut dengan sikat secara merata. Kemudian disisir agar body painting merata. Memutihkan rambut dengan rambut palsu, membutuhkan kecermatan dan waktu. Sebelum memutuskan untuk memutihkan rambut dengan rambut palsu, idealnya dilihat bentuk pertumbuhan rambut terlebih dahulu untuk memutuskan pengaplikasian. Pengaplikasian dilakukan dengan penambahan pada bagian tertentu. Terutama pada bagian depan. Kemudian penambahan dilakukan dengan membagi rambut pada bagian tertentu. Penggunaan rambut pasangan ini akan menghasilkan rambut putih yang lebih natural.

• Mengubah Ras. Pementasan teater sering terdapat tokoh yang berbeda jenis ras. Dalam satu ras pun sering memiliki karakteristik yang berbeda. Orang-orang Asia yang digolongkan sebagai oriental memiliki karakter yang berbeda-beda pula. Mengubah ras bisa dilakukan dengan menyamarkan wajah asli dengan mengaplikasikan karakteristik lain. Pemain yang berasal dari rumpun Melayu diubah menjadi tokoh berbangsa Cina (Gb.180). Proses pengubahan dilakukan dengan mengaplikasikan karakteristik anatomi yang penting, seperti mata, alis, dan kumis (Gb.181). Gb.182, memperlihatkan hasil akhir pengubahan ras dengan beberapa perubahan pada kepala alis, tarikan mata, dan kumis.


Gb.180 Wajah asli pemain




Gb.181 Proses penataan rias


Gb.182. Hasil akhir tata rias pengubahan ras

2. TATA BUSANA
Tata busana adalah seni pakaian dan segala perlengkapan yang menyertai untuk menggambarkan tokoh. Tata busana termasuk segala asesoris seperti topi, sepatu, syal, kalung, gelang , dan segala unsur yang melekat pada pakaian. Tata busana dalam teater memiliki peranan penting untuk menggambarkan tokoh. Pada era teater primitif, busana yang dipakai berasal dari bahan-bahan alami, seperti tumbuhan, kulit binatang, dan batu-batuan untuk asesoris. Ketika manusia menemukan tekstil dengan teknologi pengolahan yang tinggi, maka busana berkembang menjadi lebih baik.

2.1 Fungsi Tata Busana
Busana yang dipakai manusia beraneka ragam bentuk dan fungsinya. Fungsi busana dalam kehidupan sehari-hari untuk melindungi tubuh, mencitrakan kesopanan, dan memenuhi hasrat manusia akan keindahan. Busana dalam teater memiliki fungsi yang lebih kompleks, yaitu.
• Mencitrakan keindahan penampilan
• Membedakan satu pemain dengan pemain yang lain
• Menggambarkan karakter tokoh
• Memberikan efek gerak pemain
• Memberikan efek dramatik

2.1.1 Mencitrakan Keindahan Penampilan
Manusia memiliki hasrat untuk mengungkapkan rasa keindahan dalam berbagai aspek kehidupan. Tata busana dalam teater berfungsi sebagai bentuk ekspresi untuk tampil lebih indah dari penampilan sehari-hari (Gb.183).


Gb.183 Busana mencitrakan keindahan penampilan

Pementasan teater adalah suatu tontonan yang mengandung aspek keindahan. Pada era teater primitif, hasrat untuk tampil berbeda dan lebih indah dari tampilan sehari-hari telah muncul. Busana pementesan teater dibuat secara khusus dan dilengkapi dengan asesoris sesuai kebutuhan pemensan. Teater di Inggris pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth (1580 – 1640), memakai busana sehari-hari yang dibuat lebih indah dengan mengaplikasikan perhiasan dan penambahan bahan-bahan yang mahal dan mewah.

2.1.2 Membedakan Satu Pemain Dengan Pemain Yang Lain
Pementasan teater menampilkan tokoh yang bermacam-macam karakter dan latar belakang sosialnya. Penonton membutuhkan suatu penampilan yang berbeda-beda antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Busana menjadi salah satu tanda penting untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Penampilan busana yang berbeda akan menunjukkan ciri khusus seorang tokoh, sehingga penonton mampu mengidentifikasikan tokoh dengan mudah (Gb.184).


Gb.184 Tata busana membedakan pemain satu dengan yang lain

2.1.3 Menggambarkan Karakter Tokoh
Fungsi penting busana dalam teater adalah untuk menggambarkan karakter tokoh (Gb.185). Perbedaan karakter dalam busana dapat ditampilkan melalui model, bentuk, warna, motif, dan garis yang diciptakan. Melalui busana, penonton terbantu dalam menangkap karakter yang berbeda dari setiap tokoh. Contohnya, tokoh seorang pelajar yang pendiam, rajin, dan alim, busananya cenderung rapi, sederhana, dan tanpa asesoris yang berlebihan. Sebaliknya, tokoh seorang pelajar yang bandel, brutal, dan sering membuat onar, busananya dilengkapi asesoris dan cara pemakaiannya seenaknya tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan sekolah.


Gb.185 Busana menggambarkan karakter peran

2.1.4 Memberi Ruang Gerak Pemain
Tata busana memiliki fungsi memberikan ruang gerak kepada pemain untuk mengekspresikan karakternya (Gb.186). Busana diciptakan untuk memberikan ruang gerak pemain sehingga segala bentuk gerak dapat diekspresikan secara maksimal.


Gb.186 Busana memberikan ruang gerak pemain
Pemain memiliki bentuk dan karakteristik gerak yang berbeda dan membutuhkan bentuk dan gaya busana yang berbeda pula. Busana bukan sebagai penghalang bagi aktivitas pemain, sebaliknya memberi keluasan gerak pemain. Dalam Opera Cina, busana dirancang khusus untuk adegan-adegan perang yang akrobatik.

2.1.5 Memberikan Efek Dramatik
Busana juga berfungsi memberikan efek dramatik. Busana mendukung dramatika sebuah adegan dalam lakon (Gb.187). Gerak pemain akan lebih ekspresif dan dramatik dengan adanya busana. Efek dramatik busana juga bisa muncul dari perkembangan tokoh, contohnya busana tokoh yang mengalami kejayaan pada babak awal kemudian berubah busananya ketika mengalami kejatuhan. Selain itu, saat busana dipakai untuk bermain bisa melahirkan bentuk dan efek gerak tertertu yang mampu memukau.


Gb.187 Busana mampu memberikan efek dramatik

2.2 Jenis Tata Busana
Busana sangat beragam jenis dan bentuknya. Busana teater secara garis besar dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu; busana sehari-hari, busana tradisional, busana sejarah, dan busana fantasi.

2.2.1 Busana Sehari-hari
Busana sehari-hari adalah busana yang dipakai dalam kehidupan keseharian masyarakat. Busana sehari-hari juga memiliki bentuk yang beragam, tergantung dari tingkat sosial msyarakat yang memakai. Misalnya, busana petani berbeda dengan busana seorang tuan tanah. Busana sehari-hari dapat menunjukkan tingkat sosial seseorang yang memakainya. Busana sehari-hari banyak dipakai dalam pementasan teater realis. Dimana teater realis merupakan gambaran kehidupan sehari-hari (illusion of nature).

2.2.2 Busana Tradisional
Setiap masyarakat memiliki busana tradisional sesuai dengan kebudayaannya. Busana tradisional mencerminkan karakteristik masyarakat yang membedakan dengan kelompok masyarakat lain. Setiap bangsa memiliki busana tradisionalnya sendiri. Gambar 188 dan 189 menunjukkan beragam busana tradisional. Indonesia sangat kaya dengan busana tradisional, misalnya Jawa memiliki busana tradisional yang disebut kebaya. Kebaya sendiri juga memiliki karakteristik berbeda, antara kebaya Jawa Tengah, Sunda, dan Bali. Masyarakat Minangkabau memiliki baju kurung.


Gb.188 Busana tradisional Suku Dayak


Gb.189 Busana tradisional Etnis India
Naskah-naskah teater memiliki latar sosial budaya yang beragam. Naskah Panembahan Reso karya Rendra memiliki latar sosial budaya Jawa, naskah Puti Bungsu karya Wisran Hadi memiliki latar sosial budaya Sumatera. Busana yang dibutuhkan naskah tersebut adalah busana tradisional sesuai dengan latar sosial budaya dimana peristiwa terjadi. Pementasan teater yang mengambil naskah asing sering juga diadaptasi ke latar sosial budaya tertentu, misalnya Hamlet dipentaskan dengan latar sosial budaya Jawa. Oleh karena itu, penata busana perlu mempelajari beragam busana tradisional.

2.2.3 Busana Sejarah
Busana yang mencerminkan zaman tertentu dari suatu masa (Gb.190). Dalam pementasan teater, busana ini sering dipakai ketika pertunjukan mengangkat lakon-lakon sejarah. Busana sejarah terikat dengan masa tertentu, sehingga penata busana perlu mempelajari konvensi busana pada masa dimana peristiwa dalam naskah terjadi. Contohnya, naskah Domba-domba Revolusi karya B. Sularto yang latar peristiwanya terjadi pada masa perjuangan, maka busana dirancang mengacu pada busana masa perjuangan. Oleh karena itu, penata busana perlu mengetahui model, warna, tekstur, dan corak busana pada masa perjuangan.



Gb.190 Contoh busana sejarah
2.2.4 Busana Fantasi
Istilah busana fantasi adalah untuk mengidentifikasikan jenis-jenis busana yang lahir dari imajinasi dan fantasi perancang (Gb.191). Dalam hal ini, busana ini tidak lazim ditemui dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Busana jenis ini juga dimaksudkan untuk busana tokoh-tokoh yang tidak riil dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tokoh bidadari, malaikat, atau dewa. Busana-busana untuk tokoh semacam ini membutuhkan rancangan khusus sehingga membedakan dengan tokoh yang riil.


Gb.191 Busana fantasi

2.3 Bahan dan Peralatan Tata busana
Bahan busana yang dapat dimanfaatkan untuk pementasan teater sangat beragam. Bahan busana teater mencerminkan pencapaian teknologi pengolahan bahan di suatu zaman. Pada era teater primitif bahan busana diolah dari materi-materi yang ada di lingkungan dimana teater tersebut hidup. Secara garis besar, bahan busana untuk pementasan teater dapat digolongkan menjadi bahan alami, kain (tekstil), bahan sintetik, dan kulit.

2.3.1 Bahan Tata Busana
Dalam pementasan teater bahan yang digunakan untuk membuat tata busana bermacam-macam. Karena pertunjukan teater berbeda dengan kehidupan nyata, maka busana dalam teater dapat dibuat dengan bahan yang awet atau dari bahan sintetis atau bahan lain sekedar untuk kepentingan pementasan. Berbagai macam jenis bahan tersebut di antaranya adalah; bahan alami, tekstil, busa, spon, dan kulit.

2.3.1.1 Bahan Alami
Bahan alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan merupakan bahan yang sering dimanfaatkan manusia untuk busana (Gb.192).


Gb.192 Busana berbahan alami

Bagian yang biasa dipakai untuk bahan busana adalah daun, batang, dan kulit kayu. Orang-orang Mesir pada zaman dahulu mengolah serat rami menjadi bahan busana. Rami diolah dari tumbuhan sejenis rumput yang tumbuh di sekitar sungai Nil. Rami diolah menjadi lembaran-lembaran yang bisa dipakai untuk bahan busana. Bahan busana dari tumbuh-tumbuhan juga dimanfaatkan untuk seni pertunjukan. Beberapa bentuk teater tradisonal memanfaatkan bahan alami untuk busana. Di Bali terdapat seni pertunjukan bernama Brutuk yang menggunakan daun pisang sebagai bahan busana. Di berbagai bangsa yang masih primitif sering menggunakan bahan-bahan alami ini untuk busana. Di Kalimantan, masyarakat Dayak Kalimantan juga mengolah kulit kayu untuk pakaian dengan diberi ornamen. Pakaian-pakaian tersebut juga dipakai untuk kepentingan-kepentingan pertunjukan.

2.3.1.2 Tekstil
Tekstil atau kain merupakan bahan utama pembuatan busana. Bahan tekstil merupakan bahan yang paling banyak dipakai untuk pementasan teater (Gb.193).


Gb.193 Busana berbahan tekstil

Tekstil sebenarnya juga bersumber dari bahan-bahan alami baik dari serat tumbuhan maupun serat binatang. Wol, misalnya, adalah sejenis tekstil yang diolah dari bulu domba. Pengolah wol menjadi tekstil diperkirakan sudah ada semenjak zaman Neolitikum (3000 Sebelum Masehi). Pada 3000 tahun SM di lembah Indus, India, kapas telah diolah menjadi kain. Bangsa Cina mengolah kain sutera yang berasal dari ulat sutera yang hidup di pohon murbai. Pada perkembangannya, kain memiliki berbagai jenis dengan karakter yang berbeda-beda.
Karakter tekstil meliputi tebal-tipis, kaku-lembut, kasar-halus, dan mengkilat- kusam. Karakter tekstil berpengaruh pada kualitas busana yang diciptakan. Setiap model busana membutuhkan karakter bahan tertentu. Satu busana bisa saja membutuhkan bahan yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Perkembangan tekstil berpengaruh besar pada model busana dalam setiap periode.

2.3.1.3 Busa
Busa merupakan bahan yang penting dalam pembuatan busana teater. Busa juga memiliki jenis dan karakter yang berbeda-beda. Busa dengan pori-pori yang lebar memiliki karakter lunak dan elastis sering dimanfaatkan untuk mengisi dan menebalkan bagian busana tertentu, misalnya bagian pundak untuk menyamarkan pundak yang sempit dan turun. Rancangan busana untuk tokoh binatang yang membutuhkan penambahan bentuk tubuh, bisa memanfaatkan busa.

2.3.1.4 Spon
Spon bertekstur padat dengan karakter yang liat seperti karet. Spon dimanfaatkan untuk pembuatan busana-busana perang. Spon bertekstur padat dan halus. Spon apabila dicat dengan teknik tertentu dapat memberikan karakter keras, misalnya seperti benda-benda yang terbuat dari logam.

2.3.1.5 Kulit
Kulit biasnya berbentuk lembaran seperti kain. Biasa dimanfaatkan untuk busana sejenis jaket.


Gb.194 Busana berbahan kulit

Kulit yang baik adalah yang diambil dari kulit binatang. Ada pula sejenis kulit sintetik yang memiliki karakter tidak jauh berbeda, dengan kualitas di bawah kulit binatang.

2.3.2 Peralatan Tata Busana
Peralatan dalam tata busana sangat beragam. Peralatan akan menyangkut teknik pemakaian dan produksi tata busana. Busana untuk pementasan teater terkadang tidak harus diproduksi, tetapi memanfaatkan busana yang ada. Sebaliknya, busana teater harus diproduksi, mulai dari desain, pencarian bahan, pembuatan pola, dan menjahit. Masing-masing membutuhkan peralatan yang berbeda-beda. Secara garis besar, peralatan pembuatan busana teater adalah sebagai berikut:

• Gunting
Gunting untuk produksi busana, terdapat beberapa jenis dengan fungsi yang berbeda-beda, yaitu:

Gunting kain. Adalah gunting khusus untuk memotong kain. Gunting kain memiliki dua pegangan yang berbeda. Pegangan besar untuk menempatkan emapt jari, sedangkan pegangan kecil untuk menempatkan ibu jari. Gunting kain tidak boleh dipakai untuk menggunting bahan lain, karena mudah tumpul.

Gunting benang, berfungsi untuk menggunting benang bagian-bagian busana yang sulit dijakangkau dengan gunting kain. Gunting ini hanya memiliki satu pegangan untuk menempatkan dua jari.

Gunting listrik, dipakai untuk memotong kain dalam jumlah yang banyak. Gunting listrik biasa dipakai dalam industri busana-busana jadi. Gunting jenis ini jarang dipakai untuk memproduksi busana teater di Indonesia, kecuali produksi yang besar dan mmbutuhkan busana dengan jumlah yang besar pula.

• Penggaris
Penggaris merupakan alat penting dalam memproduksi busana. Penggaris yang dibutuhkan juga beragam, mulai dari ukuran dan bentuknya. Termasuk penggaris khusus yang diproduksi untuk kepentingan pembuatan busana, misalnya penggaris dressmaking untuk membentuk bagian pinggul.

• Rader
Rader merupakan alat yang berfungsi untuk menekan karbon jahit saat memberi tanda pola pada bahan busana yang akan dijahit. Rader memiliki ujung yang beroda. Roda rader bermacam-macam, mulai dari yang polos, beroda tumpul, sampai roda bergerigi tajam.

• Pencabut Benang
Pada busana sering terdapat jahitan yang tidak terpakai atau terjadi kekeliruan dalam proses menjahit. Oleh karena itu dibutuhkan alat pencabut benang. Alat ini berupa logam yang ujungnya bercabang.

• Jarum
Jarum merupakan peralatan yang penting. Jarum juga bermacam-macam jenis dan fungsinya. Jarum tisik untuk memasang berbagai asesoris baik berupa kain atau manik-manik. Jarum jahit adalah jarum khusus yang terpasang pada mesin jahit. Jenis jarum yang lain adalah jarum pentul yang berfungsi untuk menyematkan asesoris atau mengaitkan satu unsur busana dengan unsur yang lain.

• Mesin jahit
Mesin jahit terdapat berbagai jenis pula. Mesin jahit yang umum digunakan adalah mesin jahit manual yang dioperasikan dengan kayuhan kaki. Jenis mesin jahit lain adalah mesin jahit listrik. Mesin jahit ini dapat bekerja lebih cepat dengan hasil yang lebih baik.

• Setrika
Setrika dibutuhkan pada saat produksi busana dan persiapan pementasan. Setrika yang paling sering dipakai adalah setrika listrik yang dapat diatur temperaturnya. Terdapat pula setrika dengan semprotan air. Setrika dengan semprotan air akan mempercepat proses dalam melicinkan busana.

• Boneka Jahit
Boneka jahit berbentuk torso yang tersedia dalam berbagai ukuran standar, yaitu S, M , L, dan XL. Fungsinya untuk meletakkan busana agar dapat mengetahui jatuhnya jahitan.

2.4 Praktek Tata Busana
Membuat busana untuk pementasan teater membutuhkan persiapan yang matang dengan tata urutan kerja yang sistematik. Seorang perancang busana tidak bisa kerja sendiri, karena karyanya berhubungan dengan tata artistik lain. Dimensi dan warna busana tergantung pada pencahayaan yang dikerjakan penata cahaya. Rancangan busana juga harus mempertimbangkan masukan sutradara, karena sutradara yang mengetahui bentuk, pola, dan gaya permainan.



2.4.1 Menganalisis Naskah
Naskah adalah sumber gagasan dari sebuah pementasan teater. Gagasan kreatif seorang penata busana mengacu langsung pada naskah yang akan dipentaskan. Menganalisis naskah artinya adalah memahami naskah secara utuh. Bagi seorang aktor, memahami naskah adalah untuk mengetahui karakter tokoh dan bagaimana mewujudkan karakter itu dalam akting. Seorang penata busana menganalisis naskah untuk mengetahui jenis busana, model, warna, tektur, dan motif yang dibutuhkan.
Memahami naskah bermula dari mempelajari tokoh. Keutuhan tokoh yang menyangkut dimensi fisik, psikologis, serta latar sosial sangat menentukan arah rancangan busana. Seorang penata busana perlu juga mempelajari aktivitas tokoh yang menyangkut karakteristik akting. Seorang tokoh dalam naskah mungkin banyak melakukan adegan perkelahian dengan motif gerak silat, sehingga penata busana perlu membuat busana yang memiliki pola tertentu sehingga memberi ruang gerak secara maksimal. Dengan mempelajari naskah, seorang penata busana bisa mengetahui perubahan busana dalam setiap adegan atau babak. Semua aspek yang menyangkut fungsi busana dalam sebuah pementasan perlu dicermati oleh penata busana.
Memahami naskah akan memberikan ide-ide kreatif terhadap penata busana. Saat mempelajari naskah, seorang penata busana perlu membuat catatan-catatan penting terkait dengan gagasannya maupun hal-hal yang akan didiskusikan dengan tim artistik yang lain. Seorang penata busana juga perlu mencatat kesulitan-kesulitan, baik menyangkut model busana, maupun aspek teknik. Dengan mempelajari naskah dengan baik, seorang penata busana memperoleh gambaran yang utuh tentang rancangan busana yang dibutuhkan.

2.4.2 Diskusi Dengan Sutradara dan Tim Artistik
Penata busana perlu melakukan diskusi dengan sutradara untuk memperoleh pemahaman yang sama terhadap naskah. Gagasan sutradara tentang busana juga merupakan masukan yang penting bagi penata busana. Diskusi yang dilakukan dengan sutradara menyangkut model busana, bentuk, warna,motif, garis, serta kemungkinan-kemungkinan akting yang membawa konsekuensi pada rancangan busana. Masukan sutradara menjadi landasan untuk membuat desain.
Diskusi dengan tim artistik menjadi proses kerja yang penting bagi seorang penata busana. Khususnya dengan penata cahaya. Pencahayaan berpengaruh langsung pada dimensi dan warna busana. Penata busana perlu menyampaikan warna yang dipakai sehingga tidak memunculkan efek-efek lain yang tidak diinginkan. Dalam diskusi, semua gagasan artistik diungkapkan untuk mencapai kesepakatan pengolahan unsur-unsur estetiknya.


2.4.3 Mengenal Tubuh Pemain
Membuat busana terkait langsung bentuk tubuh pemain. Tokoh dalam naskah mempunyai karakteristik tubuh yang tidak selalu sesuai dengan bentuk tubuh pemain. Bentuk tubuh pemain memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan dalam membuat rancangan busana. Oleh karena itu, penata busana perlu mencatat dengan cermat karakteristik tubuh pemain. Anatomi tubuh yang tidak sesuai perlu dicarikan solusinya sehingga sesuai dengan kebutuhan tokoh.

2.4.4 Persiapan Pengadaan dan produksi
Desain busana menentukan pengadaan dan produksi. Pengadaan dan produksi akan terkait dengan waktu, biaya, serta tenaga yang terlibat. Pengadaan busana dengan cara memadukan busana yang sudah ada, membutuhkan waktu dan biaya yang relatif sedikit. Sebaliknya, busana yang harus diproduksi membutuhkan waktu, biaya, serta tenaga yang relatif banyak. Hal ini perlu dipertimbangkan agar busana dapat disediakan tepat pada waktu yang telah ditentukan.

2.4.5 Persiapan Pementasan
Persiapan pementasan merupakan hal yang penting. Persiapan pementasan perlu pengelolaan tersendiri. Pengelolaan persiapan pementasan dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan busana berdasarkan tokoh. Busana untuk masing-masing tokoh dikelompokkan tersendiri dengan catatan khusus terkait dengan jenis busana, asesoris, serta peralatan yang dibutuhkan. Busana-busana yang membutuhkan perlakukan khusus, seperti harus diseterika, dibuat kusut, dirancang untuk sobek saat dipakai akting, dan sebagainya, juga harus diperhatikan. Penata busana juga perlu memperhatikan pergantian busana tiap babak atau adegan. Semuanya harus ditata dalam alur kerja yang sistematis.

2.4.6 Desain
Desain busana berarti rancangan tentang suatu bentuk dan model busana. Desain menjadi media untuk menggambarkan gagasan perancang busana. Fungsi lain dari desain adalah sebagai alat mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain untuk dapat diwujudkan dalam bentuk busana yang sebenarnya. Secara garis besar, desain dibedakan menjadi dua, yaitu desain ilustrasi dan desain produksi.

2.4.6.1 Desain Ilustrasi
Desain ilustrasi busana merupakan desain dasar yang tidak memiliki keterangan spesifik tentang busana. Ilustrasi busana berupa gambar yang menjadi gagasan dasar dan membutuhkan penjabaran teknik apabila hendak diproduksi. Desain busana bisa dibuat dengan gambar detil realistik seperti yang terlihat dalam gambar 195 dan 196. Akan tetapi juga bisa dibuat dalam bentuk sket yang memuat ide secara global.


Gb.195 Desain busana 1 Gb.196 Desain busana 2


Gb.197 Sketsa tata busana

Desain ilustrasi dengan gambar detil realistik akan memberikan kemudahan bagi sutradara dan tim tata artistik yang lain untuk memahami. Tetapi karena desain ilustrasi masih merupakan tahap awal tentunya akan sedikit menyulitkan bagi penata busana untuk menggambar desain ulang setelah mendapatkan penyesuaian dari sutradara. Pada tahap awal, gambar desain berupa sketsa lebih dianjurkan karena masih adanya penyesuaian di sana-sini sehingga tidak terlalu menyulitkan dalam mengubah gambar desainnya.

2.4.6.2 Desain Produksi
Suatu desain yang dibuat dengan tujuan untuk diproduksi. Oleh karena itu mengandung keterangan-ketranagan teknik yang rinci, dan jelas sehingga dapat dibaca dan diwujudkan ke dalam bentuk busana yang sesungguhnya.

2.4.7 Mengerjakan Busana
Pengerjaan busana untuk pementasan teater tergantung dari desain untuk menentukan teknik pengerjaan. Suatu busana mungkin tidak perlu dibuat, karena dapat memanfaatkan busana yang ada untuk ditata sedemikian rupa sesuai dengan rancangan. Akan tetapi, desain busana hanya bisa diwujudkan dengan memproduksi, mulai dari menyiapkan bahan sampai proses penjahitan.

2.4.7.1 Teknik Draperi
Teknik draperi adalah teknik pemakaian busana dari lembaran-lembaran kain yang diaplikasikan ke tubuh dengan mengaitkan dan mengikat untuk memperoleh bentuk tertentu. Biasanya pemain memakai busana dasar. Teknik draperi ini bertujuan memperoleh bentuk tertentu dari pengolahan lembaran kain. Teater Yunani memakai teknik draperi untuk busana bagian luar. Busana dasarnya semacam baju tanpa lengan dengan bentuk lurus yang disebut tunik.

2.4.7.2 Teknik Padu Padan
Teknik padu padan busana adalah suatu teknik memadukan busana , baik satu unsur busana atau lebih untuk mendapatkan model busana baru. Berbeda dengan teknik draperi, teknik padu padan mengolah busana yang sudah jadi . Teknik padu padan bertolak dari suatu karakter busana yang sama maupun berbeda model, warna, motif, tekstur dan bentuknya. Dalam pementasan teater, teknik padu padan bisa dipakai apabila kebutuhan busana untuk pementasan bisa diadakan berdasarkan busana yang tersedia.

2.4.7.3 Teknik Produksi
Busana yang dibutuhkan untuk sebuah pementasan teater tidak selalu bisa menggunakan teknik draperi maupun padu padan. Adakalanya busana yang dipakai harus diproduksi karena tuntutan desain tertentu. Memproduksi busana melalui tahapan-tahapan tertentu.
• Desain busana. Desain mejadi penuntun dalam hal model, motif, warna, bentuk, dan tekstur. Desain dalam produksi idealnya terwujud dalam bentuk desain produksi yang memuat petunjuk teknik, ukuran, dan detil sebuah busana.
• Mempertimbangkan bentuk tubuh. Setiap orang memiliki bentuk tubuh yang berbeda-beda. Bentuk tubuh setiap pemeran tidak selalu sama dengan tuntutan tokoh. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah kekurang dan kelebihan tubuh pemain.
• Pengukuran. Pengambilan pengukuran menjadi hal yang penting karena menyangkut kenyamanan serta bentuk busana. Pada saat pengukuran, semua kelebihan dan kekurangan tubuh pemain telah dicarikan solusinya sehingga pengambilan ukuran sesuai dengan tuntutan.
• Pembuatan pola busana. Pola adalah bentuk dasar busana menyangkut potongan tubuh dan ukuran yang diproyeksikan pada kain untuk dipotong sesuai rancangan. Semakin rumit rancangan busana, maka pembuatan pola juga semakin rumit. Pola memuat garis-garis perpotongan busana yang berpengaruh pada kenyamanan dan bentuk busana.
• Menjahit Busana. Pola yang dipindahkan atau diproyeksikan pada kain untuk dipotong. Pemotongan dilakukan berdasarkan garis proyeksi pola. Setelah kain dipotong, maka proses berikutnya adalah menjahit. Menjahit adalah proses perangkaian busana secara permanen untuk menyatukan unsur-unsur potongan.
• Finishing. Finishing busana menyangkut pemasangan kancing, aplikasi, dan asesoris busana sesuai dengan rancangan. Sebelumnya, busana diletakkan pada boneka jahit untuk memastikan bentuk dan jatuhnya kain. Setelah finishing selesai, busana baru siap difungsikan.
• Persiapan Pementasan. Ketika busana telah jadi, pekerjaan penata busana belum berakhir. Penata busana harus menyiapkan busana pada saat pementasan. Persiapan ini penting, karena akan berpengaruh langsung pada pencapaian akhir , yaitu saat busana dipakai untuk pementasan. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah mengontrol kesiapan busana. Seorang penata busana perlu melihat kembali apakah tidak terdapat kekurangan dalam setiap busana (Gb.198). Ketika setiap busana telah dikontrol, maka busana perlu dipadukan dengan pasangannya (Gb.199). Biasanya setiap busana terdiri dari beberapa unsur, seperti pakaian dasar, pakaian luar, serta asesoris. Perlengkapan lain yang perlu disiapkan adalah asesoris, seperti sepatu, ikat pinggang, ikat kepala, dan lain-lain sesuai rancangan. Asesoris juga perlu dikelompokkan untuk memudahkan proses pemakaian (Gb.200). Semua busana dikelompokkan pada tempat khusus, sehingga mudah diaplikasikan saat pemakaian. Penata busana membutuhkan seorang asisten untuk proses pemakaian busana (Gb.201). Apabila busana telah dipakai oleh pemain, idealnya penata busana mengontrol tingkat kenyamanan ketika dipakai untuk bermain. Oleh karena itu, pemain diberi kesempatan untuk mencoba. Kesempatan untuk mencoba bisa dilakukan pada saat latihan terakhir, tetapi menjelang pementasan perlu dicoba kembali (Gb.202)


Gb.198 Pengecekan kelengkapan busana


Gb.199 Pemaduan busana


Gb.200 Kelengkapan busana



Gb.201 Pemasangan kelengkapan Gb.202 Hasil akhir penataan busana

• Pementasan. Pementasan merupakan saat yang penting untuk melihat hasil seluruh kerja tim artistik. Penata busana pada saat pentas masih memiliki tugas mengikuti pertunjukan. Mengikuti pertunjukan dalam hal ini untuk mengganti atau menambah busana yang dipakai oleh pemain. Dalam proses ini, seorang penata busana idealnya memiliki asisten yang disebut dresser. Dresser bertugas membantu penata busana dalam memasang atau menukar busana saat pementasan berlangsung.


3. TATA CAHAYA
Cahaya adalah unsur tata artistik yang paling penting dalam pertunjukan teater. Tanpa adanya cahaya maka penonton tidak akan dapat menyaksikan apa-apa. Dalam pertunjukan era primitif manusia hanya menggunakan cahaya matahari, bulan atau api untuk menerangi. Sejak ditemukannya lampu penerangan manusia menciptakan modifikasi dan menemukan hal-hal baru yang dapat digunakan untuk menerangi panggung pementasan. Seorang penata cahaya perlu mempelajari pengetahuan dasar dan penguasaan peralatan tata cahaya. Pengetahuan dasar ini selanjutnya dapat diterapkan dan dikembangkan dalam pelanataan cahaya untuk kepentingan artistik pemanggungan.

3.1 Fungsi Tata Cahaya
Tata cahaya yang hadir di atas panggung dan menyinari semua objek sesungguhnya menghadirkan kemungkinan bagi sutradara, aktor, dan penonton untuk saling melihat dan berkomunikasi. Semua objek yang disinari memberikan gambaran yang jelas kepada penonton tentang segala sesuatu yang akan dikomunikasikan. Dengan cahaya, sutradara dapat menghadirkan ilusi imajinatif. Banyak hal yang bisa dikerjakan bekaitan dengan peran tata cahaya tetapi fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu penerangan, dimensi, pemilihan, dan atmosfir (Mark Carpenter, 1988).
• Penerangan. Inilah fungsi paling mendasar dari tata cahaya. Lampu memberi penerangan pada pemain dan setiap objek yang ada di atas panggung. Istilah penerangan dalam tata cahaya panggung bukan hanya sekedar memberi efek terang sehingga bisa dilihat tetapi memberi penerangan bagian tertentu dengan intensitas tertentu. Tidak semua area di atas panggung memiliki tingkat terang yang sama tetapi diatur dengan tujuan dan maksud tertentu sehingga menegaskan pesan yang hendak disampaikan melalui laku aktor di atas pentas.
• Dimensi. Dengan tata cahaya kedalaman sebuah objek dapat dicitrakan. Dimensi dapat diciptakan dengan membagi sisi gelap dan terang atas objek yang disinari sehingga membantu perspektif tata panggung. Jika semua objek diterangi dengan intensitas yang sama maka gambar yang akan tertangkap oleh mata penonton menjadi datar. Dengan pengaturan tingkat intensitas serta pemilahan sisi gelap dan terang maka dimensi objek akan muncul.
• Pemilihan. Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan objek dan area yang hendak disinari. Jika dalam film dan televisi sutradara dapat memilih adegan menggunakan kamera maka sutradara panggung melakukannya dengan cahaya. Dalam teater, penonton secara normal dapat melihat seluruh area panggung, untuk memberikan fokus perhatian pada area atau aksi tertentu sutradara memanfaatkan cahaya. Pemilihan ini tidak hanya berpengaruh bagi perhatian penonton tetapi juga bagi para aktor di atas pentas serta keindahan tata panggung yang dihadirkan.
• Atmosfir. Yang paling menarik dari fungsi tata cahaya adalah kemampuannya menghadirkan suasana yang mempengaruhi emosi penonton. Kata “atmosfir” digunakan untuk menjelaskan suasana serta emosi yang terkandung dalam peristiwa lakon. Tata cahaya mampu menghadirkan suasana yang dikehendaki oleh lakon. Sejak ditemukannya teknologi pencahayaan panggung, efek lampu dapat diciptakan untuk menirukan cahaya bulan dan matahari pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, warna cahaya matahari pagi berbeda dengan siang hari. Sinar mentari pagi membawa kehangatan sedangkan sinar mentari siang hari terasa panas. Inilah gambaran suasana dan emosi yang dapat dimunculkan oleh tata cahaya.
Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas tidak berdiri sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki interaksi (saling mempengaruhi). Fungsi penerangan dilakukan dengan memilih area tertentu untuk memberikan gambaran dimensional objek, suasana, dan emosi peristiwa. Gambar 203 memperlihatkan interaksi fungsi pokok tata cahaya.


Gb.203 Interaksi fungsi tata cahaya

Selain keempat fungsi pokok di atas, tata cahaya memiliki fungsi pendukung yang dikembangkan secara berlainan oleh masing-masing ahli tata cahaya. Beberapa fungsi pendukung yang dapat ditemukan dalam tata cahaya adalah sebagai berikut.
• Gerak. Tata cahaya tidaklah statis. Sepanjang pementasan, cahaya selalu bergerak dan berpindah dari area satu ke area lain, dari objek satu ke objek lain. Gerak perpindahan cahaya ini mengalir sehingga kadang-kadang perubahannya disadari oleh penonton dan kadang tidak. Jika perpindahan cahaya bergerak dari aktor satu ke aktor lain dalam area yang berbeda, penonton dapat melihatnya dengan jelas. Tetapi pergantian cahaya dalam satu area ketika adegan tengah berlangsung terkadang tidak secara langsung disadari. Tanpa sadar penonton dibawa ke dalam suasana yang berbeda melalui perubahan cahaya.
• Gaya. Cahaya dapat menunjukkan gaya pementasan yang sedang dilakonkan. Gaya realis atau naturalis yang mensyaratkan detil kenyataan mengharuskan tata cahaya mengikuti cahaya alami seperti matahari, bulan atau lampu meja. Dalam gaya Surealis tata cahaya diproyeksikan untuk menyajikan imajinasi atau fantasi di luar kenyataan sehari-hari. Dalam pementasan komedi atau dagelan tata cahaya membutuhkan tingkat penerangan yang tinggi sehingga setiap gerak lucu yang dilakukan oleh aktor dapat tertangkap jelas oleh penonton.
• Komposisi. Cahaya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lukisan panggung melalui tatanan warna yang dihasilkannya.
• Penekanan. Tata cahaya dapat memberikan penekanan tertentu pada adegan atau objek yang dinginkan. Penggunaan warna serta intensitas dapat menarik perhatian penonton sehingga membantu pesan yang hendak disampaikan. Sebuah bagian bangunan yang tinggi yang senantiasa disinari cahaya sepanjang pertunjukan akan menarik perhatian penonton dan menimbulkan pertanyaan sehingga membuat penonton menyelidiki maksud dari hal tersebut.
• Pemberian tanda. Cahaya berfungsi untuk memberi tanda selama pertunjukan berlangsung. Misalnya, fade out untuk mengakhiri sebuah adegan, fade in untuk memulai adegan dan black out sebagai akhir dari cerita. Dalam pementasan teater tradisional, black out biasanya digunakan sebagai tanda ganti adegan diiringi dengan pergantian set.





3.2 Peralatan Tata Cahaya
Kerja tata cahaya adalah kerja pengaturan sinar di atas pentas. Kecakapan dalam mendisitribusi cahaya ke atas pentas sangat dibutuhkan. Dengan peralatan tata cahaya, kontrol atau kendali atas distribusi cahaya itu dikerjakan. Penata cahaya perlu mengendalikan intensitas, warna, arah, bentuk, ukuran, dan kualitas cahaya serta gerak arus cahaya. Semua kendali itu bisa dimungkinkan karena adanya peralatan tata cahaya yang memang dirancang untuk tujuan tersebut. Penguasaan peralatan wajib dipelajari oleh penata cahaya.

3.2.1 Bohlam
Bohlam (bulb, lamp) adalah sumber cahaya. Bagian-bagian dari bohlam terdiri atas envelope, filament, dan base (Gb.204). Envelope adalah cangkang yang terbuat dari gelas kaca atau kwarsa untuk melindungi komponen dari udara dan mencegahnya dari kebakaran.


Gb.204 Bohlam

Filament merupakan komponen yang mengubah panas listrik menjadi cahaya. Ukuran dan bentuknya bermacam-macam disesuaikan dengan ketahanan panas dan hasil cahaya yang dinginkan. Karena filament menghasilkan cahaya dari panas maka ia juga menjadi lemah karena panas sehingga mudah rusak. Oleh karena itu pemasangan dan pelepasan bohlam hendaknya dilakukan dengan hati-hati apalagi ketika kondisinya sedang menyala. Base, adalah dasaran untuk meletakkan bohlam pada dudukan yang sesuai dan merupakan komponen yang menghubungkan filament dengan arus listrik. Jenis dan bentuk base berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan dudukan yang disediakan pada masing-masing jenis dan merk lampu dari pabrikan tertentu.

Gb.205 Aneka bentuk bohlam

Gambar di atas memperlihatkan aneka ragam bentuk bohlam. Hampir semua bohlam dibuat terpisah dengan reflektornya tetapi pada lampu PAR bohlam dibuat satu unit dengan reflektor dan lensa sehingga jika bohlam mati maka semua unit komponennya harus diganti. Pada dasarnya jenis bohlam lampu panggung ada tiga yaitu; tungsten, tungsten-halogen, dan discharge. Tungsten digunakan untuk lampu di bawah 1000 watt. Tungsten-halogen untuk lampu 1000 watt ke atas. Sedangkan discharge adalah lampu yang hanya bisa dioperasikan secara manual seperti lampu followspot. Penggunaan jenis bohlam ini didasari pada ketahanan material menahan panas tinggi dalam kurun waktu yang lama. Karena bekerja dengan panas, maka kualitas bohlam menurun seiring penggunaan waktu dan batas waktu hidupnya (lifetime) telah ditentukan (terbatas).

3.2.2 Reflektor dan Refleksi
Untuk memancarkan cahaya dari bohlam ke objek yang disinari dibutuhkan reflektor. Cahaya yang hanya berasal dari bohlam sinarnya kurang kuat dan tidak terarah pancarannya. Dengan reflektor maka pancaran cahaya yang berasal dari bohlam dapat ditingkatkan, diatur, dan diarahkan. Lampu panggung menggunakan tiga jenis reflektor yaitu; ellipsoidal, spherical, dan parabolic.
Reflektor ellipsoidal berbentuk lengkungan setengah elips (lonjong) yang mengelilingi lampu sehingga mencipatkan efek pancaran tiga dimensi. Jarak masing-masing sisinya terhadap sumber cahaya tetap. Karena bentuknya tersebut cahaya yang dihasilkan oleh reflektor ellipsoidal memiliki dua focal point (tittik temu fokus cahaya). Focal point 1 berasal dari titik fokus sumber cahaya (bohlam) kemudian memantul kembali ke reflektor yang hasil refleksinya membentuk titik focal point 2 baru kemudian menyebar (Gb.206).


Gb.206 Reflektor elipsoidal

Reflektor spherical memiliki bentuk sisi yang membulat. Jenis reflektor ini memancarkan seluruh cahaya langsung dari titik focal point ke reflektor yang merefleksikannya kembali melalui focal point tersebut sebelum memencar. Jika dibuat garis lingkaran imajiner maka panjang cahaya yang ditempuh masing-masing garis cahaya adalah sama. Gambar 207 memperlihatkan refleksi cahaya melalui reflektor spherical.


Gb.207 Reflektor spherical

Reflektor parabolic memiliki bentuk sisi parabola. Reflektor jenis ini merefleksikan cahaya langsung dari atau melalui focal point kemudian menyebar secara paralel membentuk cahaya yang diameternya hampir sama dengan diameter reflektor (Gb.208). Dengan demikian, diameter cahaya yang dihasilkan sangat tergantung dengan diameter reflektor. Contoh lampu sehari-hari yang menggu-nakan reflektor parabolic adalah lampu senter.


Gb.208 Refleksi prabolic
Selain refleksi yang dihasilkan melalui reflektor, cahaya juga akan mengalami refleksi setelah menyentuh objek penyinaran. Refleksi cahaya yang memantul setelah mengenai objek dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu specular, diffuse, spread, dan mixed. Refleksi specular (seperti cermin) memantulkan arah cahaya tanpa mengubah besaran cahaya alami dari sumbernya (Gb.209).


Gb.209 Refleksi specular

Refleksi diffuse terjadi ketika cahaya yang mengenai permukaan objek memantul dengan pendar yang merata ke segala arah (Gb.210). Contoh dari refleksi diffuse adalah ketika cahaya diarahkan ke sebuah lukisan dua dimensi.


Gb.210 Refleksi diffuse

Refleksi spread sama seperti refleksi diffuse tetapi persentase masing-masing garis cahaya tidak sama. Cahaya yang mengenai objek dengan intensitas lebih tinggi garis cahayanya akan memendar dan direfleksikan lebih panjang dari yang lain (Gb.211). Contoh refleksi spread adalah ketika cahaya mengenai gumpalan aluminium foil.


Gb.211 Refleksi spread

Refleksi mixed, merupakan refleksi campuran dari diffuse dan specular. Beberapa garis cahaya dipendarkan secara merata ke segala penjuru arah tetapi sebagian garis cahaya dipantulkan seperti cermin (Gb.212). Contoh refleksi mixed adalah ketika cahaya menyinari gagang pintu dari logam, jam tangan emas, atau lantai kayu yang mengkilat.


Gb.212 Refleksi mixed

3.2.3 Lensa
Cahaya memerlukan pembiasan atau pembelokan sehingga besar kecilnya ukuran cahaya bisa diatur. Alat yang digunakan untuk membiaskan cahaya adalah lensa yang terbuat dari gelas kaca atau semacam plastik. Ada tiga jenis lensa yang digunakan dalam lampu panggung, yaitu lensa plano convex, fresnel, dan pebble convex. Lensa plano concex sisi luarnya berbentuk cembung (kurva) dan memiliki permukaan yang halus (Gb.213). Lensa yang biasa disebut sebagai PC ini digunakan untuk membentuk lingkaran cahaya yang garis tepinya jelas kelihatan (hard edge). Ukuran dan ketebalan lensa sangat tergantung dari ukuran dan intensitas hasil cahaya yang dikehendaki.


Gb.213 Lensa planno convex

Lensa fresnel adalah lensa yang permukaannya membentuk cetakan bergerigi (Gb.214). Lampu yang menggunakan lensa ini akan menghasilkan lingkaran cahaya yang garis tepinya lembut (soft edge). Ketebalan lensa fresnel lebih tipis dari lensa PC. Garis lembut lingkaran cahaya yang dihasilkan memungkinkan untuk pencampuran warna pada area penyinaran. Sedangkan lensa pebble convex memiliki permukaan luar sama dengan lensa PC tetapi sisi dalamnya bergerigi seperti fresnel (Gb.215). Lensa ini sering juga disebut sebagai step lens. Karakter Cahaya yang dihasilkannya berada di antara PC dan fresnel.


Gb.214 Lensa fresnel


Gb.215 Lensa pebble convex

3.2.4 Lampu
Istilah lampu yang digunakan di sini tidak mengacu pada kata lamp tetapi lantern. Kata lamp diartikan sebagai bohlam dan lantern sebagai lampu dan seluruh perlengkapannya termasuk di dalamnya bohlam. Istilah lantern digunakan sebagai pembeda antara lampu panggung terhadap lampu rumahan. Dalam lampu panggung ada terdapat banyak jenis lampu. Akan tetapi, secara mendasar dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu flood dan spot. Flood memiliki cahaya dengan sinar yang menyebar sedangkan spot memiliki sinar yang menyorot terarah. Semua lampu memiliki keistimewaan tersendiri dalam menghasilkan cahaya. Perkembangan teknologi lampu panggung terkadang menghasilkan sesuatu yang baru dengan mengkombinasikan prinsip dan unsur yang ada di dalamnya. Tugas utama dari lampu panggung adalah menghadirkan cahaya, warna, dan bentuk yang dapat disesuaikan dan diarahkan menurut kebutuhan.

3.2.4.1 Floodlight
Bentuk paling sederhana dalam khasanah lampu panggung adalah floodlight (Gb.216). Bohlam dan reflektor diletakkan dalam sebuah kotak yang dapat diarahkan ke kanan dan ke kiri serta ke atas dan ke bawah untuk mengatur jatuhnya cahaya. Tidak ada pengaturan khusus lain yang bisa dilakukan seperti pengaturan bentuk, ukuran sinar, dan fokus. Sifat menyebar dari sinar cahaya yang dihasilkan membuat besaran area yang disinari tergantung dari jarak lampu terhadap objek.


Gb.216 Lampu floodlight

Karena keterbatasannya, lampu flood tidak efektif digunakan untuk menyinari aktor. Sifatnya yang mengandalkan jarak membuat sinar cahaya mengabur pada objek yang jauh letaknya. Luas area penyinaran lampu flood sangat tergantung dari besarnya watt dan reflektor yang digunakan. Jadi, lampu flood standar dengan kekuatan 1000 watt mampu menyinari area yang lebih luas dibandingkan yang berkekuatan 500 watt. Penggunaan lampu flood efektif untuk menyinari backdrop (siklorama) atau objek tertentu dengan jarak dekat. Lampu flood yang menggunakan watt besar dan dikhususkan untuk menyinari backdrop disebut cyc-light (Gb.217).

Gb.217 Cyc-light

Lampu flood dapat dikombinasikan dengan merangkai beberapa lampu dalam satu wadah (compartment). Warna diatur sedemikian rupa sehingga dalam satu kotak terdapat beberapa lampu yang memiliki warna sama. Beberapa lampu flood yang dirangkai dalam satu kotak dan digantung di atas panggung ini disebut dengan batten atau striplight (Gb.218).

Gb.218 Batten atau striplight

Fungsi lampu ini adalah untuk menyinari backdrop atau siklorama dari atas. Tetapi jika rangkaian tersebut diletakkan di bawah pada panggung depan dengan tujuan untuk menyinari aktor dari bawah disebut dengan footlight. Jika rangkaian ini diletakkan di bawah tetapi tidak di bagian depan panggung dengan tujuan untuk menyinari backdrop atau objek tertentu dari bawah disebut dengan groundrow.

3.2.4.2 Scoop
Lampu scoop adalah lampu flood yang menggunakan reflektor ellipsoidal dan dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan. Sinar cahaya yang dihasilkan memancar secara merata dengan lembut (Gb.219). Lampu scoop ada beberapa jenis yang dirancang khusus untuk bohlam tertentu. Ada yang menggunakan bohlam pijar biasa ada yang menggunakan bohlam tungsten. Tetapi secara umum, scoop dapat menggunakan bohlam pijar dan tungsten-halogen. Lampu ini sangat efisien untuk menerangi areal tertentu yang terbatas. Karakter cahayanya yang lembut membuat lampu scoop sangat ideal untuk memadukan warna cahaya. Selain digunakan untuk panggung teater dan teater boneka, scoop juga digunakan untuk televisi, studio photografi, dan gedung yang membutuhkan penerangan khusus seperti museum.


Gb.219 Lampu scoop


3.2.4.3 Fresnel
Fresnel merupakan lampu spot yang memiliki garis batas sinar cahaya yang lembut. Lampu ini menggunakan reflektor spherical dan lensa fresnel (Gb.220). Karena karakter lensa fresnel yang bergerigi pada sisi luarnya maka bagian tengah lingkaran cahaya yang dihasilkan lebih terang dan meredup ke arah garis tepi cahaya. Pengaturan ukuran sinar cahaya dilakukan dengan menggerakkan bohlam dan reflektor mendekati lensa. Semakin dekat bohlam dan reflektor ke lensa maka lingkaran sinar cahaya yang dihasilkan semakin besar. Sifat lingkaran cahaya yang lembut memungkinkan dua atau lebih lampu fresnel memadukan warna cahaya pada objek atau area yang disinari. Kekurangan dari lampu fresnel adalah intensitas cahaya tertinggi ada pada pusat lingkaran cahaya sehingga jika seorang aktor berdiri agak jauk dari pusat lingkaran cahaya maka ia kurang mendapat cukup cahaya.
Lampu fresnel dibuat dengan berbagai macam variasi ukuran lensa dan kekuatan (daya) seperti yang terlihat dalam gambar 221. Ukuran lensa dan kekuatan daya mempengaruhi hasil pencahayaan.


Gb.220 Bagan lampu fresnel

Diameter lensa dan daya yang kecil menghasilkan jarak penyinaran yang tidak jauh. Artinya, ia tidak bisa menyinari objek yang jauh. Setiap lampu memiliki jarak cahaya minimum dan maksimum. Jika pengaturan lampu melebihi jarak yang ditetapkan maka cahaya yang dihasilkan menjadi tidak fokus (buram) atau terlalu terang.


Gb.221 Berbagai macam lampu fresnel

Selain itu, karena sifatnya yang sedikit menyebar maka jika jarak lampu terlalu jauh dari objek sebaran cahayanya akan menerobos ke objek lain. Karena sifatnya ini, lampu fresnel tidak tepat jika dipasang di baris depan panggung proscenium (apron) karena sebaran cahayanya bisa menerangi bingkai panggung. Fresnel lebih efektif di pasang untuk menyinari panggung tengah.

3.2.4.4 Profile
Lampu profile termasuk lampu spot yang menggunakan lensa plano convex sehingga lingkaran sinar cahaya yang dihasilkan memiliki garis tepi yang tegas. Dengan mengatur posisi lensa, maka lingkaran sinar cahaya bisa disesuaikan. Jika lampu profile dalam keadaan fokus maka batas lingkaran cahaya akan jelas terlihat dan jika tidak fokus batas lingkaran cahayanya akan mengabur meskipun tidak selembut lampu fresnel. Lampu profile digunakan karena besaran lingkaran cahaya dan derajat penyinarannya bisa diatur sedemikian rupa. Selain bentuk sinar cahaya yang melingkar lampu profile dapat membentuk cahaya secara fleksibel dengan bantuan shutter. Shutter atau penutup cahaya ini terpasang di empat sisi (atas, bawah, kanan, dan kiri). Dengan mengatur posisi shutter ini maka bentuk cahaya yang dinginkan dapat dikreasikan.
Di Amerika lampu ini disebut ERS (Ellipsoidal Relfector Spotlight) atau lampu spot yang menggunakan relfektor ellipsoidal. Dapat juga disebut lekolite atau leko (di Indonesia sering disebut lampu elips atau profil). Lampu ERS generasi pertama menempatkan bohlam 45 derajat dari garis axis (poros bumi), reflektor, dan posisi lensa (Gb.222). Lampu ini disebut ERS radial. Lampu ERS modern menempatkan bohlam sejajar dengan axis dan sistem optik. Lampu ini disebut ERS Axial (Gb.223). Jika penempatan bohlam tidak sejajar atau presisi antara focal point dan reflektor maka efisiensi dan keserasian cahayanya akan terganggu.

Gb.222 Bagan lampu ERS radial


Gb.223 Bagan lampu ERS axial

Berbagai bentuk dan ukuran lampu profil dibuat untuk kepentingan pencahaayan panggung (Gb.224). Namun lampu profil atau ERS ini pada dasarnya hanya memiliki tiga jenis lampu, yaitu standard, bifocal, dan zoom. Lampu standar menggunakan satu lensa. Pengaturan fokusnya dengan mendekatkan lensa ke bohlam. Untuk mengatur bentuk cahaya terdapat shutter yang dapat mengatur bentuk cahaya secara fleksibel. Di depan shutter ada slot untuk iris yang dapat mengatur cahaya berbentuk melingkar. Slot untuk iris ini juga dapat digunakan untuk menempatkan gobo (plat metal bermotif yang dapat meproyeksikan cahaya sesuai gambar motif yang ada).


Gb.224 Berbagai jenis lampu profil (ERS)

Lampu bifocal adalah lampu profil standar yang ditambahi dengan shutter tambahan. Shutter tambahan ini diletakkan di luar fokus sehingga lampu dapat menghasilkan lingkaran cahaya yang tegas dan lembut sekaligus. Seiring perkembangan, lampu bifocal sudah tidak diterbitkan lagi. Sedangkan lampu zoom menggunakan dua lensa plano convex yang dipasang secara berhadapan (belly to belly). Lensa yang pertama mengatur fokus (seperti pada lampu profil standar) dan lensa yang kedua untuk mengatur ukuran lingkar sinar cahaya (GB.225). Kombinasi lensa yang dilakukan pada lampu standard dan bifocal dapat mengubah ukuran lingkaran sinar cahaya tetapi bagaimanapun juga kemungkinannya terbatas.


Gb.225 Bagan lampu profil

Dengan lampu zoom ukuran lingkaran sinar cahaya dapat diatur pada sebarang titik (nilai) antara minimal dan maksimal hanya dengan menggeser tombol atau pegangan (knob) yang telah disediakan.


Gb.226 Bagan lampu profil zoom

Pada jenis standar dan bifocal hal ini harus dilakukan dengan mengganti atau mengkombinasi lensa yang membutuhkan beberapa peralatan tambahan serta memerlukan waktu pemasangan tersendiri. Dengan demikian penggunaan lampu ERS (profile zoom) sangatlah efektif.

3.2.4.5 Pebble Convex
Struktur lampu ini sama dengan fresnel yaitu menggunakan reflektor spherical. Yang membedakan adalah digunakannya lensa pebble convex. Pada mulanya, terdapat pula lampu semacam ini dengan menggunakan lensa plano convex dan sering disebut dengan lampu PC.
Lampu PC (plano convex) tidak lagi diproduksi di Amerika dan yang sampai sekarang masih digunakan (terutama di Eropa) adalah lampu pebble convex atau prism convex (Gb.227). Untuk mengatur ukuran lingkaran sinar cahaya lampu dan reflektor didekatkan ke lensa. Karena menggunakan lensa pebble convex maka garis sinar cahaya yang dihasilkan berada di antara fresnel yang berkarakter lembut dan profile yang berkarakter tegas. Lampu ini sangat bermanfaat ketika garis sinar cahaya yang tegas tidak diperlukan sementara garis sinar cahaya yang lembut terlalu kabur.


Gb.227 Lampu pebble convex


3.2.4.6 Follow Spot
Lampu follow spot sering juga disebut lime adalah lampu yang dapat dikendalikan secara langsung oleh operator untuk mengikuti gerak laku aktor di atas panggung.


Gb.228 Lampu follow spot

Karena dikendalikan secara manual maka lampu ini memiliki struktur yang kuat baik secara optik maupun mekanik. Keseimbangan diatur sedemikian rupa sehingga gerak ke atas dan ke bawah, ke kanan dan kekiri dapat mengalir dengan baik. Pengaturan besar kecilnya ukuran lingkaran sinar cahaya, fokus, dan warna diatur oleh pengendali. Untuk menempatkan lampu ini diperlukan dudukan (stand) khusus yang dapat diputar dan diatur tinggi rendahnya. Untuk lampu yang berukuran besar, stand yang digunakan biasanya memiliki roda sehingga memudahkan dalam memindahkan lampu dari tempat satu ke tampat lain.
Lampu follow spot menggunakan bohlam jenis discharge yang kuat menahan panas tinggi serta mampu menahan goncangan dan dapat menghasilkan intensitas cahaya yang tinggi. Penggunaan bohlam discharge tidak memungkinkan lampu dikontrol secara elektrik karena sifatnya hanya on-off dan tidak bisa diredupkan dengan dimmer. Garis lingkaran sinar cahaya sangatlah jelas terlihat. Lampu ini biasanya mengikuti atau menyorot seorang aktor secara khusus dalam areal yang khusus.

3.2.4.7 PAR
PAR atau dapat juga ditulis dengan par adalah lampu yang bohlam, reflektor, dan lensanya terintegrasi. Par merupakan singkatan dari parabolic aluminized reflector. Dengan demikian unit lampu par menggunakan lensa parabolik. Karena lampu par adalah berbentuk satu kesatuan (unit) maka ukuran sinar cahayanya tidak dapat disesuaikan kecuali dengan mengganti lampunya. Ukuran diameter dan watt lampu par bermacam-macam. Yang umum digunakan adalah par 36, 38, 46, 56, dan 64.


Gb.229 Berbagai ukuran lampu par

Daya yang digunakan berkisar antara 50 sampai dengan 1000 watt. Untuk mengukur diameter lampu par sangatlah mudah yaitu dengan membagi nomor par dengan 8 inchi. Misalnya, lampu par 56 memiliki diameter 7 inchi (56:8 = 7). Besaran sinar cahaya yang dihasilkan sangat tergantung dari ukuran diameter lampunya. Sedangkan intensitas dan jarak cahaya tergantung dari besaran dayanya. Meskipun lampu par memungkinkan penggunaan bohlam jenis discharge tetapi umumnya untuk keperluan panggung bohlam yang digunakan berjenis tungsten halogen.
Lampu par ditempatkan dalam wadah (housing) yang disebut par can atau kaleng par yang memungkinkan lampu untuk digerakkan, diarahkan, dan diberi warna. Ukuran wadah menyesuaikan dengan ukuran lampu yang dipasang di dalamnya (Gb.230). Sinar cahaya yang dihasilkan berkarakter lembut dan lebih berbentuk oval ketimbang circular (melingkar). Untuk mengetahui jenis karakter serta bentuk sinar yang dihasilkan maka lampu par menyediakan berbagai macam variasi dengan mengkombinasikan bentuk lensa yang digunakan. Misalnya, lampu par 64 menyediakan berbagai macam variasi yang bisa dipilih, yaitu VNSP, NSP, MFL, WFL. VSP atau Very Narrow Spot adalah lampu par yang mampu menghasilkan titik sinar yang sangat sempit. NSP (Narrow Spot) menghasilkan sinar yang sempit. MFL (Medium Flood) menghasilkan karakter sinar flood menengah. WFL (Wide Flood) menghasilkan karakter sinar flood yang melebar.


Gb.230 Lampu par dengan housing (can)

Par merupakan lampu yang efektif dalam menghasilkan sinar. Lampu ini sering digunakan dalam pentas pertunjukan musik indoor maupun outdoor dan mampu menghadirkan cahaya yang kuat. Karena ukurannya telah tertentu maka pemilihan lampu par sangat tergantung dari luas dan jarak area yang akan disinari.

3.2.4.8 Efek
Lampu efek adalah lampu yang menghadirkan cahaya khusus untuk kepentingan tertentu. Misalnya dalam sebuah pertunjukan teater menghendaki lukisan cahaya yang penuh fantasi maka digunakanlah lampu efek yang dapat menciptakan lukisan cahaya tersebut. Terdapat aneka macam lampu efek tetapi semua sangat tergantung kebutuhan dan kepentingan artistik. Gambar 231 memperlihatkan beberapa lampu efek yang sering digunakan di atas panggung.



Gb.231 Beberapa jenis lampu efek


3.2.4.9 Practical
Yang dimaksud dengan lampu practical adalah lampu yang digunakan sehari-hari tetapi diperlukan dalam sebuah pementasan. Misalnya lampu belajar, lampu gantung atau lampu hiasan dinding. Dalam pertunjukan teater yang menghadirkan latar cerita realis yang berdasar pada kenyataan, tata panggung dibuat menyerupai keadaan sebenarnya. Jika dalam cerita menghendaki adanya lampu gantung di satu rumah mewah maka lampu tersebut harus dihadirkan. Jika cerita terjadi malam hari dan lampu tersebut harus dinyalakan maka lampu gantung itupun dinyalakan. Karena keadaan di panggung berbeda dengan kenyataan, maka tugas penata lampu adalah mengatur teknik pencahayaan sehingga sumber cahaya seolah-olah hanya berasal dari lampu gantung.





3.2.5 Perlengkapan Pemasangan
Untuk memasang lampu di atas pentas dibutuhkan berbagai macam perlengkapan pemasangan. Perlengkapan tersebut ada yang telah terpasang secara permanen dan ada yang dapat dipindah-pindahkan. Di bawah ini akan dijelaskan perlengkapan pemasangan lampu yang terdiri dari bar dan boom, stand, serta clamp dan bracket.

3.2.5.1 Bar dan Boom
Perlengakapan pemasangan lampu harus dibuat dari bahan yang kuat sehingga mampu menahan berat sejumlah lampu yang dipasang. Dalam panggung biasanya terdapat baris untuk menggantungkan lampu yang dibuat dari pipa besi dan di ataur secara horisontal dan vertikal. Pipa besi yang dipasang secara horisontal ini disebut bar (di Amerika disebut pipe), dan yang dipasang secara vertikal disebut boom. Bar digunakan untuk menggantungkan lampu di atas panggung yang terdiri dari beberapa baris mulai dari atas siklorama sampai ke baris depan di atas penonton. Dalam panggung modern bar tidak dibuat statis melainkan bisa diturunkan dan dinaikkan sehingga jarak dan sudut lampu dapat disesusaikan dengan mudah. Berbeda dengan boom yang dipasang di sayap panggung secara vertikal dan permanen. Fungsi boom adalah untuk memasang lampu samping.

3.2.5.2. Stand
Perlengkapan untuk menggantungkan lampu yang bisa berpindah-pindah adalah stand. Sebuah pipa yang terbuat dari logam kuat yang dapat berdiri dengan tegak dan kuat menahan berat lampu yang dipasang.


Gb.232 Stand untuk follow spot dan stand berbentuk T
Stand yang khusus dipakai untuk lampu follow spot dibuat sedemikian rupa sehingga lampu yang dipasang di atasnya bisa digerakkan ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah secara manual. Tinggi rendah stand dapat diatur.
Selain untuk follow spot yang bentuknya berdiri secara vertikal ada juga stand yang di atasnya dipasangi bar yang dapat digunakan untuk menggantung lampu. Stand jenis ini disebut T-bar stand. Dengan stand jenis ini maka lampu dapat dipasang pada tiang vertikal ataupun horisontal. Beberapa stand yang dibuat dari besi dan berukuran besar menggunakan roda pada kaki-kakinya agar mudah dipindahkan. Stand sangat bermanfaat ketika boom yang terpasang secara permanen kurang memadahi atau jaraknya tidak tepat seperti yang dinginkan.

3.2.5.3 Clamp dan Bracket
Untuk menggantungkan lampu pada bar dibutuhkan klem (clamp) sedangkan untuk menggantungkan lampu pada boom dibutuhkan siku (bracket) yang disebut boom arm. Kelem yang umum digunakan berbentuk leter “C” dan sering disebut dengan C-clamp atau hook clamp. Untuk mengencangkan atau mengunci kelem ke bar digunakan sekrup. Bentuk dan ukuran hook clamp ini bervariasi tetapi fungsinya sama saja (Gb.31). Boom arm dipasang pada boom atau batang stand vertikal. Ujungnya digunakan untuk memasang lampu.


Gb.233 Aneka bentuk clamp

Gb.234 Boom arm model lama

Untuk mengencangkan dan mengendorkan menggunakan skrup. Pada boom arm generasi lama menggunakan dua plat besi yang berfungsi untuk menggapit boom dan menggunakan dua buah sekrup untuk mengencangkannya. Hasilnya memang plat akan terkait dengan kuat pada boom tetapi sulit ketika hendak mengatur atau menggeser posisinya. Boom arm yang baru, menggunakan hook clamp dengan satu skrup untuk mengkait boom sehingga lebih mudah dalam penyesuaian.

Gb.235 Clamp yang difungsikan sebagai boom arm
3.2.6 Asesoris
Cahaya yang dihasilkan dari lampu dapat diatur sedemikian rupa. Selain karena faktor reflektor, bohlam, dan lensa pengaturan cahaya dapat diperkaya dengan menambah asesoris. Di bawah ini dijelaskan asesoris yang dapat dipergunakan untuk memperkaya pencahayaan.

3.2.6.1 Filter
Filter atau color adalah plastik warna yang digunakan untuk memberi warna pada cahaya (Gb.236). Filter adalah asesori yang paling penting untuk mengubah warna natural cahaya yang dihasilkan lampu sesuai keinginan dengan cara memasang filter di depan perangkat. Filter biasanya berbentuk lembaran. Jika hendak digunakan maka harus dipotong sesuai dengan ukuran.


Gb.236 Filter Gb.237 Filter frame

Untuk meletakkan filter warna ke dalam lampu diperlukan bingkai khusus yang disebut filter frame atau color frame. Ukuran bingkai ini bervariasi sesuai dengan ukuran jenis lampu. Jadi masing-masing merek dan jenis lampu memiliki bingkai filter tersendiri.

3.2.6.2 Barndoor
Barndoor adalah sebuah alat yang memiliki sirip atau penutup yang dapat diatur dan disesuaikan (Gb.238). Barndoor digunakan untuk mengatur pendaran cahaya dalam artian mencegah cahaya bocor ke areal yang tidak dinginkan.


Gb.238 Berbagai bentuk barndoor

Barndoor memiliki empat sisi penutup yang dapat diputar dan disesuaikan posisinya pada dudukan. Biasanya barndoor dipasang pada lampu yang menghasilkan cahaya menyebar seperti par atau fresnel pada panggung yang berukuran kecil. Panggung kecil memiliki areal yang terbatas sehingga penyinaran yang dilakukan dengan menggunakan lampu berkekuatan besar menghasilkan cahaya melebihi area penyinaran. Untuk membatasi aliran cahaya tersebut barndoor sangat efektif difungsikan.

3.2.6.3 Iris
Iris adalah piranti untuk memperbesar atau memperkecil diameter lingkaran sinar cahaya yang dihasilkan oleh lampu. Dengan sebuah gagang kecil yang tersedia, ukuran lingkaran bisa disesuaikan (GB.239).


Gb.239 Iris

Piranti yang terbuat dari metal ini sangat mudah untuk dipasang dan dicopot. Dipasang di depan shutter. Iris biasanya dipasang pada lampu profile (ERS). Dengan bantuan iris, seorang penata lampu dapat menyesuaikan ukuran lingkar area penyinaran yang tepat sehingga aliran cahaya tidak bocor ke area lain.

3.2.6.4 Donut
Donut (donat) adalah pelat metal yang digunakan untuk meningkatkan ketazaman lingkar sinar cahaya yang dihasilkan oleh lampu spot (Gb.240). Donat juga membantu memperjelas pola atau motif gambar cahaya yang hendak dihasilkan dengan menghilangkan pendar cahaya yang tidak diperlukan. Garis cahaya semakin jelas dan bentuk sinar cahaya benar-benar sirkuler.


Gb.240 Donut

3.2.6.5 Gobo
Gobo adalah pelat metal yang dicetak membentuk pola atau motif tertentu (Gb.241). Jika pelat ini dipasang pada lampu dan diproyeksikan maka cahaya akan membentuk pola seperti yang tergambar pada gobo tersebut. Untuk memasang gobo diperlukan bingkai atau tempat khusus yang disebut gobo holder (Gb.242).


Gb.241 Salah satu motif gobo Gb.242 Gobo Holder

Motif atau pola gambar pada gobo bermacam-macam. Piranti ini digunakan untuk memproyeksikan pola cahaya tertentu yang menimbulkan efek imajinasi darimana asal cahaya atau karena apa cahaya itu terbentuk. Misalnya pola dalam gambar 241 di atas jika disorotkan ke panggung maka akan memberikan imajinasi, bahwa cahaya tersebut berasal dari sebuah jendela. Pada pola tertentu lainnya jika diproyeksikan ke siklorama akan memberikan efek imajinasi yang mengagumkan, seperti awan berserakan, daun-daun, pepohonan, gambar bangunan, dan lain sebagainya. Penggunaan gobo sangat membantu untuk memberikan efek atau lukisan cahaya.

3.2.6.6 Snoot
Snoot atau sering juga disebut top hat adalah piranti yang digunakan untuk mengurangi tumpahan cahaya (Gb.243). Dengan dipasang pada bagian depan lampu maka snoot akan memperpanjang ukuran lampu dan mempersempit sudut sinar cahaya yang dihasilkan.


Gb.243 Snoot
Snoot sangat efektif digunakan untuk panggung berukuran kecil dimana sinar cahaya lampu seringkali melebar atau bocor ke area yang tidak dinginkan.

3.2.7 Dimmer dan Kontrol
Untuk mengkontrol intensitas cahaya dan mengatur perubahan cahaya dalam intensitas tertentu dibutuhkan alat yang disebut dimmer. Secara sederhana sumber listrik dialirkan ke sebuah dimmer untuk mengalirkan arus listrik ke lampu (Gb.244). Dimmer dapat mengubah intensitas cahaya dari rendah ke tinggi atau sebaliknya dengan mengatur panas (temperatur) yang mengalir ke filamen bohlam.


Gb.244 Bagan instalasi dimmer

Untuk kepentingan panggung tidak mungkin menggunakan satu dimmer untuk satu lampu. Hal ini akan memerlukan proses lama dalam pemasangannya. Oleh karena itu dimmer untuk lampu panggung dibuat satu unit yang dapat menampung banyak lampu dan disebut dengan dimmer rack. Terdapat banyak jenis, ukuran dan kekuatan dimmer rack (Gb.245). Ada dimmer rack berukuran besar dan berat yang dipasang secara permanen di dalam sebuah gedung pertunjukan tetapi ada juga dimmer rack yang dirancang khusus untuk pentas keliling sehingga mudah dibawa kemana-mana.


Gb.245 Berbagai jenis dimmer rack

Dengan bantuan dimmer, operasional dan pengendalian intensitas cahaya lampu menjadi mudah. Meskipun demikian dalam sebuah dimmer rack yang memiliki banyak channel tidak menyediakan tombol atau alat pengendali intensiatas yang mudah diakses. Dalam dimmer generasi lama disediakan gagang pengendali intensitas, tetapi hal ini membuat ukuran dimmer menjadi besar. Dimmer modern tidak menyediakan pengendali tersebut selain sebuah tombol kecil pada masing-masing channel. Untuk membantu tugas pengendalian intensitas dibutuhkan remote control (pengendali jarak jauh). Kontrol jarak jauh ini berupa papan atau meja yang menyediakan tombol atau bilah pengendali intensitas atau lever yang dihubungkan ke dimmer. Jadi, ia mengambil alih fungsi pengendali pada dimmer. Dengan demikian, rangkaian sederhana jika digambarkan adalah sumber listrik menyediakan energi yang dialirkan ke dimmer (power in) kemudian dialirkan keluar ke lampu (circuit out) dan fungsi pengendali dialirkan ke remote control (Gb.246).


Gb.246 Bagan dimmer dengan remote control

Remote control atau pengendali jarak jauh sering disebut dengan control desk (meja pengendali) karena harus diletakkan di atas meja untuk menggunakannya. Ukuran dan jenisnya bermacam-macam. Ada yang dioperasikan secara manual ada juga yang sudah menggunakan komputer sehingga bisa diprogram untuk mengendalikan intensitas secara otomatis (Gb.247).


Gb.247 Remote control manual dan computerize

Dalam satu remote control terdapat bilah pengendali (lever) dan master lever yang berfungsi sebagai pusat suplai besaran energi yang dikeluarkan. Masing-masing lever memiliki ukuran atau besaran yang dapat dijadikan acuan untuk menaikkan atau menurunkan intensitas cahaya (GB.248). Jika master lever diatur pada posisi 50 persen (angka 5) maka intensitas cahaya yang dapat dikeluarkan oleh masing-masing lever maksimal hanya 50 persen. Jika master lever diatur pada posisi 0 maka lampu tidak akan menyala meskipun lever dinaikkan sampai 100 persen (angka 10).

Gb.248 Bagan lever pada remote control

Dengan mengatur angka pada master dan lever maka akan didapatkan intensitas cahaya yang dinginkan. Tabel di bawah ini dapat digunakan sebagai patokan untuk mengatur intensitas cahaya.


Tabel4. Tabel intensitas cahaya

Ukuran intensitas yang dihasilkan dalam tabel ini hanyalah ukuran untuk satu atau beberapa lampu sejenis. Ukuran intensitas bisa berubah jika lampu menggunakan filter warna. Warna-warna yang gelap akan mengurangi intensitas cahaya yang dihasilkan. Dengan demikian, pengaturan intensitas cahaya untuk menghasilkan keseimbangan perlu memperhatikan jenis dan kekuatan lampu serta penggunaan filter warna.
Penjelasan di atas masih menyangkut remote control atau control desk yang menggunakan satu set lever dan satu master. Jika jumlah lampu yang digunakan sedikit tidaklah masalah tetapi lampu panggung biasanya jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Satu meja kontrol dengan satu master dan satu set lever tidaklah cukup. Selain itu pemindahan intensitas lampu satu ke lampu lain sangatlah rumit jika hanya menggunakan satu set lever karena tangan pengendali harus menaikkan atau menurunkan masing-masing lever dalam waktu yang hampir bersamaan. Untuk mengatasi hal tersebut perangkat meja kontrol biasanya memiliki dua master atau lebih, lengkap dengan lever-nya. Dengan meja kontrol seperti ini, pengendalian lampu dapat dilakukan melalui proses preset.


Gb.249 Bagan preset

Preset adalah mengatur posisi lever pada angka (intensitas) tertentu sementara master dalam keadaan 0. Sehingga ketika nanti dibutuhkan tinggal menaikkan angka master. Lampu yang berada dalam deret lever akan menyala dengan intensitas sesuai angka pada masing-masing lever. Preset ini bisa dilakukan jika master dan baris (set) lever lebih dari satu. Dalam gambar di atas diperlihatkan dua set lever dan master, bagian atas “A” dan bagian bawah “B”. Ketika bagian “A” sedang dimainkan pada posisi tertentu, bagian “B” bisa digunakan untuk mengatur preset. Dengan menurunkan master “B” pada angka 0 maka lever dapat diatur pada angka tertentu sesuai kebutuhan. Hal ini tidak akan menyebabkan lampu menyala karena level master diturunkan ke angka 0. Ketika lampu pada deret lever “A” selesai dimainkan dan hendak diganti, maka master “B” yang lever-nya telah dipreset dinaikkan dan master “A” diturunkan ke angka 0. Ketika master “B” dimainkan maka lever pada “A” dapat dipreset untuk pencahayaan berikutnya. Dengan mengatur preset maka efisiensi pengendalian lampu dapat dioptimalkan.

3.3 Warna Cahaya
Setelah mengetahui secara teknis dasar pemasangan dan pengoperasian lampu maka langkah berikutnya adalah mengenai warna cahaya. Warna cahaya sangat berpengaruh pada suasana panggung. Dalam pertunjukan teater realis yang meniru warna cahaya matahari maka harus benar-benar dibedakan antara warna matahari di saat fajar, pagi, siang, dan sore hari. Kesalahan pemilihan warna dapat berakibat fatal berkaitan dengan latar waktu kejadian peristiwa. Misalnya, seorang pemain mengucapkan kalimat, “Pada saat fajar menyingsing ini, aku bulatkan tekadku!”, sementara warna cahaya yang ditampilkan adalah putih terang. Hal ini akan menimbulkan keanehan karena matahari pada fajar hari berwarna semburat kemerahan dan bukan putih terang.


Gb.250 Warna cahaya

Untuk menghindari hal tersebut perlu diteliti pemilihan warna cahaya yang tepat sesuai dengan suasana yang dikehendaki. Warna dasar cahaya berbeda dengan warna dasar cat atau pewarna lain. Jika cat memiliki warna dasar merah, kuning, dan biru maka cahaya memiliki warna dasar merah, kuning, dan hijau (Gb.250). Warna sekunder yang dihasilkannya pun berbeda. Merah dicampur hijau akan menghasilkan warna kuning amber. Hijau bercampur biru menjadi biru cyan. Biru bercampur merah menjadi magenta. Jika semua warna dicampur maka akan berubah menjadi putih. Berbeda dengan cat, jika semua warna dicampur akan menjadi coklat tua. Prinsip dasar warna cahaya ini perlu diketahui untuk menghindari kesalah pemaduan warna.


3.3.1 Pencampuran Warna
Pencampuran warna cahaya dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu additive mixing dan subtractive mixing. Pencampuran warna additive adalah pecampuran warna dari dua lampu berwarna berbeda dalam satu area.


Gb.251 Additive mixing

Gb.252 Warna additive
Proses pencampuran warna ini sangat efektif terutama untuk jenis lampu yang tidak memiliki garis lingkar cahaya yang tegas seperti lampu fresnel. Pendar cahaya yang mengabur pada sisi luar lingkar cahaya akan saling bertemu dan secara gradual membentuk warna kedua. Warna yang efektif dicampur dalam teknik additive adalah warna-warna primer yang akan menghasilkan warna sekunder (Gb.252).
Pencampuran warna menggunakan teknik subtractive adalah mencampur warna dari satu sumber cahaya (lampu) melalui dua filter warna yang berbeda (Gb.253.). Filter yang dipasang haruslah yang mampu merefleksikan sebagian warna cahaya dan menyerap warna lain.

Gb.253 Subtractive mixing

Dalam gambar di atas diperlihatkan, filter pertama yang dipasang berwarna cyan yang merefleksikan warna biru dan hijau serta menyerap warna merah sehingga menghasilkan warna cyan. Warna cyan ini kemudian melalui filter berwarna kuning sehingga hasil akhirnya adalah cahaya berwarna hijau.

Gb.254 Warna subtractive

Warna-warna primer kurang efektif digunakan untuk teknik subtractive karena karakternya yang terlalu kuat menyerap cahaya. Warna-warna sekunder lebih tepat untuk teknik subtractive (Gb.254). Teknik subtractive ini biasanya digunakan untuk lampu otomatis yang memiliki palet warna yang dapat berputar sehingga memungkinkan dua warna bercampur.

3.3.2 Refleksi Warna Cahaya
Cahaya yang menyinari sebuah permukaan akan memantul atau menimbulkan refleksi. Di atas telah dijelaskan jenis refleksi yang dapat ditimbulkan oleh cahaya. Pada bahasan ini akan dijelaskan refleksi warna yang ditimbulkan setelah cahaya menyinari sebuah permukaan. Jika cahaya menyinari sebuah permukaan berwarna maka efek refleksinya sama dengan warna yang ada pada permukaan tersebut. Warna cahaya natural adalah putih atau biasa disebut netral. Jika warna cahaya netral menyinari permukaan berwarna merah maka akan menimbulkan refleksi cahaya berwarna merah.


Gb.255 Cahaya putih yang menerpa permukaan berwarna merah akan memantulkan warna merah

Tetapi jika cahaya berwarna merah matang (setelah diberi filter warna) menyinari permukaan berwarna biru pirmer, maka tidak cahaya yang direfleksikan karena permukaan biru hanya akan merefleksikan cahaya berwarna biru (GB.256).
Prinsipnya adalah menggunakan warna cahaya. Cahaya putih atau netral menurut teori warna cahaya mengandung unsur warna merah, biru, dan hijau. Jika cahaya putih menyinari permukaan biru maka akan merfleksikan cahaya biru karena unsur warna merah dan hijau tidak terdapat pada permukaan yang disinari.
Dengan memahami prinsip dasar warna cahaya maka refleksi warna cahaya bisa diperhitungkan. Cahaya putih jika menyinari permukaan kuning amber akan memancarkan cahaya kuning amber. Warna cahaya kuning amber adalah perpaduan antara warna merah dan hijau. Dengan demikian warna yang terpantulkan oleh cahaya adalah warna merah dan hijau, sedangkan warna biru terserap (Gb.257).


Gb.256 Cahaya berwarna merah tidak akan memantulkan warna pada permukaan berwarna biru


Gb.257 Cahaya berwarna putih akan memantulkan warna kuning amber jika menerpa permukaan yang berwarna sama

Jika cahaya berwarna kuning amber yang merupakan perpaduan merah dan hijau menyinari permukaan berwarna kuning amber maka refleksi warna cahayanya adalah kuning amber (Gb.258).


Gb.258 Cahaya kuning amber akan memantulkan warna kuning amber jika menerpa permukaan yang berwarna sama


Gb.259 Cahaya berwarna merah akan memantulkan warna merah pada permukaan berwarna kuning amber
Jika warna cahaya merah menyinari permukaan kuning amber maka refleksi warna cahaya yang dihasilkan adalah merah karena warna kuning amber pada permukaan mengandung warna merah (Gb.259). Jika warna cahaya biru menyinari permukaan berwarna kuning amber maka cahaya tidak akan merefleksi karena warna kuning amber pada permukaan tidak mengandung warna biru (Gb.260).


Gb.260 Cahaya berwarna biru tidak menghasilkan pantulan warna pada permukaan berwarna kuning amber

Karena warna cahaya dapat menghasilkan refleksi warna pada permukaan berwarna maka pemilihan filter warna haruslah benar-benar diperhitungkan. Jangan sampai ada objek yang menjadi nampak sangat terang sementara objek lain jadi kabur karena warna cahaya yang dipilih tidak tepat. Untuk mendapatkan hasil terbaik, ujicoba penyinaran warna cahaya terhadap permukaan berwarna harus sering dilakukan. Hal ini juga berkaitan dengan bahan dasar permukaan yang akan disinari. Ada bahan atau cat yang mampu menyerap cahaya tetapi ada juga bahan yang justru memantulkan cahaya berlebihan. Selalu mencoba adalah hal terbaik yang dapat dilakukan untuk mengetahui karakter warna cahaya, bahan dan warna permukaan, dan refleksi yang dihasilkan.

3.4 Penyinaran
Prinsip dasar penyinaran adalah membuat objek yang disinari jelas terlihat dan cahaya tidak bocor sampai ke penonton atau bagian panggung lainnya yang tidak memerlukan sinar. Tetapi karena karya teater adalah karya artistik maka penyinaran dalam panggung teater juga harus mampu menghadirkan efek artistik yang dikehendaki. Dengan mengatur sudut penyinaran efek-efek artistik bisa dimunculkan. Dalam satu cerita atau adegan terkadang membutuhkan pencahayaan tertentu yang tidak hanya asal terang. Misalnya, untuk menghadirkan seorang tokoh misterius dibutuhkan penampakkan siluet, maka lampu harus diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan siluet tokoh tersebut. Dengan mencoba pengaturan sudut datangnya cahaya, maka efek tertentu akan didapatkan.
Lampu yang diarahkan langsung ke wajah aktor akan menghasilkan efek flat atau datar (Gb.261). Lampu yang datang dari arah depan dengan intensitas tinggi akan menghapus bayangan pada bagian muka. Tidak ada bayangan pada cekung mata yang mengindikasikan kedalaman. Tidak ada bayangan pada bagian pipi yang memisahkannya dari leher. Tidak ada bayangan pada hidung yang menunjukkan volume. Oleh karena tidak ada bayangan sama sekali, maka wajah aktor nampak datar. Meski demikian, pengambilan dengan sudut seperti ini terkadang dibutuhkan untuk memberi efek cahaya berlebih sehingga orang tersebut nampak bersinar.


Gb.261 Penyinaran lampu dari arah depan


Lampu yang datang 45 derajat dari atas akan memberikan bayangan pada bagian wajah sehingga efek tiga dimensinya terlihat (Gb.262). Dengan sudut pengambilan seperti ini penonton paling tidak bisa menyaksikan lekuk-lekuk wajah sang aktor. Untuk penampakan karakter dengan ketegasan lekuk wajah pengambilan dari sudut ini bisa dimanfaatkan. Kedalaman cekung mata, penonjolan tulang pipi dan hidung bisa dimunculkan.

Gb.262 Penyinaran lampu 45 derajat dari atas

Lampu yang datang tepat dari arah atas akan menghasilkan cahaya yang mengalir lurus ke bawah. Wajah aktor mendapatkan sangat sedikit sinar yang memendar dari atas kepalanya (Gb.263). Meskipun wajah hanya sedikit tersinari tetapi efek dramatis bisa dimunculkan. Dengan lampu yang datang tepat dari arah atas maka tidak ada bayangan disekitar aktor.

Gb.263 Penyinaran lampu dari atas
Lampu yang diletakkan di bagian bawah akan menimbulkan bayangan terbalik secara penuh pada bagian-bagian wajah (Gb.264). Bayangan pada mata akan berubah terang. Efek terang pada tulang pipi dan hindung akan berubah jadi gelap. Sudut pengambilan ini dapat menciptakan efek dramatik pada wajah aktor. Karena posisi bayangan yang terbalik tersebut membuat wajah aktor nampak lain bahkan nampak menyeramkan.

Gb.264 Penyinaran lampu dari bawah

Lampu yang datang dari arah samping baik kanan atau kiri akan menampakkan bagian samping tubuh dan menutupi samping tubuh yang lain (Gb.265). Dengan sudut pengambilan ini, garis tubuh aktor akan nampak jelas. Lampu samping sering digunakan untuk pertunjukan tari atau teater gerak yang memang menonjolkan lekuk garis tubuh pemainnya.

Gb.265 Penyinaran lampu dari samping

Gb.266 Penyinaran lampu dari belakang atas

Lampu yang datang dari arah belakang atas akan memberikan hasil yang berlawanan dengan lampu atas 45 derajat (Gb.266). Selain akan menerangi bagian kepala, cahaya juga akan menyinari rambut dan bahu aktor. Pengambilan sudut ini akan memberikan efek pemisahan antara aktor dan background. Garis cahaya yang nampak pada rambut, dan bahu akan memberikan kesan tiga dimensi sehingga aktor terlihat tidak menempel pada background. Banyak sudut di antara sudut pengambilan di atas yang bisa dicobakan. Tetapi pengambilan sudut harus mempertimbangakn efek yang ingin dicapai sehingga hasilnya benar-benar seperti apa yang diharapkan.

3.4.1 Penyinaran Aktor
Guna menyinari aktor yang mengahadap ke penonton ada teknik dasar yang bisa diterapkan. Selain kejelasan pencahayaan juga harus mampu menampilkan dimensi. Untuk hasil termudah letakkan dua lampu dengan arah atas 450 (derajat) pada masing-masing sisi dimana aktor berdiri (Gb.267). Karena sinar cahaya lebih lebar daripada tubuh aktor maka ia bisa bergerak di seputar lingkar cahaya dengan tetap tersinari. Kedua posisi lampu akan membentuk sudut 900 (derajat) sehingga lingkar cahaya yang dihasilkan akan mampu menyinari area yang cukup bagi aktor untuk bergerak.
Luas ruang penyinaran yang diciptakan oleh dua lampu dan memberikan cukup cahaya untuk aktor ini disebut area. Ukuran area ini bisa disesuaikan dengan menggunakan lampu. Jika jarak pengambilan jauh maka area pun akan membersar demikian juga ketika lingkar cahaya pada lampu spot diperbesar maka cakupan sinarnya pun akan membesar. Penyinaran aktor dengan dua lampu ini menjadi teknik dasar yang dapat diterapkan secara umum pada panggung pertunjukan. Karena masing-masing panggung memiliki ukuran luas dan karakter yang berbeda maka peletakan lampu pun harus menyesuaikan. Oleh karena itu, sudut pengambilan dengan dua lampu ini pun perlu dicobakan.


Gb.267 Penyinaran aktor denganlampu 45 derajat dari dua arah

Ada panggung yang menyediakan baris bar yang memungkinkan pengambilan dengan sudut 450, tetapi ada juga panggung yang tidak memiliki baris bar yang memungkinkan pengambilan sudut 450. Jika terjadi hal semacam ini maka sudut pengambilan pun bisa berubah tetapi prinsip penyinaran aktor dengan dua lampu tetap dilaksanakan.

3.4.2 Penyinaran Area
Prinsip dasar penyinaran aktor dengan dua lampu bisa diterapkan untuk penyinaran area. Panggung pertunjukan secara umum dibagi menjadi 9 area permainan. Dengan menerapkan prinsip di atas maka masing-masing area disinari oleh minimal dua lampu yang diambil dari sudut 450 pada masing-masing sisinya (Gb.268). Karena ukuran panggung yang berbeda-beda maka jarak pengambilan antara lampu dan area yang akan disinari perlu dipertimbangkan.
Pertimbangan mendasar yang perlu diperhatikan adalah luas area yang hendak disinari. Hal ini berkaitan dengan luas lingkar cahaya optimal yang bisa dipenuhi oleh masing-masing lampu. Jika sudut pengambilan dan jarak yang ditentukan kurang tepat atau berada di luar jangkauan maksimal lampu maka pendar cahaya yang dihasilkan kabur sehingga tidak bisa memberikan kecukupan cahaya.


Gb.268 Penyinaran area

Gambar di atas memperlihatkan masing-masing area mendapat penyinaran dari dua lampu. Prinsip penyinaran ini adalah prinsip dasar. Artinya, dengan jumlah lampu minimal seluruh area panggung bisa disinari. Dengan sistem penyinaran semacam ini penonton dapat menangkap kejelasan objek yang ada di atas panggung. Detil pencahayan bisa dilengkapi dengan menambah lampu yang diarahkan khusus ke tata panggung, aktor atau objek lain di atas pentas. Setelah dipenuhinya prinsip dasar penyinaran area maka penonjolan yang akan dilakukan melalui tata cahaya dapat dikerjakan dengan lebih mudah.

3.5 Praktek Tata Cahaya
Proses kerja penataan cahaya dalam pementasan teater membutuhkan waktu yang lama. Seorang penata cahaya tidak hanya bekerja sehari atau dua hari menjelang pementasan. Kejelian sangat diperlukan, karena fungsi tata cahaya tidak hanya sekedar menerangi panggung pertunjukan. Kehadiran tata cahaya sangat membantu dramatika lakon yang dipentaskan. Tidak jarang sebuah pertunjukan tampak sepektakuler karena kerja tata cahayanya yang hebat. Untuk hasil yang terbaik, penata cahaya perlu mengikuti prosedur kerja mulai dari menerima naskah sampai pementasan.

Gb.269 Prosedur kerja penata cahaya

Prosedur atau langkah kerja pada dasarnya dibuat untuk mempermudah kerja seseorang. Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa kerja penata cahaya tidak hanya sekedar menata lampu, menghidupkan, dan mematikannya.

3.5.1 Mempelajari Naskah
Naskah lakon adalah bahan dasar ekspresi artistik pementasan teater. Semua kreativitas yang dihasilkan mengacu pada lakon yang dipilih. Tidak hanya sutradara dan aktor yang perlu mempelajari naskah lakon. Penata cahaya pun perlu mempelajari naskah lakon. Berbeda dengan aktor yang berkutat pada karakter tokoh peran, penata cahaya mempelajari lakon untuk menangkap maksud lakon serta mempelajari detil latar waktu, dan tempat kejadian peristiwa.
Mempelajari tempat kejadian peristiwa akan memberikan gambaran pada penata cahaya tempat cerita berlangsung, suasana dan piranti yang digunakan. Mungkin ada piranti yang menghasilkan cahaya seperti obor, lilin, lampu belajar, dan lain sebagainya yang digunakan dalam cerita tersebut. Ini semua menjadi catatan penata cahaya. Setiap sumber cahaya menghasilkan warna dan efek cahaya yang berbeda yang pada akhirnya akan memberikan gambaran suasana.
Tempat berlangsungnya cerita juga memberikan gambaran cahaya. Peristiwa yang terjadi di dalam ruang memiliki pencahaayaan yang berbeda dengan di luar ruang. Jika dihubungkan dengan waktu kejadian maka gambaran detil cahaya secara keseluruhan akan didapatkan. Jika perstiwa terjadi di luar ruang pada siang hari berbeda dengan sore hari. Persitiwa yang terjadi di luar ruang memerlukan pencahayaan yang bebeda antara di sebuah taman kota dan di teras sebuah rumah. Semua hal yang berkaitan dengan ruang dan waktu harus menjadi catatan penata cahaya.

3.5.2 Diskusi Dengan Sutradara
Penata cahaya perlu meluangkan waktu khusus untuk berdiskusi dengan sutradara. Setelah mempelajari naskah dan mendapatkan gambaran keseluruhan kejadian peristiwa lakon, penata cahaya perlu mengetahui interpretasi dan keinginan sutradara mengenai lakon yang hendak dimainkan tersebut. Mungkin sutradara mengehendaki penonjolan pada adegan tertentu atau bahkan menghendaki efek khusus dalam persitiwa tertentu. Catatan penata cahaya yang didapatkan setelah mempelajari naskah digabungkan dengan catatan dari sutradara sehingga gambaran keseluruhan pencahayaan yang diperlukan didapatkan.

3.5.3 Mempelajari Desain Tata Busana
Berdiskusi dengan penata busana lebih khusus adalah untuk menyesuaikan warna dan bahan yang digunakan dalam tata busana. Seperti yang telah disebut di atas, bahan-bahan tertentu dapat menghasilkan refleksi tertentu serta warna tertentu dapat memantulkan warna cahaya atau menyerapnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan maka kerjasama antara penata cahaya dan penata busana perlu dijalin.
Hal ini juga berkaitan juga dengan catatan sutradara. Misalnya, dalam satu peristiwa sutradara menghendaki cahaya berwarna kehijauan untuk menyimbolkan sebuah mimpi, penata busana juga membuat baju berwarna hijau untuk menegaskan suasana tersebut. Penata cahaya bisa memberikan saran penggunaan warna hijau pada busana karena warna hijau cahaya jika mengenai warna hijau tertentu pada busana bisa saling meniadakan. Artinya, warna hijau yang ingin ditampilkan justru hilang. Untuk itu, diskusi dan saling mempelajari desain perlu dilakukan.

3.5.4 Mempelajari Desain Tata Panggung
Diskusi dengan penata panggung sangat diperlukan karena tugas tata cahaya selain menyinari aktor dan area juga menyediakan cahaya khusus untuk set dan properti yang ada di panggung. Selain bahan dan warna, penataan dekor di atas pentas penting untuk dipelajari. Jika desain tata panggung memperlihatkan sebuah konstruksi maka tata cahaya harus membantu memberikan dimensi pada konstruksi tersebut. Jika desain tata panggung menampilkan bangunan arsitektural gaya tertentu maka tata cahaya harus mampu membantu menampilkan keistemewaan gaya arstitektur yang ditampilkan.
Penyinaran pada set dekor tidak hanya berlaku untuk set dekor saja tetapi juga berlaku untuk lingkungan sekitarnya. Misalnya, di atas panggung menampakkan sebuah ruang yang di bagian belakangnya ada jendela. Ketika jendela itu dibuka dan lampu ruangan tersebut dinyalakan maka pendar cahaya dalam ruangan harus sampai ke luar ruangan melalui jendela tersebut. Tugas tata cahaya adalah menyajikan efek sinar lampu ruangan yang menerobos ke luar ruangan. Intinya, setiap detil efek cahaya yang dihasilkan berkaitan dengan tata panggung harus diperhitungkan. Semua harus nampak logis bagi mata penonton.

3.5.5 Memeriksa Panggung dan Perlengkapan
Memeriksa panggung dan perlengkapan adalah tugas berikutnya bagi penata cahaya. Dengan mempelajari ukuran panggung maka akan diketahui luas area yang perlu disinari. Penempatan baris bar lampu menentukan sudut pengambilan cahaya yang akan ditetapkan. Ketersediaan lampu yang ada dipanggung juga menentukan peletakkan lampu berdasar kepentingan penyinaran berkaitan dengan karakter dan kemampuan teknis lampu tersebut. Semua kelengkapan pernak-pernik yang ada di panggung harus diperiksa.
Ketersediaan peralatan seperti, tangga, tali, pengerek, rantai pengaman lampu, sabuk pengaman, sekrup, obeng, gunting, dan perlatan kecil lainnya harus diperiksa. Ketersediaan lampu baik jumlah, jenis, dan kekuatan dayanya harus dicatat. Asesoris yang dibutuhkan untuk lampu seperti; filter warna, kelem, pengait, barndoor, stand, iris, gobo, dan asesoris lain yang ada juga harus diperiksa. Ketersediaan dimmer dan kontrol serta kelistrikan yang menjadi sumber daya utama juga harus diteliti.
Semua yang ada di panggung yang berkaitan dengan kerja tata cahaya dicatat. Berikutnya adalah kalkulasi keperluan tata cahaya berdasar capaian artistik yang dinginkan dan dibandingkan dengan ketersediaan perlengkapan yang ada. Dengan mempelajari panggung dan segala perlengkapan yang disediakan penata cahaya akan menemukan kekurangan atau problem yang perlu diatasi. Misalnya, penataan boom pada panggung kurang sesuai dengan sudut pengambilan lampu samping untuk menyinari set dekor. Oleh karena itu diperlukan stand tambahan. Lampu yang tersedia masih kurang mencukupi untuk menerangi beberapa bagian arsitektur tata panggung, untuk itu diperlukan lampu tambahan.
Semua problem yang ditemui dan solusi yang bisa dilakukan kemudian dicatat dan diajukan ke sutradara atau tim produksi. Jika tim produksi tidak bisa menyediakan kelengkapan yang diperlukan maka penata cahaya harus mengoptimalkan ketersediaan perlengkapan tata cahaya yang ada. Misalnya, dengan menerapkan prinsip penerangan area dan memanfaat beberapa lampu sisa yang ada untuk efek tertentu.

3.5.6 Menghadiri Latihan
Untuk mendapatkan gambaran lengkap dari situasi masing-masing adegan yang diinginkan penata cahaya wajib mendatangi sesi latihan aktor. Selain untuk memahami suasana adegan, penata cahaya juga mencatat hal-hal khusus yang menjadi fokus adegan. Hal ini sangat penting bagi penata cahaya untuk merencanakan perpindahan cahaya dari adegan satu ke adegan lain. Perpindahan cahaya yang halus membuat penonton tidak sadar digiring ke suasana yang berbeda. Hasilnya, efek dramatis yang akan ditampilkan oleh cerita jadi semakin mengena.
Sesi latihan dengan aktor akan memberikan gambaran detil setiap pergerakan aktor di atas pentas. Setelah mencatat hal-hal yang berkaitan dengan suasana adegan maka proses pergerakan dan posisi aktor di atas pentas perlu diperhatikan. Penyinaran berdasar area memang memberi penerangan pada seluruh area permainan tetapi tidak pada aktor secara khsusus. Dalam satu adegan tertentu mungkin saja aktor berada di luar jangkauan optimal lingkaran sinar cahaya. Oleh karena itu, aktor yang berdiri atau berpose pada area tertentu memerlukan pencahayaan tersendiri. Hal ini berlaku juga untuk tata panggung pada saat latihan teknik dijalankan. Penata cahaya perlu mendapatkan gambaran riil letak set dekor dan seluruh perabot di atas pentas. Dengan demikian, detil pencahayaan pada set dan perabot bisa dirancang dan diperhitungkan dengan baik.

3.5.7 Membuat Konsep
Setelah mendapatkan keseluruhan gambaran dan pemahaman penata cahaya mulai membuat konsep pencahayaan. Konsep ini hanya berupa gambaran dasar penata cahaya terhadap lakon dan pencahayaan yang akan diterapkan untuk mendukung lakon tersebut. Warna, intensitas, dan makna cahaya dituangkan oleh penata cahaya pada konsepnya. Tidak hanya penggambaran suasana yang dituangkan tetapi bisa saja simbol-simbol tertentu yang hendak disampaikan untuk mendukung makna adegan. Misalnya, dalam satu adegan di ruang tamu ada foto besar seorang pejuang yang dipasang di dinding. Untuk memberi kesan bahwa pemiliki rumah sangat mengagumi tokoh tersebut maka foto diberi pencahayaan khusus. Juga dalam setiap perubahan dan perjalanan adegan konsep pencahayaan digambarkan. Konsep bisa ditulis atau ditambahi dengan gambar rencana dasar. Intinya, komsep ini membicarakan gagasan pencahayaan lakon yang akan dimainkan menurut penata cahaya. Selanjutnya konsep didiskusikan dengan sutradara untuk mendapatkan kesesuaian dengan rencana artistik secara keseluruhan.

3.5.8 Plot Tata Cahaya
Konsep yang sudah jadi dan disepakati selanjutnya dijabarkan secara teknis pertama kali dalam bentuk plot tata cahaya. Plot ini akan memberikan gambaran laku tata cahaya mulai dari awal sampai akhir pertunjukan. Seperti halnya sebuah sinopsis cerita, perjalanan tata cahaya ditgambarkan dengan jelas termasuk efek cahaya yang akan ditampilkan dalam adegan demi adegan. Plot ini juga merupakan cue atau penanda hidup matinya cahaya pada area tertentu dalam adegan tertentu. Dengan membuat plot maka penata cahaya bisa memperhitungkan jenis lampu serta warna cahaya yang dibutuhkan, memperkirakan lamanya waktu penyinaran area atau aksi tertentu, merencanakan pemindahan aliran cahaya, dan suasana yang dikehendaki.


Gb .270 Contoh plot tata cahaya

Gambar di atas menjelaskan plot tata cahaya pada adegan satu cerita Menanti Pagi. Kolom “Hal” menjelaskan adegan tersebut terjadi pada naskah di halaman tertentu. Kolom “Aksi” menjelaskan kejadian peristiwa atau adegan. Kolom “cue” menjelaskan tanda perubahan cahaya yang harus dilakukan. Kolom “waktu” menjelaskan lamanya waktu adegan dengan cahaya tertentu. Kolom ”cahaya” menjelaskan hasil pencahayaan yang akan dicapai. Dengan membaca plot tersebut dapat diketahui bahwa cerita yang akan ditampilkan bernuansa horror di mana pada malam yang diterangi sinar bulan Anton dan Amir sedang duduk berbincang di kursi. Pintu tiba-tiba terbuka, kemudian tertutup dan lampu ruangan mati. Amir dan Anton lari keluar. Dari sekilas gambaran adegan tersebut dapat diketahui lampu yang akan digunakan dan efek cahaya yang dihasilkan. Setiap perubahan pencahayaan menjadi catatan dan bisa dijadikan cue. Dalam gambar dijelaskan ada empat cue perubahan.
Pada saat adegan dimulai, lampu sudah dipreset sehingga tingal dinaikkan intensitasnya. Cue perubahan tata cahaya pertama adalah ketika Anton dan Amir masuk ke ruangan, duduk di kursi dan menyalakan lampu yang ada di dekat kursi. Efek cahaya dari lampu yang dinyalakan ini menjadi penanda perubahan. Cue perubahan kedua terjadi ketika pintu terbuka dan efek cahaya bulan masuk melalui pintu. Demikian seterusnya sampai adegan tersebut berakhir dan lampu panggung dipadamkan (black out).

3.5.9 Gambar Desain Tata Cahaya
Untuk memberikan gambaran teknis yang lebih jelas, perlu digambarkan tata letak lampu. Berdasar pada plot tata cahaya yang dibuat maka rencana penataan lampu bisa digambarkan. Semua jenis dan ukuran lampu yang akan digunakan digambarkan tata letaknya. Sebelum menggambarkan tata letak lampu perlu diketahui dulu simbol-simbol lampu. Simbol gambar lampu mengelami perkembangan. Hal ini berkaitan dengan jenis lampu yang tersedia dan umum digunakan. Gambar di bawah memperlihatkan simbol-simbol lampu yang biasa digunakan.


Gb.271 Simbol-simbol lampu

Banyak sekali jenis dan ukuran lampu yang dikeluarkan oleh pabrikan. Masing-masing perusahan memiliki gambar simbol yang berbeda menyangkut bentuk luar lampu produksinya. Dulu, perusahaan Strand mengeluarkan lampu yang diproduksi dan diberi kode “pattern” disingkat “patt” dan nomor serinya. Jadi ada lampu dengan kode patt 23, patt 247, patt 123, dan lain sebagainya. Untuk mengethui jenis dan ukuran lampu harus mengingat patt dan nomornya. Cukup menyulitkan. Selain itu, lampu pada zaman ini memiliki bentuk yang berbeda dengan lampu sekarang sehingga ketika digambarkan simbolnya berbeda. Sekarang, meskipun bentuk lampu berbeda tetapi gambar simbolnya lebih mudah untuk diingat karena masing-masing jenis lampu memiliki kemiripan gambar. Penulisannyapun tidak lagi menggunakan “patt” tetapi langsung ke jenis lampu beserta besaran wattnya, misalnya fresnel 500 watt, ERS 1 KW, dan lain sebagainya. Gambar simbol lampu dalam gambar 70 sudah bisa digunakan dan dipahami oleh para penata lampu.

Gb.272 Contoh desain tata letak lampu

Selanjutnya, gambar tata lampu dibuat dengan menggunakan simbol lampu seperti tersebut di atas. Gambar pada tahap ini belum bisa menyertakan channel dimmer yang akan digunakan oleh masing-masing lampu. Gambar tata lampu lebih menitikberatkan pada peletakkan dan pengarahan jenis lampu yang akan dipasang. Meskipun belum menyertakan channel dimmer, gambar desain tata letak lampu yang dibuat bisa dijadikan panduan pencahayaan.
Dari gambar di atas dapat dibaca, baris bar yang digunakan adalah FOH, Bar 1, 2, 3, dan bar siklorama. FOH singkatan dari Front Of House adalah istilah untuk menyebut baris lampu yang ditata di atas penonton. Cyc singkatan dari cyclorama (siklorama) baris lampu paling belakang untuk menyinari layar. Nomor pada lampu hanya berfungsi untuk menghitung jumlah lampu yang dipasang pada masing-masing bar. Jenis lampu yang digunakan dapat dibaca dari gambar simbolnya.

3.5.10 Penataan dan Percobaan
Setelah memiliki gambar desain tata cahaya maka kerja berikutnya adalah memasang dan mengatur lampu sesuai desain. Proses pemasangan membutuhkan waktu yang lumayan lama terutama untuk penyesuaian dengan channel dimmer dan control desk. Satu channel bisa digunakan untuk lebih dari satu lampu. Setiap lampu yang telah dipasang dalam cahnnel tertentu coba dinyalakan dan diarahkan sesuai dengan area yang akan disinari. Pengaturan lampu ke channel dimmer atau control desk diusahakan agar mudah dalam pengoperasian. Artinya, jarak lever satu ke lever lain diusahakan berdekatan bagi lampu yang hendak dinyalakan secara bersamaan tanpa preset. Pengaturan sudut pengambilan juga memerlukan ketelitian. Di sinilah fungsi menghadiri latihan dengan aktor diterapkan. Segala catatan pergerakan laku dan posisi aktor di atas pentas dapat dijadikan acuan untuk menentukan sudut pengambilan.

Gb.273 Desain tata cahaya
Setelah semua lampu dipasang dan diarahkan kemudian dicoba dengan mengikuti plot tata cahaya dari awal sampai akhir. Hal ini untuk mengetahui intensitas maksimal yang diperlukan, kesesuaian warna cahaya yang dihasilkan serta kemudahan operasional pergantian cahaya dari adegan satu ke adegan lain. Penata cahaya mencatat semuanya dengan seksama sehingga ketika tahap ini selesai didapatkan gambaran lengkap tata cahaya. Gambar tata cahaya sudah bisa dilengkapi dengan channel dimmer atau nomor di control desk (Gb.273) sehingga tabel lampu yang terpasang pada masing-masing bar bisa dituliskan dengan lengkap pula.


Tabel 5. Tabel tata cahaya

3.5.11 Pementasan
Tahap terakhir adalah pementasan. Seluruh kerja tata lampu dibuktikan pada saat malam pementasan. Kegagalan yang terjadi meskipun sedikit akan mempengaruhi hasil seluruh pertunjukan. Oleh karena itu, kecermatan dan ketelitian kerja penata cahaya sangat diperlukan. Penting untuk memeriksa semuanya sebelum jam pertunjukan dilangsungkan. Jika terdapati kesalahan teknis tertentu masih ada waktu untuk memperbaikinya. Semua sangat tergantung dari kesiapan tata cahaya karena tanpa cahaya pertunjukan tidak akan bisa disaksikan.

4. TATA PANGGUNG
Tata panggung disebut juga dengan istilah scenery (tata dekorasi). Gambaran tempat kejadian lakon diwujudkan oleh tata panggung dalam pementasan. Tidak hanya sekedar dekorasi (hiasan) semata, tetapi segala tata letak perabot atau piranti yang akan digunakan oleh aktor disediakan oleh penata panggung. Penataan panggung disesuaikan dengan tuntutan cerita, kehendak artistik sutradara, dan panggung tempat pementasan dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan penataan panggung seorang penata panggung perlu mempelajari panggung pertunjukan.

4.1 Mempelajari Panggung
Dalam sejarah perkembangannya, seni teater memiliki berbagai macam jenis panggung yang dijadikan tempat pementasan. Perbedaan jenis panggung ini dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater itu berada serta gaya pementasan yang dilakukan. Bentuk panggung yang berbeda memiliki prinsip artistik yang berbeda. Misalnya, dalam panggung yang penontonnya melingkar, membutuhkan tata letak perabot yang dapat enak dilihat dari setiap sisi. Berbeda dengan panggung yang penontonnya hanya satu arah dari depan. Untuk memperoleh hasil terbaik, penata panggung diharuskan memahami karakter jenis panggung yang akan digunakan serta bagian-bagian panggung tersebut.

4.1.1 Jenis-jenis Panggung
Panggung adalah tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan dimana interaksi antara kerja penulis lakon, sutradara, dan aktor ditampilkan di hadapan penonton. Di atas panggung inilah semua laku lakon disajikan dengan maksud agar penonton menangkap maksud cerita yang ditampilkan. Untuk menyampaikan maksud tersebut pekerja teater mengolah dan menata panggung sedemikian rupa untuk mencapai maksud yang dinginkan. Seperti telah disebutkan di atas bahwa banyak sekali jenis panggung tetapi dewasa ini hanya tiga jenis panggung yang sering digunakan. Ketiganya adalah panggung proscenium, panggung thrust, dan panggung arena. Dengan memahami bentuk dari masing-masing panggung inilah, penata panggung dapat merancangkan karyanya berdasar lakon yang akan disajikan dengan baik.

4.1.1.1 Arena
Panggung arena adalah panggung yang penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi panggung (Gb.274). Penonton sangat dekat sekali dengan pemain. Agar semua pemain dapat terlihat dari setiap sisi maka penggunaan set dekor berupa bangunan tertutup vertikal tidak diperbolehkan karena dapat menghalangi pandangan penonton. Karena bentuknya yang dikelilingi oleh penonton, maka penata panggung dituntut kreativitasnya untuk mewujudkan set dekor. Segala perabot yang digunakan dalam panggung arena harus benar-benar dipertimbangkan dan dicermati secara hati-hati baik bentuk, ukuran, dan penempatannya. Semua ditata agar enak dipandang dari berbagai sisi.


Gb.274 Denah panggung teater arena

Panggung arena biasanya dibuat secara terbuka (tanpa atap) dan tertutup. Inti dari pangung arena baik terbuka atau tertutup adalah mendekatkan penonton dengan pemain. Kedekatan jarak ini membawa konsekuensi artistik tersendiri baik bagi pemain dan (terutama) tata panggung. Karena jaraknya yang dekat, detil perabot yang diletakkan di atas panggung harus benar-benar sempurna sebab jika tidak maka cacat sedikit saja akan nampak. Misalnya, di atas panggung diletakkan kursi dan meja berukir. Jika bentuk ukiran yang ditampilkan tidak nampak sempurna - berbeda satu dengan yang lain - maka penonton akan dengan mudah melihatnya. Hal ini mempengaruhi nilai artistik pementasan.
Lepas dari kesulitan yang dihadapi, panggun arena sering menjadi pilihan utama bagi teater tradisional. Kedekatan jarak antara pemain dan penonton dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi langsung di tengah-tengah pementasan yang menjadi ciri khas teater tersebut. Aspek kedekatan inilah yang dieksplorasi untuk menimbulkan daya tarik penonton. Kemungkinan berkomunikasi secara langsung atau bahkan bermain di tengah-tengah penonton ini menjadi tantangan kreatif bagi teater modern. Banyak usaha yang dilakukan untuk mendekatkan pertunjukan dengan penonton, salah satunya adalah penggunaan panggung arena. Beberapa pengembangan desain dari teater arena melingkar dilakukan sehingga bentuk teater arena menjadi bermacam-macam.


Gb.275 Berbagai macam model panggung teater arena

Masing-masing bentuk memiliki keunikannya tersendiri tetapi semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu mendekatkan pemain dengan penonton.


4.1.1.2 Proscenium
Panggung proscenium bisa juga disebut sebagai panggung bingkai karena penonton menyaksikan aksi aktor dalam lakon melalui sebuah bingkai atau lengkung proscenium (proscenium arch). Bingkai yang dipasangi layar atau gorden inilah yang memisahkan wilayah akting pemain dengan penonton yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah (Gb.276). Dengan pemisahan ini maka pergantian tata panggung dapat dilakukan tanpa sepengetahuan penonton.
Panggung proscenium sudah lama digunakan dalam dunia teater. Jarak yang sengaja diciptakan untuk memisahkan pemain dan penonton ini dapat digunakan untuk menyajikan cerita seperti apa adanya. Aktor dapat bermain dengan leluasa seolah-olah tidak ada penonton yang hadir melihatnya. Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang dinginkan terutama dalam gaya realisme yang menghendaki lakon seolah-olah benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.


Gb.276 Panggung proscenium

Tata panggung pun sangat diuntungkan dengan adanya jarak dan pandangan satu arah dari penonton. Perspektif dapat ditampilkan dengan memanfaatkan kedalaman panggung (luas panggung ke belakang). Gambar dekorasi dan perabot tidak begitu menuntut kejelasan detil sampai hal-hal terkecil. Bentangan jarak dapat menciptkan bayangan arstisitk tersendiri yang mampu menghadirkan kesan. Kesan inilah yang diolah penata panggung untuk mewujudkan kreasinya di atas panggung proscenium. Seperti sebuah lukisan, bingkai proscenium menjadi batas tepinya. Penonton disuguhi gambaran melalui bingkai tersebut.
Hampir semua sekolah teater memiliki jenis panggung proscenium. Pembelajaran tata panggung untuk menciptakan ilusi (tipuan) imajinatif sangat dimungkinkan dalam panggung proscenium. Jarak antara penonton dan panggung adalah jarak yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan gambaran kreatif pemangungan. Semua yang ada di atas panggung dapat disajikan secara sempurna seolah-olah gambar nyata. Tata cahaya yang memproduksi sinar dapat dihadirkan dengan tanpa terlihat oleh penonton dimana posisi lampu berada. Intinya semua yang di atas panggung dapat diciptakan untuk mengelabui pandangan penonton dan mengarahkan mereka pada pemikiran bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kenyataan. Pesona inilah yang membuat penggunaan panggung proscenium bertahan sampai sekarang.




4.1.1.3 Thrust
Panggung thrust seperti panggung proscenium tetapi dua per tiga bagian depannya menjorok ke arah penonton. Pada bagian depan yang menjorok ini penonton dapat duduk di sisi kanan dan kiri panggung (Gb.277). Panggung thrust nampak seperti gabungan antara panggung arena dan proscenium.


Gb.277 Panggung thrust

Untuk penataan panggung, bagian depan diperlakukan seolah panggung Arena sehingga tidak ada bangunan tertutup vertikal yang dipasang. Sedangkan panggung belakang diperlakukan seolah panggung proscenium yang dapat menampilan kedalaman objek atau pemandangan secara perspektif.
Panggung thrust telah digunakan sejak Abad Pertengahan (Medieval) dalam bentuk panggung berjalan (wagon stage) pada suatu karnaval. Bentuk ini kemudian diadopsi oleh sutradara teater modern yang menghendaki lakon ditampilkan melalui akting para pemain secara lebih artifisial (dibuat-buat agar lebih menarik) kepada penonton. Bagian panggung yang dekat dengan penonton memungkinkan gaya akting teater presentasional yang mempersembahkan permainan kepada penonton secara langsung, sementara bagian belakang atau panggung atas dapat digunakan untuk penataan panggung yang memberikan gambaran lokasi kejadian.

4.1.2 Bagian-bagian Panggung
Panggung teater modern memiliki bagian-bagian atau ruang-ruang yang secara mendasar dibagi menjadi tiga, yaitu bagian panggung, auditorium (tempat penonton), dan ruang depan. Bagian yang paling kompleks dan memiliki fungsi artistik pendukung pertunjukan adalah bagian panggung. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri. Seorang penata panggung harus mengenal bagian-bagian panggung secara mendetil. Gambar 278 dan 279 menerangkan bagian-bagian panggung.


Gb.278 Bagiang panggung 1

A Border. Pembatas yang terbuat dari kain. Dapat dinaikkan dan diturunkan. Fungsinya untuk memberikan batasan area permaianan yang digunakan.
B Backdrop. Layar paling belakang. Kain yang dapat digulung atau diturun-naikkan dan membentuk latar belakang panggung.
C Batten. Disebut juga kakuan. Perlengkapan panggung yang dapat digunakan untuk meletakkan atau menggantung benda dan dapat dipindahkan secara fleksibel.
D Penutup/flies. Bagian atas rumah panggung yang dapat digunakan untuk menggantung set dekor serta menangani peralatan tata cahaya.
E Rumah panggung (stage house). Seluruh ruang panggung yang meliputi latar dan area untuk tampil
F Catwalk (jalan sempit). Permukaan, papan atau jembatan yang dibuat di atas panggung yang dapat menghubungkan sisi satu ke sisi lain sehingga memudahkan pekerja dalam memasang dan menata peralatan.
G Tirai besi. Satu tirai khsusus yang dibuat dari logam untuk memisahkan bagian panggung dan kursi penonton. Digunakan bila terjadi kebakaran di atas panggung. Tirai ini diturunkan sehingga api tidak menjalar keluar dan penonton bisa segera dievakuasi.
H Latar panggung atas. Bagian latar paling belakang yang biasanya digunakan untuk memperluas area pementasan dengan meletakkan gambar perspektif.
I Sayap (side wing). Bagian kanan dan kiri panggung yang tersembunyi dari penonton, biasanya digunakan para aktor menunggu giliran sesaat sebelum tampil.
J Layar panggung. Tirai kain yang memisahkan panggung dan ruang penonton. Digunakan (dibuka) untuk menandai dimulainya pertunjukan. Ditutup untuk mengakhiri pertunjukan. Digunakan juga dalam waktu jeda penataan set dekor antara babak satu dengan lainnya.
K Trap jungkit. Area permainan atau panggung yang biasanya bisa dibuka dan ditutup untuk keluar-masuk pemain dari bawah panggung.
L Tangga. Digunakan untuk naik ke bagian atas panggung secara cepat. Tangga lain, biasanya diletakkan di belakang atau samping panggung sebelah luar.
M Apron. Daerah yang terletak di depan layar atau persis di depan bingkai proscenium.
N Bawah panggung. Digunakan untuk menyimpan peralatan set. Terkadang di bagian bawah ini juga terdapat kamar ganti pemain.
O Panggung. Tempat pertunjukan dilangsungkan.
P Orchestra Pit. Tempat para musisi orkestra bermain. Dalam beberapa panggung proscenium, orchestra pit tidak disediakan.

Gb.279 Bagian panggung2

Q FOH (Front Of House) Bar. Baris lampu yang dipasang di atas penonton. Digunakan untuk lampu spot.
R Langit-langit akustik. Terbuat dari bahan yang dapat memproyeksikan suara dan tidak menghasilkan gema.
S Ruang pengendali. Ruang untuk mengendalikan cahaya dan suara (sound system).
T Bar. Tempat menjual makan dan minum untuk penonton selama menunggu pertunjukan dimulai.
U Foyer. Ruang tunggu penonton sebelum pertunjukan dimulai atau saat istirahat.
V Tangga. Digunakan untuk naik dan turun dari ruang lantai satu ke ruang lantai lain.
W Auditorium (house). Ruang tempat duduk penonton di panggung proscenium. Istilah auditorium sering juga digunakan sebagai pengganti panggung proscenium itu sendiri.
X Ruang ganti pemain. Ruang ini bisa juga terletak di bagian bawah belakang panggung.

4.2 Fungsi Tata Panggung
Dalam perancangan tata panggung selain mempertimbangkan jenis panggung yang akan digunakan ada beberapa elemen komposisi yang perlu diperhatikan. Sebelum menjelaskan semua itu, fungsi tata panggung perlu dibahas terlebih dahulu. Selain merencanakan gambar dekor, penata panggung juga bertanggungjawab terhadap segala perabot yang digunakan. Karena keseluruhan objek yang ada di atas panggung dan digunakan oleh aktor membentuk satu lukisan secara menyeluruh. Perabot dan piranti sangat penting dalam mencipta lukisan panggung, terutama pada panggung arena dimana lukisan dekor atau bentuk bangunan vertikal tertutup seperti dinding atau kamar (karena akan menghalangi pandangan sebagian penonton) tidak memungkinkan diletakkan di atas panggung. Tata perabot kemudian menjadi unsur pokok pada tata panggung arena. Unsur-unsur ini ditata sedemikian rupa sehingga bisa memberikan gambaran lengkap yang berfungsi untuk menjelaskan suasana dan semangat lakon, periode sejarah lakon, lokasi kejadian, status karakter peran, dan musim dalam tahun dimana lakon dilangsungkan.

4.2.1 Suasana dan Semangat Lakon
Tata panggung dapat memberi gambaran kepada penonton, suasana dan semangat lakon yang dimainkan. Suasana mengarah pada keadaan emosi yang ditampilkan oleh lakon secara dominan, sedangkan semangat mengarah pada konsep dasar pementasan yang menyampaikan pesan lakon dalam cara tertentu. Agar desain tata panggung dapat memperlihatkan kedua hal ini, penata panggung harus mampu menambahkan elemen pendukung yang mampu memberikan kesan suasana dan semangat lakon yang ditampilkan.
Jika cerita lakon berkisah tentang cinta kasih atau kebahagiaan maka tata panggung harus menggunakan elemen-elemen yang lembut, bentuk-bentuk benda yang memililki sudut melingkar. Warna menggunakan warna pastel untuk menampakkan keceriaan suasana.


Gb.280 Tata panggung yang cerah menggambarkan suasana gembira

Jika lakon yang dimainkan menekankan suasana tragedi maka garis yang ditampilkan harus jelas, sudut-sudut yang tegas dan penggunaan warna gelap akan mengekspresikan suasana yang lebih dalam dan berat.


Gb.281 Tata panggung berwarna gelap menggambarkan suasana lakon yang dalam dan berat

Pemilihan bentuk, warna, dan komposisi objek di atas panggung sangat menentukan suasana dan semangat lakon. Jika tata panggung salah dalam memilih dan menata perabot, maka laku lakon yang dimainkan oleh para aktor akan terasa berat. Misalnya, tata panggung yang cerah seperti gambar di atas digunakan untuk lakon misterius. Ketepatan menata perabot sesuai dengan suasana dan semangat lakon akan membantu mempertegas makna lakon yang hendak disampaikan.

4.2.2 Periode Sejarah Lakon
Tata panggung juga dapat memberikan gambaran periode sejarah lakon yang sedang dimainkan. Penata panggung perlu mempelajari atau mengadakan penelitian sejarah berdasar lakon yang akan dimainkan. Penelitian ini untuk mendapatkan gambaran selengkapnya tentang bentuk arsitektur, perabot rumah tangga, peralatan, dan segala keperluan yang dibutuhkan lakon untuk ditampilkan di atas pentas. Penelitian ini sangat penting karena gaya bangunan, furnitur, dan tata peletakannya sangat berbeda dari zaman ke zaman.


Gb.282 Tata panggung dapat menggambarkan periode sejarah lakon
Meskipun penelitian sejarah sangat penting tetapi penata panggung tidak bisa meniru secara total setiap detil gaya arsitektur satu zaman tertentu. Peniruan total menandakan tidak adanya kreatifitas artsitik. Yang perlu ditangkap dan dipelajari adalah motif secara umum dan ciri-ciri khusus yang digunakan pada zaman itu. Melalui proses kreatif, ciri dan motif ini diwujudkan dalam bentuk baru yang dapat memberikan gambaran periode sejarah lakon kepada penonton. Tata panggung berbeda dengan reproduksi. Tata panggung adalah kreasi artistik yang mencerminkan esensi sebuah periode sejarah tertentu beserta lingkungannya untuk mempertegas suasana dan semangat lakon yang ditampilkan.

4.2.3 Lokasi Kejadian
Letak geografi sangat mempengaruhi desain sebuah bangunan dan perkakas yang melengkapinya. Bentuk bangunan dan perkakas rumah tangga sangatlah berbeda antara daerah tandus dan daerah subur. Hal ini pulalah yang menjadikan bentuk bangunan setiap suku bangsa berbeda. Dengan memanfaatkan ciri-ciri tradisi atau lokal tertentu dalam mendirikan sebuah bangunan penata panggung dapat memberikan gambaran lokasi kejadian peristiwa lakon kepada penonton.
Bahkan dalam satu daerah bentuk bangunan area tertentu berbeda dengan area lain. Misalnya dalam masa sekarang ini, bangunan perumahan berbeda dengan bangunan rumah penduduk kampung meskipun mereka tinggal dalam satu wilayah. Dengan mencermati setiap sisi bangunan mulai dari bentuk, bahan sampai penataan interior, penata panggung akan mendapatkan gambaran komplit untuk diwujudkan di atas panggung.
Lokasi kejadian tidak hanya sekedar tempat kejadian secara umum tetapi juga di tempat-tempat khusus dalam satu ruang atau bangunan. Misalnya, sebuah bentuk bangunan yang ditampilkan memberi gambaran lokasi kejadian persitiwa terjadi di sebuah gedung tua di salah satu kota pada masa tertentu. Lokasi ini tidak hanya berhenti di sini. Mungkin saja salah satu peristiwa terjadi di ruang dapur gedung tersebut. Peristiwa lain terjadi di ruang tamu. Dengan demikian tata letak perabot serta perkakas yang digunakan harus ditata sedemikian rupa untuk memberi kejelasan lokasi kejadian peristiwa.

4.2.4 Status dan Karakter Peran
Tata panggung dapat pula memberikan gambaran status dan karakter peran dalam lakon. Penata panggung biasanya menggunakan perabot dan atau piranti tangan untuk menunjukkan hal ini. Sebuah karakter yang memiliki status sosial tinggi ditampilkan sebagai sosok yang mengenakan kacamata, mengisap pipa, berjalan memakai tongkat dan tinggal dirumah yang mewah. Sementara peran yang bestatus sosial rendah menempati rumah sederhana dengan perabot sederhana.
Gambaran status inipun dapat memberikan indikasi karakter peran. Misalnya, sosok yang berstatus sosial tinggi itu jika karakternya baik maka ia akan ditampilkan sebagai pribadi terpelajar, bijaksana, dan berwawasan keadlian. Tetapi jika ia memiliki karkater jahat maka ia akan tampil cerdik, penuh kelicikan, dan tetap menggunakan bahasa yang halus seolah-olah ia orang baik. Jika sosok berstatus rendah digambarkan sebagai orang baik maka ia nampak jujur, lugu, dan mudah ditipu tetapi tetap sabar. Jika memiliki karakter jahat maka ia akan berbicara kasar, suka memaki atau memukul, melakukan kejahatan secara terbuka.
Dari gambaran status yang diperlihatkan dapat diidentifikasi gambaran karakter peran yang dimainkan oleh aktor. Perbedaan status seperti yang disebutkan di atas memberikan konsekuensi perbedaan gaya karakter. Meskipun sama-sama berkarakter jahat tetapi gaya yang ditampilkan antara peran berstatus tinggi berbeda dengan yang berstatus rendah. Memang untuk menampilkan karakter secara utuh diperlukan unsur artistik lain seperti tata rias dan busana, tetapi tata panggung atau set dekorasi yang dihadirkan dapat memberikan identifikasi umum karkater peran yang ada di dalamnya.

4.2.5 Musim
Suasana dalam satu musim berbeda dengan musim lain. Suasana rumah petani pada musim tanam dan musim panen sangatlah berbeda. Suasana musim hujan di satu daerah dan musim kemarau sangatlah berbeda. Tata panggung dapat memberikan gambaran jelas mengenai musim yang sedang dilalui dalam lakon. Penggunaan warna, perabot sehari-hari serta piranti lain dapat dijadikan pedoman untuk mengetahui musim yang sedang berjalan. Petani yang digambarkan membawa cangkul atau peralatan menanam dengan latar belakang sawah berair memberikan gambaran susana musim tanam sedangkan petani yang mengangkut padi memberikan gambaran suasana musim panen. Seorang yang berdiri di bawah payung di sebuah teras gedung memberikan gambaran musim hujan sementara seorang yang duduk di serambi rumah dengan hanya mengenakan kaos, mengipas-kipaskan tangannya menggambarkan musim panas. Demikianlah, tata panggung dapat memberikan gambaran musim yang sedang terjadi dalam lakon yang dimainkan.

4.3 Elemen Komposisi
Desain tata panggung sebaiknya dibuat dengan mudah dan bebas. Artinya, imajinasi dapat dituangkan sepenuhnya ke dalam gambar desain tanpa lebih dulu berpikir tentang kemungkinan visualisasinya. Pemikiran lain di luar desain akan menghambat imajinasi dan akhrinya memberikan batasan. Penyuntingan atau pengolahan bisa dilakukan setelah gagasan tertuang. Dalam pembuatan desain gambar tata panggung yang terpenting adalah cara mengatur, menata, dan memanipulasi elemen komposisi yang menjadi dasar dari seluruh kerja desain.

4.3.1 Garis
Garis menunjukkan bentuk. Setiap goresan garis yang dibuat memiliki karakter tersendiri. Tebal tipisnya garis dapat memberikan gambaran dimensi, kualitas, dan karakter satu benda atau bentuk yang dihasilkan. Gambar yang dibuat dengan garis tegas akan menampakkan nuansa emosi atau sikap yang tegas dan kuat dibandingkan dengan gambar dengan garis lembut. Permainan tegas dan lembut inilah yang akan menampakkan dimensi objek. Dalam desain tata penggung, arah garis mewakili arah penonton. Artinya, garis menuntun pandangan penonton menuju area permainan.


Gb.283 Elemen garis menunjukkan bentuk benda

4.3.2 Bentuk
Bentuk adalah ruang yang dikelilingi oleh garis. Karakterisitik bentuk sangat tergantung dari karakter garis yang membentuknya. Suasana ruang tampak kuat, kaku, dan bertenaga dengan garis tegas yang mengelilinginya. Garis tersebut membentuk ruang kotak tanpa lengkung. Sebaliknya, ruang yang dibentuk dari garis lengkung akan menampakkan keluasan, kesegaran, kedamaian, dan ketenangan. Kombinasi antara garis lengkung dan lurus ini akan menciptakan beragam bentuk di mana di dalamnya terdapat ruang tempat aktor bermain atau ruang suasana untuk mendukung adegan lakon.


Gb.284 Elemen bentuk mempertegas ruang

4.3.3 Warna
Meskipun warna dalam desain harus merepresentasikan warna alami benda atau objek yang digambar, tetapi hasil yang mengesankan dapat temukan dengan menambahkan corak warna lain. Warna-warni benda atau objek desain akan mempertegas kedalaman ruang. Selain itu, warna juga memiliki karakter tersendiri. Secara mendasar ada warna hangat atau panas dan ada warna dingin. Yang termasuk warna hangat, adalah merah, oranye. Sedangkan yang termasuk dalam warna dingin, adalah biru tua, hijau. Kombinasi warna hangat dan dingin ini akan mempertegas suasana ruang yang hendak diciptakan. Untuk menonjolkan bagian atau objek tertentu di atas panggung, penggunaan warna sangatlah efektif. Pembedaan warna satu objek tertentu dengan objek lainnya dapat digunakan untuk menyimbolkan sesuatu. Intinya, dengan mengolah warna-warna yang ada di atas panggung maka, semua gambaran simbolis atau realis dapat diwujudkan.




Gb.285 Elemen warna menggambarkan suasana ruang



Gb.286 Elemen cahaya mempertegas dimensi ruang



4.3.4 Cahaya
Cahaya membuat objek atau benda tampak lebih hidup. Dengan mengkreasikan gelap dan terang, maka volume sebuah benda dapat dimunculkan. Dalam desain imajinasi sumber cahaya dan arah datangnya cahaya harus digambarkan, sehingga semua objek menampakkan volumenya. Jika gambar dibuat tanpa imajinasi cahaya maka gambar tersebut tampak datar sehingga kedalaman ruang yang dinginkan tidak tercapai. Dengan menambahkan cahaya maka gambaran penataan objek dan ruang di atas panggung tampak hidup.

4.4 Praktek Tata Panggung
Praktek tata panggung dimulai sejak menerima naskah lakon yang hendak dipentaskan. Tidak bisa seorang penata panggung hanya bekerja berdasarkan pesanan seorang sutradara untuk membut set tertentu tanpa membaca naskah lakon terlebih dahulu. Penata panggung bukanlah seorang pekerja yang hanya menjalankan perintah dari sang sutradara atau penata artistik (sutradara artistik). Ia harus mampu mengembangkan imajinasinya dan mewujudkannya dalam karya tata panggung.

4.4.1 Mempelajari Naskah
Seperti yang telah diuraikan di atas, tugas penata panggung dimulai sejak ia menerima naskah lakon yang akan dimainkan. Seluruh imajinasi ruang atau tempat berlangsungnya cerita dapat dipelajari melalui naskah lakon. Tugas penata panggung pada tahap ini adalah menemukan detil lokasi kejadian pada setiap adegan dalam cerita. Semuanya ditulis dengan lengkap dan didata.
• Lokasi kejadian (menunjukkan tempat berlangsungnya cerita)
• Waktu kejadian (menunjukkan tahun, dekade, atau era kejadian)
• Bentuk atau struktur bangunan sesuai dengan lokasi dan waktu
• Model atau gaya perabot sesuai dengan lokasi dan waktu
• Lingkungan tempat kejadian (suasana lingkungan yang mendukung)
• Peralatan apa saja yang diperlukan (piranti tangan untuk para pemain seperti; tongkat, senjata, dan lain sebagainya)
• Perpindahan lokasi kejadian dari babak atau adegan satu ke adegan lain
• Suasana yang dikehendaki pada setiap adegan
Semua data tersebut digunakan untuk pedoman pembuatan set. Perkiaraan gambaran lengkap set sudah bisa didapatkan melalui data-data tersebut. Selanjutnya, penata panggung bisa membuat sketsa tata panggung berdasar data tersebut. Sketsa ini masih berupa gambaran kasar yang membutuhkan penyesuaian dengan konsep tata artistik secara menyeluruh. Misalnya, lokasi kejadian adalah di sebuah ruang tamu dalam rumah sederhana di pedesaan (Gb.287). Penata panggung kemudian secara bebas membuat sketsa ruang tersebut.


Gb.287 Sketsa tata panggung yang menggambarkan rumah sederhana


4.4.2 Diskusi Dengan Sutradara
Hasil sketsa yang telah dibuat oleh penata panggung selanjutnya dibawa dalam pertemuan penata artistik dengan sutradara. Dalam pertemuan ini dibahas konsep tata artistik yang akan digunakan dalam pementasan. Sutradara memberikan gambaran dasar tata artsitik yang dikehendaki. Kemudian penata artistik atau sutradara artistik menjelaskan maksud sutradara tersebut secara lebih jelas dalam gambaran tata artistik yang dimaksudkan.
Gambaran tata artistik ini menyangkut seluruh elemen rupa yang akan ditampilkan di atas panggung. Oleh karena itu, desain tata panggung harus senada dengan dengan desain tata rias, dan tata busana. Selain itu, hal yang terpenting adalah interpretasi sutradara dan penata artsitik terhadap lakon yang akan dipentaskan. Misalnya; ruang tamu dalam rumah sederhana di pedesaan hendak ditampilkan dalam wujud yang lebih modern. Dalam hal ini, dinding rumah tidak lagi dibuat dari bambu tetapi dari tembok. Perabot yang adapun tidak lagi dari bambu tapi dari kayu atau bahan lain yang kelihatan lebih mewah meskipun sederhana. Tata dekorasi tidak dibuat tetap (permanen) tetapi dapat diubah dalam beberapa bentuk. Semua arahan ini dituliskan atau digambarkan dalam konsep tata artistik.
Selanjutnya, penata panggung mempelajari konsep tersebut dan membuat penyesuaian. Karena tata panggung dapat diubah dalam beberapa bentuk maka penata panggung kembali membuat sketsa seperti yang dimaksud. Tentu saja dengan tetap berdasarkan pada lakon sehingga setiap bentuk dari perubahan set masih mencerminkan keadaan tempat atau lokasi kejadian yang dinginkan.
Gambar 288, 289 dan 290 memperlihatkan sketsa hasil penyesuaian dengan konsep tata artistik. Dalam gambar ini penata penggung menyediakan beberapa ruang yang dapat dijadikan latar tempat kejadian peristiwa. Sutradara dan penata artistik dapat menentukan dan mengkoreski hasil seketsa tersebut. Selanjutnya yang terbaik dipilih. Setelah gambaran tata panggung dikoreksi dan ditentukan dengan pasti baik oleh sutradara dan penata artistik, maka tugas penata panggung adalah menyempurnakan gambar desain tata panggung.



Gb.288 Sketsa penyesuaian alternatif 1

Gb.289 Sketsa penyesuaian alternatif 2

Gb.290 Sketsa penyesuaian alternatif 3


4.4.3 Menghadiri Latihan
Setelah menentukan gambar tata panggung, maka trugas penata panggung adalah menghadiri latihan. Tata panggung tidak hanya berkaitan dengan keindahan set dekor tetapi juga berkaitan dengan lalu lintas pemain di atas panggung. Tata panggung yang baik tidak ada gunanya jika tidak dapat menyediakan ruang bermain yang leluasa bagi para aktor. Pertimbangan area permainan sangatlah penting.
Bagaimanapun juga tata panggung tidaklah dapat bergerak atau hidup sebagaimana aktor. Oleh karena itu, ruang yang disediakan untuk para aktor dapat menghidupkan gambaran tata panggung yang telah dibuat. Untuk mengetahui detil gerak-gerik aktor di atas pentas maka jalan yang terbaik adalah menghadiri latihan. Semakin sering menghadiri latihan, penata panggung akan semakin tahu ruang yang dibutuhkan oleh aktor untuk bergerak. Dengan demikian ia dapat memperkirakan volume set dekor yang akan dibuat.

4.4.4 Mempelajari Panggung
Mempelajari panggung bagi penata panggung sangatlah penting. Karakter panggung satu dengan yang lain berbeda. Ada panggung yang luas dan ada yang sempit. Jarak artistik yang disediakan pun berbeda-beda. Semakin lebar jarak artistik maka semakin lebar pula jarak pandang penonton. Hal ini mempengaruhi efek artistik tata panggung. Dalam jarak yang jauh, penonton tidak bisa menangkap detil-detil kecil sehingga hiasan di atas panggung harus dibuat dalam skala yang lebih besar. Jenis panggung juga mempengaruhi tampilan tata panggung. Dalam teater arena yang penontonnya melingkar tidaklah efektif menggunakan tata panggung yang dapat menghalangi pandangan penonton.


Gb.291 Penempatan objek yang tidak efektif dan mengganggu

Gambar di atas menunjukkan bahwa objek yang berwarna merah sangat mengganggu pandangan penonton.
Dalam panggung proscenium, pembuatan set dekorasi dapat mendekati keadaan aslinya. Karena pandangan penonton hanya satu arah dari depan maka titik prespektif dapat dikreasikan dengan baik. Sementara dalam panggung thrust, latar belakang panggung hanya efektif digunakan untuk memberikan pemandangan latar saja. Hal ini disebabkan karena tiga per empat panggung menjorok ke depan sehingga sebagian penonton dapat menyaksikan dari sisi kanan dan kiri panggung. Latar belakang hanya memberikan penegasan pada tata letak perabot di panggung depan (bawah).
Dengan mempelajari detil panggung beserta perlengkapannya, penata panggung akan dapat memperkirakan penataan perabot. Hasil kerja penataan harus nampak indah dari sudut pandang penonton serta memberikan kelagaan ruang bagi pemain. Tata panggung yang baik akan mendukung keseluruhan laku lakon. Blocking yang dihasilkan tidak tampak terlalu penuh atau sisa ruang terlalu longgar. Luas area panggung dijadikan patokan skala volume setiap benda atau objek yang akan ditempatkan. Objek-objek ini selanjutnya akan ditambahi dengan kehadiran pemain. Jika volume objek benda dekorasi terlalu besar maka ruang yang tersisa semakin sempit sehingga gerak aktor tidak leluasa dan blosking yang dihasilkan selalu akan nampak padar, berat, dan terkesan melelahkan. Sebaliknya, peletakkan objek benda dekorasi yang terlalu kecil akan menyisakan ruang yang luas sehingga aktor harus melipatgandakan tenaganya dalam beraksi. Akibat paling jelek dari keadaan ini adalah aktor dan tata dekorasi akan nampak kecil sehingga panggung terkesan kosong. Oleh karena itu, mempelajari panggung adalah tahap yang harus dilakukan oleh penata panggung.

4.4.5 Membuat Gambar Rancangan
Tahap berikutnya adalah membuat gambar rancangan yang telah disesuaikan dengan pilihan sutradara dan area panggung tersedia. Gambar rancangan ini sudah dibuat dengan warna sehingga nampak lebih hidup dan dapat memberikan gambaran sesungguhnya. Gambar 292 dan 293 menunjukkan gambar rancangan tata panggung yang telah ditentukan dan disesuaikan. Dalam contoh ini diperlihatkan bahwa sketsa penyesuaian alternatif 1 dan 2 yang ditentukan, sehingga gambar rancangannya mengacu pada pemilihan tersebut.
Gambar rancangan ini belum final, karena masih harus mendapatkan penyesuaian akhir dari sutradara dan tim artistik yang dipimpin oleh penata artistik. Penggunaan warna dasar serta motif tertentu dalam dekorasi menjadi sorotan utama karena berkaitan dengan warna busana serta warna cahaya. Penentuan warna ini sangat penting karena seorang aktor yang memakai baju berwarna merah dengan latar belakang berwarna merah yang sama akan saling menghilangkan. Akhirnya, aktor tersebut tidak tampak sama sekali dari pandangan penonton. Penyesuaian warna dengan demikian dimaksudkan untuk memberikan kejelasan gambar panggung yang dihasilkan baik dari sisi tata panggung, busana, maupun tata cahaya. Ketepatan pemilihan warna beserta motif yang digunakan memperindah penampilan dan dapat mendukung keseluruhan laku lakon yang dipentaskan.


Gb.292 Desain tata panggung 1


Gb.293 Desain tata panggung 2




4.4.6 Penyesuaian Akhir
Seperti yang telah disebutkan di atas. Setelah mendapatkan penyesuaian dari tim artistik tahap berikutnya adalah membuat gambar rancangan final sesuai kesepakatan. Untuk memberikan kejelasan baik bagi sutradara, pemain, dan tim artistik lain, gambar rancangan ini dibuat dari berbagai macam sudut. Minimal tiga sudut yaitu tampak depan, sudut kiri atas, dan sudut kanan atas. Jika ada dekor khusus maka harus dibuatkan gambar detil secara khusus. Di bawah ini adalah serangkaian gambar rancangan final hasil penyesuaian akhir yang dilihat dari tiga sudut, yaitu tampak depan atas, kiri atas, dan kanan atas.


Gb.294 Desain tata panggung 1 tampak depan atas


Gb.295 Desain tata panggung 1 tampak kiri atas


Gb.296 Desain tata panggung1 tampak kanan atas


Gb.297 Desain tata panggung 2 tampak depan atas


Gb.298 Desain tata panggung 2 tampak kiri atas


Gb.299 Desain tata panggung 2 tampak kanan atas

4.4.7 Membuat Maket
Tahap akhir sebelum proses pengerjaan tata panggung adalah membuat maket atau replika tata panggung. Langkah ini bukanlah suatu keharusan dalam proses penataan panggung, tetapi maket akan memberikan gambaran nyata tata panggung yang akan dikerjakan. Kru tata panggung menggunakan maket sebagai dasar kerja visualisasi tata panggung yang sesungguhnya. Berdasar maket ini pula, sutradara dapat memberikan arahan blocking langsung secara konkrit kepada aktor.


Gb.300 Maket tata panggung 1

Gb.301 Maket tata panggung 2

Pergantian atau perpindahan perabot kecil yang ada dalam tata panggung juga dapat dijelaskan dengan baik melalui maket. Intinya, dengan adanya maket maka pemain akan mendapatkan gambaran sejelas-jelasnya tata panggung yang disediakan.


4.4.8 Pengerjaan
Tahap terakhir dari kerja tata panggung adalah pengerjaan atau aplikasi desain. Untuk memulai kerja, seorang penata panggung harus mengetahui jenis dan sifat bahan yang akan digunakan. Karena tata panggung hanyalah seni ilusi yang menyajikan perwakilan gambaran kenyataan maka bahan yang digunakanpun tidak seperti bahan untuk membuat bangunan sesungguhnya. Meskipun beberapa bahan bangunan nyata dapat digunakan tetapi pengaplikasiannya berbeda. Bahan tata panggung biasanya terdiri dari;
• Bahan dari logam seperti; kawat dan plat aluminium tipis
• Bahan dari kayu
• Bahan dari busa atau spon
• Bahan dari kertas
• Bahan pewarna seperti; cat tembok, cat poster, cat minyak, akrilik dan lain sebagainya.
Masing-masing bahan di atas memiliki karakter sendiri-sendiri. Bahan dari kertas sangat fleksibel untuk membuat bentuk apapun tetapi juga sangat rapuh. Bahan dari logam terutama kawat memiliki fungsi yang lumayan banyak, selain sebagai pengikat bisa juga digunakan untuk membuat hiasan-hiasan tertentu. Bahan dari kayu juga dapat dibuat menjadi berbagai macam bentuk dan memiliki kualitas yang baik tetapi harganya juga mahal. Bahan dari busa atau spon sangat efektif digunakan untuk membuat hiasan-hiasan dinding. Masing-masing bahan tersebut juga memiliki efek yang berbeda terhadap cat. Bahan dari logam tidak bisa diberi warna dengan cat yang berbasis air harus cat minyak.
Setelah mengenal dengan baik bahan dan karakter bahan kerja selanjutnya adalah menggunakan alat yang tepat sesuai dengan bahan yang tersedia. Gunting kertas berbeda dengan gunting plat aluminium. Gergaji potong berbeda dengan gergaji belah. Paku memiliki berbagai macam ukuran demikian juga dengan palu besinya. Kuas juga terdiri dari beberapa jenis dan ukuran. Dengan mengetahui bahan dan peralatan yang digunakan, seorang penata panggung semakin mudah dalam mewujudkan desain tata panggung.
Tata panggung pada dasarnya dapat dibuat dengan dua bentuk. Pertama adalah bentuk permanen dan yang kedua adalah bentuk bongkar pasang. Tata panggung permanen artinya hanya dapat digunakan sekali dalam satu pementasan di satu panggung. Dengan sifatnya yang seperti ini maka proses pengerjaan bisa dilangsungkan di atas panggung, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk berada di atas panggung lebih lama. Tata panggung permanen biasanya dilakukan pada panggung yang tidak memiliki jadwal pementasan yang banyak dan tetap, misalnya panggung di sekolah atau kelompok teater tertentu.
Tata panggung bongkar pasang adalah tata panggung yang dapat digunakan kembali pada saat yang lain. Teknik pengerjaan harus teliti karena bagian-bagiannya bisa dibongkar untuk kemudian dipasangkan kembali. Teknik ini membutuhkan kerja perancangan yang bagus dan proses yang lenbih lama. Kelebihannya adalah proses bisa dilakukan di studio dan hasilnya bisa digunakan berkali-kali.



5. TATA SUARA
Tata adalah suatu usaha pengaturan terhadap sesuatu bentuk, benda dan sebagainya untuk tujuan tertentu. Suara adalah getaran yang dihasilkan oleh sumber bunyi biasanya dari benda padat yang merambat melalui media atau perantara. Perantara dapat berupa benda padat, cair, dan udara kepada alat pendengaran. Tata suara adalah suatu usaha untuk mengatur, menempatkan dan memanfaatkan berbagai sumber suara sesuai dengan etika dan estetika untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk pidato, penyiaran, reccording, dan pertunjukan teater.
Tata suara berakibat langsung pada pendengaran manusia. Selaput pendengaran atau gendang telinga menerima getaran yang merambat melalui udara sesuai degan besar kecilnya suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi atau suara. Bentuk dari getaran tersebut adalah kerapatan dan kerenggangan udara yang disebut dengan gelombang suara. Gelombang suara yang sampai pada rongga telinga dapat menggetarkan selaput gendang pendengaran dan menimbulkan rangsangan pada ujung-ujung syaraf pendengaran. Rangsangan getaran udara yang berulang-ulang akan diteruskan ke pusat syaraf atau otak, apabila getaran yang berasal dari sumber bunyi berhasil mencapai otak melalui alat pendengaran, maka kita dapat mengatakan mendengar bunyi atau suara.


Gb.302 Gelombang suara

Gelombang penyampai suara yang bergerak terus menerus disebut dengan frekuensi. Secara teknis, frekuensi adalah bentuk gelombang yang dimulai dari garis bergerak ke atas maksimum dan bergerak ke bawah maksimum. Gerakan keatas dari sumbu X (line) sampai titik maksimum dan menurun sampai line disebut dengan siklus positif dan gerakan ke bawah sampai mencapai garis sebagai siklus negatif, satu proses siklus positif dan siklus negatif tersebut dinyatakan dalam satu putaran atau cycle. Apabila proses gerakan atau putaran tersebut berjalan terus menerus itulah yang dinamakan frekuensi (Gb.303).
Amplitudo atau amplitude adalah gelombang yang bergerak sampai titik maksimum atas (puncak/peak) dan titik maksimum bawah (Gb.304). Frekuensi rendah (low frequency) digambarkan dengan gelombang sinus yang renggang, sedangkan frekuensi tinggi (high frequency) digambarkan dengan gelombang sinus yang rapat.


Gb.303 Frekuensi


Gb.304 Amplitudo


5.1 Teknik Penataan Suara
Penata suara dalam menjalankan tugasnya harus mempertimbangkan kualitas suara yang dihasilkan sebagai nilai seni. Kualitas suara yang dihasilkan ahrus baik, jelas, wajar terdengar, indah dan menarik. Bukan hanya mengutamakan keras dan lemahnya suara. Yang dimaksud dengan kualitas suara yag baik adalah memenuhi standar level minimal, terhindar dari noise (kegaduhan), dan distorsi (gangguan) serta tercapainya keseimbangan (balance) suara. Penata suara harus memiliki pengalaman dan pemahaman terhadap peralatan yang digunakan. Selain itu, penata suara harus menguasai beragam teknik penataan suara.


5.1.1 Teknik Miking
Suatu teknik pemilihan dan penempatan mikrofon terhadap sumber suara berdasarkan tujuan, fungsi dan estetika tata suara. Teknik miking ini sering disebut dengan teknik “todong” (Gb.305), artinya semua sumber suara ditangkap melalui mikrofon. Baik sumber suara yang berasal dari instrumen akustik maupun peralatan elektronik seperti keyboard, gitar elektrik, dan audio player. Untuk mendapatkan suara dari instrumen tersebut dilakukan dengan cara memasang mikrofon yang sesuai pada speaker monitor. Meskipun peralatan tersebut memiliki fasilitas line-out yang dapat dihubungkan langsung dengan audio mixer, tetapi dalam teknik mikking semua tergantung dari pemasangan mikrofon. Dalam hal ini, ketelitian dan ketepatan penata suara dalam memilih serta memasang mikrofon diperlukan.


Gb.305 Teknik mikking


5.1.2 Teknik Balancing
Pengaturan berbagai sumber dan peralatan tata suara untuk mendapatkan hasil suara atau rekaman yang baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu keselarasan, keserasian dan keseimbangan (balance). Tingkat keberhasilan penataan suara adalah mendapatkan hasil suara yang selaras dan seimbang antara karakter sumber suara asli dengan hasil olahan suara setelah melalui proses peralatan (pengolahan). Sebagai contoh adalah dialog drama yang dilakukan oleh dua tokoh yang memiliki karakter suara yang berbeda. Posisi pengaturan jarak dan arah sudut (angle) jika menggunakan satu mikrofon berbeda dengan dua mikrofon. Penata suara harus dapat menghasilkan suara yang berimbang, artinya hasil pengolahan dua sumber suara tersebut tidak mengalami perbedaan yang mencolok baik secara kualitas dan level keluarannya.

5.1.3 Teknik Mixing
Suatu proses pengolahan/pencampuiran berbagai sumber melalui perangkat elektronik audio mixer untuk menghasilkan pengolahan suara yang terbaik sesuai dengan karakter sumber suara, cita rasa, etika, dan estetika tata suara. Berbagai sumber suara dengan masing-masing karakter masuk secara bersamaan ke audio mixer. Peran penata suara sangat dibutuhkan untuk mengolah dan mengontrol melalui fader level (lever) audio yang diinginkan. Perbandingan level musik ilustrasi ketika dialog berjalan, transisi, soundtrack, sound effect, dan lain sebagainya perlu diperhatikan.

5.1.4 Teknik Reccording
Suatu proses untuk mendapatkan informasi atau hasil rekaman suara yang disimpan dalam suatu media rekaman pita magnetik (cassette), piringan hitam, CD, hardisk, dan sebagainya, dengan tujuan hasil rekaman dapat diperdengarkan kembali. Teknik rekaman dilakukan apabila hasil olahan suara hendak disimpan ke dalam media rekam. Apabila tidak, hasil olahan dapat diperdengarkan kembali lewat audio speaker.

5.2 Fungsi Tata Suara
Dalam pertunjukan teater, suara memiliki peranan yang penting dalam menyampaikan cerita. Karena media dasarnya adalah lakon yang diucapkan, maka meskipun gerak pemain juga penting, tetapi verbalisasi cerita tersampai melalui suara. Tata suara memiliki beberapa fungsi, yaitu.
• Menyampaikan pesan tentang keadaan yang sebenarnya kepada pendengar atau penonton.
• Menekankan sebuah adegan atau peristiwa tertentu dalam lakon, baik melalui efek suara atau alunan musik yang di buat untuk menggambarkan suasana atau atmosfir suatu tempat kejadian.
• Menentukan tempat dan suasana terentu, keadaan tenang, tegang, gembira maupun sedih, misalnya seperti suara ombak, camar dan angin memperkuat latar cerita di tepi pantai.
• Menentukan atau memberikan informasi waktu. Bunyi lonceng jam dinding, ayam berkokok, suara burung hantu, dan lain sebagainya.
• Untuk menjelaskan datang dan perginya seorang pemain. Ketukan pintu, suara motor menjauh, dan suara langkah kaki, gebrakan meja, dan lain sebagainya.
• Sebagai tanda pengenal suatu acara atau musik identitas cara (soundtrack). Musik yang berirama jenaka bisa memberikan gambaran bahwa pertunjukan yang akan disaksikan bernuansa komedi, sementara musik yang berat dan tegang dapat memberikan gambaran pertunjukan dramatik.
• Menciptakan efek khayalan atau imajinasi dengan menghadirkan suara-suara aneh di luar kelaziman.
• Sebagai peralihan antara dua adegan, sebagai fungsi perangkai atau pemisah adegan, biasanya musik pendek yang dibuat khusus untuk suatu drama atau ceritera.
• Sebagai tanda mulai dan menutup suatu adegan atau pertunjukan. Tone buka dan tone penutup, ada juga yang diambil dari potongan soundtrack.
Semua fungsi tata suara berkaitan dengan instrumen yang menghasilkan bunyi. Dalam kasus ilustrasi musik pertunjukan, tata suara menggunakan perlengkapan elektronis. Dengan demikian, penataan suara harus mempertimbangkan keseimbangan antara suara aktor dan suara musik ilustrasi. Demikian pula pada saat fungsi suara untuk memulai sebuah adegan. Pengaturan tinggi rendahnya suara harus diperhitungkan sehingga ketika dialog pemain sudah mulai berjalan semuanya akan terdengar dengan jelas.

5.3 Jenis Tata Suara
5.3.1 Live
Yang dimaskud dengan tata suara secara live adalah suatu penataan atau pengaturan berbagai sumber suara atau bunyi, atmosfir ilustrasi atau gerakan suara yang sesungguhnya, untuk diperdengarkan langsung kepada penonton/pendengar (audience) baik suara itu diperkuat melalui penguat elektronik ataupun tanpa pengeras suara. Gambar 306 memperlihatkan proses ketersampaian suara. Dalam tata suara langsung, penataan harus dilakukan dengan baik karena hasil yang jelek atau adanya gangguan ketika proses sedang berjalan akan tertangkap langsung oleh telinga pendengar.
Pementasan teater lebih banyak menggunakan tata suara secara langsung. Sumber suara dialirkan ke dalam perangkat dan diproyeksikan langsung kepada audien. Dengan demikian jika pengaturan tidak dilakukan dengan baik maka akan menganggu jalannya pertunjukan. Jika semuanya dapat berjalan dengan baik tata suara yang dihasilkan secara langsung akan memberikan gambaran yang lebih hidup.


Gb.306 Proses suara

5.3.2 Rekaman
Merekam adalah suatu kegiatan menangkap informasi, bunyi atau suara tiruan yang dibuat dan disimpan ke dalam suatu media piringan hitam, pita suara atau CD dengan tujuan hasil rekaman informasi suara dapat diperdengarkan kembali.


Gb.307 Proses rekaman suara

Tata suara yang dihasilkan melalui proses perekaman bisa menghasilkan kualitas yang baik karena dikerjakan di studio dan dapat diubah dari sumber aslinya. Suara bisa diatur lebih jernih. Kesimbangan dapat diatur. Intinya, suara hasil rekaman dapat dibuat sesuai dengan keinginan perancang. Akan tetapi, kelemahan dari rekaman adalah suara yang dihasilkan tidak tampak hidup. Teknik perekaman suara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu rekaman basah dan rekaman kering.

5.3.2.1 Rekaman Basah
Seluruh sumber suara dimainkan dan direkam secara bersamaan (single track) sesuai dengan tata urutan yang telah ditentukan. Keuntungan rekaman basah adalah waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak. Hasil dapat langsung diperdengarkan untuk mengetahui kualitas hasil rekaman. Apabila terdapat kesalahan saat itu juga dapat dilakukan rekaman ulang. Kerugian dari proses rekaman basah adalah persiapan harus benar-benar matang. Apabila salah satu pemeran tidak hadir, maka rekaman tidak dapat dilakukan. Kesalahan yang diakibatkan salah satu pemain membutuhkan pengulangan rekaman dengan seluruh pemain.


5.3.2.2 Rekaman Kering
Masing-masing sumber suara direkam sendiri-sendiri (multi track). Biasanya yang direkam awal adalah announcer, narator, dan pemain (voice over). Untuk sumber suara lain direkam pada waktu yang berlainan. Setelah keseluruhan sumber suara terekam dengan baik, dilakukan penggabungan (mixing) untuk mendapatkan hasil rekaman yang diinginkan. Keuntungannya, pemain tidak tergantung dengan pemain yang lain. Kerugiannya adalah proses rekaman butuh waktu lama, penyimpanan hasil rekaman harus tertata baik dan teliti, butuh waktu lama untuk proses mixing dan mastering serta terjadi penurunan kualitas suara.

5.4 Peralatan Tata Suara
Persyaratan bagi seorang penata suara adalah memahami berbagai jenis dan frekuensi respon (polarity) mikrofon dan pemahaman terhadap berbagai karakter sumber suara. Kemampuan tersebut sangat membantu perencanaan dalam penempatan mikrofon dan mengoptimalisasikan kerja mikrofon yang akan digunakan. Penggunaan berbagai jenis mikrofon (multi microphone) untuk menangkap berbagai sumber suara baik dari segi karakter, lokasi, akustik maupun situasi memerlukan perencanaan yang baik. Setiap sumber suara menghendaki mikrofon yang belum tentu sama polanya.

5.4.1 Mikrofon
Mikrofon adalah alat yang dipergunakan untuk menangkap suara sebelum suara tersebut dapat didengar kembali melalui pengeras suara (loud speaker). Dengan pengertian singkat, mikrofon adalah alat pengubah (transductor) tegangan akustik menjadi tegangan atau getaran elektrik (getaran listrik).

5.4.1.1 Tipe Mikrofon
Mikrofon memiliki beberapa tipe yang masing-masing mempunyai karakter sendiri. Efek suara yang dihasilkan pun berbeda-beda. Beberapa tipe mikrofon adalah sebagai berikut.

• Ribbon Microphone
Mikrofon tipe ini bekerja berdasarkan perubahan energi yang dihasilkan oleh pergerakan pita logam yang berada ditengah-tengah magnet permanent, pergerakan pita logam yang juga berfungsi sebagai membran dan sebagai penghantar arus lstrik yang besarnya sesuai dengan kuat dan lemahnya suara yang diterima oleh mikrofon. Mikrofon ini tidak tahan terhadap desis angin, dan sangat bagus untuk rekaman yang dilakukan di dalam studio rekaman (indoor), dilengkapi dengan selector V untuk voice dan M untuk musik.


Gb.308 Ribbon microphone

• Dynamic Microphone
Mikrofon ini menggunakan sistim kerja magnetik dan lilitan (coil). Cara kerja mikrofon ini adalah ketika sumber suara menggetarkan membran, maka membran akan bergetar bersama lilitan yang berada pada tengah-tengah magnet permanen. Getaran lilitan yang memotong garis-garis medan magnet mengakibatkan perubahan tegangan arus listrik (energi) pada kedua ujung kawat lilitan yang akan diteruskan kepada penguat amplifier. Besar kecilnya energi yang dihasilkan oleh lilitan tersebut sangat tergantung dari intensitas dan frekuensi suara yang membentur membran mikrofon.



Gb.309 Dynamic microphone


• Condensor Microphone
Mikrofon yang bekerja dengan perubahan reaktansi (capasitor) dan tegangan (catu daya), akibat getaran membran menimbulkan perubahan-perubahan arus sesuai dengan sumber suara yang diterima oleh membran mikrofon. Dua lempengan logam yang dipasang saling berhadapan yang diberi catu daya memiliki sifat sebagai capasitor (c) dan perubahan salah satu lempengan akibat getaran membran menghasilkan rektansi (Xc). Oleh karena tegangan yang diberikan tetap, maka arus yang mengalir menghasilkan perbedan frekuensi capasitor (Fc) sesuai dengan kuat dan lemahnya suara yang membentur membrane mikrofon. Condensor microphone level output-nya rendah dan impedansinya tinggi sehingga output frekuensi responnya terpengaruh oleh panjang kabel penghubung ke amplifier. Pengoperasian mikrofon ini menggunakan catu daya yang cukup.



Gb.310 Condenser microphone

• Wireless Microphone
Jenis mikrofon ini dilengkapi dengan pemancar (transmitter) dan pesawat penerima (reciever). Cara kerja wireless microphone (mikrofon tanpa kabel) jenis ini sangat tergantung dengan catu daya atau batere. Kelebihan mikrofon ini adalah sangat nyaman karena pemakainya dapat bergerak bebas tanpa terganggu adanya kabel. Transmiternya memiliki pengatur level volume yang dapat diatur menyesuaikan dengan level input audio mixer.


5.4.1.2 Karakteristik Mikrofon
Mikrofon memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan kepekaan, teknik, dan arah penyerapan serta pengeluaran suara.

• Omni Directional Microphone
Mikrofon yang memiliki tingkat kepekaan terhadap sumber suara dari segala arah dengan level yang sama. Omni Directional Microphone dapat menangkap suara dari semua arah atau dapat disebut juga dengan mikrofon tanpa pola arah.


Gb.311 Pola arah omni directional

• Bidirectional Microphone
Mikrofon ini memiliki tingkat kepekaan pada level yang sama dari dua arah, kebanyakan orang mengatakan mikrofon stereo. Sebenarnya pengertian stereo sound berbeda dengan bidirectional patern, meskipun mikrofon ini dapat menangkap sumber suara dari dua arah yang berlawanan.



Gb.312 Pola arah bidirectional

• Uni Directional Microphone
Mikrofon yang hanya mempunyai kepekaan dari satu arah, yaitu sumber suara yang berada di depan mikrofon saja. Mikrofon yang memiliki pola arah (patern/polarity) ini sering digunakan untuk penyiar, wawancara dan sangat baik dipergunakan untuk pertunjukan musik dan teater karena dapat membatasi atau mengurangi intervensi suara dari berbagai alat musik. Untuk drama di luar ruangan yang memiiki tingkat kebisingan tinggi, dapat menggunakan mikrofon super/hiper cardioid (shotgun mic) di mana mikrofon ini memiliki kepekaan pada sudut yang sempit sehingga dapat membatasi suara yang berasal dari sudut lain.


Gb.313 Pola arah uni directional

5.4.2 Audio Mixer
Adalah suatu peralatan audio yang dipergunakan sebagai alat, mencampur berbagai sumber suara, mengolah suara, mengatur, dan mengontrol input serta memperkuat suara menjadi suatu hasil keluaran suara yang diinginkan.


Gb.314 Audio mixer




Pada umumnya audio mixer standar dilengkapi dengan komponen-komponen sebagai berikut.

• Line / Mic
Masukan atau input yang dapat dipilih sesuai dengan sumber suara yang akan diproses. Apabila masukan dari peralatan player, camera, sub mixer, dan lain sebagainya menggunakan line in, sedangkan masukan dari mikrofon melalui mic in yang tersedia.

• Phantom Power
Adalah suatu catu daya yang tersedia pada audio mixer. Digunakan apabila memakai condenser microphone, biasanya dilengkapi dengan selector yang dapat dipilih menggunakan phantom atau tidak.

• Gain / Trim
Untuk mengatur besar kecilnya level masukan atau input ke audio mixer dan sangat berpengaruh terhadap level output.

• Equalization
Untuk mengolah warna suara terdiri dari low, middle, dan hight frequency. Ada yang menyebut dengan bass dan treble, selain untuk mengolah warna suara dapat juga untuk mengurangi feedback.


Gb.315 Potensio equalizer
• Pan dan Assignment
Pan adalah potensiometer untuk mengatur keluaran kiri atau kanan. Pengaturan ini sangat berguna dalam sistem rekaman stereo, sedangkan yang dimaksud dengan assign adalah penggabungan beberapa chanel input kedalam sub group sebelum diteruskan ke master out/main out.


Gb.316 Panorama potensiometer
• Fader
Untuk mengatur besaran keluaran atau output yang akan diteruskan ke master out.


Gb.317 Fader mixer

• Mute / Solo / PFL
Pre Fader Listening adalah suatu sakelar pintas untuk menghidupkan dan mematikan setiap input. Sakelar ini sangat penting ketika melakukan control balance setiap masukan terhadap keseluruhan sumber suara yang akan diolah.



Gb.318 Tombol selector

• Monitor dan Headphone
Monitor dan headphone digunakan sebagai keluaran untuk mengontrol audio yang aktif atau sedang dalam proses balancing, mixing ataupun hasil akhir. Disarankan untuk selalu menggunakan headphone yang standar setiap melakukan penataan dan pengontrolan level suara.

• Master Out / Main Out
Keluaran seluruh suara yang telah melalui proses equalization dan mixing atau hasil akhir audio mixer.








5.4.3 Audio Player / Recorder
Alat untuk memutar kembali hasil rekaman audio dan ada yang dapat berfungsi sebagai alat untuk merekam audio dapat berupa tape rel, piringan hitam, tape recorder, compact disk player, dan lain sebagainya.

5.4.4 Audio Equalizer
Audio equalizer adalah alat yang dapat berfungsi sebagai pengatur atau untuk memperbaiki warna suara dengan tujuan hasil keluarannya sesuai sumber suara asli. Fungsi yang lain adalah untuk membuat sound effect, memperjelas suara instrument musik dan vokal.


Gb.319 Audio Equalizer

Frekuensi audio yang dapat didengarkan oleh manusia disebut dengan range audibility atau kemampuan dengar manusia yang terletak pada frekuensi 20 Hertz sampai dengan 20.000 Hertz.

• Frekuensi Rendah
Terletak pada 20 Hertz sampai dengan 250 Hertz. Frekuensi 20 Hz sampai 63 Hz disebut low bass. Melakukan perubahan pada jarak frekuensi ini akan mengakibatkan suara menjadi tidak jelas dikarenakan frekuensi lain akan tetutup. Frekuensi 63 Hz sampai 250 Hz disebut bass. Menaikkan level pada frekuensi ini pada batas tertentu akan memperjelas suara instrumen atau alat musik.

• Fekuensi Menengah
Terletak antara 250 Hertz – 2000 Hertz disebut dengan middle range frequency. Frekuensi harmonis instrumen musik berada pada jarak frekuensi ini. Dengan menaikkan amplitudo 3 desibel dapat mengakibatkan suara atau vokal yang terdengar seperti suara pembicaraan lewat pesawat telepon. Upper middle range frequency terletak pada frekuensi 2000 Hertz – 4000 hertz, dengan menaikkan frekuensi ini akan memperjelas suara bibir misalnya huruh M, B, V, dan lain sebagainya.

• Frekuensi Vokal
Frekuensi 4000 Hertz – 6000 Hertz, menaikkan amplitudo pada daerah frekuensi ini akan berpengaruh pada kejernihan vokal maupun instrumen musik, terutama pada frekuensi 5000 Hz. Sebaliknya apabila menurunkan amplitudo pada frekuensi ini kesan suara yang didapat terasa mengambang.

• Frekuensi Tinggi
Berada pada daerah frekuensi 6000 Hertz – 16000 Hertz, dengan menaikan amplitudo pada batas-batas tertentu akan menambah kejernihan dan kejelasan suara atau vokal. Apabila menaikkan terlalu tinggi akan mengakibatkan suara berdesis.


5.4.5 Expander / Compresor dan Limiter.
Sistem kerja kompresor adalah mengangkat level audio pada batas-batas tertentu sesuai dengan pengaturan (threshold) apabila terjadi under level dari sumber suara. Sedangkan limiter akan memberikan batasan pada level sumber suara yang melebihi modulasi sehingga tidak terjadi kecacatan audio atau pemotongan titik puncak (peak).

5.4.6 Power Amplifier
Peralatan audio atau rangkaian elektronik pelipat tegangan yang berfungsi sebagai penguat akhir. Power amplifier dilengkapi dengan pengatur besaran perubahan energi elektrik untuk diteruskan ke speaker monitor.

5.4.7 Audio Speaker Monitor
Adalah alat yang dipergunakan sebagai pengubah getaran elektrik yang berasal dari power amplifier menjadi getaran suara (getaran akustik). Sinyal elektrik menggerakkan spul (coil) yang melingkari medan magnit dan menggerakkan membran speaker yang menghasilkan geraran akustik yang merambat melalui udara hingga sampai pada telinga.



Gb.320 Audio speaker


5.5 Praktek Tata Suara
Pengerjaan tata suara yang diterangkan dalam proses di bawah ini adalah untuk kepentingan iliustrasi musik yang menggunakan alat musik elektronik dan akustik serta dipadu dengan vokal. Dalam khasanah teater, tata suara sangat dominan terutama dalam pentas drama musikal atau opera. Di Indonesia, pentas operet menggunakan instrumen musik secara langsung seperti halnya band dan pemainnya sering menyanyi seperti penyanyi. Bahkan dalam beberapa pertunjukan hiburan, dialog pemain juga menggunakan mikrofon. Pada pentas semacam ini, peranan tata suara tampak sekali. Berbeda dengan jenis teater lain yang lebih mengandalkan suara akustik.

5.5.1 Persiapan
Untuk mempersiapkan pertunjukan drama musikal yang berbasis musik non klasik (band) seorang penata suara wajib mengetahui jenis dan karakter instrumen yang akan digunakan. Setiap jenis instrumen memiliki keluaran suara yang berbeda dan butuh pengolahan yang berbeda pula. Yang akan dijelaskan di sini adalah penataan suara yang menggunakan teknik miking. Semua instrumen diproyeksikan melalui mikrofon. Dengan demikian, penataan tergantung dari jenis mikrofon, peletakkan, dan pengaturan frekuensi. Untuk memproses vokal dan peralatan band menggunakan teknik miking dengan multi microphone yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut.
• Buatlah daftar peralatan yang akan dipergunakan
• Tentukan jenis mikrofon yang digunakan.
• Alat dan bahan untuk rekaman audio


5.5.2 Penataan
Untuk menghasilkan suara yang baik adalah dengan melakukan penataan mikrofon dan peralatan audio yang dipergunakan. Persyaratan yang lain adalah keseimbangan, keselarasan, keserasian suara. Untuk hasil terbaik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat gambar layout penempatan mikrofon terhadap sumber suara. Daftar peralatan yang akan dipergunakan disesuaikan dengan naskah atau kebutuhan tata suara. Selanjutnya, sudut dan jarak mikrofon disesuaikan dengan sumber suara. Setelah seluruh peralatan audio terpasang dengan benar dan rapi, pengaturan level tiap masukan (input) dilakukan. Input diarahkan ke audio mixer untuk mendapatkan keseimbangan suara dari berbagai karakter sumber suara yang dipergunakan. Untuk memudahkan pengaturan masukan yang banyak dapat dilakukan dengan sistem grup atau sub master. Di bawah ini adalah gambar instalasi beragam sistem tata suara.


Gb.321 Instalasi tata suara sistem mono


Gb.322 Instalasi tata suara sistem stereo


Gb.323 Instalasi tata suara sistem stereo dengan dengan prosesor audio
Pada gambar 323 diatas masing-masing input dipasang audio prosessor untuk mengolah kualitas dan warna suara dari masing-masing sumber suara sebelum diproses ke audio mixer. Selanjutnya, di bawah ini akan dipaparkan contoh instalasi tata suara untuk pementasan drama musikal. Instrumen yang digunakan adalah, gitar, bass, drum set, dan vokal.


Gb.324 Desaian instalasi tata suara untuk musik ilustrasi

a. Mikrofon untuk vokal dengan karakteristik:
Frekuensi respon : 50 Hz – 15000 Hz
Polar Patern : Cardioid
Impedance : 50 ohm dan 150 ohm
Output Level : -56 dB
Jarak : 20 cm
Sudut : 30 derajat

b. Mikrofon untuk gitar dengan karakteristik:
Frekuensi respon : 30 Hz – 17.000 Hz
Polar Patern : Cardioid
Impedance : 200 ohm
Output Level : -54 dB
Jarak : 20 cm
Sudut : 30 derajat

c. Mikrofon untuk bass dengan karakteristik:
Frekuensi respon : 30 Hz – 17.000 Hz
Polar Patern : Cardioid
Impedance : 200 ohm
Output Level : -54 dB
Jarak : 20 cm
Sudut : 30 derajat

d. Mikrofon untuk drum set dengan karakteristik :
• Bass drum
Frekuensi respon : 40 Hz – 10.000 Hz
Polar patern : Cardioid
Impedance : 250 ohm
• Tom 1, 2 dan Floor Tom
Frekuensi respon : 40 Hz – 10.000 Hz
Polar patern : Cardioid
Impedance : 250 ohm
Jarak : 4 cm
Sudut : 30 derajat
• Snare drum
Frekuensi respon : 40 Hz – 15.000 Hz
Polar patern : Cardioid
Impedance : 50 dan 150 ohm
Jarak : 4 cm
Sudut : 30 derajat.
• Hi-hat
Frekuensi respon : 40 Hz – 150 Hz
Polar patern : Cardioid
Impedance : 50 dan 150 ohm
Jarak : 30 cm
Sudut : 45 derajat
• Overhead
Frekuensi respon : 100 Hz – 20.000 Hz
Polar patern : Cardioid
Impedance : 250 ohm
Jarak : 30 cm
Sudut : 45 derajat
• Splash dan chinese cymbal
Frekuensi respon : 100 Hz – 20.000 Hz
Polar patern : Cardioid
Impedance : 250 ohm
Jarak : 30 cm
Sudut : 45 derajat


5.5.3. Pengecekan
Setelah semua peralatan ditata dengan baik, pengecekan perlu dilakukan. Kualitas suara yang jernih, imbang, dan sesuai dengan karakter sangat diperhatikan. Perlu latihan teknik tersendiri untuk menyesuaikan tata suara. Setiap instrumen dicoba secara mandiri. Kemudian semua instrumen dimainkan secara bersama ditambah dengan vokal. Teknik miking, adalah teknik yang paling sulit karena semua suara diproyeksikan melalui mikrofon sehingga tata letak mikrofon satu dengan yang lain sangat berpengaruh. Oleh karena itu, penyesuaian dalam pengecekan tidak hanya berlaku pada speaker dan mixer tetapi juga pada tata letak mikrofon. Dengan ketelitian dan kehati-hatian, hasil tata suara pastil maksimal. Setelah semua dicek dengan baik, maka tata suara sudah siap diaplikasikan dalam pementasan.





PENUTUP

Sebuah karya teater lahir dari satu proses pembelajaran yang padu. Karena prinsip teater adalah kerjasama maka belajar teater tidaklah hanya mempelajari elemen-elem yang ada di dalamnya tetapi juga mempelajari kerja pengabungan di antaranya. Satu bidang harus mampu dan mau menghargai bidang lain. Saling berbicara. Berdiskusi. Memecahkan persoalan bersama dan menentukan satu keputusan yang secara artistik adil bagi semua pihak. Dengan demikin dalam satu karya teater, tidak hanya tergambar keindahan karya seni tetapi juga prinsip kebersamaan. Membaca referensi atau buku teater tidaklah hanya untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan peningkatan kompetensi tetapi juga untuk mengungkap makna kerja yang ada di sebalik ilmu. Pemaknaan ini akan membawa satu sikap penghargaan profesi baik bagi diri sendiri atau bagi orang yang bekerja pada bidang lain.
Secara mendalam, seni memang tidak hanya menghasilkan sesuatu yang tampak (produk) tetapi juga mental atau jiwa para pelakunya. Kualitas karya yang dihasilkan menggambarkan semangat dan keadaan jiwa pembuatnya. Karena sifatnya yang kolaboratif maka seni teater akan kehilangan spiritnya jika masing-masing bidang berusaha untuk menonjol dan mengalahkan bidang lain. Dalam satu proses pembelajaran hal semacam itu sering tejadi. Apalagi ketika proses tersebut dinilai dan memiliki konsekuensi langsung bagi pelakunya. Satu proses kerja bidang tertentu bahkan dinilai lebih tinggi dari bidang lain. Dalam teater hal itu tidak berlaku. Satu bidang kecil memiliki makna yang sama dengan bidang lain. Jika kualitas kerja salah satu bidang tidak baik maka keseluruhan pertunjukan menjadi terpengaruh. Oleh karena itu, kerja sekecil apapun dalam teater sangatlah penting. Sebuah langkah yang besar selalu dimulai dari langkah kecil. Sebuah karya teater yang besar merupakan penyatuan kerja elemen-elemen yang kecil.
Akhirnya menjadi maklumlah kita ketika seseorang berbicara tentang teater maka ia akan membicarakan semua elemen yang ada di dalamnya. Berbicara teater tidak hanya berbicara naskah atau sutradara yang merajut proses atau aktor terkenal yang ikut terlibat di dalamnya. Berbicara teater adalah berbicara tentang semua hal yang ada di dalamnya. Hal itu akan menyangkut soal cerita, konsep, ketersampaian cerita, tata rias dan busana, tata panggung dan cahaya, bahkan penonton yang hadir di dalamnya. Kualitas ketersampaian pesan yang diramu oleh para pekerja teater (pengarang, sutradara, aktor, penata artistik) akan diketahui langsung oleh para penonton dalam sebuah pertunjukan. Karena itu pulalah penonton merupkan kunci keberhasilan sebuah pertunjukan. Respon atau tanggapan yang diberikan penonton terhadap pertunjukan yang dilangsungkan merupakan tanda bagi keberhasilan atau kegagalan pertunjukan tesebut dalam menyampaikan pesan.
Begitu pentingnya pesan yang hendak disampaikan sehingga semua elemen pendukung pementasan bekerja keras mewujudkannya. Satu gagasan atau perwujudan karya menjadi indah dan menarik serta memiliki kesatuan makna jika semua elemennya memiliki tujuan artistik yang sama. Dalam sebuah lakon yang menceritakan tentang kesedihan, maka semua komponen bekerja untuk memenuhi atmosfir kesedihan yang diharapkan. Jika satu saja elemen berada di luar garis ini maka kesatuan makna menjadi kabur. Semua elemen harus besatu. Memiliki tujuan yang sama. Saling mendukung demi tercapaiya tujuan tersebut.
Oleh karena itulah, mempelajari teater tidak hanya mempelajari satu bidang dan mengabaikan bidang lain. Memang perlu belajar satu bidang secara khusus tetapi pemahaman atas bidang lain tidak bisa diabaikan. Seorang aktor yang baik harus mengerti fungsi tata panggung karena ia akan bermain di antara objek yang ditata di atas pentas. Ia akan bermain dalam area yang diciptakan oleh penata panggung. Demikian pula penata panggung harus mau memahami pola laku dan gerak para aktor di atas pentas sehingga ruang yang diciptakan tidak mengganggu bagi pergerakan aktor ketika bemain. Semua elemen harus memahami hal ini, semua saling belajar, semua saling membantu, semua saling mendukung. Untuk kepentingan inilah buku ini disusun. Jadi, pelajarilah semuanya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Adjib Hamzah, 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV Rosda
A. Kasim Achmad, 2006. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Afrizal Malna, “Anatomi Tubuh dan Kata: Teater Kontemporer Sebuah Indonesia Kecil”, dalam, Taufik Rahzen, ed. 1999. Ekologi Teater Indonesia, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Arthur S. Nalan, 2006, Teater Egaliter. Bandung: Sunan Ambu Press, STSI Bandung.
Bakdi Soemanto, 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media Pressindo
Boen S. Oemarjati, 1971. Bentuk Lakon Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung
Bruce Burton, 2006. Creating Drama. Melbourne: Pearson Education Australia
Christian Hugonnet & PierreWalder, 1998. Stereo Sound Recording, John Wiley & Sons Ltd.
David Grote, 1997. Play Directing in the School, a Drama Director’s Survival Guide. Colorado: Meriwether Publishing Ltd.
Eka D. Sitorus, 2002. The Art of Acting, Seni Peran untuk Teater, Film dan TV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Francis Reid, 1977. The Stage Lighting Hand Book. London: Pitman Publishing.
Gerald Millerson, 1985. The Technique of Television Production. London: Foal Press.
Glynne Wickham, 1992. A History of The Theatre. London: Phaidon Press Limited.
Herman J. Waluyo, 2001. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.
Jakob Sumardjo, 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI PRESS.
Katsuttoshi, 1987. Audio for Television, NHK Comunication Training Institute.
Konstantin Stanislavski,1980. Persiapan Seorang Aktor terj. Asrul Sani. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Litz Pisk, 1985. Aktor dan Tubuhnya, terj. Fritz G.Schadt. Jakarta: Yayasan Citra.
Mark Carpenter, 1988. Basic Stage Lighting. Kensington: New South Wales University Press.
Marsh Cassady, 1997. Characters in Action, Play Writing the Easy Way. Colorado: Meriwether Publishing Ltd.
Martin Esslin, 1981. An Anatomy of Drama. Great Britain: Cox &Wyman Ltd, Reading, 1981.
Mary McTigue, 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What, and the Way Things Really Work in the Theatre, Ohio: Better Way Books.
Michael Huxley, Noel Witts (Ed.), 1996. The Twentieth Century Performance Reader. London: Routledge.
Rene Wellek & Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Richard Fredman, Ian Reade, 1996. Essential Guide to Making Theatre. London: Hodden & Stoughton.
Rikrik El Saptaria, 2006. Panduan Praktis Akting untuk Film dan Teater, Acting Handbook. Bandung: Rekayasa Sains.
RMA Harymawan, 1993. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Robert Cohen, 1994. The Theatre. California: Mayfield Publishing Company.
Suyatna Anirun, 1998. Menjadi Aktor. Bandung: STB, Taman Budaya Jawa Barat dan PT. Rekamedia Multiprakarsa.
Yudiaryani, 2002. Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli.